PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN DI INDONESIA
B. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban KDRT
Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, berakar dari adanya budaya patriarki. Budaya patriarki yang melihat garis keturunan ayah, secara tidak langsung membuat timbulnya pemikiran bahwa perempuan mempunyai posisi yag lebih rendah dari laki-laki. Perempuan diaggap sebagai makhluk lemah yang tidak mampu untuk melakukan apapun., dilecehkan, dikucilkan, dan dikesampingkan, serta tidak mempunyai hak untuk menyuarakan apa yang ada dalam pikirannya.
Perempuan seringkali disalahkan atas setiap kejadian buruk yang terjadi di rumah tangganya. Perempuan pun pasrah apabila mendapat perlakuan yang kasar dari suaminya dan menganggap bahwa itu adalah hal yang wajar dilakukan oleh suaminya, karena memang ia yang menyebabkan semua itu terjadi. Perempuan selalu dituntut untuk meladeni apapun yang diinginkan oleh suaminya. Sementara laki-laki dianggap sebaliknya, yakni sebagai makhluk yang kuat, dapat melakukan apapun dan sebagainya. Budaya patriarki ini pun menyebabkan timpangnya relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan serta menjadi penyebab isu gender yang marak diperbincangkan.
Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi topik utama perbincangan mengenai pembangunan, hingga menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial. Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak, dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dan hasil pembangunan laki-laki dan perempuan.
Sistem patriarki yang kemudian mendasari pola-pola hubungan gender dalam masyarakat mengontrol bidang-bidang kehidupan perempuan. Nilai-nilai, norma, adat-kebiasaan, dan aturan-aturan kemasyarakatan mendefinisikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki, hal itu menyebabkan laki-laki memiliki kekuasaan dan kontrol terhadap perempuan
dapat ditemukan di setiap lingkungan pergaulan yaitu dalam keluarga, pergaulan sosial, agama, hukum, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain.45
Faktanya adalah, di dalam kehidupan sehari-hari perempuan dianggap sebagai makhluk yang lebih inferior daripada laki-laki. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah sehingga harus berada dibawah kekuasaan laki-laki. Hal tersebut akhirnya menimbulkan diskriminasi tehadap kaum perempuan dalam lingkungan masyarakat bahkan sampai lingkungan keluarga.
Persoalan gender yang terjadi dalam keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial dan kultural yang dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender. Pemahaman tentag subjek-objek, dominan-tidak dominan, superior-inferior serta pembagian peran-peran yang tidak seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak laki-laki) dan perempuan (ibu, anak perempuan) seringkali memposisikan laki-laki lebih mendapatkan hak-hak istimewa, sedangkan perempuan sebagai kaum kelas kedua. Meskipun pada kelompok masyarakat tertentu (kelas menengah dan berpenndidikan, misalnya) relasi yang dibangun antara perempuan dan laki-laki sudah lebih baik. Tetapi jika ditelaah lebih jauh, pada sebagian besar kelompok masyarakat lainya relasi yang seimbang antara perempuan dan laki-laki masi jauh dari harapan.
Perbedaan jenis kelamin yang berimplikasi pada fungsi dan peran laki-laki dan perempuan ini pada dasarnya tidak dipermasalahkan jika didasarkan pada pilihan sadar dan bukan unsur keterpaksaan atau
45 Munandar Sulaeman, Kekerasan Terhadap Perempuan (Tinjauan dalam Berbagai Disiplin Ilmu), cet. ke-2, PT Refika Aditama, Bandung, 2019, hlm. 75.
diskriminasi. Namun ketika dicermati lebih dalam, hal ini dapat menjadi penyebab munculnya diskriminasi gender. Salah satu jenis kelamin terutama yang banyak terjadi pada perempuan sering kali terabaikan hak-hak dasarnya, tertinggal dan mengalami masalah ketidakadilan, bahkan juga terjadi diskriminasi peran terhadap perempuan.
Perempuan mempunyai beberapa peran dalam hidupnya, terutama dalam lingkungan keluarga. Perempuan adalah seorang istri (pendamping suami), pengelola rumah tangga, sebagai ibu (penerus keturunan dan pedidik anak), pencari nafkah tambahan, dan sebagai warga masyarakat. Beberapa peran pada perempuan tersebut ada yang tidak dapat digantikan oleh siapapun karena sudah menjadi kodrat seorang perempuan dari lahir.
Perempuan merupakan salah satu individu yang mengemban misi ganda dalam kehidupan masyarakat. Misi pertama perempuan adalah pelanjut keturunan yang tidak dapat digantikan oleh kaum laki-laki dan misi yang kedua perempuan adalah sebagai seorang ibu. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mendasar mengapa perempuan perlu mendapatkan perhatian yang khusus untuk dilindungi dan dihormati hak-haknya.
Dalam kenyataannya kedudukan perempuan masih dianggap tidak sejajar dengan laki-laki, perempuan sering menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga seperti kekerasan fisik, psikis, sampai pada timbulnya korban jiwa. Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa selama ini perempuan masih ditempatkan pada posisi marginalisasi.46
46 Aroma Elmina Martha, Op.cit., hlm. 23.
Perjuangan kaum perempuan dalam mencapai kesetaraan dan keadilan yang telah dilakukan sejak dulu, ternyata belum dapat mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan untuk dapat sejajar dengan kaum laki-laki.
Sekalipun kekuasaan tertinggi pernah di pegang oleh perempuan, yaitu Presiden Megawati Soekarno Putri dan telah banyak kaum perempuan yang memegang jabatan yang strategis dalam pemeritahan, ketidakadilan gender dan ketertinggalan kaum perempuan masih belum teratasi sebagaimana diharapkan. Kaum perempuan tetap saja termarjinalkan dan tertinggal dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang hukum. Hal ini merupakan tantangan berat bagi kaum perempuan dan pemerintah.
Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatakan bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Meskipun dikatakan demikian, tidak menjadi suatu alasan bagi kaum adam atau para suami untuk dapat berbuat semena-mena terhadap perempuan. Dalam rumah tangga, suami berperan sebagai kepala rumah tangga dan sudah seharusnya melindungi anggota keluarganya, bukan malah sebaliknya. Suami harus menciptakan rasa aman di dalam keluarga dan menjauhkan segala tindakannya dari bentuk kekerasan.
Tindak kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam rumah tangga berkisar dari bentuk yang ringan sampai yang berat juga mengenal modus operandinya. Berita-berita tentang meningkatnya tindak kekerasan
terhadap perempuan dalam tahun-tahun ini sudah memprihatinkan masyarakat.47
Kekerasan dalam rumah tangga, keluarga, dan masyarakat banyak terjadi tanpa disadari oleh mereka yang melakukan dan korbannya. Ketakutan terhadap kejahatan dan kekerasan pada perempuan, bermanfaat bagi laki-laki untuk mengontrol perempuan. Takut untuk keluar rumah tanpa pengawalan laki-laki, takut mengelola uangnya sendiri, takut berhadapan dengan masalah-masalah administrasi, takut berhubungan dengan petugas keamanan, takut tidak mendapatkan pasangan hidup, dan sebagainaya. Laki-laki menganggap perempuan dalam lingkup rumah tangga dan keluarganya sebagai milik mereka, dan norma-norma mengontrol perempuan yang harus tinggal di dekat rumah, keluarga atau orang yang dikenalnya.48
Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah yang rumit untuk dipecahkan. Banyak alasan yang menjadi kemungkinan penyebab tindak KDRT, diantaranya adalah pelaku benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang telah dilakukannya merupakan perbuatan KDRT atau pelaku sebenarnya menyadari bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan tindak KDRT, hanya saja pelaku mengabaikannya lantaran berlindung dibawah norma-norma tertentu yang telah mapan dalam masyarakat. Pelaku menganggap perbuatan KDRT sebagai hal yang wajar dan pribadi, karena pada dasarnya kekerasan tidak hanya disebabkan adanya kekuatan tetapi juga disebabkan oleh adanya kekuasaan.
47 Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 40.
48 Munandar Sulaeman, Op.cit., hlm. 74.
Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyatakan bahwa KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. KDRT termasuk dalam domestic violance. Pada kenyataannya, KDRT bukan suatu hal baru yang kita temui dalam masyarakat, melainkan sudah menjadi peyakit yang sulit untuk dihilangkan.
Perempuan hampir selalu menjadi menjadi korban kekerasan karena budaya dan nilai-nilai masyarkat kita dibentuk oleh kekuatan patriarki, dimana laki-laki secara kultural telah dipersilahkan menjadi penentu kehidupan. Laki-laki seringkali dianggap sebagai pemegang kekuasaan terhadap perempuan dan perempuan sebagai pihak yang didominasi oleh laki-laki. Akhirnya timbul hierarki identitas antara laki-laki dan perempuan, dipisahkan oleh perbedaan degree of power (derajat kekuasaan) yang mereka miliki.
Kekerasan terhadap perempuan secara garis besar (pada umumnya) terjadi melalui konsep adanya kontrol atas diri perempuan, baik terhadap pribadinya, kelembagaan, simbolik, dan materi. Dengan demikian, ketika hubungan antar jenis kelamin dikonstruk melalui hubungan dominasi-subordinasi, maka perempuan berposisi sebagai pihak yang diatur laki-laki.49
49 http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/647-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt-persoalan-privat-yang-jadi-persoalan-publik.html. diakses tanggal 15 November 2019 pukul 18.59 WIB.
Secara legal formal, di Indonesia UU P-KDRT mulai diberlakukan sejak tahun 2004. Misi dari undang-undang ini adalah sebagai upaya bagi penghapusan KDRT. Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku KDRT, dan melindungi korban akibat KDRT.
Sebagai undang-undang yang membutuhkan pengaturan khusus, selain berisikan pengaturan tentang sanksi terhadap pelaku KDRT, undang-undang ini juga mengatur tentang kewajiban negara dalam memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini merupakan terobosan hukum yang sangat penting bagi upaya penegakan HAM, khususnya perlindungan terhadap perempuan yang selama ini di rugikan dalam sebuah tatanan keluarga atau rumah tangga.
Perlindungan yang diharapkan oleh korban adalah perlindungan yang dapat memberikan rasa adil, terutama bagi korban. Kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas korbannya adalah perempuan pada prinsipnya merupakan salah satu fenomena pelanggaran HAM sehingga masalah ini adalah suatu bentuk diskriminasi, khususnya terhadap perempuan dan merupakan suatu kejahatan yang korbannya perlu mendapat perlindungan baik dari aparat pemerintah maupun masyarakat.