• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBAIKAN KEMAMPUAN BELAJAR-MENGINGAT DAN AKTIVITAS MOTORIK TIKUS PADA PENUAAN

FISIOLOGIS DAN PENUAAN AKIBAT STRES OKSIDATIF

DENGAN PEMBERIAN DIPEPTIDA ALANIL-GLUTAMINA

Sunarno1, Wasmen Manalu2, Nastiti Kusumorini2, Dewi Ratih Agungpriyono3

1

Program Doktor Mayor Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, IPB 2

Mayor Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, IPB 3

Mayor Ilmu Biomedis Hewani, Sekolah Pascasarjana, IPB ABSTRAK

Penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif menyebabkan penurunan level glutation hipokampus yang berdampak pada penurunan kemampuan belajar dan mengingat atau aktivitas motorik. Penurunan kemampuan belajar dan mengingat atau aktivitas motorik dapat diketahui dari peningkatan respons waktu yang dibutuhkan untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze, peningkatan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan penurunan waktu istirahat dalam ruang optovarimex. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan belajar dan mengingat atau aktivitas motorik adalah meningkatkan level glutation. Salah satu senyawa penyedia prekursor glutation adalah dipeptida alanil-glutamina. Penelitian ini dirancang untuk mendapatkan gambaran perbaikan fungsi hipokampus melalui pengamatan respons kemampuan belajar dan mengingat atau aktivitas motorik dari pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Tikus-tikus percobaan dirancang menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan ukuran 2x2x2. Faktor pertama adalah umur tikus yang terdiri atas 2 level, yaitu 12 dan 24 bulan. Faktor kedua adalah stres oksidatif yang terdiri atas 2 level, yaitu tanpa atau dengan stres oksidatif. Faktor ketiga adalah pemberian dipeptida alanil-glutamina yang terdiri atas 2 konsentrasi, yaitu 0% dan 7%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% memberi perbaikan respons waktu dalam menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze, baik pada tikus muda (42.32%) atau tua (65.82%), tikus normal (87.74%) atau stres oksidatif (33.11%), demikian pula memberi perbaikan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan waktu istirahat dalam ruang optovarimex, baik pada tikus muda (93.32%, 88.56%, 87.69%, dan 48.48%) atau tua (92.81%, 56.83%, 71.73%, dan 117.04%), tikus normal (94.18%, 75.75%, 75%, dan 75.72%) atau stres oksidatif (91.82%, 73.63%, 77.2%, dan 71.33%). Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% memberi peningkatan level glutation yang dapat memperantarai perbaikan kemampuan belajar dan mengingat atau aktivitas motorik. Perbaikan kemampuan belajar dan mengingat atau aktivitas motorik terkait dengan perbaikan fungsi pada penuaan hipokampus, baik penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif.

Kata kunci: dipeptida alanil-glutamina, kemampuan belajar dan mengingat, aktivitas motorik, glutation, penuaan fisiologis, penuaan akibat stres oksidatif, fungsi hipokampus

ABSTRACT

Physiological aging or aging due to oxidative stress decreases glutathione levels in the hippocampus which causes the decrease in ability to learn and memory or motor activity. The decrease in ability to learn and memory or motor activity could be evaluated from the increase in response time needed to find feed in fourth arm maze space, the increase in travel distance, stereotypic time, ambulatory time, and resting time in optovarimex space. One way to increase the ability to learn and memory or motor activity is to increase the levels of glutathione. One of glutathione precursors is alanine-glutamine dipeptide. This research was designed to study the ability to learn and memory or motor activity after the administration of the optimum concentrations of alanine-glutamine dipeptide in aged or oxidative-stressed rats. The experimental rats were assigned into a completely randomized design with 2x2x2 factorial arrangement. The first factor was the age of the experimental rats, consisted of two levels i.e., 12 and 24 months. The second factor was oxidative stress consisted of two levels, i.e., without or with oxidative stress. The third factor was alanine-glutamine dipeptide administration consisted of 2 concentrations, i.e. 0% and 7%. The results showed that administration of 7% alanine-glutamine dipeptide improved response time needed to find feed inside fourth arm maze space in young (42.32%) or aged (65.82%) rats, in normal (87.74%) or oxidative-stress (33.11%) rats, as well as improved distance travel, stereotypic time, ambulatory time, and resting time inside optovarimex space in young (93.32%, 88.56%, 87.69%, and 48.48%) or aged (92.81%, 56.83%, 71.73%, and 117.04%) rats, in normal (94.18%, 75.75%, 75%, and 75.72%) or oxidative-stress (91.82%, 73.63%, 77.2%, and 71.33%) rats. This research concluded that administration of 7% alanine-glutamine dipeptide increased the glutathione levels in the hippocampus and they mediated the improved ability to learn and memory or motor activity. The improved ability to learn and memory or motor activity was related to the improved function in the aging hippocampus, both in physiological aging or aging due to oxidative stress. Key words: alanine-glutamine dipeptide, ability to learn and memory, motor

activity, glutathione, physiological aging, oxidative-stress aging, hippocampal functions

PENDAHULUAN

Penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif merupakan dua faktor utama penyebab penurunan fungsi hipokampus. Penurunan fungsi hipokampus ditandai dengan penurunan level glutation sampai di bawah ambang batas normal. Penurunan level glutation hipokampus berdampak pada penurunan fungsi neuron-neuron di bagian cornu ammonis hipokampus. Cornu ammonis (CA) hipokampus tersusun atas 3 bagian utama, yaitu CA1, CA2, dan CA3. Bagian ini mempunyai peran penting dalam koordinasi dan regulasi proses-proses yang berkaitan dengan fungsi kognitif (Djavadian 2004; Knierim et al. 2006).

Penurunan fungsi kognitif menyebabkan gangguan kemampuan belajar- mengingat dan aktivitas motorik (Miller dan O'Callaghan 2005; Xavier dan Costa 2009; Ito dan Schuman 2011). Gangguan kemampuan belajar-mengingat dapat diketahui dari penurunan kemampuan menyelesaikan tugas-tugas yang berkaitan dengan fungsi kognitif. Cruzat et al. (2007) melaporkan bahwa penurunan respons waktu yang dibutuhkan tikus untuk menemukan pakan dalam ruang fourt arm maze menunjukkan penurunan fungsi kognitif hipokampus. Gangguan aktivitas motorik pada uji optovarimex ditandai dengan peningkatan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan penurunan waktu istirahat (Wedzony et al. 2000; Chang et al. 2006).

Dewasa ini, penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif menjadi fenomena yang menarik untuk diteliti, terutama yang berkaitan dengan penurunan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Penurunan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik ditandai dengan gangguan pada proses mengingat, gangguan navigasi ruangan, dan penurunan kemampuan menyelesaikan tugas-tugas yang berkaitan dengan fungsi kognitif. Beberapa gangguan tersebut berpengaruh pada penurunan kemampuan untuk mengenali objek dalam suatu ruang yang berdampak pada peningkatan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan suatu objek. Gangguan fungsi kognitif juga dapat berdampak pada peningkatan agresivitas hewan dalam mencari tempat pakan dan minum, mencari tempat perlindungan, adaptasi pada lingkungan, dan dapat menyebabkan inefisiensi energi. Miller dan O’Callaghan (2005) melaporkan, penurunan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik berbanding lurus dengan penurunan level glutation dan penurunan fungsi hipokampus.

Penuaan akibat peningkatan umur tidak dapat dihindari, tetapi dapat diperlambat. Demikian pula penuaan akibat stres oksidatif juga dapat ditangani. Salah satu cara penanganan penuaan adalah dengan meningkatkan level glutation hipokampus di atas ambang batas normal. Berbagai pilihan bahan antipenuaan telah dilakukan untuk memperlambat penurunan fungsi hipokampus, seperti penggunaan prekursor glutation, glutation monoetil ester, bahan-bahan herbal, dan lain-lain. Salah satu cara kerja bahan antipenuaan adalah menyediakan asam amino yang dapat digunakan untuk mendukung sintesis glutation sehingga level

glutation di hipokampus dapat ditingkatkan. Senyawa yang memiliki potensi seperti ini ialah dipeptida alanil-glutamina (Berg et al. 2006).

Dipeptida alanil-glutamina ialah bentuk lain dari glutamina yang diketahui sebagai penyedia prekursor glutation di dalam tubuh (Jun et al. 2006; Daren et al. 2007; Fernandes et al. 2010). Sebagai penyedia prekursor glutation, dipeptida alanil-glutamina mempunyai peran menyediakan glutamina dalam hipokampus. Glutamina dapat dikonversi menjadi asam glutamat dan bersama-sama dengan sisteina dan glisina secara bertahap digunakan untuk sintesis glutation (Dringen et al. 2000). Dipeptida alanil-glutamina mempunyai sifat stabil selama mengalami proses di dalam tubuh, cepat mengalami proses hidrolisis, mampu melintasi sawar darah otak, dapat dimanfaatkan oleh neuron secara langsung, dan mampu meningkatkan level glutation di hipokampus (Berg et al. 2006). Hasil penelitian Sunarno et al. (2012) melaporkan bahwa dipeptida alanil-glutamina 7% dengan dosis hasil konversi dosis 1.66 g/kg bb/hari pada manusia memberi peningkatan level tertinggi glutation dan perbaikan fungsi hipokampus, baik pada tikus umur 12 atau 24 bulan, tikus normal atau stres oksidatif.

Mengacu pada penelitian tersebut, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dipeptida alanil-glutamina 7% dengan pembanding dipeptida alanil-glutamina 0% (kontrol). Pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% diharapkan dapat memperbaiki respons kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik yang ditandai dengan perbaikan respons waktu yang digunakan hewan uji dalam menemukan pakan pada ruangan fourth arm maze, penurunan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan peningkatan waktu istirahat tikus-tikus percobaan pada uji optovarimex.

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran perbaikan respons kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik pada pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina, baik pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif. Perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik mempunyai keterkaitan dengan peningkatan level glutation hipokampus dan dapat digunakan sebagai indikator perbaikan fungsi hipokampus, baik pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di kandang Hewan Percobaan dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Juni-Desember 2010.

Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi: pakan pelet komersial, akuades, alkohol, dan dipeptida alanil-glutamina. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kandang tikus dan perlengkapannya, jarum suntik, spuit injeksi, gelas ukur, botol stok larutan uji, lemari es, timbangan digital, alat uji fourth arm maze, dan alat uji optovarimex.

Rancangan penelitian, aklimasi hewan uji, pembuatan hewan model penuaan, dan metode pemberian dipeptida alanil-glutamina dilakukan sama seperti pada penelitian tahap kedua.

Di akhir perlakuan, kemampuan belajar dan mengingat tikus-tikus percobaan diuji dengan menggunakan alat fourth arm maze mengacu pada prosedur yang dilakukan oleh Kiray (2005) dan Villarreal et al. (2004). Uji kemampuan belajar dan mengingat diawali dengan mengadaptasikan tikus-tikus percobaan pada peralatan uji fourth arm maze sampai tikus-tikus dapat menemukan pakan pada tempat pakan dengan waktu maksimal 15 menit. Tempat pakan selalu diberi pakan pelet komersial dalam keadaan segar. Tikus-tikus percobaan yang telah diadaptasikan dan berhasil menemukan pakan dalam waktu 15 menit di kelompokkan dan diberi perlakuan tanpa atau dengan stres oksidatif selama 7 hari, dilanjutkan dengan pemberian dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% selama 12 hari. Uji kemampuan belajar-mengingat dilakukan setelah akhir perlakuan. Waktu yang dibutuhkan oleh tikus percobaan untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze dicatat, diolah, dan dianalisis untuk menentukan perbaikan kemampuan belajar-mengingat.

Adapun uji aktivitas motorik diawali dengan mengadaptasikan tikus-tikus percobaan pada peralatan uji optovarimex di bawah kondisi standar dalam ruang

gelap selama 10 menit. Tikus-tikus percobaan yang telah diadaptasikan dikelompokkan dan diberi perlakuan tanpa atau dengan stres oksidatif selama 7

hari dan dilanjutkan dengan pemberian dipeptida alanil-glutamina 0% dan 7% selama 12 hari. Di akhir perlakuan, dilakukan uji aktivitas motorik kembali

dengan menggunakan alat optovarimex yang dikoneksikan pada layar monitor dengan menggunakan software AUTOTRACT. Parameter aktivitas motorik yang diukur meliputi jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan waktu istirahat (Wedzony et al. 2000; Chang et al. 2006).

Hasil penentuan beberapa parameter yang berkaitan dengan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik dianalisis dengan analisis varian pada taraf 5% dengan menggunakan software The SAS System versi 9. Perbaikan respons kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik diperantarai oleh peningkatan level glutation dan dapat digunakan sebagai indikator perbaikan fungsi hipokampus pada penuaan fisiologis atau penuaan akibat stres oksidatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik mempunyai hubungan erat dengan level glutation hipokampus. Hipokampus terdiri atas neuron-neuron yang mempunyai peran penting dalam mempertahankan fungsi sistem glutation dan terlibat dalam tugas-tugas yang berkaitan dengan fungsi kognitif, meliputi kemampuan belajar-mengingat, navigasi, dan aktivitas motorik. Peningkatan umur atau stres oksidatif menyebabkan penurunan fungsi hipokampus. Hasil pengamatan indikator kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik disajikan pada Tabel 6 dan 7.

Data pada Tabel 6 dan 7 menunjukkan bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif berpengaruh signifikan pada penurunan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik, demikian pula interaksi antara umur dengan stres oksidatif juga menunjukkan hasil yang sama (P<0.05). Penurunan kemampuan belajar- mengingat terlihat pada tikus umur 24 bulan, tikus dengan stres oksidatif atau interaksi antara keduanya yang ditandai dengan peningkatan respons waktu yang diperlukan untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze. Respons waktu mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 85.85%, 71.85%, dan 59.37%. Hal ini berarti tikus umur 24 bulan, tikus dengan stres oksidatif, atau tikus umur 24 bulan yang mengalami stres oksidatif memerlukan waktu yang lebih lama dalam menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze dibanding tikus umur 12 bulan, tikus normal, atau tikus umur 12 bulan yang mengalami stres oksidatif.

Tabel 6 Respons waktu untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis dan penuaan akibat stres oksidatif hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil- glutamina Stres oksidatif Ala-Glu (%) Respons waktu (detik) TS 0 98.67 ± 33.28 12 7 11.33 ± 5.03 S 0 131.33 ± 9.74 Umur (bulan) 7 121.33 ± 17.07 TS 0 241.00 ± 6.23 24 7 30.33 ± 15.50 S 0 261.33 ± 28.69 7 141.33 ± 3.33 U * Faktor utama S * A * U-S * Interaksi A-U * A-S * A-U-S TN

Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Ala-Glu: dipeptida alanil-glutamina, TS: tanpa stres oksidatif, S: stres oksidatif, A: dipeptida alanil-glutamina, U: umur. Tanda * (P<0.05): berpengaruh signifikan, TN: tidak signifikan.

Pada tikus 24 bulan juga terjadi peningkatan jarak tempuh, waktu stereotif, dan ambulatori berturut-turut 250.09%, 0.67%, dan 195.21%, sedangkan waktu istirahat mengalami penurunan sebesar 26.23%. Adapun tikus dengan stres oksidatif mengalami peningkatan jarak tempuh, waktu stereotif, dan ambulatori berturut-turut 15.67%, 16.63%, dan 13.7%, sedangkan waktu istirahat mengalami penurunan 8.40%. Demikan pula tikus umur 24 bulan dengan stres oksidatif juga mengalami peningkatan respons ketiga parameter histo-morfologi hipokampus berturut-turut 259.60%, 5.62%, dan 174.39%, sedangkan waktu istirahat menurun sebesar 32.69% (Tabel 7).

Hasil penelitian ini memberi gambaran secara jelas bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya dapat menimbulkan dampak serius pada penurunan fungsi kognitif hipokampus yang dapat diketahui dari penurunan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Penurunan fungsi kognitif hipokampus diakibatkan oleh penurunan fungsi sel-sel neuron di bagian cornu

ammonis hipokampus yang diperantarai penurunan level glutation hipokampus. Dalam ruang uji fourth arm maze dan optovarimex tikus tampak agresif, gelisah, tidak tenang, cemas, dan melakukan gerakan dengan pola yang tidak teratur. Tabel 7 Respons aktivitas motorik pada tikus yang mengalami penuaan fisiologis

dan penuaan akibat stres oksidatif hasil pemberian konsentrasi optimum dipeptida alanil-glutamina Stres oksidatif Ala- Glu (%) Jarak tempuh (cm) Waktu stereotif (detik) Waktu ambulatori (detik) Waktu istirahat (detik) TS 0 267 ± 149 182 ± 110 57 ± 8 386 ± 14 12 7 6 ± 2 17 ± 16 7 ± 3 566 ± 41 S 0 272 ± 36 220 ± 25 73 ± 31 373 ± 17 Umur (bulan) 7 30 ± 6 29 ± 8 9 ± 6 564 ± 27 TS 0 867 ± 458 152 ± 12 159 ± 109 236 ± 37 24 7 60 ± 14 64 ± 14 47 ± 6 527 ± 11 S 0 1.011 ± 898 163 ± 11 177 ± 36 204 ± 63 7 75 ± 12 72 ± 14 48 ± 9 428 ± 99 U * * * * Faktor utama S * * * * A * * * * U-S * * * * Interaksi A-U * * * * A-S * * * * A-U-S TN TN TN TN

Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Ala-Glu: dipeptida alanil-glutamina, TS: tanpa stres oksidatif, S: stres oksidatif, A: dipeptida alanil-glutamina, U: umur. Tanda * (P<0.05): berpengaruh signifikan, TN: tidak signifikan.

Hasil penelitian Sunarno et al. (2012) menunjukkan bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya menyebabkan penurunan secara signifikan level glutation di hipokampus. Peningkatan umur, yaitu tikus umur 24 bulan dibanding tikus umur 12 bulan menyebabkan penurunan level glutation hipokampus mencapai 48.56%. Penurunan level glutation juga terjadi pada tikus stres oksidatif, dengan penurunan mencapai 94.42% dibanding tikus tanpa stres oksidatif (normal). Adapun interaksi antara umur tikus 24 bulan dan stres oksidatif menghasilkan penurunan level glutation hipokampus sebesar 35.71% dibanding tikus umur 12 bulan pada kondisi yang sama. Penurunan level glutation hipokampus berdampak pada gangguan substrat-substrat seluler dan perubahan neurofisiologi, seperti plastisitas sinaptik, perubahan hubungan sinaptik, perubahan elektrofisiologi, maupun perubahan proporsi neurokimia di hipokampus. Gangguan substrat seluler dapat mengganggu proses metabolisme,

integritas neuron, dan penurunan fungsi neuron, sedangkan perubahan neurofisiologi dapat mengganggu sinyal yang berkaitan dengan kinerja motorik, navigasi, kemampuan mengenali objek, dan pemrosesan informasi.

Moyer dan Brown (2006) melaporkan bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya dapat menyebabkan penurunan level glutation hipokampus. Penurunan antioksidan ini dapat menurunkan pertahanan seluler pada radikal bebas yang berdampak pada gangguan struktur dan fungsi neuron. Gangguan ini berpengaruh pada penurunan kondisi neurofisiologis. Penurunan kondisi neurofisiologis berdampak pada penurunan fungsi hipokampus, terutama sel-sel neuron di bagian cornu ammonis. Penurunan fungsi di bagian ini dapat mengganggu berbagai macam tugas yang berkaitan dengan fungsi hipokampus, seperti navigasi dalam ruang radial arm maze (Miller dan O'Callaghan 2005; Xavier dan Costa 2009; Ito dan Schuman 2011). Lebih lanjut dilaporkan bahwa peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya dapat menyebabkan penyimpangan perilaku dan penurunan plastisitas sinaptik yang diperantarai oleh penurunan level glutation di hipokampus. Penurunan plastisitas sinaptik diawali dari hiperpolarisasi dan peningkatan aktivitas neuron yang bergantung ion kalsium di hipokampus (Wati 2006). Penurunan plastisitas sinaptik menyebabkan penurunan kekuatan sinaptik yang berakibat terganggunya proses-proses yang berkaitan dengan kinerja motorik, penurunan kemampuan merespons perubahan lingkungan mikro dalam hipokampus, dan gangguan proses penyimpanan informasi (Turner et al. 2003; Wolf 2005; Burke dan Barnes 2006; Reddy 2009, Schimanski dan Barnes 2010). Shukitt (2004) melaporkan keberadaan sinaps- sinaps di dalam hipokampus sangat menentukan baik dan buruknya kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Perubahan sinaptik akibat peningkatan umur dan stres oksidatif terkait interaksinya menyebabkan penurunan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik yang diperantarai oleh penurunan level glutation hipokampus seperti bukti pada penelitian ini.

Pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% memberi pengaruh signifikan pada perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik (P<0.05). Perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik pada tikus-tikus percobaan ditandai dengan perbaikan respons waktu untuk menemukan pakan

dalam ruang fourth arm maze, perbaikan jarak tempuh, waktu stereotif, waktu ambulatori, dan waktu istirahat, berturut-turut 58.44%, 92.93%, 74.62%, 76.18%, dan 73.61%. Hal ini berarti tikus-tikus yang diberi dipeptida alanil-glutamina 7% lebih cepat atau mengalami peningkatan kecepatan dalam menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze dibanding kontrol. Tikus yang diberi dipeptida alanil-glutamina 7% tampak lebih nyaman, tenang, dan bergerak dengan pola yang teratur pada ruang uji optovarimex. Perilaku ini menggambarkan adanya penurunan agresivitas dan peningkatan kemampuan beradaptasi di lingkungan.

Perbaikan respons kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik memberi bukti bahwa dipeptida alanil-glutamina 7% mempunyai peran penting pada penyediaan glutamina intraseluler yang diperlukan untuk peningkatan sintesis glutation hipokampus. Tingkat ketersediaan glutamina dan glutation yang tinggi dapat mempercepat efek anabolik sebagai upaya untuk mempertahankan integritas seluler yang mempunyai korelasi dengan perbaikan kemampuan belajar- mengingat dan aktivitas motorik. Sunarno et al. (2012) melaporkan, pemberian dipeptida alanil-glutamina 7% dengan dosis hasil konversi dosis 1.66 g/kg bb/hari pada manusia memberi peningkatan signifikan level glutation hipokampus, mengalami peningkatan 85.76% dibanding kontrol. Peningkatan level glutation hipokampus merupakan indikasi perbaikan fungsi sel-sel neuron di bagian cornu ammonis hipokampus yang mempunyai peran penting dalam kemampuan belajar- mengingat dan aktivitas motorik. Bukti-bukti penelitian menunjukkan hasil yang menguatkan pendapat ini.

Turner et al. (2003) melaporkan bahwa perbaikan integritas seluler di hipokampus yang diperantarai oleh peningkatan level glutation memberi peran penting dalam peningkatan plastisitas sinaptik dan penguatan hubungan sinaptik. Kondisi ini dapat mendukung peningkatan kemampuan rangsang neuron, transmisi sinaptik, dan perbaikan regulasi perilaku yang berkaitan dengan perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Geinisman (2004) melaporkan, peningkatan integritas seluler di hipokampus mempunyai keterkaitan dengan perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Mekanisme perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik melibatkan sel-sel neuron di bagian cornu ammonis hipokampus. Dalam

ketersediaan glutamina dan glutation yang optimum, sel-sel di bagian cornu ammonis hipokampus dapat secara efektif melakukan fungsi penggabungan memori dan penyimpanan informasi, terutama memori dan informasi mengenai objek, ruang, atau tempat. Efektivitas proses ini merupakan indikasi perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik.

Gambar 17 Respons waktu yang diperlukan tikus untuk menemukan pakan dalam ruang fourth arm maze hasil interaksi antara dipeptida alanil- glutamina 0% (hitam) dan 7% (abu-abu) dengan level umur tikus atau level stres oksidatif

Interaksi dipeptida alanil-glutamina dengan umur dan stres oksidatif tidak berpengaruh signifikan pada perbaikan kemampuan belajar-mengingat dan aktivitas motorik. Adapun interaksi antara dipeptida alanil-glutamina dan umur memberi pengaruh signifikan (P<0.05). Berdasarkan data pada Tabel 6 terlihat bahwa tikus umur 12 bulan lebih cepat dalam menemukan pakan dibanding tikus umur 24 bulan, namun memiliki perbaikan respons waktu yang lebih rendah. Perbaikan respons waktu tikus umur 12 bulan sebesar 42.32%, lebih baik dibanding kontrol, namun lebih rendah dibanding perbaikan respons waktu tikus umur 24 bulan yang mencapai 65.83%. Hal ini berarti tikus umur 12 dan 24 bulan lebih cepat dalam menemukan pakan dibanding kontrol.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tikus umur 12 bulan setelah