BAB III PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DI INDONESIA
G. Peran LKPP Dalam Pengadaan Tender Barang/Jasa
Suatu persekongkolan sering terjadi dalam tender pengadaan barang dan jasa, baik yang dilakukan oleh pemerintah ataupun swasta. Persekongkolan pastilah melibatkan lebih dari satu pihak, baik antara pelaku usaha dengan pesaingnya, pelaku usaha dengan pemberi kerja, atau pelaku usaha dengan penyelenggara.133 Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah bisnis yang melibatkan jumlah yang besar dan melewati tahapan yang panjang bahkan hingga melibatkan banyak instansi dan institusi negara/pemerintah baik di pusat ataupun daerah serta melibatkan perusahaan-perusahaan baik swasta, BUMN, ataupun BUMD, sehingga pada pengadaan barang/jasa ini tidak jarang terjadi penyimpangan seperti monopoli, persaingan usaha yang tidak sehat, dan praktik-praktik kecurangan lainnya.134
Oleh karena itu demi mewujudkan penyelenggaraan yang bersih bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa, Pemerintah Indonesia menetapkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, agar dengan adanya peraturan ini pengadaan barang/jasa instansi pemerintah bisa dilaksanakan denga cara yang efektif dan efisien, dengan prinsip persaingan yang sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil dan layak bagi semua pihak terkait.135
133 Adrian Sutedi, Op.Cit., hal. 280
134 I Putu Jati Arsana, Manajemen Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), hal. 310
135 Adrian Sutedi, Op.Cit., hal. 283
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sudah beberapa kali mengalami perubahan, dan kemudian dicabut oleh Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa, yang kembali mengalami perubahan setelah keluarnya Undang-Undang Cipta Kerja dan mengatur mengenai penggunaan produk/jasa Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta Koperasi, dan pengaturan pengadaan jasa konstruksi yang pembiayaannya bersumber dari APBN dan APBD dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah untuk kemudahan berusaha, sehingga Perpres Nomor 16 Tahun 2018 ini kemudian diubah dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh APBN/APBD yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima ,hasil pekerjaan.136 Ruang lingkup dan cakupan pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan permasalahan lintas institusi dan lintas sektor yang memiliki dampak langsung bagi pengembangan usaha kecil, produksi dalam negeri serta pengembangan iklim dan dunia usaha pada umumnya.137 Karena itu, pada tahun 2007 dikeluarkan sebuah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2007 Tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa yang kemudian diperbaharui oleh Perpres Nomor 157 tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga/Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden ini membentuk sebuah
136 Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 1 angka 1
137 I Putu Jati Arsana, Op.Cit., hal. 106
113
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yaitu Lembaga Pemerintah Non-Kementrian yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.138
LKPP merupakan satu-satunya lembaga pemerintah yang mempunyai tugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan pengadaan barang/jasa Pemerintah.139 Untuk melaksanakan tugasnya, maka LKPP menyelenggarakan beberapa fungsi yaitu:
a. penyusunan dan perumusan strategi serta penentuan kebijakan dan standar prosedur di bidang pengadaan barang/jasa Pemerintah termasuk pengadaan badan usaha dalam rangka kerjasama Pemerintah dengan badan usaha;
b. penyusunan dan perumusan strategi serta penentuan kebijakan pembinaan sumber daya manusia di bidang pengadaan barang/jasa Pemerintah;
c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaannya;
d. pembinaan dan pengembangan sistem informasi serta pengawasan penyelenggaraan pengadaan barang/jasa Pemerintah secara elektronik;
e. pemberian bimbingan teknis, advokasi, dan pendapat hukum;
f. pembinaan dan penyelenggaraan dukungan administrasi kepada seluruh unit organisasi di LKPP; dan
g. pengawasan atas pelaksanaan tugas LKPP.
138 Peraturan Presiden No. 157 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga/Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 1 ayat (1)
139 Peraturan Presiden No. 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 2
H. Peran LPSE Dalam Mencegah Terjadinya Persekongkolan Tender Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan komponen fundamental dari tata kelola pemerintahan yang baik.140 Tetapi menurut survey yang dilakukan oleh Indonesia Procurement Watch (IPW) yang dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Maret 2011, terungkap bahwa ternyata 89% penyedia barang dan jasa pemerintah melakukan suap tender, dan 92% penyedia barang dan jasa tersebut mengakui pernah melakukan penyuapan dalam mengikuti tender. Survei ini tertera pada sebuah majalah pengadaan Kredibel edisi 01 tahun 2011 dimana survey tersebut dilakukan terhadap 792 penyedia barang dan jasa di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bogor.141
Banyak proses pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara tersembunyi atau berpura-pura melakukan proses yang “transparan dengan pengaturan orang dalam”, padahal sebenarnya jelas-jelas merupakan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)142. Praktik dalam pengadaan barang dan jasa yang selalu menuai KKN juga diakibatkan oleh lemahnya sistem pengadaan barang dan jasa yang selama ini dilakukan, yaitu sangat rendahnya azas transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam sistem pengadaan barang dan jasa yang digunakan oleh pemerintah.143 Sehingga sangat diperlukan suatu proses yang terbuka dalam pengadaan barang dan jasa demi meningkatkan transparansi, efisiensi dan efektifitas.144 Untuk mewujudkan proses tersebut, maka diperlukan suatu alat yang dapat membantu panitia dan pengelola pengadaan melaksanakan
140 I Putu Jati Arsana, Op.Cit., hal. 35
141 Rendra Setyadiharja, E-Procurement (Dinamika Pengadaan Barang/Jasa Elektronik), (Yogyakarta: Deepublish, 2017) hal. 1
142 Adrian Sutedi, Op.Cit., hal. 253
143 Rendra Setyadiharja, Op.Cit., hal. 2
144 I Putu Jati Arsana, Op.Cit., hal. 107
115
pengadaan. Kemudian pada tahun 2010 dikeluarkan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 yang secara tidak langsung menyatakan bahwa pelaksanaan lelang secara elektronik atau disebut E-Procurement sudah harus menjadi sebuah kewajiban yang harus dimulai pada tahun 2012. Sebagai tindak lanjut tersebut, maka pemerintah melalui LKPP mengeluarkan surat edaran No. 17/KA/02/2012 tentang Kewajiban Barang dan Jasa Secara Elektronik, surat edaran inilah yang kemudian menjadi landasan bagi Kementerian/Lembaga dan juga termasuk Pemerintah Daerah harus menerapkan sistem pengadaan barang dan jasa dengan menggunakan LPSE.145
E-Procurement adalah proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan secara elektronik yang berbasis internet dengan memanfaatkan fasilitas teknologi komunikasi dan informasi yang diselenggarakan oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).146 Saat ini di Indonesia, pengembangan sistem pengadaan barang/jasa elektronik dilaksanakan oleh LKPP dan yang menjadi dasar hukum Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) adalah Pasal 73 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dan ketentuan teknis operasionalnya diatur dalam Peraturan Lembaga LKPP Nomor 14 Tahun 2018.
Dalam menyelenggarakan sistem pelayanan pengadaan barang/jasa secara elektronik, LPSE juga wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
145 Adrian Sutedi, Op.Cit., hal. 3-4
146 I Putu Jati Arsana, Op.Cit., hal. 108
Dalam Pasal 73 Perpres No. 16 Tahun 2018 dijelaskan bahwa fungsi LPSE diselenggarakan oleh Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah, fungsi tersebut meliputi:147
a) pengelolaan seluruh sistem informasi Pengadaan Barang/Jasa dan infrastrukturnya;
b) pelaksanaan registrasi dan verifikasi pengguna seluruh sistem informasi Pengadaan Barang/Jasa; dan
c) pengembangan sistem informasi yang dibutuhkan oleh pemangku kepentingan.
Layanan yang tersedia dalam Sistem Pengadaan Secara Elektronik saat ini adalah tender yang ketentuan teknis operasionalnya diatur dengan Peraturan Lembaga LKPP Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara E-Tendering. Selain itu LKPP juga menyediakan fasilitas Katalog Elektronik (e-Catalogue) yang merupakan sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga barang tertentu dari berbagai penyedia barang/jasa pemerintah, proses audit secara online (e-Audit), dan tata cara pembelian barang/jasa melalui katalog elektronik (e-Purchasing) yang diatur dalam Peraturan Lembaga LKPP Nomor 11 Tahun 2018 sebagaimana telah disempurnakan oleh Peraturan Lembaga LKPP Nomor 7 Tahun 2020.
Direktorat Pengembangan Sistem Pengadaan Secara Elektronik LKPP telah mengembangkan aplikasi e-procurement, yaitu SPSE atau Sistem Pengadaan Secara Elektronik yang dapat digunakan oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik di seluruh Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah dan tidak
147 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018, Pasal 73 ayat (2)
117
memerlukan biaya lisensi, baik lisensi SPSE itu sendiri maupun perangkat lunak pendukungnya. Aplikasi SPSE ini dikembangkan oleh LKPP bekerjasama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk fungsi dan enkripsi dokumen dan Badan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk sub sistem audit.
Rendra Setyadiharja dalam bukunya berjudul E-Procurement (Dinamika Pengadaan Barang/Jasa Elektronik, 2017) menyatakan, E-Procurement sebagai salah satu pendekatan terbaik dalam mencegah terjadinya KKN dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah karena dengan E-Procurement peluang untuk kontak langsung antara penyedia barang atau jasa dengan panitia pengadaan menjadi semakin kecil, lebih transparan, lebih hemat waktu, dan biaya serta dalam pelaksanaannya mudah untuk dilakukan pertanggungjawaban.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa persekongkolan tender diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang kemudian dijelaskan lebih lanjut di dalam Peraturan Komisi Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 UU 5/1999. Akan tetapi pengertian persekongkolan tender ini kemudian diubah melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XIV/2016. Persekongkolan sering terjadi dalam pengadaan barang dan jasa, Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) yang merupakan organisasi internasional yang menjadi forum Pemerintah dari berbagai negara untuk mendorong perubahan lingkungan, sosial, dan ekonomi juga telah mengembangkan perangkat hukum mengenai proses pengadaan publik, yaitu pedoman untuk mengatasi persekongkolan tender dalam pengadaan publik (Guidelines for Fighting Bid Rigging in Public Procurement). Sementara itu di Indonesia, untuk mengatur dan meminimalisir terjadinya persekongkolan
dibentuklah sebuah lembaga pengawas bernama LKPP yang bertugas untuk mengembangkan dan merumuskan kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Pengadaan barang/jasa pemerintah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang sudah beberapa kali mengalami perubahan, dan kemudian dicabut oleh Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa. Dalam rangka meningkatkan transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, LKPP mengembangkan layanan pengadaan secara elektronik yang dikenal dengan LPSE.
119 BAB IV
ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN KPPU PERKARA NO. 04/KPPU-L/2017 TENTANG PERSEKONGKOLAN DALAM
TENDER PROVISION OF UNDERWATER SERVICES FOR KEPODANG AND KETAPANG FIELD
A. Analisa Putusan Nomor 04/KPPU-L/2017 tentang dugaan pelanggaran Pasal 22 dalam Tender Provision of Underwater Services for Kepodang and Ketapang Field
1. Kasus Posisi
Kasus posisi pada putusan KPPU perkara No. 04/KPPU-L/2017 dimulai ketika PC Muriah Ltd (Terlapor I) dan PC Ketapang II (Terlapor II) yang merupakan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) mengadakan tender pemeliharaan underwater services terhadap fasilitas yang berada di Kepodang Field dan Ketapang Field.Jenis pekerjaan yang dibutuhkan dalam Tender a quo adalah untuk kegiatan Inspeksi Platform (Platform Inspection) dan Survei Pipa bawah laut (Pipeline Survey) yang dilakukan melalui tender terbuka. Tender tersebut diikuti oleh 10 Perusahaan. Pada tahap Pra-Kualifikasi 4 peserta dinyatakan tidak lulus, yakni:
1. PT DOF Subesea Indonesia, tidak lulus dikarenakan tidak memiliki pengalaman di bidang terkait dan nilai HSE di bawah minimum skor 2. PT Jasalindo-PT Warna Triendo (konsorsium), tidak lulus dikarenakan
tidak memenuhi nilai minimum HSE
3. PT Fabila Teknik Sejahtera, tidak lulus dikarenakan nilai HSE di bawah minimum skor
4. PT Samudera Biru Nusantara – PT Cahaya Karya Bhakti Samudera (Konsorsium), tidak lulus dikarenakan tidak memiliki Sertifikat Keanggotaan IMCA, tidak memiliki SKT Migas terkait, dan nilai HSE di bawah minimum skor.
Sementara 6 peserta yang lulus pra-kualifikasi dapat memasukkan dokumen penawaran. Sistem pemasukan penawaran dilakukan dengan metode 2 sampul, yang mana sampul pertama adalah dokumen administrasi dan teknis, kemudian sampul kedua adalah dokumen komerisal/harga. Tetapi pada tahap pemasukan dokumen penawaran, hanya 5 Peserta yang memasukkan dokumen Penawaran, sementara 1 peserta yaitu PT Bintang Subsea Indonesia – PT Siguros Indonesia (Konsorsium) mengundurkan diri dan tidak memasukkan Dokumen Penawaran dengan alasan tidak memenuhi kualifikasi dimana konsorsium hanya memiliki Keanggotaan IMCA untuk kategori Survey dan ROV, namun tidak memiliki Keanggotaan IMCA untuk kategori Diving. Kemudian pada tahap evaluasi administrasi dan teknis, 1 perusahaan dinyatakan tidak lolos, yaitu PT Cakrawala Amartha Jaya karena tidak memenuhi Contractor Equipment and Personeel Specification, sehingga tersisa 4 peserta tender, termasuk PT Aquamrine Divindo Inspection (Terlapor III). Berdasarkan dokumen perencanaan tender diatur bahwa kriteria evaluasi teknis meliputi:
1. Perusahaan harus memiliki pengalaman di bidang underwater services (Diving & ROV Inspection) minimum 7 tahun untuk pekerjaan sejenis di Indonesia
2. Sertfikat keanggotaan IMCA ROV dan Diving
121
3. Memiliki workshop atau kantor perwakilan yang berlokasi di sekitar Jawa Timur
Kemudian pada tahap evaluasi komersial, PT Aquamarine Divindo Inspection (Terlapor III) memasukkan nilai penawaran sebesar Rp.47,360,900,000 dengan lokal konten sebanyak 83, 80%, yang mana nilai penawaran ini paling mendekati nilai HPS/OE tender senilai Rp49.465.485.000, dengan persyaratan lokal konten minimal 35%. Sehingga pada akhirnya PT Aquamarine Divindo Inspection (Terlapor III) dinyatakan sebagai pemenang dalam tender ini.
Setelah pemenang tender ditetapkan, KPPU menerima laporan mengenai adanya dugaan persekongkolan tender dalam proyek tender tersebut, sehingga KPPU mengirimkan investigator guna menyelidiki lebih lanjut mengenai proyek tender tersebut. Investigator dari KPPU menemukan beberapa fakta yang dicurigai mengarah kepada persekongkolan antara penyelenggara tender yaitu PC Muriah Ltd (Terlapor I) dan PC Ketapang II (Terlapor II) dengan peserta tender yaitu PT Aquamarine Divindo Inspection (Terlapor III), dimana Terlapor I & II dinilai memfasilitasi Terlapor III sebagai peserta tender untuk menjadi pemenang, diantaranya yaitu:
1. PT Aquamarine Divindo Inspection (Terlapor III) dinyatakan lolos evaluasi teknis, padahal tidak memenuhi persyaratan, yaitu hanya memiliki sertifikat keanggotaan pada IMCA ROV tetapi tidak memiliki sertifikat IMCA Diving.
2. PT Aquamarine Divindo Inspection (Terlapor III) dinyatakan lolos dengan bantuan surat dukungan IMCA Diving dari PT SBN, padahal berdasarkan Minutes of Pre-Bid Clarification Meeting tanggal 7 Oktober
2016 tidak ada menyinggung atau membahas mengenai letter of support untuk keanggotaan IMCA sama sekali dan PT SBN tidak lagi aktif dan beroperasi, selanjutnya berdasarkan ketentuan kriteria IMCA, sertifikat bersifat non-transferrable sehingga hanya melekat pada PT SBN, oleh karenanya surat dukungan seharusnya tidak diperbolehkan dan tidak serta merta menyebabkan PT Aquamarine Divindo Inspection (Terlapor III) menjadi anggota IMCA dengan spesialisasi bidang diving.
3. Adanya diksriminasi terhadap peserta yang lain, yaitu PT Jasalindo- PT Warna Triendo (Konsorsium) di tahap Prakualifikasi telah diminta oleh pihak Panitia untuk memenuhi sertifikat IMCA Jenis ROV; dan PT Samudera Biru Nusantara- PT Cahaya Karya Bhakti yang diminta dan tidak lulus karena tidak memenuhi sertifikat IMCA untuk Jenis Diving.
Sehingga seharusnya PT Aquamarine Divindo Inspection (Terlapor III) gugur pada evaluasi administratif dan teknis tetapi Komite tender tetap memenangkan PT Aquamarine Divindo Inspection.
2. Pertimbangan Hukum Majelis Komisi Dalam Putusan KPPU No.
04/KPPU-L/2017
Objek perkara dalam kasus ini adalah Paket Tender Provision of Underwater Services for Kepodang and Ketapang Field (Tender No. 11204) dengan nilai pekerjaan (proyek) sebesar Rp. 47.360.900.000,00 (empat puluh tujuh milyar tiga ratus enam puluh juta sembilan ratus ribu rupiah) yang diduga telah melanggar ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XIV/2016 yang menyatakan:
123
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pelaku usaha lain dan/atau pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”
Sebelum menjatuhkan sanksi, Majelis Komisi telah mempertimbangkan Laporan Dugaan Pelanggaran, Tanggapan para Terlapor terhadap Laporan Dugaan Pelanggaran, keterangan para Saksi, keterangan para Ahli, keterangan para Terlapor, surat-surat dan atau dokumen, Kesimpulan Hasil Persidangan yang disampaikan baik oleh Investigator maupun para Terlapor, yaitu:
1. Dalam dalilnya Terlapor menyatakan Laporan Dugaan Pelanggaran kurang pihak atau tidak lengkap (exceptie plurium litis consortium) karena PT Samudera Biru Nusantara (selanjutnya disebut PT SBN) tidak diikutsertakan sebagai pihak dalam perkara a quo padahal PT SBN merupakan pelaku usaha yang memberikan surat dukungan keanggotaan IMCA kepada Terlapor III, dalam hal ini Majelis Komisi menilai tidak terdapat bukti cukup adanya indikasi dan/atau dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh PT SBN karena tindakan PT SBN hanya sebatas memberikan surat dukungan sebagaimana surat dukungan – surat dukungan pada umumnya dan PT SBN bukanlah peserta tender, melainkan calon peserta tender dikarenakan bidder mengikuti proses tender dan belum lulus penilaian kualifikasi, hal ini sesuai dengan point 5.13 Pedoman Tata Kerja (PTK) 007 Revisi 03 Tahun 2015 tentang Pedoman Pengelolaan Rantai Suplai Kontraktor Kontrak Kerjasama. Atas dasar pertimbangan tersebut maka Majelis Komisi menilai bahwa Laporan
Dugaan Pelanggaran yang disampaikan Tim Investigator telah jelas dan cukup dalam menetapkan pihak – pihak yang diduga melakukan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam kaitannya dengan fakta dan alat bukti pendukungnya.
2. Majelis Komisi menilai berdasarkan alat bukti dokumen, tanggapan dan kesimpulan yang disampaikan seluruh Terlapor telah diakui adanya persyaratan keanggotaan membership IMCA Diving dan IMCA ROV pada tender a quo (vide Bukti B1-B37, TI-TII.5, TIII.6, TI-TII.20, TIII.11).
3. Majelis Komisi menilai surat dukungan (letter of support) IMCA Diving PT SBN kepada Terlapor III tidak serta merta mengakibatkan Terlapor III menjadi anggota IMCA dengan spesialisasi bidang Diving. Hal tersebut diperkuat oleh ketentuan kriteria keanggotaan IMCA (IMCA Membership).
4. Majelis Komisi juga mempertimbangkan dan menilai fakta terkait dengan kronologis Terlapor dalam mempersyaratkan sertifikat IMCA Diving, yaitu:
1) Berdasarkan keterangan Saksi diketahui bahwa pada awalnya Terlapor I dan/atau Terlapor II hanya menetapkan persyaratan IMCA saja dan belum mempersyaratkan sertifikat IMCA ROV dan IMCA Diving.
2) Berdasarkan bukti Dokumen Tender, Majelis Komisi menilai bahwa Terlapor I dan/atau Terlapor II masih menetapkan persyaratan dengan menyebutkan “The Contractor is to be and IMCA member company”.
3) Berdasarkan alat bukti yang diperoleh selama persidangan, Majelis Komisi menilai bahwa Terlapor I dan/atau Terlapor II menyampaikan persyaratan sertifikat IMCA Diving setelah proses tender berjalan atau setidak-tidaknya pada saat Tender Clarification#2 Administrative and
125
Technical Clarification sebagaimana tertuang pada dokumen faksimili Nomor 1193/PCML/TDR/2016 tanggal 7 Oktober 2016.
Bahwa atas dasar fakta tersebut, Majelis Komisi menilai persyaratan IMCA Diving baru mulai ditetapkan oleh Terlapor I dan/atau Terlapor II sejak klarifikasi tersebut dan selanjutnya menjadi satu kesatuan yang mengikat sebagai persyaratan bagi peserta tender. Selanjutnya, berdasarkan keterangan Saksi Sdr.
Nizar Saputra dalam Sidang Majelis Komisi tanggal 24 Juli 2018 diketahui bahwa pemenuhan persyaratan IMCA Diving hanya dengan surat dukungan (letter of support) diputuskan oleh Terlapor I dan/atau Terlapor II pada saat evaluasi teknis dengan menyatakan pada pokoknya, akan tetapi berdasarkan keterangan Ahli Sdri.
Maria Kristanti dari SKK Migas yang menyatakan bahwa “apabila sejak awal letter of support (surat dukungan) sudah disebutkan dalam persyaratan dokumen tender maka tidak ada larangan. Namun bila di dalam dokumen tender tidak ada disebutkan letter of support (surat dukungan) dari awal persyaratan tersebut, maka tidak boleh menggunakan surat dukungan”.
Selanjutnya, Majelis Komisi menilai tindakan para Terlapor terkait dengan pemenuhan persyaratan IMCA Diving melalui surat dukungan (letter of support) yaitu sebagai berikut:
a) Majelis Komisi berpendapat bahwa persyaratan terkait dengan kriteria keanggotaan IMCA yang ditetapkan oleh Terlapor I dan/atau Terlapor II tidak tegas sejak awal proses tender.
b) Majelis Komisi berpendapat bahwa redaksional dokumen tender yang menyatakan: “The Contractor is to be and IMCA member company”
dimaknai bahwa peserta tender harus merupakan anggota IMCA.
c) Majelis Komisi berpendapat bahwa terdapat beberapa jenis keanggotaan IMCA dengan spesialisasi bidang tertentu antara lain IMCA ROV dan IMCA Diving.
d) Majelis Komisi berpendapat bahwa persyaratan peserta dalam tender ini adalah perusahaan yang merupakan anggota IMCA dengan spesialisasi ROV dan Diving.
e) Majelis Komisi berpendapat bahwa PT SBN bukan merupakan perusahaan peserta tender dan terbukti telah ditetapkan oleh Terlapor I dan/atau Terlapor II sebagai perusahaan yang tidak memenuhi syarat kualifikasi.
f) Majelis Komisi berpendapat bahwa menilai PT SBN merupakan entitas yang berbeda dengan Terlapor III.
Atas dasar hal tersebut maka Majelis Komisi menilai surat dukungan (letter of support) IMCA Diving PT SBN kepada Terlapor III tidak serta merta mengakibatkan Terlapor III menjadi anggota IMCA dengan spesialisasi bidang Diving. Hal tersebut diperkuat oleh ketentuan kriteria keanggotaan IMCA (IMCA Membership) sebagai berikut:
a) Membership is non-transferrable, dimana keanggotaan IMCA hanya melekat di perusahaan yang telah memiliki spesialisasi yang ditetapkan IMCA sehingga dalam perkara a quo, sertifikat IMCA Diving yang diterbitkan untuk PT SBN hanya melekat pada PT SBN. Oleh karena itu, Majelis Komisi berpendapat bahwa sertifikat IMCA Diving tersebut hanya dapat dipergunakan untuk pekerjaan yang dilakukan untuk dan atas nama PT SBN sendiri.
127
b) Members shall be active in the offshore, marine or underwater engineering industries, either as contractors… dimana berdasarkan keterangan PT SBN, Majelis Komisi menilai bahwa PT SBN tidak aktif lagi saat ini.
5. Majelis Komisi juga mempertimbangkan pemenuhan unsur-unsur Pasal 22 yang dilanggar, yaitu:
a) Unsur pelaku usaha:
Bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam perkara a quo adalah Terlapor I dan Terlapor II selaku panitia tender.
b) Unsur bersekongkol:
Tindakan bersekongkol dilakukan oleh para Terlapor dalam Tender Provision of Underwater Services for Kepodang and Ketapang Field
Tindakan bersekongkol dilakukan oleh para Terlapor dalam Tender Provision of Underwater Services for Kepodang and Ketapang Field