IMPLEMENTASI UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA MEDAN
B. Peranan Polda Sumatera Utara Dalam Melakukan Perlindungan Hukum Terhadap Korban KDRT
Kewajiban kepolisian untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak korban KDRT merupakan pelaksanaan dari kewajiban negara melalui pemerintah dengan dukungan seluruh masyarakat yang perlu dilakukan sepenuhnya. Korban KDRT sangat dirugikan baik secara moril maupun materil, sehingga kepolisian perlu memberikan perhatian dan menindaklanjuti semua laporan yang diberikan baik oleh korban maupun oleh pihak lain untuk diproses secara hukum.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Dalam hal ini anak bisa menjadi korban, suami bisa menjadi korban, istri bisa menjadi korban, dan orang-orang yang tinggal dalam rumah tangga yang bersangkutan, baik itu pembantu, anak asuh, maupun orangtua juga bisa menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Kepolisian dalam melaksanakan perannya haruslah memberikan perlindungan sementara terhadap korban 1 x 24 jam terhitung sejak menerima laporan dari korban tentang kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan yang tertera dalam Pasal 16 UU No. 23 Tahun 2004 tentang P-KDRT, dimana angka 1 menyebutkan:
66 Hasil Wawancara dengan Wattini Sari Dewi, SH., MH, Kepala Seksi Perlindungan Hak Perempuan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Medan di Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Medan pada hari Senin, 27 Januari 2020.
“Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara terhadap korban”.
Perlindungan sementara yang dilakukan pihak kepolisian ini paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban ditangani. Pihak kepolisian juga wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Hal ini tertera dalam angka 2 dan 3 Pasal 16 UU P-KDRT.
Setelah menerima laporan, pihak kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan sesuai dengan Pasal 19 UU P-KDRT. Dalam melakukan penyelidikan diperlukan beberapa alat bukti, dimana dalam kasus KDRT sendiri salah satunya adalah Visum et Repertum (VeR). VeR sangat dibutuhkan untuk dapat menjerat pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
Biasaya korban KDRT akan terlihat lebam ataupun luka di bagian-bagian anggota tubuhnya. Luka tersebut kemudian akan diperiksa oleh rumah sakit yang akan mengeluarkan visum nantinya.67
Setiap luka yang terdapat pada korban kekerasan fisik dalam kasus KDRT akan diperiksa oleh dokter yang kemudian akan menentukan jenis luka tersebut. Setelah jenis luka diketahui, dokter akan dapat dengan mudah mengetahui jenis kekerasan yang menyebabkan luka pada korban dan mengetahui jenis kekerasan apa yang dilakukan oleh pelaku KDRT.
Selain kekerasan fisik, korban KDRT juga bisa mengalami kekerasan psikis, misalnya dihina, tidak diperbolehkan untuk bekerja, ditekan, ataupun
67 Hasil Wawancara dengan AKP Artha Sebayang, SH., Panit 1 Unit 4 Subdit IV Reskrim Um Poldasu, di Kepolisian Sumatera Utara pada hari Senin, 06 Januari 2020.
hal-hal lain yang dapat membuat si korban terganggu psikisnya. Tentunya hal ini lebih susah disembuhkan daripada hanya sekedar kekerasan fisik karena biasanya menimbulkan dampak trauma bagi korban KDRT. Untuk itu, kepolisian mendatangkan psikiatri untuk mengobati dampak dari kekerasan psikis yang dilakukan oleh pelaku. Selain daripada itu, dengan mendatangkan psikiatri, pihak kepolisian juga dapat mengetahui, apakah korban benar-benar mengalami depresi akibat kekerasan psikis yang diterimanya.68
Pihak kepolisian dalam menjalankan perannya juga seringkali mengalami hambatan. Hambatan dalam penanganan KDRT dimulai pada saat penyidikan. Penyidik menghadapi kendala karena masih kuatnya anggapan masyarakat bahwa KDRT adalah persoalan pribadi atau persoalan rumah tangga, sehingga tidak layak dicampuri oleh orang lain atau polisi.
Perempuan (istri) karena memiliki perasaan yang lembut menjadi tidak tega memberi balasan kepada suami atau mantan suami dengan melaporkan perbuatannya kepada polisi, meskipun telah menyakiti dan menyiksanya baik secara fisik maupun psikis.
Pasal 17 UU P-KDRT menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya, pihak kepolisian bekerja sama dengan pihak-pihak lainnya, seperti tenaga kesehatan, pekerja sosial, ataupun pembimbing rohani dalam mendampingi korban. Hal ini tentu sangat jelas terlihat dengan di datangkannya psikiatri ataupun dibutuhkannya seorang tenaga medis baik
68 Hasil Wawancara dengan AKP Artha Sebayang, SH., Panit 1 Unit 4 Subdit IV Reskrim Um Poldasu, di Kepolisian Sumatera Utara pada hari Senin, 06 Januari 2020.
untuk mengetahui kebenaran tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga maupun untuk proses pemulihan korban KDRT.
Penyelenggaraan kerjasama pemulihan korban KDRT diarahkan pada pulihnya kondisi korban seperti semula baik fisik maupun psikis dalam waktu yang tidak terlalu lama, sehingga korban dapat menjalankan aktivitasnya sehari-hari dan dapat hidup di tegah masyarakat seperti semula.69
Pelayanan harus dilaksanakan semaksimal mungkin segera setalh adanya pengaduan dan pelaporan dari korban untuk memperoleh pelayanan bagi pemulihan kondisi korban KDRT. Dengan demikian, upaya penyeleggaraan pemulihan KDRT pada dasarnya bertujuan menjamin terlaksananya kemudahan pelayanan KDRT, menjamin efektivitas dan efisiensi bagi proses pemulihan korban KDRT dan terciptanya kerjasama dan koordinasi yang baik dalam pemulihan korban KDRT antar instansi, antar petugas pelaksana, dan antar lembaga terkait lainnya.
Laporan akan segera diproses jika sudah berbentuk kasus sesuai UU yang berlaku semasa terpenuhi unsur-unsurnya, dalam hal ini UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU P-KDRT) dikaitkan dengan pasal yang ada di dalamnya, sesuai dengan apa yang dilaporkan, baik itu kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis, ataupun penelantaran. Jika kasus KDRT yang dilaporkan tidak terpenuhi unsur-unsurnya, maka pihak kepolisian tidak dapat memproses kasus
69 Hasil Wawancara dengan AKP Artha Sebayang, SH., Panit 1 Unit 4 Subdit IV Reskrim Um Poldasu, di Kepolisian Sumatera Utara pada hari Senin, 06 Januari 2020.
tersebut. Sebagai contoh, apabila korban melapor bahwa dirinya mengalami kekerasan fisik di dalam rumah tangganya tetapi fisiknya dalam keadaan baik-baik saja dan tidak terdapat luka-luka yang ditemukan pada bagian tubuhya, maka kepolisian tidak dapat memproses kasus tersebut.70
Pasal 35, 36, dan 37 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (P-KDRT) menegaskan kewajiban pihak kepolisian selain yang diuraikan diatas, pasal ini menegaskan tentang pemberian perlindungan yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap korban KDRT apabila terjadinya pelanggara perintah perlindungan.
Pasal 35 dan pasal 36 ditegaskan bahwa pihak kepolisian dapat melakukan penangkapan terhadap pelaku KDRT yang melanggar perintah perlindungan. Hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 35 menjelaskan bahwa apabila pelaku diyakini telah melanggar perintah perlindunga, maka pihak kepolisian dapat melakukan penangkapan yang dilanjutkan dengan penahanan tanpa surat perintah. Dalam ayat 2 dijelaskan bahwa surat perintah wajib diberikan 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah dilakukannya penangkapan dan penahanan. Pasal 36 ditegaskan bahwa pihak kepolisian dapat melakukan penangkapan terhadap pelaku yang melanggar perintah perlindungan dengan bukti permulaan, penahanan akan dilanjutkan dengan disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 jam (satu kali dua puluh empat) jam.
70 Hasil Wawancara dengan AKP Artha Sebayang, SH., Panit 1 Unit 4 Subdit IV Reskrim Um Poldasu, di Kepolisian Sumatera Utara pada hari Senin, 06 Januari 2020.
KDRT tidak hanya dapat dilakukan oleh laki-laki. Tidak tertutup kemungkinan jika kaum hawa menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Jika hal itu terjadi, maka dari pihak kepolisian akan tetap memproses dan menyelidiki kasus tersebut. Tidak ada perlindungan yang diistimewakan bagi kaum perempuan. Setiap perbuatan harus ada konsekuensinya karena perlindungan hukum KDRT tidak memandang gender. Pada hakikatnya pelaku yang dalam hal ini perempuan akan tetap mendapat hak-haknya.
Permasalahan KDRT ini seumpama fenomena gunung es, dimana lebih banyak kasus yang terpendam dibandingkan dengan yang terlihat.
Angka KDRT yang dilaporkan tidak mengalamai kenaikan tetapi tidak juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh keengganan korban untuk melapor karena merasa itu akan menjadi malu dan aib di keluarganya.71
Pola pikir korban yang seperti ini telah melekat lama pada masyarakat Indonesia. Korban berpikir bahwa jika ia melaporkan peristiwa kekerasan yang dialaminya sama dengan ia mencemari nama keluarganya. Untuk itu, korban memilih untuk diam dan menerima apa yang dilakukan suaminya terhadap dirinya.
Selama proses peyelidikan, pihak kepolisian wajib mengajukan mediasi. Mediasi tidak serta merta diberikan kepada kedua belah pihak, melainkan kepada pihak korban apakah ingin menempuh jalan damai semasa perbuatan pelaku tidak fatal. Jika fatal, maka akan diproses menurut hukum yang berlaku.
71 Hasil Wawancara dengan AKP Artha Sebayang, SH., Panit 1 Unit 4 Subdit IV Reskrim Um Poldasu, di Kepolisian Sumatera Utara pada hari Senin, 06 Januari 2020.
Apabila kasus KDRT tidak terlalu fatal maka pihak kepolisian akan menyerahkan kepada pemerintah yang dalam hal ini adalah Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Medan untuk diproses dan dimediasi. Jika tidak berujung pada perdamaian, akan diserahkan kembali kepada pihak kepolisian.
KDRT tidak selamanya berujung pada perceraian, bahkan tidak selamanya KDRT berujung di pengadilan. Baik dari pihak pemeritah, kepolisian, dan pengadilan akan terus menawarkan untuk mediasi, dimana pihak korban ditanyakan apakah ingin menempuh jalan untuk berdamai.
Ditingkat polsek sendiri, kasus-kasus KDRT biasanya diselesaikan melalui forum komunikasi antara lurah atau kepala desa, KUA berkumpul bersama KAMTIBMAS sehingga tidak harus melapor ke kepolisian melainkan diserahkan kepada pemerintahan daerah untuk diperdamaikan sebelum pihak korban membuat laporan.72
Keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) adalah suatu kondisi dimana masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang membangun kemampuan membina serta mengembangkan potensi dari kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan betuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.73
72 Hasil Wawancara dengan AKP Artha Sebayang, SH., Panit 1 Unit 4 Subdit IV Reskrim Um Poldasu, di Kepolisian Sumatera Utara pada hari Senin, 06 Januari 2020.
73 https://hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/fl19858/parent/17437. diakses tanggal 08 Januari 2020 pukul 18.03 WIB.
UU P-KDRT tidak hanya dimaksudkan untuk menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Fungsi utama UU ini adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kekerasan rumah tangga. Untuk itu, pihak kepolisian tidak hanya sekedar sebagai tempat perlindungan sementara bagi korban, pihak kepolisian juga mempunyai tanggung jawab untuk meminimalisir terjadinya KDRT agar tercipta negara yang adil dan makmur serta warga negara merasa aman dan sejahtera tanpa memandang gender sesuai dengan cita-cita negara.
Dalam perannya untuk mencegah KDRT di Kota Medan, kepolisian bekerja sama dengan pemeritah kota dengan mengadakan rapat rutin membahas tentang kekerasan rumah tangga yang terjadi di Kota Medan.
Kepolisian juga melakukan upaya pencegahan KDRT, biasanya dari tingkat polsek hingga ke polda, melalui penyuluhan-penyuluhan yang bekerjasama dengan pemeritahan Kota Medan, kepolisian akan ikut turut andil di dalamnya.74
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak hanya dapat dilakukan oleh laki-laki. Tidak tertutup kemungkinan jika kaum hawa menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Jika hal itu terjadi, maka dari pihak kepolisian akan tetap memproses dan menyelidiki kasus tersebut. Tidak ada perlindungan yang diistimewakan bagi kaum perempuan. Setiap perbuatan harus ada konsekuensinya karena perlindungan hukum KDRT tidak memandang gender. Pada hakikatnya pelaku yang dalam hal ini perempuan akan tetap mendapat hak-haknya.
74 Hasil Wawancara dengan AKP Artha Sebayang, SH., Panit 1 Unit 4 Subdit IV Reskrim Um Poldasu, di Kepolisian Sumatera Utara pada hari Senin, 06 Januari 2020.
Terobosan hukum yang pertama diakomodir dalam UU P-KDRT adalah bentuk-bentuk KDRT yang mencakup kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi atau penelantaran keluarga.
Seperti sudah diketahui bahwa sebelum ada UU PKDRT, kekerasan yang dikenal dalam hukum Indonesia hanya kekerasan fisik dengan istilah penganiayaan. Dengan adanya terobosan hukum ini, maka korban KDRT yang selama ini terdiskriminasi secara hukum dapat mencari keadilan seperti yang diharapkan untuk berbagai bentuk kekerasan yang memang terjadi dan menimpa mereka.
Lahirnya UU P-KDRT menjadi terobosan baru bagi hukum Indonesia.
Dalam UU ini tidak hanya membahas tentang penganiayaan yang dialami korban, tetapi lebih terfokus pada pencegahan dan perlindungan terhadap korban KDRT. Hal ini tentu berbeda dengan sebelum adanya UU P-KDRT, dimana kekerasan dalam rumah tangga masuk ke dalam KUHP pidana umum tentang penganiayaan. Sebelum adanya UU ini, pihak kepolisian hanya terfokus pada tindak penganiayaannya saja dan mengesampingkan perlindungan hukum bagi korban.
C. Peranan Pengadilan Negeri Medan Dalam Melakukan Perlindungan