• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KERANGKA HUKUM PEROLEHAN TANAH BAG

A. Peraturan Hukum Atas Penanaman Modal Dalam

Koordinasi Penanaman Modal

Dalam sejarah perkembangan penanaman modal di Indonesia dikenal pertama kali melalui kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang memperkenankan masuknya modal asing Eropa untuk menanamkan usahanya dalam bidang perkebunan pada tahun 1870,29 dikeluarkanlah Agrarische Wet untuk mengatur pertanahan di Indonesia. Dengan adanya peraturan tersebut, penanaman modal asing khususnya yang datang dari swasta Eropa dan yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintahan Belanda diizinkan untuk melakukan usahanya di Indonesia.30 Pada kurun waktu tahun 1942-1945 Jepang menduduki Indonesia menggantikan posisi Belanda, penanaman modal asing menurun drastis sebab adanya pelarangan-pelarangan oleh Jepang terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan penanaman modal asing seperti melarang impor dan pasokan tenaga kerja bahkan segala aktiva penanaman modal asing diambil alih.31 Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, secara yuridis Indonesia telah memulai babak baru dalam mengelola secara mandiri perekonomian negara guna melaksanakan

29

Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Op.Cit., hal.18 30

Ibid, hal. 19 31

pembangunan nasional. Namun tidaklah serta merta hal itu dapat dilaksanakan diantaranya karena masalah politik yang lebih hangat diperbincangkan, masih adanya gangguan dari tentara kolonial Belanda, masalah keamanan, dan sumber daya manusia.32 Usaha untuk membangun negeri terus dilakukan namun prospek masuknya penanaman modal asing menjadi sirna dengan dilakukannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1957, seperti De Javasche Bank dan Koninklijke Paketvaart Maatschppij (NV KPM) dengan diundangkannya UU Nomor 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Di Wilayah RI yang pelaksanaannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959 yang salah satu tujuannya untuk kemanfaatan sebesar-besarnya pada masyarakat Indonesia33, menyusul nasionalisasi terhadap perusahaan Inggris, Malaysia pada tahun 1963 dan terhadap perusahaan Amerika Serikat pada tahun 1965.34 Pada tahun 1966 terjadi peralihan kekuasaan dari masa Orde Lama kepada Orde Baru dengan model pertumbuhan ekonomi dengan menekankan pada pembentukan modal dengan jalan mengadakan pinjaman luar negeri maupun mendorong penanaman modal asing.35 Sasaran pemerintah Orde Baru tersebut ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing/PMA Nomor 1 Tahun 1967 ( perubahannya Dalam Undang-Undang

32 Ibid

33 http//jurnalrepublik.blogspot.com/2007/06nasionalisasipelayaran.htm. 34

Aminuddin Ilmar.Op.Cit, hal. 27 35

Nomor 11 Tahun 1970 ) yang menjanjikan keringanan pajak dan insentif- insentif lainnya. Kebijaksanaan penting lainnya dalam hal penanaman modal asing diamanatkan dalam keputusan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa: “pembangunan ekonomi terutama berarti mengolah kekuatan ekonomi potensial, menjadi kekuatan ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan keterampilan, penambahan kemampuan berorganisasi, dan manajemen“, yang kesemuanya itu dimiliki oleh penanam modal asing.36 Adanya dominasi modal oleh orang asing dimaksud dirasakan sangat membatasi kemampuan Pemerintah untuk bertindak secara radikal dalam waktu yang sangat singkat, oleh karena itu dengan kesadaran akan perbaikan nasib rakyat, bahwa untuk pembangunan masyarakat adil dan makmur tidak akan tercapai tanpa adanya pemupukan modal dalam negeri sendiri secara besar-besaran, oleh karena itu perlu diadakan ketentuan-ketentuan dan pengaturan-pengaturan yang dapat memperbesar kemampuan masyarakat Indonesia untuk berusaha secara produktif, yang dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan orang asing dan modalnya tanpa meninggalkan realitas-realitas yang berlaku,37 yang dituangkan dalam Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1968. Undang-Undang ini memberikan

36

Keputusan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966, Pasal 9 37

pengertian bahwa penanam modal dalam negeri atau yang disebut juga sebagai pemegang sahamnya adalah terdiri dari : negara, swasta nasional dan swasta asing yang berdomisili di Indonesia. Terhadap pihak swasta sebagai pemilik modal dapat terdiri atas perorangan dan atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, demikian dinyatakan dalam pasal 1. Sedangkan terhadap bentuk badan usaha tidak dengan jelas disebutkan, hanya dalam penjelasan pasal 3 disarankan berbentuk Perseroan Terbatas. Fasilitas yang diberikan hanya sebatas pada keringanan perpajakan baik terhadap pajak modal maupun terhadap keringanan bea masuk barang impor.

Dalam perkembangan bernegara perubahan dari segala segi akan terus terjadi, demikian juga dalam rangka mempercepat pembangunan ekonomi nasional disamping pembangunan dalam hukum nasional khususnya dibidang penanaman modal saat ini diperlukan peraturan perundangan yang lebih sesuai.38 Amanat yang tercantum dalam Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi yang menyerukan bahwa kebijakan penanaman modal selayaknya selalu mendasari ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi usaha

38

mikro, kecil, menengah dan koperasi,39 maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Tujuan penyelenggaraan Penanaman Modal tercantum dalam Pasal 3 ayat (2) antara lain untuk :

a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; b. menciptakan lapangan kerja;

c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;

d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;

e. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri;

f. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan dasar yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam penanaman modal sangatlah diperlukan, hal mana guna menunjang keberhasilan tujuan daripada penanaman modal di Indonesia. Dalam menetapkan kebijakan dasar tersebut Pemerintah memberikan perlakuan yang sama bagi PMDN maupun PMA dengan memperhatikan kepentingan nasional, dan menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha dan keamanan berusaha dari sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai ketentuan yang berlaku, serta membuka kesempatan perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, demikian tercantum dalam pasal 4 undang-undang tersebut.

Telah disebutkan pada bab pendahuluan bahwa perubahan yang signifikan terdapat pada pengaturan mengenai subjek penanam modal dalam

39 Ibid

negeri yang terdiri dari : perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum, dan negara/daerah Indonesia yang melakukan usaha di wilayah Indonesia. Bentuk badan usaha secara tegas disebutkan dalam pasal 5 yaitu dapat berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum atau usaha perorangan, namun tidak detail diuraikan dalam penjelasan tentang bentuk usaha yang bukan berbadan hukum. Pengaturan fasilitas bagi penanaman modal lebih luas lagi, dalam pasal 18 disebutkan penanaman modal yang mendapat fasilitas penanaman modal seperti yang ditunjuk oleh pasal 20 hanya berlaku bagi penanaman modal yang berbentuk perseroan terbatas. Penekanan dalam hal koordinasi, bahwa Pemerintah mengkoordinasi kebijakan penanaman modal baik koordinasi antar instansi pemerintah, antar instansi pemerintah dengan Bank Indonesia, dengan pemerintah daerah maupun antara pemerintah daerah itu sendiri guna mengkoordinir kebijakan penanaman modal seperti yang dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), dan dalam ayat (2) disebutkan bahwa Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal tersebut dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal pertama kali dilakukan dengan Keputusan Presiden Nomor 286 tahun 1968 dengan istilah ‘Panitia Teknis Penanaman Modal‘, dalam Keputusan Presiden Nomor 20

Tahun 1973 dengan istilah ‘Badan Koordinasi Penanaman Modal/BKPM ‘yang telah dicabut oleh Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1977 dan kemudian Keppres ini dicabut oleh Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1981 dan dengan beberapakali mengalami perubahan terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2004. Sebagai peraturan pelaksana dari UU PMDN nomor 6 tahun 1968 jo. UU No. 12 tahun 1970, hingga kini peraturan pelaksana tersebut masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Penanaman Modal No. 25 tahun 2007 sesuai pasal 37 undang- undang tersebut. Dalam Keppres Nomor 33 Tahun 1981 disebutkan Badan Koordinasi Penanaman Modal/BKPM adalah suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Aturan dalam Keppres ini masih relevan dengan UU Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 pada pasal 27 yang menyatakan bahwa BKPM dipimpin langsung oleh seorang kepala, bertanggungjawab, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dasar pertimbangan pembentukan, untuk lebih meningkatkan koordinasi dalam penyelenggaraan dan proses penyelesaian penanaman modal sebagai pusat pelayanan kegiatan penanaman modal.40

Menurut Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 Pasal 28 disebutkan tugas dan fungsi dari BKPM adalah :

40

a. melaksanakan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan dibidang penanaman modal;

b. mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal; c. menetapkan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan

pelayanan penanaman modal;

d. mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha;

e. membuat peta penanaman modal Indonesia; f. mempromosikan penanaman modal;

g. mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal;

h. membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal;

i. mengkoordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya diluar wilayah Indonesia; dan

j. mengkoordinasi dan melaksakan pelayanan terpadu satu pintu. Dalam Keppres Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing Dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap (dalam istilah UU Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 memakai ‘pelayanan terpadu satu pintu’) pasal 1 ayat (5) menyebutkan pengertian Sistem Pelayanan Satu Atap adalah suatu sistem pelayanan pemberian persetujuan penanaman modal dan perizinan pelaksanaannya pada satu instansi Pemerintah yang bertanggung jawab dibidang penanaman modal. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa penyelenggaraan tersebut dilaksanakan oleh BKPM sebagai instansi

Pemerintah. Dengan sistem ini diharapkan bahwa pelayanan terpadu di pusat dan di daerah dapat menciptakan penyederhanaan perizinan dan percepatan penyelesaian nya.41

Didalam melaksanakan tugas dan fungsi serta Pelayanan Terpadu Satu Pintu, BKPM harus melibatkan perwakilan secara langsung dari setiap sektor dan daerah terkait dengan pejabat yang mempunyai kompetensi dan kewenangan, demikian disebutkan dalam pasal 29 UU Nomor 25 Tahun 2007. Pedoman dan tata cara permohonan penanaman modal dalam rangka

penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing diatur dalam Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 57 Tahun 2004 jo. Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 70 Tahun 2007.

Dengan semangat otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan dengan memperhatikan UU tersebut yang mengatakan bahwa pelayanan administrasi penanaman modal adalah sebagai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah

41

Propinsi/Kota/Kabupaten42. Hal ini dipertegas kemudian dalam Peraturan pelaksana undang-undang tersebut yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007. Sebelumnya dalam Keppres Nomor 26 Tahun 1980 yang terakhir dirubah dengan Keppres Nomor 122 Tahun 1999 yang mengatur tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah/BKPMD, yang dibentuk berdasarkan pertimbangan agar lebih mempercepat peningkatan penanaman modal serta pelayanan perijinan penanaman modal diseluruh daerah.43 Oleh karena itu oleh Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara/PERDA Prop. Sumut. Nomor 4 Tahun 2001 yang mengatur tentang Lembaga Teknis Daerah Propinsi Sumatera Utara yang menetapkan Badan Investasi dan Promosi Propinsi Sumatera Utara atau Bainprom sebagai penyelenggara investasi dan promosi di bidang penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/ kota, dan untuk penyelenggaraan investasi dan promosi bidang penanaman modal dengan ruang lingkup berada dalam satu kota dibentuk Kantor Penanaman Modal Daerah Kota Medan, demikian sesuai aturan dalam pasal 30 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Penanaman Modal. Bainprom adalah unsur penunjang Pemerintah Propinsi, dipimpin oleh seorang Kepala yang berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur

42

UU No.32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah Ps.13 Angka (1) huruf n 43

Kepala Daerah. Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kota menjadi urusan pemerintahan kota dan urusan penanaman modalnya dilakukan oleh Kantor Penanaman Modal Daerah/KPMD dalam lingkungan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh seorang Kepala yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Daerah(Walikota).

Badan Investasi dan Promosi Propinsi Sumatera Utara mempunyai tugas membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan investasi dan promosi, dengan menyelenggarakan fungsi :

a. menyiapkan bahan dalam perumusan kebijakan teknis di bidang investasi dan promosi;

b. menyelenggarakan Pelayanan Administrasi, Promosi dan Informasi serta Pengawasan Pengendalian;

c. melakukan Pengkajian dan Evaluasi Penyelenggaraan Promosi dan Investasi.44

Kantor Penanaman Modal Daerah Kota Medan menyelenggarakan fungsi :

1. Merumuskan dan melaksanakan kebijakan teknis dibidang penanaman modal;

2. Menyusun rencana dibidang penanaman modal serta mengidentifikasi sumber-sumber potensi daerah untuk kepentingan perencanaan penanaman modal daerah, pemberian pelayanan konsultasi investasi yang berkaitan dengan kegiatan pelayanan perizinan, kemudahan infrastruktur dan kerjasama investasi;

3. Merumuskan dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan dibidang pengembangan investasi;

44

4. Melaksanakan seluruh kewenangan yang ada sesuai dengan bidang tugasnya;

5. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah.45 Jika dilihat pada kenyataannya bahwa fungsi atau kewenangan Badan Investasi dan Promosi Propinsi Sumatera Utara dan fungsi Kantor Penanaman Modal Daerah Kota Medan yang ada saat ini, tidaklah mencerminkan semangat otonomi daerah yaitu jiwa daripada Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut diatas, karena wewenang memberikan Surat Persetujuan dan Perizinan dalam rangka penanaman modal berada pada Badan Koordinasi Penanaman Modal, sedangkan Bainprom Propinsi Sumut dan KPMD Kota Medan hanya sebatas pemandu, memberikan sosialisasi, pengawasan dan pelaporan tentang penanaman modal, berdasarkan tembusan dari Pusat ke Daerah.46 Bahkan Kantor Penanaman Modal Daerah Kota Medan tidak memiliki data yang pasti tentang Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri yang ada di daerah Kota Medan hal tersebut dikarenakan tidak setiap berdirinya Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri di Kota Medan diberikan ‘tembusan/file nya dari BKPM kepada KPMD Kota Medan.47

45

www.pemkomedan.go.id/ktr-pmd.php, tanggal 2 Februari 2008.

46

Wawancara dengan Anthon Malau, Kasubbid.Pelayanan Administrasi Industri pada Kantor BAINPROM Propinsi Sumatera Utara, di Medan, tanggal 1 February 2008

47

Wawancara dengan Halida Hanum, Kasubbag. Tata Usaha pada Kantor Penanaman Modal Daerah Kota Medan, di Medan, tanggal 4 February 2008.

B. Kerangka Hukum Atas Perolehan Tanah Bagi Perusahaan PMDN.

Tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan salah satu sumber daya alam utama, yang selain mempunyai nilai batiniah yang mendalam bagi rakyat Indonesia, juga berfungsi sangat strategis dalam memenuhi kebutuhan negara dan rakyat yang makin beragam dan meningkat baik dalam tingkat nasional maupun dalam hubungan dengan dunia Internasional.48 Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata. Walaupun pada umum nya tanah merupakan benda yang dapat diperjualbelikan, namun dalam pandangan orang Indonesia yang belum mendapat pengaruh pemikiran dunia barat, tanah bukanlah komoditi perdagangan.49

Seiring dengan kemajuan jaman, tanah merupakan faktor penting dalam menunjang setiap pembangunan sebagai tempat beraktifitasnya suatu usaha/perusahaan termasuk sebagai tempat suatu proses produksi berupa pabrik dan lain sebagainya. Di negara agraris, tanah terutama dimanfaatkan untuk lahan pertanian, sementara di negara industri tanah dibutuhkan untuk lokasi perindustrian dengan segala aktivitas yang terkait dengan industri tersebut. Oleh karena itu ketersediaan tanah yang sangat memadai sangatlah dibutuhkan dalam rangka menarik penanam modal untuk menanamkan modalnya.

Kebutuhan tanah untuk keperluan pembangunan harus senantiasa dalam rangka mencapai masyarakat adil dan makmur, oleh karena itu harus

48

Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Jakarta, Universitas Trisakti, 2002, hal. 3

49

diusahakan adanya keseimbangan antara keperluan tanah untuk kepentingan perorangan dan untuk kepentingan orang banyak.50

Dalam rangka pembangunan nasional di negara kita, tanah mempunyai dua fungsi utama, yaitu :

a. Sebagai wadah, diatas mana manusia membangun sesuatu, apakah itu tempat tinggal atau tempat ia melakukan kegiatan dalam kehidupannya; b. Sebagai faktor produksi, dimana tanah dipergunakan manusia untuk

mendapatkan hasil tertentu.51

Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut : FUNGSI TANAH

SEBAGAI WADAH SEBAGAI FAKTOR PRODUKSI di Kota di desa

Untuk dapat menunjang pembangunan itu sendiri, kebijakan dan strategi pertanahan diperlukan agar dapat disediakan tanah bagi para penanam modal dalam waktu yang cepat, dengan prosedur yang sederhana, singkat biaya murah dan tetap terjamin kepastian hukumnya.

50

Sajuti Thalib, Hubungan Tanah Adat Dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Jakarta, Bina Aksara, 1985, hal. 1

51

Arie S. Hutagalung, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyediaan Dan Penyiapan Tanah

Berawal dari Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Sumber Tertib Hukum dimana semua peraturan perundang-undangan dibawahnya haruslah berpedoman pada Sumber Tertib Hukum tersebut. Dengan semangat seperti yang tersirat dari pasal 33 ayat (3) mengantarkan dibentuknya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960 atau yang secara resmi dinyatakan sebagai Undang-Undang Pokok Agraria, yang menghantarkan pada perubahan fundamental terhadap Hukum Agraria terutama hukum bidang pertanahan.52 Pada saat pembentukan, UUPA masih berorientasi pada pembangunan negara agraris dan yang salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi modal asing sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Agraria pada waktu itu Sadjarwo didepan DPR RI yaitu dengan mengurangi jangka waktu hak-hak atas tanah dalam Agrarische Wet 1870. Sedangkan untuk saat ini ada dua hal pokok yang harus dipikirkan, yakni bagaimana Undang-Undang Pokok Agraria dapat mendorong industrialisasi, namun tetap menjaga kepentingan masyarakat banyak, golongan lemah, serta menghormati hak-hak masyarakat lokal (daerah).53 Seiring dengan bertambahnya teknologi, waktu dan perubahan kebutuhan serta aspirasi manusia yang berpengaruh terhadap kebutuhan akan

52

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Op.Cit., hal 1 53

tanah yang semakin meningkat, sejalan dengan itu bahwa tanah yang tersedia semakin berkurang, maka sangat dibutuhkan adanya peraturan pelaksana dari Undang-Undang Pokok Agraria yang dapat memenuhi aspirasi dari perkembangan jaman itu sendiri.

Sebagai bentuk nyata hak menguasai dari negara sebagaimana telah disebutkan terdahulu, pemerintah merasa perlu untuk mengatur, menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan, dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan- perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa, dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan dan kepastian hukum Untuk kebutuhan dimaksud dikeluarkanlah berbagai peraturan sebagai peraturan pelaksana, seperti ketentuan yang mengatur mengenai Penunjukan Badan – Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, mengenai Penyediaan Dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan, mengenai Tata Cara Memperoleh Ijin Lokasi Dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal, mengenai Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal, mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah, mengenai Pendaftaran Tanah, mengenai Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan Atau Hak Pakai, Dan Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Pakai, mengenai Pemberian Ijin Lokasi Dalam

Rangka Penataan Penguasaan Tanah Skala Besar, mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah.

Pengaturan perolehan tanah bagi perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri terdapat diberbagai peraturan, oleh karena itu terlebih dahulu kita melihat pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 sebagai perintah dari UUPA untuk mengatur dan membatasi badan-badan hukum yang dapat memperoleh hak milik atas tanah, maka diluar itu badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia hanya dapat diberikan dengan status kepemilikan berupa Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Sewa.

Pengkhususan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan Dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan baik terhadap perusahaan yang diselenggarakan dengan ataupun tanpa fasilitas penanaman modal, yang menyatakan bahwa dengan mengingat bidang usaha, keperluan dan persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, kepada Perusahaan dapat diberikan sesuatu hak atas tanah negara kepada perusahaan yang berbentuk badan hukum dengan Hak Pengelolaan, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.

Bagi Perusahaan Penanaman Modal untuk dapat memperoleh tanah

bagi keperluan usahanya diperlukan Izin Lokasi. Pengaturan ini terdapat pada

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

2 Tahun 1993 mengatur Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi Dan Hak Atas

Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal yang menguraikan

bahwa izin lokasi berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan penetapan

ijin lokasi dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Diberikannya jaminan

perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan

Dokumen terkait