KAJIAN YURIDIS PEROLEHAN TANAH BAGI PERUSAHAAN
PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DI KOTA MEDAN
TESIS
OLEH
NANI ROSITA SARAGIH NIM : 067011058
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KAJIAN YURIDIS PEROLEHAN TANAH BAGI PERUSAHAAN
PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DI KOTA MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan
Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
OLEH
NANI ROSITA SARAGIH NIM : 067011058
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : KAJIAN YURIDIS PEROLEHAN TANAH BAGI
PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DI KOTA MEDAN
Nama Mahasiswa : NANI ROSITA SARAGIH
Nomor Pokok : 067011058
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. M. Yamin Lubis, S.H., M.S., C.N. Ketua
Dr.Budiman Ginting, S.H., M.Hum. Anggota
Notaris/PPAT Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.. Anggota
Ketua Program Studi Direktur
ABSTRAK
Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri membutuhkan tanah untuk tempat melakukan kegiatan usahanya. Tanah bagi perusahaan dapat diperoleh dari tanah yang berasal dari tanah negara ataupun dari tanah yang telah dilekati hak-hak tertentu seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai. Sehubungan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yang membatasi pemilikan hak milik atas tanah bahwa badan usaha swasta Perseroan Terbatas Penanaman Modal Dalam Negeri tidak termasuk yang dapat memperoleh hak milik. Oleh karenanya, dengan peraturan perundang-undangan ada pengaturan tentang proses perolehan tanah bagi penanaman modal yang diatur dalam KMNA/KBPN Nomor 21 Tahun 1994, sehingga hak atas tanah tersebut sesuai dengan apa yang digariskan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yaitu HGB, HGU, dan HP. Dalam KMNA/KBPN Nomor 21 Tahun 1994 diatur perolehan tanah dengan cara pemindahan hak atau cara penyerahan/pelepasan hak atas tanah dan dalam pelaksanaannya terkait dengan beberapa peraturan perundang-undangan.
Dalam penulisan ini dikemukakan kerangka hukum dan tata cara perolehan tanah serta faktor pertimbangan yang mempengaruhi cara perolehan tanah bagi Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri di Kota Medan. Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif Analistis dengan metode pendekatan Yuridis Normatif dengan perolehan data yang bersumber dari data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier yang terkait dengan pembahasan perolehan tanah bagi perusahaan PMDN. Mendukung penelitian ini dilakukan juga wawancara kepada Informan Key pada : Kantor Pertanahan Kota Medan; Badan Investasi dan Promosi Prop. SUMUT; dan Kantor Penanaman Modal Kota Medan.
sesuai dengan hak yang dibutuhkan oleh perusahaan PMDN, atau cara penyerahan/pelepasan hak melalui proses penyerahan/pelepasan hak atas tanahnya kepada negara sehingga tanah yang sudah diserahkan atau dilepaskan tersebut berubah status menjadi tanah negara yang kemudian dengan berdasarkan pada kesepakatan sebelumnya bahwa tanah tersebut dimohonkan oleh perusahaan PMDN. Untuk memudahkan bagi masyarakat atau penanam modal hendaknya tata cara perolehan tanah ini menyajikan prosesnya dalam petunjuk secara tertulis, dengan memberikan keterangan cara perolehan apa yang sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor keadaan dilapangan.
Kata Kunci : Perolehan Tanah; Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri.
Any Domestic Investment Corporation requires a land for business operation. The land for any corporation can be acquired from the state-owned lands or the lands inherent by certain rights such as Right of Possession, Right for Business Utility, Right for Building Utility, and Right for Use. Referring to the Governmental Rule No. 38 of 1963 restricting the possession of land that private corporation and Domestic Investment Corporation are excluded to reserve a right of possession. Therefore, given the governmental rules, there is a regulation regarding acquisition process of land for investment as stipulated in KMNA /KBPN No. 21of 1994 that the right on land is complied as enacted by the Laws No. 25 of 2007 involving Right for Building Utility, Right for Business Utility and Right for Use. The KMNA/KBPN No. 21 of 1994 governs methods of land acquisition by surrender of right on land and the implementation is related to the statutory rules.
The present study deals with framework of law and procedures of land acquisition and the consideration factors influencing on the land acquisition by Domestic Investment Corporations in Medan Municipality. The study is a descriptive analysis using a normative juridical approach by collecting the data resulting from secondary data involving primary, secondary and tertiary materials of law related to the discussion of land acquisition for Domestic Investment Corporations. To support the study, an interview was also carried out with the key informant at the Municipal Landform Affairs Office, Provincial Investment and Promotion Board of North Sumatra, and Municipal Investment Office of Medan.
Keywords : Land Acquisition ; Domestic Investment Corporations
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Maha Pengasih, karena hanya oleh kasih dan pertolonganNya tesis yang berjudul Kajian Yuridis Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri Di Kota Medan ini dapat diselesaikan.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan pada program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini penulis mendapat perhatian dan bimbingan dari berbagai pihak dan untuk itu diucapkan terimakasih yang tiada terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya terutama kepada : 1.Prof. Dr. M. Yamin Lubis, S.H., M.S., C.N.,
2. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., 3. Notaris/PPAT Syahril Sofyan, S.H., M.Kn. Selanjutnya ucapan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister.
2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. M.Yamin Lubis, S.H., M.S., C.N, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI, selaku Dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
5. Ir. Hj. Sabrina Munthe, M.Si., selaku Kepala Badan Investasi Dan Promosi/ BAINPROM Prop. Sumatera Utara.
Kota Medan.
7. Dr. Drs. Ronsen Pasaribu, S.H., M.M., selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan.
8. Bapak Rustam Efendi Rasyid, S.H., selaku Dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan Werda Notaris/PPAT di Kota Medan.
9. Bapak Anthon Malau, S.H., selaku Kepala Sub Bidang Pelayanan Administrasi Industri pada BAINPROM Prop. SUMUT.
10.Drs. Muchlis, M.AP., selaku Kepala Sub Seksi Penetapan Hak Tanah pada Kantor Pertanahan Kota Medan.
11.Para Dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana USU.
12.Sahabat, rekan dan semua pihak yang berbaik hati yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhirnya dengan rasa sayang penulis ucapkan terimakasih kepada suami Drs. Orlando Siagian, Ak serta anak kami Arthur dan Arnold Siagian yang memberikan semangat, dorongan dan kesempatan untuk menimba ilmu di Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara ini.
Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, karena itu kritik dan saran yang membangun diharapkan untuk kesempurnaannya. Kiranya penulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juni 2008 Penulis,
Nani Rosita Saragih
Halaman
ABSTRAK ……… iv
ABSTRACT ………. vi
KATA PENGANTAR ………. viii
DAFTAR ISI……… x
DAFTAR SKEMA ………. xii
DAFTAR SINGKATAN ……… xiii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 18
C. Tujuan Penelitian... 18
D. Manfaat Penelitian ... 19
E. Keaslian Penelitian ... 19
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 20
1. Kerangka Teori ... 20
2. Konsepsi... 30
G. Metode Penelitian ... 32
BAB II. KERANGKA HUKUM PEROLEHAN TANAH BAGI PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI ... 35
B. Kerangka Hukum Atas Perolehan Tanah Bagi
Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri ... 35
BAB III. TATA CARA PEROLEHAN TANAH BAGI PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DI KOTA MEDAN……… .... 47
A.Tata Cara, Fasilitas dan Bentuk Kerjasama Penanaman Modal Dalam Negeri………... .... 57
1. Tata cara Penanaman Modal Dalam Negeri ... 57
2. Fasilitas-fasilitas dan perubahan status bagi Penanaman Modal Dalam Negeri ... 75
3. Kerjasama Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri ... 81
B. Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri ... 84
1. Izin Lokasi ... 84
2. Tata Cara Perolehan tanah dan perolehan sertipikat 98 3. Persyaratan Permohonan ... 108
BAB IV. FAKTOR-FAKTOR PERTIMBANGAN PENENTUAN PEROLEHAN TANAH DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DI KOTA MEDAN………... 113
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 122
A. Kesimpulan ... 122
B. Saran ... 124
DAFTAR SKEMA
Nomor Judul Halaman
1.Kerangka Hukum Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Penanaman
Modal Dalam Negeri ………... 56 2.Alur Pengajuan Persetujuan/Perizinan Dalam Rangka Pendirian
Perusahaan PMDN/PMA di Indonesia………. 74 3.Alur Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Penanaman
DAFTAR SINGKATAN
AMDAL : Analisa Mengenai Dampak Lingkungan APIT : Angka Pengenal Importir Terbatas
BKPM/D : Badan Koordinasi Penanaman Modal/Daerah BAINPROM : Badan Investasi Dan Promosi
HGB : Hak Guna Bangunan HGU : Hak Guna Usaha HP : Hak Pakai
IMTA : Izin Mempekerjakan Tenaga Asing KANWIL : Kantor Wilayah
KANTAH : Kantor Pertanahan
KPMD : Kantor Penanaman Modal Daerah KEPPRES : Keputusan Presiden
KMNA : Keputusan Menteri Negara Agraria KBPN : Kepala Badan Pertanahan Nasional KUHD : Kitab Undang-Undang Hukum Dagang PT : Perseroan Terbatas
PERDA : Peraturan Daerah
PMDN : Peraturan Menteri Dalam Negeri PMDN : Penanaman Modal Dalam Negeri PMNA : Peraturan Menteri Negara Agraria PM : Penanaman Modal
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak RUPS : Rapat Umum Pemegang Saham
RPTKA : Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing SUMUT : Sumatera Utara
UMKMK : Usaha Mikro Kecil Menengah Dan Koperasi WNA : Warga Negara Asing
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan bagi kehidupan
manusia, yang dalam hukum adat tanah mempunyai hubungan yang
magis-religius dengan seseorang jika tanah tersebut dikerjakan secara terus menerus.1
Sebagai contoh suku Amugme dan suku Kamoro dari daerah pedalaman
propinsi Papua, menganggap ‘tanah’ (tapare) diibaratkan sebagai seorang ibu
(enae tapare) dan tanah itulah yang memberikan nafas kehidupan bagi
mereka.2
Namun hubungan yang magis religius tersebut terusik pada masa
penjajahan kolonial pada sekitar tahun 1596 dibawah naungan bendera V.O.C
(Vereenigde Oost Indiesche Compagnie) yang tidak mengakui keberadaan dari
hukum adat tersebut.3 Pada masa itu landasan hukum bidang pertanahan
tertuang dalam Agrarische Wet 1870 yang berkonsep feodal, dan dalam hukum
Perdata Barat yang bersifat Individualistik-Liberal yang tentu sangat berbeda
dengan karakteristik perilaku masyarakat adat maupun hukum tanah golongan
pribumi yang berkonsep komunalistik-religius.
1
Chadijah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya, Cet. Ke III Ed.Rev.Medan, Universitas Sumatera Utara, 2005, hal. 20
2
Ngadisah, Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua, Yogyakarta, Pustaka Raja, 2003, hal 58
3
Bagi tanah-tanah yang dimiliki dengan hak-hak barat (seperti eigendom,
erfpacht, hypotheek, hak konsesi, opstal) tersedia hukum yang tertulis dan
lengkap yang sudah terkodifikasi dalam suatu Kitab Undang Undang.
Sedangkan bagi sebagian besar tanah yang dipunyai dengan hak-hak adat ( hak
milik adat, hak milik turun temurun, hak yasan, hak gogolan tetap, Andarbeni,
Pesini, Grant Sultan, ulayat, girik, dll.)4, hukumnya tidak tertulis sehingga
tidak mudah diketahui isinya, khususnya bagi orang-orang luar masyarakat
hukum adat. Disamping itu ketentuan Hukum Tanah Administratif yang ada
pada masa itu hampir semua merupakan hukum yang tertulis dengan jumlah
yang amat banyak namun tidak terkodifikasi, tersebar dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, yang pemberlakuannya pun terpilah-pilah, misal untuk
wilayah-wilayah dan daerah daerah tertentu saja, erfpacht untuk pertanian kecil
bagi golongan eropa yang kurang mampu, penguasa swapraja membuat aturan
untuk daerahnya masing-masing.5 Aturan Hukum Tanah yang demikian
beragam untuk berbagai golongan penduduk Eropa, Timur Asing, Tionghoa
dan Pribumi semakin tidak memberikan kepastian hukum terutama bagi rakyat
Pribumi.
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, barulah secara
bertahap diadakan reformasi dibidang pertanahan. Secara komprehensif dan
4
John Salindeho, Manusia, Tanah, Hak dan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 7 5
fundamental terbentuklah Undang Undang Pokok Agraria pada tanggal 24
September 1960 sebagai peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, yang salah satu
dalam konsiderannya mencabut segala produk aturan hukum jaman kolonial
yaitu Agrarische Wet S.1870.
Undang-Undang Pokok Agraria harus merupakan pelaksanaan dari
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan mencakup pasal 33 UUD 1945 sebagai
yang ditegaskan dalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang
mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin
penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik secara
perorangan maupun secara gotong royong.6 Tentu yang dimaksud dalam
UUPA bukan hanya tanah saja yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, tetapi seluruh kekayaan sebagaimana yang tercakup
dalam pasal 33 khususnya ayat (3) UUD 1945 tertulis ‘ Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ‘.
Demikian pentingnya fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu terhadap pembangunan masyarakat yang
adil dan makmur yang sebagai tujuan dasar dari Undang-Undang Pokok
6
Agraria, maka perlu diadakan kegiatan-kegiatan pembangunan.7 Kekayaan
alam untuk kemakmuran rakyat, itu berarti harus ada pengelolaan terhadap
kekayaan alam itu sendiri, apakah itu dengan cara pemeliharaan/pengolahan
ataupun pembangunan. Dengan cara pemeliharaan/pengolahan dalam hal ini
oleh si pemilik tanah itu memang kurang dapat menjamin apakah
kesejahteraan rakyat itu akan tercapai, bila hanya mengandalkan dari
pemeliharaan dan pengolahan tanah dari segi mengusahakannya dengan cara
bercocok tanam ataupun membiarkan tanah dalam kondisi tidak dimanfaatkan
menunggu perekonomian membaik dan pembangunan meningkat disegala
bidang sehingga harga tanah diharapkan akan semakin menggiurkan. Ataukah
dengan cara pembangunan, dengan membuka peluang untuk tanah-tanah
tersebut dimanfaatkan dengan baik sehingga dapat mendukung pembangunan
ekonomi secara riil, yaitu tanah sebagai tempat lokasi perindustrian dengan
segala aktifitasnya. Bagaimana hal ini dapat terlaksana untuk tujuan yang akan
dicapai dalam hal pembangunan dan kesejahteraan. Pembangunan dibidang
ekonomi yang memanfatkan fasilitas sumber kekayaan alam (tanah) tersebut
membutuhkan kekuatan ekonomi riil salah satunya melalui usaha penanaman
modal.
Pada permulaan masa Orde Baru, Pemerintah telah mencanangkan
beberapa program pembangunan salah satunya dibidang perekonomian tentang
7
pengaturan mengenai pengelolaan modal di Indonesia. Dengan bertolak dari
prinsip ekonomi yang rasional dan realitas, dikeluarkanlah Undang Undang
Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang kemudian
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970
tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing, dimana investor-investor asing diarahkan
untuk berperan menunjang akselerasi pembangunan nasional. Kenapa sasaran
pertama para investor asing ? karena memang merekalah yang mempunyai
modal, pengalaman dan teknologi. Jadi berdasarkan pengalaman menunjukkan
bahwa perekonomian Indonesia pada umumnya dan dalam hal permodalan
pada khususnya, terutama yang berskala besar didominasi oleh orang-orang
asing. Sesungguhnya hal ini tidak sesuai dengan semangat Pancasila yang
selalu mementingkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Serta pada prinsip
nya bahwa Warga Negara Asing tidak diperbolehkan berusaha di Indonesia
dengan modal dalam negeri.8
Untuk itu dirasa perlu memberdayakan atau memanfaatkan modal dalam
negeri secara maksimal, dan perlu diciptakan iklim yang baik serta
menetapkan ketentuan-ketentuan perangsang atau fasilitas-fasilitas bagi
penanaman modal dalam negeri. Maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor
8
6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri.
Dengan lebih memperhatikan akan kebutuhan percepatan perkembangan
perekonomian dan pembangunan hukum nasional khususnya dibidang hukum
penanaman modal, serta dalam menghadapi perubahan perekonomian global
dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerjasama Internasional perlu
diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan
kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan tetap memperhatikan
kepentingan ekonomi nasional, maka baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1967 dengan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 dan
Undang Nomor 6 Tahun 1968 dengan perubahannya dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 sangat penting untuk diganti dan dinyatakan
bahwa Undang-Undang tersebut diatas dinyatakan tidak berlaku lagi, yaitu
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.9
Article 1 Law of The Republic of Indonesia Number 25 of 2007
“Investment” means any form of investing activity by both domestic investor
and foreign investors to do business in the territory of the state of the Republic
of Indonesia.
9
Untuk penanam modal yang dilakukan oleh penanam modal dalam
negeri, maka penanaman modal itu disebut sebagai Penanaman Modal Dalam
Negeri/Domestic Investment, sedangkan penanaman modal yang dilakukan
oleh penanam modal asing disebut sebagai Penanaman Modal Asing/Foreign
Investment.
Bentuk badan usaha dari suatu Penanaman Modal Dalam Negeri dapat
dilakukan dengan berbentuk badan hukum maupun tidak berbadan hukum atau
usaha perseorangan, sedangkan terhadap bentuk badan usaha dari Penanaman
Modal Asing wajib dilakukan dalam bentuk Perseroan Terbatas yang
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan didalam wilayah negara
Republik Indonesia, demikian digariskan dalam pasal 5 dari Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 dimaksud diatas.
Bagi perusahaan yang mempergunakan penanaman modal baik itu
Penanaman Modal Asing maupun Penanaman Modal Dalam Negeri,
khususnya dalam penelitian ini adalah Penanaman Modal Dalam Negeri,
Pemerintah memberikan kebijakan-kebijakan dasar dan fasilitas-fasilitas
tertentu selain sebagai upaya menjamin kepastian hukum, juga diharapkan
dapat memberikan kepastian berusaha, keamanan berusaha dari semenjak
proses pengurusan perizinan, pengurusan perolehan tanah sampai dengan
Hubungan antara perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dengan
tanah yaitu sebagai tempat dari setiap aktifitas perusahaannya dan sebagai
salah satu faktor penting dalam suatu proses produksi. Karena semua proses
produksi memerlukan tempat/wadah yaitu berupa pabrik yang harus dibangun
di daerah/tempat atau lokasi tertentu10 , maka dalam pasal 21 dari
Undang-Undang Penanaman Modal dimaksud diberikan fasilitas untuk memperoleh
kemudahan dalam pelayanan dan perizinan mendapatkan hak atas tanah.
Membicarakan tanah dapat dikatakan identik dengan membicarakan
hak-hak yang melekat pada tanah itu, karena tidak ada lagi bidang-bidang
tanah dikawasan yang dihuni oleh manusia yang tidak terkait dengan hak
menguasai dan atau hak milik, beserta hak-hak yang terkandung dalam hak
milik tersebut.11Oleh karena itu setiap perolehan tanah yang akan diuraikan
dalam penulisan ini identik juga dengan cara perolehan hak atas tanah tersebut.
Sebagai landasan pokok pengakuan terhadap hak-hak atas tanah tersebut
adalah pada pasal 33 khususnya ayat (3) UUD 1945 serta dalam beberapa
pasal Undang-Undang Pokok Agraria.
Pengaturan hak menguasai atas tanah oleh negara adalah sebagai hak
yang bersifat publik seperti yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) UUPA pada
10
Sukanto Reksodiprodjo dan Indriyo Gito Sudarmo, Manajemen Produksi, Yogyakarta,Edisi Ketiga, BPFE, 1984, hal. 101
11
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat. Negara dalam hal ini diartikan sebagai Pemerintah Pusat, jadi
penguasaan oleh negara pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat yang
oleh ayat (4) dinyatakan dapat di kuasakan kepada daerah-daerah Swatantra
dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan Peraturan
Pemerintah, dan dapat di perbantukan/di-medebewind-kan kepada kewenangan
daerah propinsi, Kabupaten/Kota oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Dari pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria ini
memberikan kekuasaan yang besar dan kewenangan yang sangat luas bagi
negara untuk mengatur alokasi atas sumber-sumber agraria,12 namun bahwa
‘hak menguasai’ bukan berarti dimiliki, akan tetapi pengertian yang
memberikan wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan bangsa
Indonesia pada tingkatan tertinggi melakukan wewenang-wewenangnya seperti
disebut dalam pasal 2 ayat (2), yaitu :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
12
www.journal.unair.ac.id/login/filer.pdf., tanggal 30 Januari 2008, Sri Hajati,
Dengan rincian kewenangan yang sifatnya mengatur, menentukan dan
menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam pasal 2 tersebut oleh UUPA
diberikan suatu interpretasi otentik mengenai Hak Menguasai dari Negara
yang dimaksudkan oleh UUD 1945, sebagai hubungan hukum yang bersifat
publik semata-mata.13 Kemudian oleh Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun
1979 pasal 1 ayat (1) menyatakan : “bahwa terhadap tanah dengan HGU,
HGB, dan HP konversi hak barat yang jangka waktunya akan berakhir pada
tanggal 24 September 1980, maka pada saat berakhirnya hak tersebut menjadi
tanah yang dikuasai langsung oleh negara”. Wewenang inilah sebagai pembeda
dari apa yang kita kenal dengan ‘Domein Verklaring’ dalam Agrarisch Wet S.
1870 pada masa pemerintahan kolonial, yang memahami bahwa ‘ semua tanah
yang tidak dapat dibuktikan dengan sesuatu hak eigendom seseorang adalah
domein negara. Domein Verklaring penonjolannya pada hak negara atas tanah,
yang sudah barang tentu tidak akan menunjang kesejahteraan bagi kehidupan
rakyat banyak.
Wewenang penguasaan dalam hal mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan atas tanah adalah berupa pengaturan macam-macam hak atas tanah
13
seperti yang terdapat dalam UUPA pasal 4 ayat (1) dan (2), dan pasal 16 ayat
(1) dan pasal 53.14
Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA berbunyi sebagai berikut :
(1). Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
(2). Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Macam-macam hak atas tanah dalam sistem pemilikan dan penguasaan
sumber-sumber agraria menurut UUPA ini dapat dibedakan dalam dua
kategori: (1) hak primer yaitu semua hak yang diperoleh langsung dari negara
dan (2) hak sekunder artinya semua hak yang diperoleh dari pemegang hak
atas tanah lain berdasarkan perjanjian bersama.15
Hak-hak atas tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria pasal 4
adalah sebagai hak atas tanah yang bersifat privat/perdata seperti yang
tertuang dalam pasal 16 ayat (1) sebagai berikut :
(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah: a. hak milik,
14
Ibid., hal. 286 15
b. hak guna-usaha, c. hak guna bangunan, d. hak pakai,
e. hak sewa,
f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan,
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifat nya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.
Pasal 53 ayat (1) sebagai berikut :
(1) Hak-hak yang sifat nya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.
Pengaturan dan penyelenggaraan peruntukan atas tanah oleh Negara/
Pemerintah dimaksud dapat terjadi atas tanah negara maupun atas tanah yang
telah dimiliki dengan hak tertentu.
Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi,
air dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada
hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam pasal
2 ayat (3) UUPA yaitu untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, serta
dapat dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang
Pengaturan yang bersumber pada hubungan hukum terhadap siapa dan
hak-hak apa saja yang dapat diberikan, kita lihat dalam pasal-pasal berikut
dalam UUPA dan peraturan lainnya.
Pada Undang-Undang Pokok Agraria :
1. Pasal 21 ayat (1) yang menyatakan hanya Warga Negara
Indonesia yang dapat mempunyai hak milik;
2. Pasal 21 ayat (2) menyatakan oleh Pemerintah ditetapkan badan
badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik dengan
persyaratan yang ditentukan dalam peraturan lain;
3. Pasal 30 ayat (1), menyatakan yang dapat mempunyai Hak Guna
Usaha adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum
Indonesia yang didirikan menurut hukum Indonesia dan yang
berkedudukan di Indonesia;
4. Pasal 36 ayat (1), menyatakan yang dapat mempunyai Hak Guna
Bangunan adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum
Indonesia yang didirikan menurut hukum Indonesia dan yang
berkedudukan di Indonesia;
5. Pasal 42, menyatakan yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah
Warga Negara Indonesia, Badan Hukum yang didirikan menurut
berkedudukan di Indonesia, dan Badan Hukum Asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia;
6. Pasal 45 menyatakan yang dapat menjadi pemegang Hak Sewa adalah
Warga Negara Indonesia, Badan Hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, Orang asing yang
berkedudukan di Indonesia, dan Badan Hukum Asing yang mempunyai
perwakilan di Indonesia;
7. Pasal 46 terhadap Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan,
pasal 47 terhadap Hak Guna Air, pemeliharaan dan penangkapan
ikan, dan pasal 48 terhadap Hak Guna Ruang Angkasa, hanya dapat
dipunyai oleh Warga Negara Indonesia yang pengaturannya lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang
Kewarganegaraan RI bahwa Warga Negara Indonesia termasuk juga anak yang
lahir dari perkawinan campuran yang sah ataupun tidak sah antara WNI
dengan WNA yang dilahirkan didalam maupun diluar wilayah Indonesia dan
kewarganegaraan ganda sebelum anak tersebut mencapai usia 18 tahun atau
belum kawin.16
Pengaturan dalam peraturan lainnya terdapat pada dan sebagai aturan
pelaksana dari UUPA khususnya dalam hal pasal 21 ayat (2) yaitu yang
tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yang mengatur
penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas
tanah. Seperti kita lihat dalam pasal 1 menyebutkan Bank-Bank Negara,
Perkumpulan Koperasi Pertanian, Badan-Badan Keagamaan dan Badan-Badan
Sosial yang dapat sebagai pemegang hak milik atas tanah. Sedangkan terhadap
badan-badan hukum yang tidak disebutkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 1963 tersebut di atas, dapat dilihat di berbagai macam
peraturan menurut bidangnya masing-masing dengan berbagai hak di luar hak
milik.
Pada Peraturan Menteri Dalam negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan Dan Pemberian Tanah untuk
keperluan Perusahaan ditetapkan hak-hak atas tanah yang dapat diberikan
kepada perusahaan. Perusahaan disini dimaksudkan baik itu perusahaan yang
diselenggarakan dengan fasilitas-fasilitas penanaman modal sebagai yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing dan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri maupun yang diselenggarakan tanpa menggunakan fasilitas
penanaman modal. Hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada
perusahaan dimaksud dapat dilakukan diatas tanah yang berstatus sebagai
tanah negara, dan terhadap perusahaan berbentuk badan hukum atau usaha
perorangan dan pengusaha berkewarganegaraan Indonesia dapat diberikan Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Bahkan perusahaan dapat
menggunaan tanah diatas tanah yang sudah dimiliki hak pihak lain atas dasar
sewa atau bentuk lainnya, namun hal ini tidak ikut dalam pembahasan.
Pengaturan khusus lebih lanjut diatur dalam Keputusan Presiden Nomor
97 Tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal, yang kemudian sebagai
aturan pelaksananya dikeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara
Perolehan Ijin Lokasi dan Hak Atas Tanah bagi Perusahaan Penanaman Modal
yang menyebutkan bahwa hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh Perusahaan
dalam rangka penanaman modal tercantum Hak Guna Usaha dan Hak Guna
Bangunan.
Perkembangan di tahun 2007 diberlakukan Undang-Undang yang
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang dapat dimiliki oleh
perusahaan penanaman modal di Indonesia.
Menindaklanjuti pengaturan tentang perolehan tanah bagi perusahaan
penanaman modal dan sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1993 tersebut
dikeluarkanlah Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 21 Tahun 1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi
Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal yang mengatur bagaimana cara
memperoleh tanah bagi perusahaan penanaman modal.
Bagaimana cara perolehan tanah bagi perusahaan penanaman modal
khususnya bagi Penanaman Modal Dalam Negeri dan terhadap hak atas tanah
yang bagaimana diterapkannya alternatif cara perolehan tanah dimaksud
menurut peraturan yang berlaku, yang akan diteliti lebih lanjut. Oleh karena
dengan dasar latar belakang yang dikemukakan tersebut diatas menarik untuk
ditelusuri lebih dalam tentang Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Penanaman
Modal Dalam Negeri, Penelitian di Kantor Pertanahan Kota Medan. Dalam
penelitian ini dikhususkan pada perusahaan penanaman modal dalam negeri
yang berbentuk Badan Hukum Perseroan Terbatas/PT, dan dibatasi pada
perolehan tanah asal tanah negara yang tidak dilekati dengan Hak Pengelolaan
B. Permasalahan
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut di atas, maka ada beberapa
permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kerangka hukum yang mengatur hal perolehan tanah bagi
Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri ?
2. Bagaimanakah tata cara perolehan tanah bagi Perusahaan Penanaman
Modal Dalam Negeri di kota Medan?
3. Apakah faktor pertimbangan penentuan perolehan tanah dalam rangka
Penanaman Modal Dalam Negeri di kota Medan?
C. Tujuan Penelitian
Dari latar belakang dan permasalahan yang dikemukakan diatas, tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui perkembangan peraturan yang berlaku dalam hal
perolehan tanah dan hak-haknya bagi perusahaan Penanaman Modal Dalam
Negeri;
2. Untuk mengetahui tata cara perolehan tanah bagi Perusahaan Penanaman
Modal Dalam Negeri di Kota Medan;
3. Untuk mengetahui faktor pertimbangan dalam menentukan perolehan tanah
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik
secara teoritis maupun secara praktis.
1. Secara Teoritis :
a. Diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan kajian lebih
lanjut dalam ilmu hukum agraria, maupun bidang hukum perusahaan
khususnya bidang penanaman modal dalam negeri;
b. Sebagai tambahan ilmu bagi penulis dan pembaca dengan mengetahui
pelaksanaan perolehan tanah khususnya bagi pihak penanam modal
dalam negeri.
2. Secara Praktis :
Sebagai bahan masukan kepada instansi terkait, penanam modal maupun
masyarakat sebagai pemilik tanah dalam hal memberikan dan memperoleh
tanah bagi usaha penanaman modal dalam negeri.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan baik
terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan
khususnya pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada
penelitian dengan judul “Kajian Yuridis Perolehan Tanah Bagi Perusahaan
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
a. Kerangka Teori
Dalam sejarah bidang hukum di Indonesia, perlahan tapi pasti telah
sampai pada momen yang sangat berarti bagi perkembangan aturan hukum
khususnya pada bidang pertanahan di Indonesia yang didasarkan pada
Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pada Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi
“ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat “, maka oleh
Pemerintah disusunlah azas-azas serta soal-soal pokok pada bidang pertanahan
yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang
akan menjadi acuan bagi penyusunan peraturan-peraturan lainnya. Tujuan
pokok Undang-Undang Pokok Agraria adalah :
1. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur;
2. meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.17
Dalam hukum agraria nasional diletakkan dasar-dasar aturan tentang
peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kesemuanya itu dilakukan dan merupakan
17
wewenang atau kekuasaan negara, yang merupakan badan penguasa sebagai
pemegang organisasi kekuasaan tertinggi dari bangsa Indonesia. Kekuasaan
negara dimaksud mencakup bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia, baik yang
sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum.
Hak atas tanah adalah hak atas bagian tertentu dari permukaan bumi
yang berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.18 Menurut UUPA, hak
atas tanah yang dapat dimiliki oleh suatu badan usaha swasta yang berbadan
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia selain hak milik yang
dikhususkan peruntukkannya bagi badan hukum tertentu sebagaimana yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, juga hak guna
bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang diatur dalam peraturan lainnya.
Pengertian hak-hak tersebut disebutkan dalam Undang-Undang Pokok
Agraria sebagai berikut :
Pasal 28 ayat(1) :Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu
sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan
pertanian, perikanan atau peternakan.
18
Pasal 35 ayat(1):Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri.
Pasal 41 ayat(1): Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau tanah milik orang lain,………….. .
Menurut Kartini Muljadi bahwa baik terhadap pemegang hak guna
usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, selain orang perorangan warga
negara Indonesia tunggal yang dapat menjadi pemegang hak, juga badan
hukum yaitu dengan persyaratan sebagai berikut :
1. didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia, dan;
2. berkedudukan di Indonesia.19
Kriteria ini membawa konsekuensi, bahwa setiap badan hukum selama
didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia dengan tidak mempertimbangkan sumber asal dana
yang merupakan modal dari badan hukum tersebut, dapatlah menjadi
pemegang hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.20
19
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Hak-Hak atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 151, 191, 248
20
Namun tidak demikian halnya sejak dikeluarkannya UU Nomor 25
Tahun 2007 terhadap perusahaan-perusahaan yang didirikan untuk penanaman
modal dalam negeri yang akan dibahas di bawah ini, bahwa asal modal
haruslah bersumber dari modal dalam negeri.
Sebagaimana telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal, bahwa Penanaman Modal adalah segala
bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri
maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara
Republik Indonesia.
Modal adalah sebagai aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang
bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai
ekonomis. Modal dalam bentuk lain dapat berupa hak-hak dan benda-benda
(bergerak dan tidak bergerak), seperti tanah, bangunan, kayu di hutan, hak
paten, dan lain-lain. Modal tersebut dapat dimiliki oleh Penanam Modal Dalam
Negeri (yang disebut sebagai Modal Dalam Negeri), yaitu perseorangan Warga
Negara Indonesia, Badan Usaha Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum
maupun yang bukan badan hukum, negara Republik Indonesia atau daerah.
Sehingga, penanaman modal dalam negeri adalah suatu “ kegiatan menanam
dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal
dalam negeri “.
Peraturan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968
pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan modal dalam negeri
adalah bagian daripada kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak dan
benda-benda, baik yang dimiliki oleh Negara maupun swasta nasional atau
swasta asing yang berdomisili di Indonesia, yang disisihkan/disediakan guna
menjalankan sesuatu usaha, sepanjang modal tersebut tidak diatur oleh
ketentuan-ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing. Maksud pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1967 tentang modal asing adalah :
a. Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan Pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan Indonesia;
b. Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing dan bahan-bahan, yang dimaksukkan dari luar kedalam wilayah Indonesia, selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisa Indonesia;
c. Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan Undang-Undang ini diperkenankan ditransfer, tetapi dipergunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia.
Modal dalam negeri diartikan sebagai sumber produktif dari masyarakat
umumnya.21 Swasta nasional ataupun swasta asing sebagai pemilik modal harus
menggunakan modal dalam negeri, didirikan menurut hukum Indonesia dan
berdomisili di Indonesia yang terdiri atas perorangan dan atau badan hukum.
Jadi penanaman modal dalam negeri menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 adalah penggunaan modal seperti dalam pasal 1 bagi usaha-usaha yang mendorong pembangunan ekonomi pada umumnya. Bahwa Penanaman tersebut dapat dilakukan secara langsung, yakni oleh pemilik nya sendiri, atau tidak langsung, yakni melalui pembelian obligasi-obligasi, emisi-emisi lain nya seperti saham-saham yang dikeluarkan oleh Perusahaan, serta deposito dan tabungan yang berjangka sekurang-kurang nya satu tahun.22
Perbedaan dari peraturan lama ke yang baru nampak dalam hal subjek
penanam modal yaitu Negara, Swasta Nasional atau Swasta Asing. Swasta
Asing (yaitu perorangan dan atau badan hukum asing yang didirikan menurut
hukum yang berlaku di Indonesia) ‘disebut sebagai Penanam Modal Dalam
Negeri (Pasal 1 UU No. 6 Th. 1968). Oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 menyebutkan bahwa hanya perseorangan Warga Negara Indonesia,
badan usaha Indonesia, Negara Republik Indonesia, atau Daerah yang
melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia yang
disebut sebagai Penanam Modal Dalam Negeri.
Dalam hal bentuk badan usaha menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun
1968 tidak jelas disebutkan hanya dapat ditafsirkan dari pernyataan pasal 3
21
Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal Di Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1999, hal. 192-193.
22
ayat (3) yang menyebutkan :’ jika usahanya berbentuk perseroan terbatas
maka………’, yang dapat diartikan dimungkinkannya bentuk usaha
yang bukan perseroan terbatas, dalam arti bukan badan hukum.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Pasal 5 menyebutkan secara tegas bahwa
penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha
yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perorangan.
Sebagai suatu Perusahaan Penanaman Modal khususnya Perusahaan
Penanaman Modal Dalam Negeri, didalam menentukan bidang usahanya harus
memperhatikan kriteria dan persyaratan khusus sebagaimana yang diatur
dalam aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, yaitu
dalam Peraturan Presiden RI Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria Dan
Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha
Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal, dan dalam
Peraturan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha
Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di
Bidang Penanaman Modal dengan perubahannya dalam Peraturan Presiden RI
Nomor 111 Tahun 2007. (Sebelumnya, kriteria dan persyaratan ini diatur
dalam aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 dan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 yaitu dalam Keputusan Presiden
Nomor 96 Tahun 2000 yang diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 118
Namun hingga kini belum ada petunjuk pelaksana/juklak tentang tata
cara penanaman modal yang baru, sehingga aturan pelaksana dari
undang-undang yang lama masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 dimaksud.
Fasilitas-fasilitas bagi perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri
diberikan sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 diantaranya masalah
perpajakan, dan dengan pasal 21 diberikan fasilitas berupa kemudahan
pelayanan dan/atau perizinan untuk memperoleh hak atas tanah.
Dalam hal perolehan tanah dan hak atas tanah, perusahaan Penanaman
Modal Dalam Negeri terlebih dahulu harus memiliki Izin Lokasi agar dapat
melaksanakan perolehan tanah dilokasi yang telah ditetapkan dalam Izin
Lokasi. Permohonan Izin Lokasi ditujukan kepada Bupati/Walikota atau
Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta.23 Sebelumnya dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
2 Tahun 1993 Izin Lokasi ini diberikan oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya setempat.
Tanah yang dapat ditunjuk dalam Ijin Lokasi adalah tanah yang
menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi
penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan
23
dilaksanakan oleh perusahaan menurut persetujuan penanaman modal yang
dipunyainya.24 Diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang Jo. Peraturan Pemerintah RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 Pasal 2
menyebutkan dengan mengingat bidang usaha, keperluan dan persyaratan yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, kepada
perusahaan dapat diberikan sesuatu hak atas tanah negara sebagai berikut :
a. Jika perusahaan berbentuk badan hukum, maka dapat diberikan dengan hak
pengelolaan, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai;
b. Jika perusahaan merupakan usaha perorangan dan pengusaha
berkewarganegaraan Indonesia, maka dapat diberikan dengan hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Perolehan Ijin Lokasi dan Hak Atas
Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal, menyebutkan Hak
Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang disediakan bagi Perusahaan
Penanaman Modal yang dapat diperoleh baik itu dari tanah hak atau tanah
negara, demikian disebutkan dalam pasal 6. Dalam hal tanah hak, mencakup
24
tanah hak yang sudah bersertifikat maupun tanah hak yang belum bersertifikat.
Dan dalam hal Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas
tanah kita pedomani Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.
Dalam hal penyediaan dan penguasaan tanah yang diperlukan bagi
perusahaan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974
pasal 10 menyebutkan selama belum diperoleh persetujuan penanaman modal
dari Presiden atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, maka
perusahaan atau calon investor tidak diperbolehkan melakukan pembelian,
penyewaan, pembebasan hak ataupun lain-lain bentuk perbuatan yang
mengubah penguasaan tanah yang bersangkutan, baik secara fisik maupun
yuridis, baik langsung ataupun tidak langsung untuk kepentingan perusahaan
atau calon investor.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 2 Tahun 1993 menyebutkan perolehan tanah dengan cara pemindahan
hak atas tanah. Karena masih dirasa perlu aturan yang mengatur tata cara
perolehan tanah bagi perusahaan dalam rangka penanaman modal dengan
maksud untuk memperlancar penanaman modal, maka dibuat aturan yang
memberikan alternatif cara perolehan tanah bagi perusahaan Penanaman
Nasional Nomor 21 Tahun 1994, yaitu perolehan tanah dengan cara
pemindahan hak atas tanah dan cara penyerahan atau pelepasan hak atas tanah.
b. Konsepsi
Dengan selalu berpijak pada peraturan dasar Undang-Undang Dasar
1945, sebagai rakyat Indonesia selalu dapat mengklaim akan fungsi, kegunaan
dan manfaat tanah dalam wilayah Indonesia sebagai sesuatu yang dapat
diperjuangkan untuk dapat menikmatinya bahwa tanah dalam wilayah negara
Republik Indonesia adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Untuk itulah bahwa pasal 33 khususnya ayat (3) yang mengemukakan
bahwa yang terdapat pada bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, dijadikan dasar bagi pembangunan Indonesia.
Namun demikian sebagai warga negara yang patuh akan hukum tidak
dapat berlaku seolah-olah tidak ada kepentingan bersama dan kepentingan
yang lebih tinggi didalam hidup bernegara.
Bahwa pembangunan harus dilakukan sebagai wujud dari keberadaan
manusia yang berakal dan berkembang. Untuk itu hal yang mengarah pada
pembangunan harus didukung. Namun sebaliknya pembangunan yang
Pelaksanaan pembangunan sangat membutuhkan modal yang cukup
besar, yang dapat disediakan oleh pemerintah dan oleh masyarakat luas,
khususnya dunia usaha swasta. Keadaan yang ideal dari segi nasionalisme
adalah apabila kebutuhan akan modal tersebut sepenuhnya dapat disediakan
oleh kemampuan modal dalam negeri sendiri.25
Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara secara tegas disebutkan bahwa
kebijaksanaan dan pengelolaan penanaman modal ditetapkan dan dilakukan
oleh Pemerintah yang diwujudkan dalam suatu instrumen kebijaksanaan
berupa peraturan perundang-undangan seperti melalui peraturan pemerintah,
keputusan presiden, keputusan menteri serta keputusan ketua BKPM.26 Salah
satu kebijaksanaan pemerintah dikeluarkan melalui Undang-Undang
Penanaman Modal, baik menurut UU PMDN Nomor 6 tahun 1968 maupun
dalam UU Penanaman Modal Nomor 25 tahun 2007 yang memberikan
berbagai kebijaksanaan dan fasilitas-fasilitas bagi penanaman modal. Salah
satunya dalam pasal 21 dari UUPM Nomor 25 tahun 2007 adalah berupa
25
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Prenada Media Cet.ke-1, Jakarta, 2004, hal.1-2
26
fasilitas dengan memberikan kemudahan pelayanan dan atau perizinan kepada
perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah.
Dengan mengikuti prosedur yang tercantum dalam Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1993
dengan pelaksanaannya dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala
BPN Nomor 21 tahun 1994, bahwa perolehan tanah menurut pasal 3 ayat (1)
dapat dilakukan melalui cara pemindahan hak atas tanah atau melalui
penyerahan atau pelepasan hak atas tanah yang diikuti dengan pemberian hak.
Dan kini tata cara pemberian hak tersebut diatur dalam Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999.
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat Deskriftif Analistis, yaitu penelitian yang
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan
dengan teori-teori hukum dan pelaksanaan hukum positif.27
27
2. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan Yuridis
Normatif dengan pertimbangan pendekatan ini dipandang cukup layak untuk
diterapkan karena akan didapatkan data dan informasi secara menyeluruh yang
bersifat normatif .
3. Sumber Data
Berdasarkan sifat penelitian tersebut diatas, maka data yang
dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data sekunder dimaksud antara lain
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier
berupa Norma Dasar, perundang-undangan, hasil penelitian ilmiah, buku-buku
dan lain sebagainya28. Sebagai penunjang dari data sekunder ini juga akan
dilakukan wawancara.
4. Alat Pengumpul Data
a. Studi Dokumen
Dilakukan untuk memperoleh data sekunder berupa bahan primer,
bahan sekunder maupun bahan tertier yang ada pada peraturan
perundang-undangan, buku-buku hukum dan bentuk tulisan lainnya
yang relevan dengan masalah penelitian.
28
b. Wawancara
Dilakukan dengan wawancara langsung (tatap muka) dengan
menggunakan pedoman wawancara. Tujuannya agar mendapat data
yang diharapkan dan lengkap sehingga dapat dipakai untuk membantu
menjawab permasalahan. Wawancara dilakukan pada :
a.Kantor Pertanahan Kota Medan.
b. Badan Investasi dan Promosi Propinsi Sumatera Utara/Bainprom;
c.Kantor Penanaman Modal Daerah Kota Medan/KPMD.
5. Analisa Data
Penelitian ini dilakukan dan dimulai dengan mengidentifikasi hukum
positif dibidang Pertanahan dan peraturan perundang-undangan lain yang
mempunyai hubungan erat dengan perolehan tanah dan penanaman modal,
khususnya Penanaman Modal Dalam Negeri yang berkedudukan di Medan.
Kemudian dilakukan penelitian dan dikaji antara data sekunder dan hasil
wawancara yang akan dianalisa secara kwalitatif untuk memperoleh jawaban
dari permasalahan penelitian. Dengan menggunakan metode deduktif ditarik
suatu kesimpulan dari data yang telah selesai diolah yang merupakan hasil
BAB II
KERANGKA HUKUM PEROLEHAN TANAH BAGI PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI
A. Peraturan Hukum Atas Penanaman Modal Dalam Negeri dan Badan
Koordinasi Penanaman Modal
Dalam sejarah perkembangan penanaman modal di Indonesia dikenal
pertama kali melalui kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang
memperkenankan masuknya modal asing Eropa untuk menanamkan usahanya
dalam bidang perkebunan pada tahun 1870,29 dikeluarkanlah Agrarische Wet
untuk mengatur pertanahan di Indonesia. Dengan adanya peraturan tersebut,
penanaman modal asing khususnya yang datang dari swasta Eropa dan yang
mempunyai hubungan dekat dengan pemerintahan Belanda diizinkan untuk
melakukan usahanya di Indonesia.30 Pada kurun waktu tahun 1942-1945
Jepang menduduki Indonesia menggantikan posisi Belanda, penanaman modal
asing menurun drastis sebab adanya pelarangan-pelarangan oleh Jepang
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan penanaman modal asing
seperti melarang impor dan pasokan tenaga kerja bahkan segala aktiva
penanaman modal asing diambil alih.31 Setelah Indonesia merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945, secara yuridis Indonesia telah memulai babak baru
dalam mengelola secara mandiri perekonomian negara guna melaksanakan
29
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Op.Cit., hal.18 30
Ibid, hal. 19 31
pembangunan nasional. Namun tidaklah serta merta hal itu dapat dilaksanakan
diantaranya karena masalah politik yang lebih hangat diperbincangkan, masih
adanya gangguan dari tentara kolonial Belanda, masalah keamanan, dan
sumber daya manusia.32 Usaha untuk membangun negeri terus dilakukan
namun prospek masuknya penanaman modal asing menjadi sirna dengan
dilakukannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1957,
seperti De Javasche Bank dan Koninklijke Paketvaart Maatschppij (NV KPM)
dengan diundangkannya UU Nomor 86/1958 tentang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Di Wilayah RI yang pelaksanaannya
dilakukan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959 yang salah satu
tujuannya untuk kemanfaatan sebesar-besarnya pada masyarakat Indonesia33,
menyusul nasionalisasi terhadap perusahaan Inggris, Malaysia pada tahun
1963 dan terhadap perusahaan Amerika Serikat pada tahun 1965.34 Pada tahun
1966 terjadi peralihan kekuasaan dari masa Orde Lama kepada Orde Baru
dengan model pertumbuhan ekonomi dengan menekankan pada pembentukan
modal dengan jalan mengadakan pinjaman luar negeri maupun mendorong
penanaman modal asing.35 Sasaran pemerintah Orde Baru tersebut
ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal
Asing/PMA Nomor 1 Tahun 1967 ( perubahannya Dalam Undang-Undang
32 Ibid
33 http//jurnalrepublik.blogspot.com/2007/06nasionalisasipelayaran.htm. 34
Aminuddin Ilmar.Op.Cit, hal. 27 35
Nomor 11 Tahun 1970 ) yang menjanjikan keringanan pajak dan
insentif-insentif lainnya. Kebijaksanaan penting lainnya dalam hal penanaman modal
asing diamanatkan dalam keputusan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 dalam
Pasal 9 yang menyatakan bahwa: “pembangunan ekonomi terutama berarti
mengolah kekuatan ekonomi potensial, menjadi kekuatan ekonomi riil melalui
penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan,
peningkatan keterampilan, penambahan kemampuan berorganisasi, dan
manajemen“, yang kesemuanya itu dimiliki oleh penanam modal asing.36
Adanya dominasi modal oleh orang asing dimaksud dirasakan sangat
membatasi kemampuan Pemerintah untuk bertindak secara radikal dalam
waktu yang sangat singkat, oleh karena itu dengan kesadaran akan perbaikan
nasib rakyat, bahwa untuk pembangunan masyarakat adil dan makmur tidak
akan tercapai tanpa adanya pemupukan modal dalam negeri sendiri secara
besar-besaran, oleh karena itu perlu diadakan ketentuan-ketentuan dan
pengaturan-pengaturan yang dapat memperbesar kemampuan masyarakat
Indonesia untuk berusaha secara produktif, yang dapat dilakukan dengan cara
memanfaatkan orang asing dan modalnya tanpa meninggalkan realitas-realitas
yang berlaku,37 yang dituangkan dalam Undang-Undang Penanaman Modal
Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1968. Undang-Undang ini memberikan
36
Keputusan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966, Pasal 9 37
pengertian bahwa penanam modal dalam negeri atau yang disebut juga sebagai
pemegang sahamnya adalah terdiri dari : negara, swasta nasional dan swasta
asing yang berdomisili di Indonesia. Terhadap pihak swasta sebagai pemilik
modal dapat terdiri atas perorangan dan atau badan hukum yang didirikan
berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, demikian dinyatakan dalam
pasal 1. Sedangkan terhadap bentuk badan usaha tidak dengan jelas
disebutkan, hanya dalam penjelasan pasal 3 disarankan berbentuk Perseroan
Terbatas. Fasilitas yang diberikan hanya sebatas pada keringanan perpajakan
baik terhadap pajak modal maupun terhadap keringanan bea masuk barang
impor.
Dalam perkembangan bernegara perubahan dari segala segi akan terus
terjadi, demikian juga dalam rangka mempercepat pembangunan ekonomi
nasional disamping pembangunan dalam hukum nasional khususnya dibidang
penanaman modal saat ini diperlukan peraturan perundangan yang lebih
sesuai.38 Amanat yang tercantum dalam Ketetapan MPR RI Nomor
XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi
yang menyerukan bahwa kebijakan penanaman modal selayaknya selalu
mendasari ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi usaha
38
mikro, kecil, menengah dan koperasi,39 maka diundangkanlah Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Tujuan penyelenggaraan
Penanaman Modal tercantum dalam Pasal 3 ayat (2) antara lain untuk :
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; b. menciptakan lapangan kerja;
c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
e. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri;
f. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan dasar yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam penanaman modal
sangatlah diperlukan, hal mana guna menunjang keberhasilan tujuan daripada
penanaman modal di Indonesia. Dalam menetapkan kebijakan dasar tersebut
Pemerintah memberikan perlakuan yang sama bagi PMDN maupun PMA
dengan memperhatikan kepentingan nasional, dan menjamin kepastian hukum,
kepastian berusaha dan keamanan berusaha dari sejak proses pengurusan
perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai
ketentuan yang berlaku, serta membuka kesempatan perkembangan dan
memberikan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi,
demikian tercantum dalam pasal 4 undang-undang tersebut.
Telah disebutkan pada bab pendahuluan bahwa perubahan yang
signifikan terdapat pada pengaturan mengenai subjek penanam modal dalam
negeri yang terdiri dari : perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha
Indonesia baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan
hukum, dan negara/daerah Indonesia yang melakukan usaha di wilayah
Indonesia. Bentuk badan usaha secara tegas disebutkan dalam pasal 5 yaitu
dapat berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum atau usaha
perorangan, namun tidak detail diuraikan dalam penjelasan tentang bentuk
usaha yang bukan berbadan hukum. Pengaturan fasilitas bagi penanaman
modal lebih luas lagi, dalam pasal 18 disebutkan penanaman modal yang
mendapat fasilitas penanaman modal seperti yang ditunjuk oleh pasal 20
hanya berlaku bagi penanaman modal yang berbentuk perseroan terbatas.
Penekanan dalam hal koordinasi, bahwa Pemerintah mengkoordinasi kebijakan
penanaman modal baik koordinasi antar instansi pemerintah, antar instansi
pemerintah dengan Bank Indonesia, dengan pemerintah daerah maupun antara
pemerintah daerah itu sendiri guna mengkoordinir kebijakan penanaman modal
seperti yang dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), dan dalam ayat (2) disebutkan
bahwa Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal tersebut dilakukan
oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal pertama kali
dilakukan dengan Keputusan Presiden Nomor 286 tahun 1968 dengan istilah
Tahun 1973 dengan istilah ‘Badan Koordinasi Penanaman Modal/BKPM
‘yang telah dicabut oleh Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1977 dan
kemudian Keppres ini dicabut oleh Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun
1981 dan dengan beberapakali mengalami perubahan terakhir dengan
Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2004. Sebagai peraturan pelaksana dari
UU PMDN nomor 6 tahun 1968 jo. UU No. 12 tahun 1970, hingga kini
peraturan pelaksana tersebut masih berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan UU Penanaman Modal No. 25 tahun 2007 sesuai pasal 37
undang-undang tersebut. Dalam Keppres Nomor 33 Tahun 1981 disebutkan Badan
Koordinasi Penanaman Modal/BKPM adalah suatu Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada
Presiden. Aturan dalam Keppres ini masih relevan dengan UU Penanaman
Modal Nomor 25 Tahun 2007 pada pasal 27 yang menyatakan bahwa BKPM
dipimpin langsung oleh seorang kepala, bertanggungjawab, diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Dasar pertimbangan pembentukan, untuk lebih
meningkatkan koordinasi dalam penyelenggaraan dan proses penyelesaian
penanaman modal sebagai pusat pelayanan kegiatan penanaman modal.40
Menurut Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007
Pasal 28 disebutkan tugas dan fungsi dari BKPM adalah :
40
a. melaksanakan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan dibidang penanaman modal;
b. mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal; c. menetapkan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan
pelayanan penanaman modal;
d. mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha;
e. membuat peta penanaman modal Indonesia; f. mempromosikan penanaman modal;
g. mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal;
h. membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal;
i. mengkoordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya diluar wilayah Indonesia; dan
j. mengkoordinasi dan melaksakan pelayanan terpadu satu pintu.
Dalam Keppres Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan
Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing Dan Penanaman
Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap (dalam istilah UU
Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 memakai ‘pelayanan terpadu satu
pintu’) pasal 1 ayat (5) menyebutkan pengertian Sistem Pelayanan Satu Atap
adalah suatu sistem pelayanan pemberian persetujuan penanaman modal dan
perizinan pelaksanaannya pada satu instansi Pemerintah yang bertanggung
jawab dibidang penanaman modal. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa
Pemerintah. Dengan sistem ini diharapkan bahwa pelayanan terpadu di pusat
dan di daerah dapat menciptakan penyederhanaan perizinan dan percepatan
penyelesaian nya.41
Didalam melaksanakan tugas dan fungsi serta Pelayanan Terpadu Satu
Pintu, BKPM harus melibatkan perwakilan secara langsung dari setiap sektor
dan daerah terkait dengan pejabat yang mempunyai kompetensi dan
kewenangan, demikian disebutkan dalam pasal 29 UU Nomor 25 Tahun 2007.
Pedoman dan tata cara permohonan penanaman modal dalam rangka
penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing diatur dalam
Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 57 Tahun
2004 jo. Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 70
Tahun 2007.
Dengan semangat otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan wewenang
kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, dan dengan memperhatikan UU tersebut yang
mengatakan bahwa pelayanan administrasi penanaman modal adalah sebagai