BAB III PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DI INDONESIA
E. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XIV/2016 terhadap
Kasus posisi bermula ketika PT Bandung Raya Indah Lestari (Pemohon) kehilangan kesempatan untuk mengerjakan proyek pengolahan sampah yang bekerja sama dengan pemerintah kota Bandung, Pemohon telah mempersiapkan fasilitas pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sehubungan dengan ditetapkannya Pemohon sebagai pemenang lelang. Namun berdasarkan Putusan KPPU Nomor 12/KPPU-L/2015 PT Bandung Raya Indah Lestari (Pemohon) dinyatakan melanggar Pasal 22 UU 5/1999 dan membatalkan proses pelelangan Badan Usaha yang telah dimenangkan oleh PT Bandung Raya Indah Lestari secara jujur, fair dan terbuka.
PT Bandung Raya Indah Lestari yang diwakili oleh Yoseph Soenaryo selaku Direktur Utama yang merasa dirugikan oleh Putusan KPPU Nomor 12/KPPU-L/2015 tersebut kemudian mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) UU 5/1999 terhadap pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Dalam Pasal 22, 23, 24 UU 5/1999 mengenai persekongkolan, terdapat frasa
“pihak lain”, yaitu:
Pasal 22:
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
Pasal 23:
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”
Pasal 24:
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.”
Pemohon menilai frasa “pihak lain” dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU 5/1999 tidak memberikan kepastian hukum karena frasa “pihak lain” bersifat multi tafsir, karena tidak hanya mencakup pelaku usaha lain sebagaimana definisi persekongkolan yang diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU 5/1999, tetapi juga mencakup pihak-pihak lain selain pelaku usaha, sehingga membuka ruang bagi lembaga tertentu untuk bertindak sewenang-wenang. Menurut Pemohon frasa
99
“pihak lain” seharusnya dimaknai sebagai frasa “pelaku usaha lain”, sehingga menurut Pemohon ketentuan Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU 5/1999 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Kemudian, ketidakjelasan pada frasa “penyelidikan” dalam Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i dan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/1999 memberikan ruang kepada KPPU untuk memberikan makna secara luas untuk menjalankan fungsi penyelidikan, fungsi penuntutan dan fungsi ajudikasi (kehakiman) secara sekaligus, meskipun KPPU tidak mempunyai wewenang berdasarkan undang-undang untuk menjalankan ketiga fungsi tersebut, kecuali melakukan pemeriksaan administratif terhadap pelaku usaha sehingga ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, tidak mengabulkan tuntutan provisi pemohon karena pemohon tidak menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan kerugian konstitusional pemohon yang lebih besar tersebut dan tidak menjelaskan hak-hak konstitusional apa yang dirugikan yang tidak dapat dipulihkan dalam putusan akhir apabila suatu norma hukum telah diterapkan.
Selanjutnya mengenai masalah konstitusionalitas atas frasa “pihak lain” yang ditafsirkan selain “Pelaku usaha lain” dalam Pasal 22, 23, 24 UU 5/1999 tentang persekongkolan, Mahkamah berpendapat agar makna persekongkolan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 8 UU 5/1999 dapat menjawab dan mengimbangi kompleksitas modus persekongkolan yang ada, maka harus diperluas tidak hanya pelaku usaha dalam pengertian konvensional tetapi juga
pihak yang terkait dengan pelaku usaha. Oleh karena itu KPPU harus mempunyai bukti yang cukup untuk membuktikan adanya keterlibatan pihak ketiga dalam menentukan keterkaitannya degan pelaku usaha, jika KPPU tidak memiliki bukti yang cukup maka tidak dapat dikatakan sebagai bentuk persekongkolan.
Sehingga dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut, dalam amar putusannya Majelis menolak permohonan provisi pemohon dalam pokok perkara:
1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.
1.1 Menyatakan frasa “pihak lain” dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembar Negara republik Indonesia Tahun 1999 nomor 33, tambahan lembar negara republik Indonesia nomor 2817) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain “dan/atau pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain”.
Sehingga:
a. Pasal 22 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pelaku usaha lain dan/atau pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat."
b. Pasal 23 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pelaku usaha lain dan/atau pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang
101
diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
c. Pasal 24 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pelaku usaha lain dan/atau pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang di kegitan tawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan”
1.2 Menyatakan frasa “penyelidikan” dalam Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h dan huruf i, serta pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembar Negara republik Indonesia Tahun 1999 nomor 33, tambahan lembar negara republik Indonesia nomor 2817) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengumpulan alat bukti sebagai bahan pemeriksaan”
2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XIV/2016 maka makna pihak lain dalam persekongkolan seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 8 UU 5/1999 tidak dibatasi hanya antar pelaku usaha tetapi juga pihak yang terkait dengan pelaku usaha. Sehingga putusan ini diharapkan dapat melindungi hak konstitusional warga negara serta memberikan kepastian hukum
dan keadilan bagi pelaku usaha, masyarakat, pemerintah dan KPPU dalam menjalankan tugas dan wewenangnya untuk menegakkan hukum persaingan usaha.
F. Pengaturan Organisation for Economic Co-Operation and Development