• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERBANDINGAN PEMBUKTIAN SEDERHANA DENGAN PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA PADA UMUMNYA

PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA PADA UMUMNYA

C. Perbandingan Pembuktian Perkara Perdata dengan Pembuktian

119 Alni Pasere, “Penerapan Asas Peradilan Sederhana Pada Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Manado”, Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017, hlm 95

Sederhana

Berikut ini Tabel perbandingan Perbandingan Pembuktian Perkara Perdata Pembuktian Sederhana, seperti di bawah ini :

No Pembuktian Perkara Perdata No. Pembuktian Sederhana 1 Hal-hal yang Tidak Perlu

3 Batas minimal pembuktian 3 Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih.

Suatu utang jatuh waktu dan harus perkara perdata. Alat-alat bukti merupakan sarana untuk membuktikan. Alat-alt bukti ini diatur dalam Pasal 164 HIR,

e. Sumpah.

Pasal 299 UUK-PKPU menyatakan dengan tegas bahwa apabila tidak ditentukan lain dalam UUK-PKPU, maka hukum acara yang berlaku dalam perkara kepailitan adalah hukum acara perdata dalam hal ini HIR/RBG. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa HIR/RBG dalam hukum acara perkara kepailitan berkedudukan sebagai hukum umum atau lex generalis, sedangkan UUK-PKPU berkedudukan sebagai hukum khusus (lex specialis). Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara pembuktian sederhana dengan pembuktian pada perkara perdata biasa. Pertama, pembuktian sederhana dan pembuktian pada perkara perdata biasa dimaksudkan hanya untuk mencari kebenaran formil di dalam persidangan.120

Perihal alat bukti dalam perkara kepailitan tidak diatur dalam UUK-PKPU, maka berdasarkan Pasal 299 UUK-PKPU, secara mutatis-mutandis ketentuan mengenai alat bukti yang diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata Jo. Pasal 164 HIR Jo Pasal 284 RBG berlaku juga dalam pembuktian sederhana pada perkara kepailitan.

Persamaan yang kedua terdapat pada beban pembuktian itu sendiri. Pasal 163 HIR Jo. Pasal 283 RBG Jo. Pasal 1865 KUHPerdata menyatakan bahwa

“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk

120 Robert, Op.Cit, hlm 83

pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya haka tau peristiwa tersebut. Peraktiknya, memang beban pembuktian tetap dibebankan para pihak yang berperkara dalam hal ini penggugat dan tergugat, namun hakim berdasarkan kebijaksanaanya yang membagi beban pembuktian itu sendiri kepada para pihak dan hakim sendiri yang berhak menilai apakah bukti yang diajukan para pihak baik itu penggugat maupun tergugat dapat diterima sebagai bukti yang sah atau tidak.121

UUK-PKPU juga tidak mengatur perihal beban pembuktian ini, maka berdasarkan ketentuan Pasal 199 UUK-PKPU, maka ketentuan beban pembuktian yang diatur dalam Pasal Pasal 163 HIR Jo. Pasal 283 RBG Jo. Pasal 1865 KUHPerdata secara mutatis-mutandis juga berlaku dalam pembuktian sederhana pada perkara kepailitan. Perbedaan yang mendasar antara pembuktian sederhana pada perkara kepailitan dan pembuktian pada perkara perdata pada umumnya adalah terdapat di proses dan rentang waktu pembuktian itu sendiri. Pada perkara perdata biasa, misalnya perkara wanprestasi atau perkara perbuatan melawan hukum, acara pembuktian bisa berlangsung cepat atau lama tergantung dari kerumitan dan kompleksitas perkara itu sendiri. Para pihak tidak dibatasi untuk mengajukan seberapa banyak bukti yang diperlukan guna mendukung dalil yang ia ajukan atau yang hendak ia bantah sepanjang bukti tersebut relevan dan sah menurut ketentuan hukum acara perdata yang berlaku.122

121 Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm 33

122 Ibid, hlm 34

Perkara kepailitan, proses pembuktian tidak serumit dan sepanjang proses pembuktian pada perkara perdata biasa. Inti dari pembuktian dalam perkara kepailitan adalah hanya pembuktian apakah debitur mempunyai utang yang telah jatuh tempo dan tidak dibayar serta adanya minimal dua kreditur.123

Salah satu faktor yang menyebabkan adanya pembuktian sederhana ini adalah sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (5) UUK-PKPU, yang menyatakan bahwa pengadilan niaga harus menetapkan putusannya paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak permohonan tersebut didaftarkan di pengadilan.

Apabila tidak menganut prinsip pembuktian sederhana, maka dikhawatirkan proses pemeriksaan suatu permohonan pailit akan melampaui jangka waktu dimaksud.124

Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak dalam berperkara, kemudian hakim yang akan memutuskan perkara tersebut apakah suatu gugatan atau permohonan pailit diterima atau ditolak. Pihak yang merasa dirugikan dengan putusan ini dapat mengajukan upaya hukum berupa banding, kasasi dan peninjauan kembali, namun dalam perkara kepailitan tidak dikenal adanya upaya hukum banding. Penghapusan upaya hukum banding, dikonstruksikan untuk memangkas jalur kepailitan ini. Dengan tidak adanya upaya hukum banding, maka jalur acara kepailitan lebih cepat dibandingkan dengan jalur perdata biasa.

Konstruksi upaya hukum demikian sangat baik mengingat lembaga upaya hukum ini sering kali hanya digunakan oleh pihak yang berkepentingan untuk mengulur

123 M. Hadi Shuban, Op.Cit, hlm 123

124 Robert, Op.Cit, hlm 86

waktu proses beracara sehingga meskipun pihak yang bersangkutan sudah merasa akan kalah ia akan tetap melakukan upaya hukum di mana pemenuhan putusan hakim bisa diulur waktunya.125

Selain itu, hakikat pengadilan tingkat banding adalah sama dengan pengadilan tingkat pertama. Keduanya sama-sama sebagai pengadilan judex factie. Dengan demikian cenderung terjadinya overlapping antara pengadilan tingkat pertama dengan pengadilan tingkat banding. Sehingga adanya pengadilan tingkat banding tidak memberikan suatu nilai tambah bagi para pencari keadilan, karena itu lebih baik dihilangkan saja dalam suatu proses pradilan.8

Pembuktian sederhana hampir sama dengan proses pembuktian pada perkara perdata pada umumnya, yang membedakannya objek pembuktian dan proses yang lebih sederhana saja guna mempercepat putusnya perkara pailit di pengadilan niaga. Tujuannya terbagi atas penafsiran pasif dan penafsiran hukum aktif atau responsive. Penafsiran hukum dapat dilakukan apabila hukum tumpang tindih dengan aturan hukum lainnya. Apabila aturan hukumnya sudah jelas, maka hal itu mengakhiri pencarian maksud atau penafsiran hukumnya, yang disebut maxsim expressum facit cassare tacitum, yaitu, bahwa kata-kata yang dicantumkan secara tegas mengakhiri pencarian mengenai maksud dari suatu perundang-undangan.

Debitur yang sudah terbukti mempunyai kreditur lebih dari satu dan salah satu utangnya sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, harus diputuskan pailit oleh

125 Ibid, hlm 127

Pengadilann Niaga. Mengenai utang-piutang yang ruwet atau mengenai besar kecil nilainya utang bukan merupakan suatu halangan bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan pailit. Karena mengenai nilai piutang pada kreditor akan dibahas dalam rapat pencocokan piutang atau rapat verifikasi kreditur.

Pembuktian sederhana dalam Hukum Acara Kepailitan adalah termasuk hukum formil dan penerapan pembuktian sederhana merupakan pencerminan dari asas umum dalam hukum acara perdata yaitu asas peradilan yang cepat, murah dan biaya ringan. Praktik pengadilan ternyata banyak para hakim yang memutus dan mengadili perkara kepailitan kurang memahami eksistensi pembuktian sederhana. Sehingga dalam mengajukan perkaranya sering ditolak oleh hakim karena tidak terbukti secara sederhana. Hal ini dapat dilihat dalam suatu putusan tentang kepailitan yang tiap tingkatan peradilan diputus berbeda, pada tingkat Pengadilan Niaga terbukti sederhana kemudian pada tingkatan Mahkamah Agung tidak terbukti secara sederhana ataupun sebaliknya.

Pembuktian secara sederhana dalam permohonan pailit adalah pembuktian mengenai fakta adanya dua atau lebih kreditur serta ada utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih yang tidak dibayar lunas oleh debitur. Pembuktian keberadaan utang, salah satunya, adalah dengan cara kreditur membuktikan telah memberikan teguran kepada debitur untuk membayar kewajibannya, tetapi debitur tidak juga membayarnya. Kreditur membuktikan bahwa hingga lewat jangka waktu pembayaran kewajiban yang telah disepakati sebelumnya, debitur tidak juga membayar utangnya. Jika pembuktian keberadaan utang tersebut cukup rumit

dan sulit atau masih menimbulkan sengketa, maka tidak memenuhi syarat pembuktian yang sederhana.

Pengaturan pembuktian sederhana perlu adanya batasan-batasan yang jelas yang perlu diatur dalam undang-undang sehingga baik para pihak ataupun hakim yang memeriksa dan memutus perkara kepailitan memiliki batasan yang jelas sehingga terciptanya suatu kepastian hukum