(IMPLEMENTASI UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat –Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara OLEH :
TITAH CHRISTASYA FA DACHI NIM: 160200331
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM
MEDAN 2020
i
Segala pujian, hormat, dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus Sang Juruselamat dan Allah pemilik kehidupan, untuk setiap kasih dan kebaikan-Nya yang telah memampukan penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu. Skripsi ini menjadi tugas akhir penulis dalam upaya untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan orang-orang di sekeliling penulis. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat banyak bimbingan, dukungan, dan juga doa dari banyak pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. OK Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan arahan terus menerus kepada penulis serta selalu ramah sewaktu penulis memerlukan bimbingan. Penulis juga mengucapkan terimakasih dari hati yang paling dalam karena ibu selalu membantu jikalau penulis mendapat kesusahan selama masa perkuliahan. Semoga ibu selalu dalam keadaan sehat dan dilindungi oleh Tuhan.
ii
5. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Syamsul Rizal, SH., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
7. Ibu Zulfi Chairi, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II penulis yang selalu sabar dan meluangkan waktu untuk membimbing dan membantu penulis dalam mengerjakan skipsi serta selalu sabar dalam memberi arahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.
8. Bapak Drs. Nazaruddin, SH., M.A, Ibu Faradila Yulistari Sitepu, SH., MH, Dra. Zakiah, M.Pd, Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya, SH., M.LI, selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis selama perkuliahan.
9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak sekali memberikan ilmu serta pengetahuan kepada penulis yang sangat berguna bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Seluruh Staf Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan.
11. Orangtua Penulis yang penulis kasihi, Ayahanda (alm) Suasana Girang Dachi, SE dan Ibunda (alm) Asnita Tresti Silitoga, SE yang telah menjadi motivator sehingga penulis tetap bersemangat dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terimakasih penulis sampaikan dari hati yang paling dalam kepada papa dan mama untuk semua kasih sayang, waktu, dan kerja keras yang diberikan
iii
cipo, papa selalu bilang kalau anak-anak papa harus diatas papa dan itu yang selalu memotivasi cipo untuk menyelesaikan skripsi ini. Teruntuk mama yang caca sayang, walaupun mama tidak sempat melihat caca sarjana tapi caca percaya mama dan papa bahagia bersama Bapa di Surga melihat caca dapat menyelesaikan skripsi caca dan akan mendapatkan gelar baru dibelakang nama caca kelak.
12. Kedua Saudari Penulis, Sonia Margareth OB Dachi, SE dan Beatrice Ingrid FB Dachi, SP yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih penulis sampaikan untuk kak Nia yang tak henti-hentinya menjaga dan memberi arahan kepada Pipo dan juga untuk kak Ebon yang walaupun jauh tetapi selalu memberi semangat dan arahan untuk Pipo. Terimakasih juga untuk semua dukungan finansial yang kakak-kakak berikan kepada Pipo.
13. Diri penulis sendiri, yang telah menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik dan berusaha untuk tidak mengeluh.
14. Sahabat penulis, (alm) Taruna Madya Richard Ibrahim Situmeang yang semasa hidupnya selalu memberi dukungan dan semangat yang memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
15. T. Randy Ardhansyah Kesuma, SH., Mutia Sari Siregar, Rissha Laurens, Tamara Devani Hutagulung, Bella Namira, Sekar Utami Meilinda selaku sahabat penulis dalam masa perkuliahan yang selalu menemani penulis dan yang selalu dengan senang hati membantu penulis selama masa perkuliahan
iv
semasa perkuliahan hingga satu persatu dari kita mendapatkan gelar sarjana hukum nantinya seperti yang kita impikan.
16. Fadzira Tasya, Harry Wibisono Wibowo, Phalty Wijaya H. Sitorus, dan Muhammad Syafril Murad Prasetiadil selaku sahabat penulis yang selalu membantu dalam masa perkuliahan penulis dan yang dengan senang hati mendengarkan setiap keluh kesah penulis dari masa perkuliahan hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
17. Eugenia Agustine Panjaitan, Safira Esmeralda Zeglisova Tambunan, dan Tosina Sagala selaku sahabat penulis sedari masa SMA. Untuk semua dukungan, semangat, dan untuk semua impian bersama yang memotivasi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
18. Simon Pohan, James A. Ginting, Enrico Pasaribu, Agung Sinuhaji, Herbang Sitorus, Andreas Feryan selaku sahabat penulis sedari masa SMA yang selalu menghibur penulis dan memberi semangat kepada penulis.
19. Ronald Maduwu dan Cindy Natalia selaku sahabat SMP penulis yang selalu sabar menghadapi penulis dan juga selalu memotivasi penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
20. Kartika Eka Paksi Laoli selaku sahabat yang sudah dianggap penulis sebagai kakak kandung penulis sendiri. Untuk semua semangat dan nasehat yang cece berikan untuk pipo hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
21. Teman-teman seper-GC-an yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang menemani penulis selama semester atas.
v
dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik.
23. Teman-teman seperjuangan stambuk 2016 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Untuk semua drama dari awal perkuliahan hingga satu persatu anak stambuk 2016 lulus dan mendapatkan gelar sarjana hukum seperti yang kita impikan dari awal menginjakkan kaki di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
24. Dan untuk teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih telah berbagi banyak waktu, canda, dan tawa serta telah berbagi kesedihan kepada penulis, sekali lagi penulis mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan dan menerima kritik dan saran yang membangun demi skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Medan, Januari 2020
TITAH CHRISTASYA FA DACHI NIM 160200331
vi
KATA PENGANTAR ………. i
DAFTAR ISI ………. .vi
ABSTRAK ………. viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8
D. Keaslian Penulisan ... 9
E. Tinjauan Kepustakaan... 9
F. Metode Penelitian ... 15
G. Sistematika Penulisan ... 20
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN DI INDONESIA .. 22
A. Pengertian Perlindungan Hukum... 22
B.Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban KDRT ... 28
C.Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan ... 36
BAB III IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO.23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA ... 44
A. Peranan Pemerintah Kota Medan Dalam Rangka Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga .... 44
B. Peranan Polda Sumatera Utara Dalam Rangka Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 51
vii
BAB IV FAKTOR PENGHAMBAT IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA ... 64
A. Kendala Filosofis Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 64
B. Kendala Filosofis Penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 67
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62
A. Kesimpulan ... 62
B. Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA
viii
Titah Christasya FA Dachi*
Puspa Melati Hasibuan**
Zulfi Chairi***
Perlindungan hukum adalah suatu upaya melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undang-undang yang merupakan hak seluruh warga negara tanpa terkecuali.
Sistem patriarki yang sudah tertanam dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di Kota Medan membuat seolah-olah perempuan dianggap lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan laki-laki, perempuan selalu dinomor duakan dan tidak jarang mendapatkan tindak kekerasan. Tindak kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dianggap sebagai perbuatan yang sah oleh pelaku. Perempuan seringkali hanya diam dan menerima dengan pasrah seakan-akan mereka telah layak untuk mendapat perlakuan yang tidak adil di dalam keluarga mereka. Lahirnya UU P-KDRT menjadi terobosan baru bagi hukum Indonesia dan menjadi harapan bagi kaum perempuan, khususnya dalam rumah tangga untuk mendapatkan perlindungan hukum yang seolah-olah terlupakan. Hal tersebut yang menjadi alasan penulis untuk mengetahui sudah sejauh mana implementasi UU No. 23 Tahun 2004 tentang P-KDRT terhadap perlindungan hukum bagi perempuan, khususnya di Kota Medan dan menuangkannya dalam judul “Tinjauan Yuridis Sosiologis Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Dalam Perkawinan di Kota Medan (Implementasi UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT)”
Metode penelitian yang digunakan adalah normatif empiris dengan menggunakan data primer dan data sekunder serta teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan, observasi, dan wawancara secara langsung dengan sumber yang dapat dipercaya lalu dianalisis secara kualitatif.
UU P-KDRT lahir karena desakan kaum perempuan yang selama ini terlupakan hak akan perlindungan hukumnya. UU ini sangat jelas menegaskan tentang peranan baik pemerintah, kepolisian, hingga pengadilan negeri dalam melakukan perlindungan bagi korban KDRT yang dimana perempuan seringkali menjadi korbannya. Lahirnya UU ini memberikan kejelasan hukum terhadap perlindungan hukum KDRT yang sebelumnya hanya diatur dalam KUHP penganiayaan dimana hanya terfokus pada pelaku tindak KDRT dan seakan-akan melupakan perlindungan hukum bagi korban KDRT yang acapkali dialami oleh perempuan sebagai kaum minoritas.
Kata Kunci : Hukum, Kekerasan, Perempuan, Perlindungan, Rumah Tangga
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**Dosen Pembimbing I
***Dosen Pembimbing II
ix
Puspa Melati Hasibuan **
Zulfi Chairi ***
Legal protection is an effort to protect the right of every person to get the same treatment and protection by law and law which is the right of all citizens without exception. The patriarchal system that has been embedded in the lives of Indonesian people, especially in the city of Medan, makes it seem as if women are considered inferior to men, women are always numbered twice and are not infrequently subject to violence. Acts of violence, especially domestic violence (domestic violence) are considered legal actions by the perpetrators. Women are often just silent and accept with resignation as if they were deserved to get unfair treatment in their families. The birth of the Domestic Violence Act became a new breakthrough for Indonesian law and became a hope for women, especially in households to get legal protection that seemed forgotten. This is the reason for the author to know the extent of the implementation of Law no. 23 of 2004 concerning P-Domestic Violence against legal protection for women, especially in Medan City and put it in the title "Juridical Review of Sociological Legal Protection for Women in Marriage in Medan City (Implementation of Law No. 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence)"
The research method used is empirical normative using primary and secondary data as well as data collection techniques through library research, observation, and direct interviews with reliable sources and then analyzed qualitatively.
UU P-KDRT was born because of the insistence of women who had been forgotten the right to legal protection. This law clearly emphasizes the role of both the government, the police, and the district court in providing protection for victims of domestic violence where women are often victims. The birth of this law provides legal clarity on the protection of domestic violence law which was previously only regulated in the Criminal Code of persecution which only focused on the perpetrators of domestic violence and seemed to forget the legal protection for victims of domestic violence that are often experienced by women as minorities.
Keywords: Law, Violence, Women, Protection, Household
* University of North Sumatra University Faculty of Law students
** Supervisor I
*** Supervisor II -
1 A. Latar Belakang
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing- masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan dan materiil.1 Untuk mencapai tujuan perkawinan yang demikian maka Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjamin persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Pasal 31 ayat (1) menentukan hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.2 Prinsip yang demikian harusnya dianut oleh tiap perkawinan (rumah tangga) untuk mendatangkan kebahagiaan bagi para pihak yang terkait di dalamnya.
Setiap orang dalam lingkup rumah tangga harus melaksanakan hak dan kewajibannya didasari oleh agama dan teologi kemanusiaan. Hal ini perlu
1 Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, cet. ke-I, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 163.
2 Ibid., hlm. 164.
2
rumah tangga, terutama dalam sikap perilaku, dan pengendalian diri setiap orang di lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika sikap, perilaku, dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol. Pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Keutuhan dan kerukunan dalam rumah tangga pada kenyataannya tidak akan terwujud jika dalam mejalankan kehidupan berumah tangga diwarnai dengan kekerasan. Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga tentunya dapat menimbulkan masalah, baik dalam kehidupan berumah tangga, bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga, negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan harus diberi perhatian khusus guna mencapai persamaan dan keadilan.
Menurut Pasal 1 butir 1 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan selanjutnya disingkat UU P-KDRT :
“KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”3
Penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi 2 (dua) faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
3 Nanda Yunisa, Undang-Undang RI No.23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Permata Press, Surabaya, 2019, hlm. 2.
Faktor internal menyangkut kepribadian dari pelaku kekerasan yang menyebabkan pelaku mudah sekali melakukan tindak kekerasan bila menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan atau frustasi. Kepribadian yang agresif biasanya dibentuk melalui interaksi dalam keluarga atau dengan lingkungan sosial di masa kanak-kanak. Apabila tindak kekerasan mewarnai kehidupan sebuah keluarga, kemungkinan besar anak-anak mereka akan mengalami hal yang sama setelah mereka menikah nanti. Hal ini disebabkan mereka menganggap bahwa kekerasan merupakan hal yang wajar atau mereka dianggap gagal jika tidak mengulang pola kekerasan tersebut.
Perasaan kesal dan marah terhadap orangtua yang selama ini berusaha ditahan, akhirnya akan muncul menjadi tindak kekerasan kepada istri, suami, atau anak-anak.
Faktor eksternal adalah faktor-faktor diluar diri si pelaku kekerasan.
Mereka yang tidak tergolong memiliki tingkah laku agresif dapat melakukan tindak kekerasan bila berhadapan dengan situasi yang menimbulkan frustasi, misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, penyelewengan suami atau istri, keterlibatan anak dalam kenakalan remaja atau penyalahgunaan obat terlarang dan sebagainya.4
Pada intinya, perbuatan KDRT itu adalah sebuah usaha yang dilakukan pasangan, baik laki-laki maupun perempuan, untuk mengambil alih posisi dominan dalam sebuah keluarga. Pelaku berupaya untuk mengambil kontrol dalam rumah tangga baik itu berbentuk hak, kebebasan, atau lain-
4 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis- Viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 76.
lainnya. Ini tentunya tidak hanya dalam bentuk fisik saja melainkan bisa juga dengan cara yang lain.5
Kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan ketimpangan historis hubungan-hubungan kekuasaan diantara kaum laki-laki dan perempuan, yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki dan hambatan bagi kemajuan perempuan, dan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu mekanisme sosial yang krusial yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi dibandingkan dengan laki-laki.
Kekerasan terhadap perempuan seringkali terjadi karena adanya ketimpangan dan ketidakadilan gender. Ketimpangan gender adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan sudah lama ditentang oleh masyarakat internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan Deklarasi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan yang memuat hak dan kewajiban berdasarkan persamaan hak dengan laki-laki. Berdasaarkan deklarasi ini, komisi PBB tentang kedudukan perempuan menyusun rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau lebih dikenal dengan Convention on the Elimination of Discrimination of All Forms againts Women tahun 1978 (CEDAW). Karena konvensi tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila maupun Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), maka Pemerintah Republik Indonesia ikut menandatangani konvensi
5 Badriyah Khaleed, Penyelesaian Hukum KDRT, cet. ke-I, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, hlm. 2
tersebut dan diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Salah satu perwujudan aturan dalam konvensi CEDAW ke dalam sistem hukum nasional adalah diberlakukannya UU P-KDRT.
Disini jelas terlihat bahwa negara mempunyai komitmen terhadap perlindungan hak-hak perempuan, perempuan berhak memperoleh perlindungan hak-hak asasi manusia. Ketentuan dalam konvensi ini tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan nasional yang mengandung asas persamaan hak antara pria dan wanita sebagai perwujudan tata hukum Indonesia yang sudah kita anggap baik atau lebih baik bagi dan sesuai, serasi serta selaras dengan aspirasi bangsa Indonesia.6
Tindak kekerasan terhadap perempuan secara umum merupakan masalah yag banyak dialami oleh banyak perempuan di Indonesia, karena masalah ibarat sebuah piramid yang kecil pada puncaknya tetapi besar pada bagian dasarnya, sebab untuk mendapatkan angka yang pasti sangatlah sulit.
Terlebih jika tindak kekerasan tersebut terjadi dalam rumah tangga karena masalah tersebut masih dianggap tabu dan masih dianggap sebagai masalah keluarga yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Hal ini menunjukkan masih banyak korban perempuan kekerasan dalam rumah tangga menutup mulut dan menyimpan persoalan tersebut rapat-rapat.7
Upaya untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan
6 Nanda Yunisa, op.cit., hlm.35.
7 Aroma Elmina Martha, Perempuan, Kekerasan, dan Hukum, Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 25.
pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.8
Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945, beserta perubahannya. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa
“Setiap orang berhak atas perlidungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa “Setiap Orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.9
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bawa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutukan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.10
Lahirnya UU P-KDRT, diharapkan dapat dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai, yang didalamnya antara lain mengatur mengenai pencegahan, perlindungan terhadap korban, dan penindakan terhadap pelaku KDRT, dengan tetap menjaga keutuhan demi keharmonisan terhadap keluarga.
8 Nanda Yunisa, op.cit., hlm. 21.
9 Nanda Yunisa, op.cit., hlm. 21.
10 Nanda Yunisa, op.cit., hlm. 21.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penulisan ini adalah:
1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi perempuan?
2. Bagaimanakah implementasi UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga di Kota Medan?
3. Apakah faktor penghambat implementasi UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga di Kota Medan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Sehubungan dengan permasalahan yang akan dikaji, maka tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi perempuan
2. Untuk mengetahui implementasi UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga di Kota Medan
3. Untuk mengetahui faktor penghambat implementasi UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga di Kota Medan.
Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah:
1. Secara Teoritis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi peneliti- peneliti atau siapa saja yang mempunyai minat dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan berguna juga untuk menjadi referensi bagi mahasiswa yang melakukan kajian terhadap UU Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan secara khusus mengenai perlindungan perempuan dalam perkawinan 2. Secara Praktis
Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperluas wawasan dan sekaligus memperoleh pengetahuan empirik mengenai perlindungan hukum terhadap perempuan dalam perkawinan sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah dan komisi nasional perempuan dalam menilai efektifitas UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
D. Keaslian Penulisan
Dalam membuktikan keaslian judul skripsi ini, penulis telah melakukan pemeriksaan judul skripsi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Apabila di kemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab penulis sendiri.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Perempuan
Salah satu kelompok warga negara yang karena kondisinya membutuhkan perlakuan khusus adalah perempuan. Perempuan adalah
orang yang dapat hamil, melahirkan anak, menyusui, dan keterbatasan fisik (lemah) yang berbeda dengan laki-laki yang lebih kuat secara fisik.
Tanpa adanya perlakuan yang khusus, perempuan tidak akan dapat mengakses perlindungan hukum karena perbedaan yang dihasilkan dan dilanggengkan oleh struktur masyarakat patriarkis. Perlindungan tanpa adanya perlakuan khusus, justru akan cenderung mempertahankan diskriminasi terhadap perempuan dan tidak mampu mencapai keadilan.
Perempuan hampir selalu menjadi korban kekerasan karena budaya dan nilai-nilai masyarakat kita dibentuk oleh kekuatan patriarkal, dimana laki-laki secara kultural telah dipersilahkan menjadi penentu kehidupan.
Menurut Foucault, laki-laki telah terbentuk menjadi pemilik „kuasa‟ yang menentukan arah „wacana pengetahuan‟ masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan secara garis besar (pada umumnya) terjadi melalui konsep adanya control atas diri perempuan, baik terhadap pribadinya, kelembagaan, simbolik dan materi. Dengan demikian, ketika hubungan antar jenis kelamin dikonstruk melalui hubungan dominasi-subordinasi, maka perempuan berposisi sebagai pihak yang diatur oleh laki-laki.
Bangunan relasi ini bekerja melalui seluruh system social tadi yang kemudian melahirkan identitas jender yang membedakan laki-laki dan perempuan.11
Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi sebagai manusia. Pada hakikatnya laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama, yaitu hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan,
11 http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/647-kekerasan-dalam-rumah-tangga- kdrt-persoalan-privat-yang-jadi-persoalan-publik.html. diakses tanggal 26 September 2019, pukul 22.31 WIB.
dan bebas. Sayangnya sampai saat ini, perempuan sering kali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap. Terlebih lagi adanya pola pikir bahwa peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur serta mengurus keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting. Sosok perempuan yang berprestasi dan bisa menyeimbangkan antara keluarga dan karir menjadi sangat langka ditemukan. Perempuan sering kali takut untuk berkarir karena tuntutan perannya sebagai ibu rumah tangga.
2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah tindakan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang berdampak buruk terhadap keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan hubungan dalam rumah.
KDRT pada dasarnya dapat dilakukan oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan tidak tertutup kemungkinan menjadi pelaku KDRT.
Meskipun demikian, perempuan cenderung menjadi korban kekerasan terutama di dalam keluarganya. Perempuan sering kali mendapat perlakuan yang tidak adil yang acapkali berujung pada tindak kekerasan.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk perbuatan yang bertentangan dengan sendi-sendi kemanusiaan. Itulah sebabnya perbuatan kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu perbuatan yang melanggar HAM sehingga dibutuhkan suatu
intrumen hukum nasional tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.12
Pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan deklarasi mengenai penghapusan diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban wanita persamaan hak dengan pria dan menyatakan agar diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaan deklarasi tersebut. Oleh karena deklarasi itu sifatnya tidak mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang kedudukan wanita berdasarkan deklarasi tersebut menyusu rancangan konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita.13
Mengenai bentuk kekerasan, kekerasan tidak semata-mata bersifat fisik, seperti pemukulan, penganiayaan atau penyiksaan yang denga mudah menyisakan bukti yang kasat mata. Dalam banyak hal kekerasan selalu mengambil banyak sekaligus banyak dimensi. Kekerasan psikologis seperti ketakutan terus-menerus, menerima ancaman, membuat seseorang dalam perasaa terhina, adalah bentuk lain yang sangat sulit dibuktikan akan tetapi meninggalkan jejak panjang dalam ingatan seseorang. Menghadapi dan mengatasi tindak kekerasan dalam rumah tangga tersebut, pemerintah Indonesia telah membuat istrumen hukum berupa UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (P-KDRT).
12 Aroma Elmina Martha,op.cit., hlm. 20.
13 Nanda Yunisa, op.cit., hlm. 34.
Keutuhan dan kerukunan dalam rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dikontrol, yamg pada akhirnya dpat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan dan ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.14
Negara sebaiknya mengutuk kekerasan terhadap perempuan dan tidak berlindung di balik pertimbangan adat, tradisi, atau keagamaan untuk menghindari tanggung jawab dalam menghapuskan kekerasan tersebut. Negara harus mengupayakan dengan cara-cara yan sesuai dan tidak menunda-nunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan.15
3. Perlindungan Hukum
Pengertian perlindungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menegaskan bahwa perlidungan adalah segala hal upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan UU ini.16
14 Nanda Yunisa, op.cit., hlm. 20.
15 Nanda Yunisa, op.cit., hlm. 71.
16 https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2006/13/TAHUN2006UU.htm. diakses tanggal 01 Oktober pukul 01.25 WIB.
Hukum adalah sistem peraturan yang diakui oleh suatu negara atau komunitas tertentu sebagai pengatur tindakan para anggotanya dan yang dapat ditegakkan dengan pengenaan hukumaan.17
Hukum berfungsi sebagai perlindungan untuk kepentingan manusia. Untuk mewujudkan perlindungan tersebut, hukum haruslah dilaksanakan. Apabila terjadi kekerasan dalam lingkup rumah tangga, maka hal tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan, melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan.
Pengertian perlindungan sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 mengenai penghapusan kekerasan terhadap wanita adalah:
“Segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan”.18
Perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.19
Jaminan perlindungan dan keadilan di semua bidang kehidupan merupakan hak setiap warga negara Indonesia sebagaimana amanat
17https://www.google.co.id/amp/s/amp.kompas.com/skola/read/2019/12/30/2000 00969/pegertian-hukum-faktor-penting-pembuatan-dan-istilah-terkait-hukum. diakses tanggal 01 Oktober 2019 pukul 01.33 WIB.
18 Nanda Yunisa, op.cit., hlm. 3.
19 Nanda Yunisa, op.cit., hlm. 3.
konstitusi. Sudah seharusnya proses hukum selalu dan tetap mempertimbangkan kebutuhan, aspirasi, dan kepentingan demi rasa keadilan bagi perempuan dan laki-laki.20
Hukum tidak hanya peraturan semata, melainkan sebuah sistem hukum yang meliputi substansi, struktur, dan kultur hukum. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah membangun hukum yang berkeadilan gender dan mengintegrasikan perspektif gender. Sehingga upaya yang dilakukan tidak hanya mendorong lahirnya kebijakan hukum yang berkeadilan gender, melainkan juga mengubah paradigma yang tidak adil gender menjadi berkeadilan gender dan pada akhirnya tercipta budaya hukum masyarakat yang berkeadilan gender.21
Perlindungan hukum terhadap korban KDRT sangatlah penting dilakukan mengingat penderitaan fisik dan psikis yang dialami oleh korban akibat perbuatan pelaku. pelaksanaan perlindungan hukum perlu melibatkan pemerintah, masyarakat, lembag-lembaga sosial, lembaga bantuan hukum untuk memberikan rasa aman bagi korban dan bebas dari bentuk ancaman kekerasan fisik maupun psikis selama masa pemulihan kesehatannya.
Salah satu yang menjadi isi dalam UU P-KDRT adalah perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Dimana dalam Bab V dan Bab VI UU ini membahas tentang peranan pemerintah, kepolisian, dan pengadilan negeri terhadap korban kekerasan dalam
20 https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/438/hukum-yang-berkeadilan- untuk-mewujudkan-kesetaraan-gender. diakses tanggal 01 Oktober 2019 pukul 02.05 WIB.
21 https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/438/hukum-yang-berkeadilan- untuk-mewujudkan-kesetaraan-gender. diakses tanggal 01 Oktober 2019 pukul 08.22 WIB.
rumah tangga. Bab V pada UU ini membahas tentang kewajiban pemerintah dan masyarakat dan Bab VI UU ini membahas tentang perlindungan terhadap korban.
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana yang dapat dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana senantiasa dapat diperiksa dan ditelaah secara kritis, ilmu pengetahuan ini akan berkembang terus atas dasar penelitian-penelitian yag dilakukan oleh pengasuh-pengasuhnya. Hal ini terutama disebabkan, karena penggunaan ilmu pengetahuan bertujuan agar manusia lebih mengetahui dan lebih mendalami.22
Soerjono Soekanto, penelitian dimulai ketika seseorang berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara sistematis dengan metode dan teknik tertentu yag bersifat ilmiah, artinya bahwa metode atau teknik yang digunakan tersebut untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan faktor tersebut.23
22 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, Penerbit Universitas Indonesia:
UI Press, Jakarta, 2007, hlm. 3.
23 Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2004, hlm. 1.
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berdasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, serta mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala bersangkutan.24
Memahami permasalahan dengan baik merumuskannya dengan tepat, merupakan bagian penting agar tujuan dapat dilalui dengan baik. Sebaliknya jika permasalahan yang akan diteliti masih kabur, maka akan sulit bagi peneliti untuk menjawab penelitian yang akan diteliti. Pemahaman penelitian memiliki peranan terhadap komponen-komponen penelitian lain seperti metode, teknik, alat yang digunakan. Ketepatan peneliti dalam merumuskan memengaruhi keberhasilan penelitian yang akan dilaksanakan.25
1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris. Penelitian hukum normatif empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketetuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang, atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam
24 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 43.
25 Suteki & Galang Taufani, Metodologi Penelitian Hukum, cet. ke-I, PT Raja Grafindo Persada, Depok, 2018, hlm. 126.
masyarakat.26 Metode penelitian hukum normatif empiris ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris.
Metode penelitian normatif empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap penelitian hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.
Penelitian hukum normatif disebut penelitian ukum doktrinal atau penelitian hukum perpustakaan, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain, dan yang disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.
Penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian yang nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat.
Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat, maka metode penelitian hukum empis dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum, atau badan pemerintah.27
26 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 134.
27 https://idtesis.com/metode-penelitian-hukum-empiris-dan-normatif/. diakses tanggal 7 November 2019, pukul 08.19 WIB.
b. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, penelitian deskriptif kualitatif ditujukan untuk mendeskripsikan dan menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik bersifat alamiah maupun rekayasa manusia, yang lebih memperhatikan mengenai karakteristik, kualitas, keterkaitan antar kegiatan. Selain itu, penelitian deskriptif tidak memberikan perlakuan, manipulasi atau pengubahan pada variabel-variabel yang diteliti, melainkan menggambarkan suatu kondisi yang apa adanya.
Penelitian ini juga bersifat deskriptif analitis, yaitu untuk menggambarkan, menganalisa, menelaah, dan menjelaskan secara analisis berkaitan dengan permasalahan yang ada. Penelitian ini mendeskripsikan sejauhmana perlindungan hukum terhadap perempuan dalam perkawinan dan bagaimana implementasi UU No.
23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
2. Sumber Data a. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung berupa keterangan-keterangan dan pendapat dari para responden dan kenyataan-kenyataan yang ada dilapangan melalui wawancara dan observasi.28 Penelitian skripsi ini dilakukan di beberapa instansi
28 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Bandung, 2008, hlm. 15.
pemerintahan, seperti Dinas Pemberdayaan Kota Medan, Polda Sumatera Utara, dan Pengadilan Negeri Medan.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
1) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas.29 Meliputi seluruh peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang mengikat lainnya yang sesuai dengan penelitian.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang dapat membantu dalam menganalisa serta memahami permasalahan dalam penelitian dan diperoleh dengan cara studi pada buku- buku, literatur-literatur, dan hasil penelitian yang berhubungan dengan pokok masalah.
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder,30 yang terdiri dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus hukum, dan internet.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melaksanakan penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, observasi, dan wawancara dengan sumber yang dapat dipercaya.
29 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 47
30 Ibid., hlm. 47.
a. Studi Kepustakaan
Menurut Sanapiah Faisal, studi kepustakaan adalah sumber data yang bukan manusia, dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara mempelajari konsep-konsep, teori-teori atau kebijakan- kebijakan yag berlaku dan berhubungan erat dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini.31 Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data yang bersifat sekunder.
b. Observasi
Penulis menggunakan teknik observasi partisipatif dan partisipan pasif, artinya peneliti hanya berperan sebagai pengamat saja tanpa ikut ambil bagian atau melibatka diri dalam pelaksanaannya.
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistemattis megenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan.
c. Wawancara
Wawancara dilaksanakan secara langsung dan terbuka dengan mengadakan tanya jawab untuk mendapatkan keterangan atau jawaban yang bebas sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan.32
31 Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi, Ya3, Malang, 1990, hlm. 42
32 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 57.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman dan pembahasan masalah yang menjadi landasan dalam penyusunan skripsi ini, maka perlu disusun secara sistematis sesuai dengan tata urutan pembahasan dari permasalahan ada.
Penulisan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, yang mana setiap bab terdiri dari beberapa sub-sub bahasan dengan kerangka tulisan sebagai berikut:
Bab pertama skripsi ini didahului dengan pendahuluan masalah tersebut diangkat dan metode-metode apa aja yang dipakai. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab, diantaranya; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua penulis menjelaskan tentang perlindungan hukum bagi perempuan di Indonesia. Di bab ini diuraikan mengenai pengertian perlidungan hukum, perlindungan hukum terhadap perempuan korban KDRT, dan upaya perlindungan hukum terhadap perempuan.
Bab ketiga penulis memaparkan bagaimana implementasi UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan. Bab ini menguraikan tentang peranan pemeritah Kota Medan dalam rangka perlindungan hukum terhadap korban KDRT, peranan polda Sumatera Utara dalam melakukan perlindungan terhadap korban KDRT, dan peranan Pengadilan Negeri Medan dalam melaksanakan kewajiban.
Bab keempat penulis memaparkan faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat implementasi UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
KDRT di Kota Medan, yang diantaranya adalah kendala filosofis dan kendala sosiologis dalam penerapan UU P-KDRT.
Bab kelima yang menjadi bab penutup dalam penulisan ini membahas tentang kesimpulan yang ditarik penulis dan juga disertai saran-saran dengan menyikapi seobjektif mungkin tanpa memihak siapapun.
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN DI INDONESIA
A. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan kepada warga negara harus disesuaikan dengan kondisi warga yang beragam. Realitas masyarakat Indonesia menunjukkan adanya perbedaan kemampuan dalam memahami hukum dan mengakses perlindungan. Kepastian yang ditimbulkan karena hukum zekerheid door het rect bagi individu dalam masyarakat adalah tujuan utama dari hukum.
Bentham dalam Introduction to the Principles of Morals and Legislation merumuskan bahwa tujuan utama dari hukum adalah menjamin adanya bahagia sebanyak-banyaknya kepada orang sebanyak-banyaknya.
Hukum berfungsi sebagai pengendalian masyarakat. Leopold Pospisil berpendapat, tidak ada hukum kalau tidak ada masyarakat. Sebaliknya, tidak ada masyarakat tanpa adanya hukum.33
Pada hakikatnya peran hukum dalam mensejahterakan masyarakat dimulai dari dalam keluarga. Masyarakat yang sejahtera tercipta dari keluarga yang sejahtera. UU No. 10 Tahun 1992 menegaskan bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup material dan spiritual yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.34
Tiap-tiap anggota keluarga memiliki perannya masing-masing. Peran anggota keluarga tidak dapat digantikan antar satu dengan yang lain, meski dalam beberapa situasi tertentu anggota keluarga dapat menggantikan peran anggota keluarga lainnya. Dalam keluarga juga terdapat hak-hak dan kewajiban tiap anggota keluarga. Jika satu anggota keluarga tidak melakukan
33 https://www.kabar-banten.com/perlindungan-hukum-terhadap-perempuan/#. diakses pada 11 November 2019 pukul 10.01 WIB.
34 https://hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/fl29171/parent/4584. diakses tanggal 11 November 2019 pukul 10.01 WIB.
kewajibannya, maka akan ada pergeseran di dalam keluarga tersebut. Selain daripada itu, sering kali anggota keluarga hanya menuntut haknya saja tanpa terlebih dahulu menunaikan kewajibannya.
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum. Selain itu hukum berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat juga karena pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak subjek hukum lain. Subjek hukum yang dilanggar hak- haknya harus mendapatkan perlindungan hukum.
Istilah perlindungan hukum dalam bahasa Inggris dikenal dengan legal protection, sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan rechtsbescherming. Secara etimologi perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yakni perlindungan dan hukum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) perlindungan diartikan (1) tempat berlindung, (2) hal (perbuatan dan sebagainya), (3) proses, cara, perbuatan melindungi.35
Perlindungan hukum adalah suatu upaya melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undang-undang. Oleh karenanya, untuk setiap pelanggaran hukum yang dituduhkan padanya serta dampak yang diderita olehnya ia berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang diperlakukan sesuai dengan asas hukum.
35 https://kbbi.web.id/perlindungan, diakses tanggal 13 November 2019, pukul 23.02 WIB.
Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban, perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.36
Perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki manusia sebagai subjek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subjek hukum, manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.37
Perlindungan hukum yang diberikan kepada subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki konsep bahwa hukum memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.
Beberapa pendapat para sarjana tentang pengertian perlindungan hukum, antara lain:
1. Menurut Soetiono
36Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984, hlm 133.
37 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1980, hlm. 102.
Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.38
2. Menurut Satjipto Rahardjo
Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.39
3. Menurut Philipus M. Hadjon
Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.40
4. Menurut Muchsin
Perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.41
38 Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2004, hlm. 3
39 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet ke-V, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 53.
40 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 1-2.
41 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2003, hlm. 14.
Sehingga berdasarkan uraian dan pendapat para pakar di atas dapat simpulkan bahwa perlindungan hukum adalah perbuatan untuk melindungi setiap orang atas perbuatan yang melanggar hukum, atau melanggar hak orang lain, yang dilakukan oleh pemerintah melalui aparatur penegak hukumnya dengan menggunakan cara-cara tertentu berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai upaya pemenuhan hak bagi setiap warga negara, termasuk atas perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penguasa (aparatur penegak hukum itu sendiri).
Menurut Philip M. Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni:
1. Perlindungan Hukum Preventif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif;42
2. Perlindungan Hukum Represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa.43
Secara konseptual perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan pancasila. Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Bagi pemerintah
42 Philip M. Hadjon, Op.cit., hlm. 4.
43 Philip M. Hadjon, Op.cit., hlm. 5.
sendiri yang pada dasarnya memiliki kebebasan dalam bertindak, perlindungan hukum preventif sangat besar artinya karena dengan adanya perlidungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati- hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.
Prinsip perlindungan bagi rakyat terhadap tindak pemerintah bertumbuh dan bersumber dari konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya tentang konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia diarahkan pada pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat terhadap pemerintahannya.44 Selain daripada itu, pancasila sebagai dasar ideologi dan falsafah negara menjadi landasan pijakan dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia.
Dikatakan demikian, karena pengakuan dan perlindungan hukum secara intrinsik melekat pada pancasila dan seyogianya memberi warna dan corak serta isi negara hukum yang berlandaskan pancasila.
Dalam prinsip-prinsipnya, perlindungan hukum yag berdasarkan pancasila dibedakan menjadi dua, antara lain:
1. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Hak-Hak Asasi Manusia Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan yang bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian dalam usaha merumuskan prinsip-prinsip
44 Philip M. Hadjon, Op.cit., hlm. 19.
perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan pancasila, diawali dengan uraian tentang konsep dan deklarasi tentang hak-hak asai manusia.
2. Prinsip Negara Hukum
Prinsip kedua yang melandasi perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dikatakan sebagai tujuan daripada negara hukum.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) , konsep perlindungan hukum tidak terlepas dari perlindungan hak asasi manusia adalah konsep negara hukum yang merupakan istilah sebagai terjemahan 2 (dua) istilah (1) rechtstaat dan (2) rule of law. Sehingga, dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen dikatakan, “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat)”.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban KDRT
Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, berakar dari adanya budaya patriarki. Budaya patriarki yang melihat garis keturunan ayah, secara tidak langsung membuat timbulnya pemikiran bahwa perempuan mempunyai posisi yag lebih rendah dari laki-laki. Perempuan diaggap sebagai makhluk lemah yang tidak mampu untuk melakukan apapun., dilecehkan, dikucilkan, dan dikesampingkan, serta tidak mempunyai hak untuk menyuarakan apa yang ada dalam pikirannya.
Perempuan seringkali disalahkan atas setiap kejadian buruk yang terjadi di rumah tangganya. Perempuan pun pasrah apabila mendapat perlakuan yang kasar dari suaminya dan menganggap bahwa itu adalah hal yang wajar dilakukan oleh suaminya, karena memang ia yang menyebabkan semua itu terjadi. Perempuan selalu dituntut untuk meladeni apapun yang diinginkan oleh suaminya. Sementara laki-laki dianggap sebaliknya, yakni sebagai makhluk yang kuat, dapat melakukan apapun dan sebagainya. Budaya patriarki ini pun menyebabkan timpangnya relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan serta menjadi penyebab isu gender yang marak diperbincangkan.
Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi topik utama perbincangan mengenai pembangunan, hingga menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial. Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak, dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dan hasil pembangunan laki-laki dan perempuan.
Sistem patriarki yang kemudian mendasari pola-pola hubungan gender dalam masyarakat mengontrol bidang-bidang kehidupan perempuan. Nilai- nilai, norma, adat-kebiasaan, dan aturan-aturan kemasyarakatan mendefinisikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki, hal itu menyebabkan laki-laki memiliki kekuasaan dan kontrol terhadap perempuan
dapat ditemukan di setiap lingkungan pergaulan yaitu dalam keluarga, pergaulan sosial, agama, hukum, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain.45
Faktanya adalah, di dalam kehidupan sehari-hari perempuan dianggap sebagai makhluk yang lebih inferior daripada laki-laki. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah sehingga harus berada dibawah kekuasaan laki- laki. Hal tersebut akhirnya menimbulkan diskriminasi tehadap kaum perempuan dalam lingkungan masyarakat bahkan sampai lingkungan keluarga.
Persoalan gender yang terjadi dalam keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial dan kultural yang dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender. Pemahaman tentag subjek-objek, dominan-tidak dominan, superior-inferior serta pembagian peran-peran yang tidak seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak laki-laki) dan perempuan (ibu, anak perempuan) seringkali memposisikan laki-laki lebih mendapatkan hak-hak istimewa, sedangkan perempuan sebagai kaum kelas kedua. Meskipun pada kelompok masyarakat tertentu (kelas menengah dan berpenndidikan, misalnya) relasi yang dibangun antara perempuan dan laki-laki sudah lebih baik. Tetapi jika ditelaah lebih jauh, pada sebagian besar kelompok masyarakat lainya relasi yang seimbang antara perempuan dan laki-laki masi jauh dari harapan.
Perbedaan jenis kelamin yang berimplikasi pada fungsi dan peran laki-laki dan perempuan ini pada dasarnya tidak dipermasalahkan jika didasarkan pada pilihan sadar dan bukan unsur keterpaksaan atau
45 Munandar Sulaeman, Kekerasan Terhadap Perempuan (Tinjauan dalam Berbagai Disiplin Ilmu), cet. ke-2, PT Refika Aditama, Bandung, 2019, hlm. 75.
diskriminasi. Namun ketika dicermati lebih dalam, hal ini dapat menjadi penyebab munculnya diskriminasi gender. Salah satu jenis kelamin terutama yang banyak terjadi pada perempuan sering kali terabaikan hak-hak dasarnya, tertinggal dan mengalami masalah ketidakadilan, bahkan juga terjadi diskriminasi peran terhadap perempuan.
Perempuan mempunyai beberapa peran dalam hidupnya, terutama dalam lingkungan keluarga. Perempuan adalah seorang istri (pendamping suami), pengelola rumah tangga, sebagai ibu (penerus keturunan dan pedidik anak), pencari nafkah tambahan, dan sebagai warga masyarakat. Beberapa peran pada perempuan tersebut ada yang tidak dapat digantikan oleh siapapun karena sudah menjadi kodrat seorang perempuan dari lahir.
Perempuan merupakan salah satu individu yang mengemban misi ganda dalam kehidupan masyarakat. Misi pertama perempuan adalah pelanjut keturunan yang tidak dapat digantikan oleh kaum laki-laki dan misi yang kedua perempuan adalah sebagai seorang ibu. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mendasar mengapa perempuan perlu mendapatkan perhatian yang khusus untuk dilindungi dan dihormati hak-haknya.
Dalam kenyataannya kedudukan perempuan masih dianggap tidak sejajar dengan laki-laki, perempuan sering menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga seperti kekerasan fisik, psikis, sampai pada timbulnya korban jiwa. Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa selama ini perempuan masih ditempatkan pada posisi marginalisasi.46
46 Aroma Elmina Martha, Op.cit., hlm. 23.
Perjuangan kaum perempuan dalam mencapai kesetaraan dan keadilan yang telah dilakukan sejak dulu, ternyata belum dapat mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan untuk dapat sejajar dengan kaum laki-laki.
Sekalipun kekuasaan tertinggi pernah di pegang oleh perempuan, yaitu Presiden Megawati Soekarno Putri dan telah banyak kaum perempuan yang memegang jabatan yang strategis dalam pemeritahan, ketidakadilan gender dan ketertinggalan kaum perempuan masih belum teratasi sebagaimana diharapkan. Kaum perempuan tetap saja termarjinalkan dan tertinggal dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang hukum. Hal ini merupakan tantangan berat bagi kaum perempuan dan pemerintah.
Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatakan bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Meskipun dikatakan demikian, tidak menjadi suatu alasan bagi kaum adam atau para suami untuk dapat berbuat semena-mena terhadap perempuan. Dalam rumah tangga, suami berperan sebagai kepala rumah tangga dan sudah seharusnya melindungi anggota keluarganya, bukan malah sebaliknya. Suami harus menciptakan rasa aman di dalam keluarga dan menjauhkan segala tindakannya dari bentuk kekerasan.
Tindak kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam rumah tangga berkisar dari bentuk yang ringan sampai yang berat juga mengenal modus operandinya. Berita-berita tentang meningkatnya tindak kekerasan
terhadap perempuan dalam tahun-tahun ini sudah memprihatinkan masyarakat.47
Kekerasan dalam rumah tangga, keluarga, dan masyarakat banyak terjadi tanpa disadari oleh mereka yang melakukan dan korbannya. Ketakutan terhadap kejahatan dan kekerasan pada perempuan, bermanfaat bagi laki-laki untuk mengontrol perempuan. Takut untuk keluar rumah tanpa pengawalan laki-laki, takut mengelola uangnya sendiri, takut berhadapan dengan masalah- masalah administrasi, takut berhubungan dengan petugas keamanan, takut tidak mendapatkan pasangan hidup, dan sebagainaya. Laki-laki menganggap perempuan dalam lingkup rumah tangga dan keluarganya sebagai milik mereka, dan norma-norma mengontrol perempuan yang harus tinggal di dekat rumah, keluarga atau orang yang dikenalnya.48
Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah yang rumit untuk dipecahkan. Banyak alasan yang menjadi kemungkinan penyebab tindak KDRT, diantaranya adalah pelaku benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang telah dilakukannya merupakan perbuatan KDRT atau pelaku sebenarnya menyadari bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan tindak KDRT, hanya saja pelaku mengabaikannya lantaran berlindung dibawah norma-norma tertentu yang telah mapan dalam masyarakat. Pelaku menganggap perbuatan KDRT sebagai hal yang wajar dan pribadi, karena pada dasarnya kekerasan tidak hanya disebabkan adanya kekuatan tetapi juga disebabkan oleh adanya kekuasaan.
47 Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 40.
48 Munandar Sulaeman, Op.cit., hlm. 74.