• Tidak ada hasil yang ditemukan

Framing dalam pandangan Gamson, dipahami sebagai seperangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu. Ide sentral ini akan didukung oleh seperangkat wacana lain sehingga satu bagian wacana dengan bagian yang lain akan kohesif – saling mendukung. Disini, frame akan didukung oleh perangkat wacana lain, misalnya dari pemakaian kalimat, fakta, metafora, dan sebagainya yang mana kesemua elemen itu akan saling mendukung menuju satu titik temu yang menjadi ide sentral dari sebuah berita. (Eriyanto, 2005 : 226)

Ada dua perangkat bagaimana ide sentral ini diterjemahkan dalam teks berita. Pertama, framing defice (perangkat framing) yang mengarahkan bagaimana cara melihat isu, berkaitan langsung dengan ide sentral atau bingkai yang ditekankan dalam teks berita. Ditandai dengan pemakaian kata, kalimat, grafik/gambar, dan metafora tertentu yang merujuk pada satu gagasan tertentu. Framing device ini terdiri atar methaphors, catchphrases, exemplaar, depiction, visual image.

Methaphors (perumpamaan atau pengandaian), secara literal dipahami sebagai cara memindahkan (transpose) makna sesuatu dengan merelasikan dua fakta memakai analogi, sering berupa kiasan menggunakan ’seperti’ atau ’bak/bagai’. Sedangkan metonymy – kebalikan metafora – mentransfer makna sesuatu dengan mengasosiasikan bagiannya untuk mewakili keseluruhan, atau menggunakan bagian sesuatu sebagai simbol yang bisa digeneralisasikan (menyimbolkan keseluruhan). Fatimah Djajasudarma dalam Siahaan mengartikan metafora sebagai gaya bahasa (figure of speech) berjenis perbandingan yang implisit di antara dua hal yang berbeda, tanpa kata sambung ’seperti’ atau ’sebagai’.

Menurut Bambang Sugiharto kiasan atau metafora hanya salah satu jenis dari jenis gaya bahasa, merupakan arti sempit dari metafora, yaitu bentuk semantik tertentu, transposisi atau transferensi suatu nama/istilah. Sedangkan arti luasnya, merupakan kondisi dasar antropologis manusia yang hanya bisa memahami dunia dengan mempersamakannya dengan hal lain yang ia pahami, dengan simbol-simbol yang ia ciptakan sendiri. Fiske melihat metafora lebih dari sekedar perangkat literal saja, tapi merupakan common sense pengalaman hidup keseharian yang diasumsikan

bisa di-taken for granted oleh masyarakat. Metafora bukan sekedar perangkat diskursif, persuasif retoris, dan cara mengekspresikan piranti mental, melainkan asosiasi dari asumsi dan penilaian, dengan membuat sense tertentu. (Siahaan, 2001 : 84)

Seorang wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok lewat teks, tapi juga kiasan, ungkapan, metafora, yang dimaksudkan sebagai ornamen atau bumbu daru suatu berita. Tapi pemakaian metafora tertentu bisa menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks. Metafora tertentu dipakai oleh wartawan secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik. Wartawan menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan mungkin ungkapan yang diambil dari ayat-ayat suci, yang semua itu digunakan untuk memperkuat pesan utama.

Gamson menyebut hal ini sebagai ”popular wisdom”. Popular wisdom dipakai untuk menciptakan dan merangkai sejumlah pesan agar khalayak dapat menkonstruksi suatu wacana. Dengan demikian pesan tampak bijaksana, seperti misalnya terlihat dalam contoh kalimat “Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya” – dimana ungkapan itu dipakai untuk menentramkan masyarakat yang sedang terkena musibah. Selain dengan peribahasa, popular wisdom juga dimunculkan dalam bentuk analogi. Pamakaian analogi ini dimaksudkan agar suatu pesan lebih mengacu pada kisah kepahlawanan, episode romantik masa lalu yang mudah diingat dan dipercaya oleh khalayak, misalnya terlihat

dalam kalimat ’ABRI masuk desa sebagai wujud kemanunggalan ABRI dan masyarakat desa’. (Eriyanto, 2005 : 226)

Catchphrases (frase yang menarik, kontras, menonjol dalam suatu wacana, umumnya berupa jargon atau slogan), merupakan istilah, bentukan kata, atau frase khas cerminan fakta yang merujuk pada pemikiran atau semangat sosial tertentu guna mendukung praktik kekuasaan (Siahaan, 2001 : 85). Jargon adalah kata atau istilah khas yang digunakan sebuah kelompok masyarakat tertentu, yang kemudian dipakai dalam konteks ideologi kekuasaan dan diadopsi masyarakat luas. Slogan/semboyan yaitu kalimat pendek yang maknanya mudah diingat dan memberi semangat dan membawa efek menggerakkan (memobilisasi) dukungan. (Siahaan, 2001 : 93)

Exemplaar (mengaitkan bingkai dengan contoh, uraian teori, perbandingan, yang memperjelas bingkai) adalah menguraikan atau mengemas fakta tertentu secara mendalam agar memiliki bobot makna lebih pada satu sisi untuk dijadikan rujukan/pelajaran. Posisinya sebagai pelengkap dalam kesatuan wacana. Tujuannya memperoleh pembenaran beroperasinya kekuasaan.

Depiction (penggambaran isu yang bersifat konotatif, umumnya berupa kosakata, leksikon untuk melabeli sesuatu) adalah penggambaran fakta memakai kata, istilah, kalimat bermakna konotatif, dan bertendensi khusus agar pemahaman khalayak terarah ke citra tertentu, misalnya mencuatkan gairah, harapan, ketakutan, posisi moral, serta perubahan. Asumsinya, pemakaian kata khusus ini berdaya membangkitkan prasangka, menyesatkan pemikiran dan tindakan, dan efektif sebagai

bentuk aksi politik. Depiction dapat berupa stigmatisasi, eufinisme, disfemisme, atau akronimisasi.

Stigmatisasi / labelisasi adalah penggunaan kata atau istilah ofensif (dicapkan/dilabelkan) kepada seseorang/kelompok atau tindakan sehingga melahirkan pengertian lain dari keadaan sesungguhnya. Eufinisme adalah menghaluskan fakta melalui kata/kalimat sehingga maknanya berbeda dari sesungguhnya. Andersen melihat bahwa kecenderungan eufinisme yang merasuki bahasa indonesia resmi yang lazim digunakan sebagai bahasa kesopanan politik indonesia, ambiguitannya sama saja dengan bahasa yang digunakan ’priyayi’ untuk menghindar dari ’kekerasan’ realitas. Lewat bahasa yang digunakan oleh petinggi negara bukan hanya menyembunyikan atau menciptakan realitas, tetapi juga bersembunyi dari realitas dan perilaku yang sesungguhnya. Disfenisme adalah mengasarkan/mengeraskan fakta melalui kata/kalimat sehingga maknanya berbeda dari sesungguhnya. Akronimisasi adalah pemampatan/pendekatan kata maupun kalimat (singkatan dan akronim) secara tak proporsional atau berlebihan sehingga menimbulkan kekacauan linguistik. Siahaan, 2001 : 91-92)

Visual image (gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan, berupa foto, kartun, atau grafik untuk menekankan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan) untuk mengekspresikan kesan, seperti perhatian (penegasan) atau penolakan (kontra), dengan menggunakan huruf yang dibesarkan/dikecilkan, ditebalkan/dimiringkan atau digaris bawahi, serta pemakaian bermacam warna. Tata letak halaman (page lay out) juga merupakan dimensi visual wacana, seperti lebar

kolom, penempatan halaman dan panjang berita. Guther Kress dan Theo van Leeuwen juga menyatakan, penataan visual image halaman koran bukan sekedar alasan estetika perwajahan, tapi lebih merupakan proses mempengaruhi lewat efek dan fungsi pesan agar menancap di benak khalayak. Secara ideologis, Djik menandaskan, fungsi visual image untuk memanipulasi fakta agar bermakna legitimate, sebab kata Stuart Allan, visual lebih berdaya memindah realitas dalam wacana dibanding teks (polysemy). (Siahaan, 2001 : 86)

Kedua, reasoning device (perangkat penalaran), yang memberikan alasan pembenar apa yang seharusnya dilakukan terhadap isu tersebut. Perangkat penalar ini berhubungan dengan kohesi dan koherensi dari teks tersebut yang merujuk pada gagasan tertentu. Sebuah gagasan tidak hanya berisi kata atau kalimat, tapi juga ditandai dasar pembenar tertentu atau alasan tertentu, sehingga lewat aspek penalaran itu khalayak akan menerima pesan itu sebagai kebenaran yang alamiah dan wajar, dengan alasan yang bisa diterima oleh nalar. Reasoning device ini terdiri dari roots, appeals to principle, consequences. (Eriyanto, 2005 : 227)

Roots (analisis kausal atau sebab akibat), mengedepankan hubungan yang melibatkan suatu obyek atau lebih yang dianggap sebagai sebab terjadinya hal yang lain. Tujuannya untuk memberikan alas an pembenar dalam penyimpulan. Appeals to principle (premis dasar, klaim-klaim moral), adalah upaya memberikan alas an pembenar dengan memakai logika dan prinsip moral untuk mengklaim sebuah kebenaran saat membangun wacana. Sifat yang apriori, dogmatis, simplistic, dan mono kausal kadang membuat khalayak yak berdaya menyanggah isi argumentasi.

Consequences adalah efek atau konsekuensi yang didapat dari bingkai. (Siahaan, 2001 : 86)

Dokumen terkait