• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Ekonomi Syari’ah dan Ekonomi Konvensional

EKONOMI SYARI’AH

III.2. Perbedaan Ekonomi Syari’ah dan Ekonomi Konvensional

III.2. Perbedaan Ekonomi Syari’ah dan Ekonomi Konvensional

Perbedaan sistem ekonomi konvensional dan ekonomi syari’ah adalah, dalam sistem ekonomi konvensional proses pemenuhan kebutuhan dilakukan dengan pendekatan permintaan dan penawaran. Disamping itu untuk beberapa aliran seperti liberalisme yang paling dipentingkan adalah bagaimana membuat dan menguasai sumber daya tanpa mempedulikan akibat yang terjadi, yang terpenting adalah pada kebutuhan perorangan. Ini muncul karena menurut aliran liberalisme hak-hak orang lain sangat tidak diperhatikan, yang terpenting bagi

penganut aliran ini adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya walaupun kadang mengabaikan etika dan moral yang ada (Modul Pelatihan Koperasi,2005;29).

Berbeda dengan ekonomi konvensional, ekonomi syari’ah selain memperhatikan faktor permintaan dan penawaran juga sangat dipengaruhi oleh peraturan dan prinsip serta kerangka nilai yang bersumber dari Qur’an dan

Hadist, sehingga dalam proses pelaksanaannya disamping berpikir keuntungan secara ekonomi juga memperhatikan faktor-faktor tertentu boleh dan tidak yang mana pedoman boleh dan tidak tersebut adalah Qur’an dan Hadist.

Faktor lain yang membedakannya adalah pada aspek penerapan bunga, yang menjadi alat utama dalam operasional pemenuhan kebutuhan manusia pada proses ekonomi, sedangkan dalam Islam tidak dikenal yang namanya sistem bunga. Sistem ini diganti menjadi sistem bagi hasil.

Perbedaan antara sistem bunga dan bagi hasil adalah sebagai berikut (Modul Pelatihan Koperasi,2005;48):

a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad tanpa dengan asumsi selalu untung, sedangkan bagi hasil penentuan besarnya rasio nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berdasar pada kemungkinan untung rugi.

b. Pada sistem bunga besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan, sedangkan bagi hasil besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.

c. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan untung atau rugi, sedangkan bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan, bila usaha rugi akan ditanggung bersama.

d. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat, sedangkan bagi hasil jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan pendapatan.

e. Eksistensi bunga diragukan (dikecam) oleh banyak kalangan, sedangkan bagi hasil tidak ada yang meragukan keabsahannya. Dilarangnya sistem bunga dalam Islam karena bunga termasuk kepada salah satu jenis riba. Riba sendiri artinya pertambahan, baik pertambahan itu pada dzat suatu benda atau pada pertukaran, seperti satu dirham diganti dengan dua dirham. Dalam islam riba tidak sekaligus dilarang, melainkan hal itu dilakukan oleh Allah SWT dalam Qur’an melalui beberapa tahapan (Modul Pelatihan Koperasi,2005;41). Tahapan tersebut adalah:

a) Tahap pertama

Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasehat bahwa Allah tidak menyenangi orang yang melakukan riba, dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah dengan menjauhkan riba. Dalam ayat ini Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang mereka anggap untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda dengan harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan memberikan berkah dan melipatgandakan pahala. Surat Ar-Rum

ayat 39 ini tidaklah menyatakan larangan dengan belum mengharamkannyya. Penggalan arti dari ayat tersebut adalah sebagai berikut:

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya) (QS Ar-Rum (30): 39).

b) Tahap kedua

Pada tahap kedua, Allah menurunkan surat An-Nisaa’ ayat 160-161. riba digambarkan sebagai sesuatu pekerjaan yang zalim dan batil. Dalam ayat ini Allah menceritakan balasan siksa bagi kaum Yahudi yang melakukannya. Ayat ini juga menggambarkan Allah lebih tegas lagi tentang riba melalui riwayat orang Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan larangan riba bagi umat Islam, akan tetapi ayat ini membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk pelarangan riba bagi umat Islam. Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah ada pada orang Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat berikutnya yang akan menyatakan pengharaman riba bagi umat Islam. Penggalan arti dari ayat tersebut adalah sebagai berikut:

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS An-Nisaa’ (4): 160-161).

c) Tahap Ketiga

Pada tahap ketiga Allah mencantumkan pelarangan ini pada surat Ali – Imran ayat 130, namun pada ayat ini Allah tidak mengharamkannya secara tuntas tetapi melarang dalam bentuk berlipat ganda. Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah yang melarang sesuatu yang telah mengakar sejak zaman jahiliyyah dahulu secara sedikit demi sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah biasa melakukan riba siap menerimanya. Penggalan arti dari ayat tersebut adalah sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS Ali-Imran (3): 130).

d) Tahap Keempat

Tahap ini Allah melarang riba secara tegas, ini tercantum pada surat Al-Baqarah ayat 275-279. Ayat ini secara jelas, pasti dan tuntas mengharamkan riba secara mutlak dalam berbagai bentuknya dan tidak dibedakan besar dan kecilnya.

Penggalan arti dari ayat tersebut adalah sebagai berikut:

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan

zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS Al-Baqarah (1): 275-279).

Adapun riba sendiri menurut ulama dibagi menjadi beberapa bagian (Abdul Azhim,2008;25), yaitu:

a) Riba Al-Fadhli, yaitu menukarkan dua benda atau barang yang sejenis dengan nilai tidak sama atau dengan takaran yang berbeda.

b) Riba Al-Qardhi, yaitu meminjam dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi pinjaman.

c) Riba An-Nasii’ah, yaitu menukarkan dua jenis benda jika terlambat maka kelebihannya atau kelebihan yang diambil waktu jatuh tempo oleh orang yang memberi pinjaman sebagai imbalan.

d) Riba Al-Jahiliyyah, yaitu hutang dibayar lebih dari pokoknya dikarenakan si peminjam tidak mampu membayar hutangnya di saat waktu yang ditetapkan.

e) Riba Al-Qardh dan Al-Jahiliyyah dapat dikategorikan sebagai riba hutang piutang, sedangkan riba Al-Fadhl dan An-Nasii’ah sebagai riba jual beli.

Dokumen terkait