• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perceraian dalam Ketentuan Hukum Keluarga di Negara Brunei Darussalam

B. Negara Brunei Darussalam

2. Perceraian dalam Ketentuan Hukum Keluarga di Negara Brunei Darussalam

a. Pengertian dan Alasan Perceraian

Pengertian perceraian ini sudah dijelaskan di pembahasan-pembahasan sebelumnya, bahwa perceraian merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami istri. Pada Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 ayat 43, 44, dan 45 menyebutkan bahwa ada beberapa alasan yang dapat memutuskan perkawinan, yaitu:

1) Syiqaq adalah suami telah melakukan sebarang penganiayaan ke atas istrinya atau menyakiti atau melakukan sebarang mendarat kepada tubuh badan atau kehormatan atau harta istrinya sama ada dengan perkataan atau perbuatan dan istrinya itu tidak sanggup untuk hidup bersama dan meneruskan perhubungan suami istri.

2) Dharar syar’i yang mana dengan alasan-alasan sebagai berikut:

a) Lazimnya menyakiti atau menjadikan kehidupan istri menderita disebabkan oleh kelakuan aniaya;

b) Berkawan dan bergaul dengan perempuan-perempuan jahat atau hidup berperangai keji mengikuti pandangan Hukum Syar’i; c) Melupuskan harta istri atau melarang istri dari menggunakan

hak-haknya di sisi Undang-undang terhadap harta itu;

d) Menghalang istri dari menunaikan atau menjalankan kewajipan atau amalan agamanya; atau

e) Jika dia mempunyai istri lebih daripada seorang, dia tidak melayani istri yang berkenaan secara adil mengikuti kehendak-kehendak Hukum Syar’i.

3) Perceraian di bawah ta’liq talak.

Di Undang-undang Negara Brunei dijelaskan bahwa jika seorang suami atau istri menyakiti pasangannya, maka akan mendapat hukuman denda. Hukuman denda tersebut tidak ditentukan jumlahnya, hanya saja dijelaskan maksimal dua ribu ringgit atau maksimal enam bulan penjara. Hal tersebut terdapat pada Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 Pasal 127 yang berbunyi:

“Seseorang suami atau isteri setelah diperintahkan oleh Mahkamah supaya hidup bersama semula dengan isteri atau suaminya dengan sengaja tidak mematuhi perintah itu adalah melakukan suatu kesalahan dan jika disabitkan kesalahan hendaklah dihukum denda tidak melebihi dua ribu ringgit atau penjara tidak melebihi enam bulan atau kedua-duanya sekali”.

b. Syarat Sah Perceraian

Negara Brunei Darussalam masih mengakui perceraian di luar Pengadilan.112 Meski seorang suami memberitahukan tentang perceraiannya kepada pendaftar dalam tempo tujuh hari, seorang perempuan yang sudah menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai kepada kadi dengan mengikuti hukum muslim. Apabila suaminya rela, hendaknya ia mengucapkan cerai kemudian didaftarkan dan kadi akan mengeluarkan akta

112 Moh. Afandi, “Hukum Perceraian di Indonesia: Studi Komparatif antara Fikih

Konvensional, UU Kontemporer di Indonesia dan Negara-negara Muslim Perspektif HAM dan CEDAW”, Al-Ahwal, Vol. 7, No. 2, (2014), h. 195.

perceraian kepada kedua belah pihak.113 Hal ini tertuang di Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 pada Pasal 55 yaitu:

“Seseorang lelaki yang telah menceraikan isterinya dengan melafazkan talaq dalam apa-apa bentuk di luar Mahkamah dan tanpa kebenaran Mahkamah hendaklah, dalam tempoh tujuh hari dari talaq itu dilafazkan, melaporkan lafaz talaq itu kepada Mahkamah”.

Selanjutnya Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 pada Pasal 124 tentang hukuman bagi para pihak yang tidak melaporkan talaknya kepada Mahkamah, yaitu:

“Seseorang lelaki yang menceraikan isterinya dengan melafazkan talaq dengan apa-apa bentuk di luar Mahkamah tanpa kebenaran Mahkamah adalah melakukan suatu kesalahan dan jika disabitkan kesalahan hendaklah dihukum denda tidak melebihi dua ribu ringgit atau penjara tidak melebihi enam bulan atau kedua-duanya sekali”.

c. Bentuk-bentuk Perceraian

Di dalam Undang-undang Negara Brunei Darussalam terdapat beberapa bentuk-bentuk perceraian, yaitu sebagai berikut:

1) Talak

Peraturan di Negara Brunei tidak menjelaskan tentang apa pengertian dari talak. Adapun di dalam Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 Pasal 42 menjelaskan tentang prosedur talak, yaitu sebagai berikut:114

a) Seorang suami atau seseorang istri yang akan melakukan perceraian, maka hendaknya menyerahkan suatu permohonan perceraian kepada Mahkamah dalam formulir yang ditetapkan. b) Setelah menerima suatu permohonan perceraian, Mahkamah akan

menyampaikan somasi kepada pihak termohon dengan salinan permohonan tertulis yang dbuat oleh pemohon, dan somasi tersebut disampaikan untuk menyampaikan pihak termohon agar hadir di

113 M. Atho’ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam

Modern, cet.1, h. 189.

114 Prosedur talak di Negara Brunei Darussalam. Sebagaimana diuraikan di atas, penulis

sari dari Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999 pada Pasal 42 ayat (1) – ayat (10).

hadapan Mahkamah untuk melakukan penyelidikan dan mencaritahu apakah pihak yang satu lagi bersetuju atau tidak dengan perceraian ini.

c) Jika pihak yang satu lagi setuju dengan perceraian tersebut, maka Mahkamah puas dalam melakukan penyelidikan dengan hasil perkawinan itu sah terpecah belah dan tidak dapat dikembalikan lagi. Selanjutnya Mahkamah mengarahkan suami untuk megucapkan lafaz talak di hadapan Mahkamah.

d) Mahkamah hendaklah memutuskan lafaz talak tersebut dan hendaklah mengantarkan satu salinan putusan yang telah bersertifikat kepada pendaftar yang bersangkutan dan ketua pendaftar untuk didaftarkan.

e) Jika salah satu pihak tidak setuju untuk bercerai dan ada niatan untuk berdamai, maka Mahkamah berhak mengusulkan para pihak untuk berdamai kepada Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga. f) Jika Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga tidak dapat mendamaikan

para pihak, maka pegawai tersebut berhak mengeluarkan sertifikat yang berkenaan dengan perceraian, nafkah, penjagaan anak yaang masih dibawah umur.

Talak dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:

a) Talak ba’in adalah talak yang tidak boleh dirujuk, melainkan dengan akad nikah yang baru.talak ba’in kubra ada dua macam, yaitu:

(1) Talak Ba’in Kubra

Dapat dikatakan talak ba'in kubra jika talak tersebut sudah jatuh sebanyak tiga kali kepada istri, maka dia tidak boleh kembali kepada bekas suaminya tersebut, kecuali dia sudah menikah secara sah dengan orang lain, bersetubuh dengan orang lain, dan pernikahan tersebut dibubarkan dengan sah setelah waktu idahnya habis. Hal tersebut terdapat pada Perintah Darurat (Undang-undang

Keluarga Islam), 1999 pada Pasal 13 huruf (c) yang menyebutkan bahwa,

“jika perceraian itu adalah dengan talak baain kubra, iaitu tiga talak, dia tidaklah boleh berkahwin semula dengan suaminya yang dahulu itu melainkan jika dia telah berkahwin dengan sah dengan seorang lain dan dia telah disetubuhi oleh orang lain itu dalam perkahwinan itu dan perkahwinan itu sah dan setelah habis ‘iddahnya”.

(2) Talak Ba’in Sugra

Talak ba’in sugra itu talak yang dijatuhkan oleh istri dengan cara cerai tebus talak (khuluk) dikarenakan suami tidak setuju dengan perceraian tersebut. Hal ini terdapat di dalam Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 Pasal 48 (1) yang menyebutkan bahwa:

“Jika suami tidak bersetuju menjatuhkan talak dengan kerelaannya sendiri, tetapi pihak-pihak itu bersetuju bercerai dengan cara tebus talak (khulu’), Mahkamah hendaklah, selepas jumlah bayaran tebus talak dipersetujui dan telah dijelaskan oleh pihak istri itu, mengarahkan suami melafalkan perceraian dengan cara cerai tebus talak dan perceraian itu adalah baain sughra”. b) Talak raj’i adalah perceraian dengan 1 atau 2 talak yang mana tidak

diikuti dengan habis idah. Pada talak raj'i ini jika talak raj'i telah berlaku dan si istri tidak mengetahuinya, akmaka suami tidak boleh memintanya untuk rujuk seperti sedia kala tanpa menjatuhkan talak terlebih dahulu. Hal ini terdapat pada Perintah Daurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999, Pasal 52 ayat (6) yang berbunyi:

"Jika talaq raj'ie telah berlaku tanpa diketahui oleh isteri, suami tidaklah boleh menghendaki atau meminta isteri supaya ruju' semula dengannya tanpa menzahikan kepadanya hal perceraian itu".

2) Cerai Talak Tebus (Khuluk)

Di Negara Brunei diberlakukan juga aturan yang menyatakan cerai tebus talak. Yang mana jika istri menggugat cerai, Hakim akan meminta penjelasan suami apakah dia mengizinkan perceraian tersebut

dan jika suami memberi izin, Hakim akan meminta kepada suaminya, untuk mengucapkan cerai, segera didaftarakan dan mengeluarkan surat cerai kepada keluarganya. Sebaliknya, jika suami tidak setuju, tetapi keluarga istri setuju untuk bercerai dengan tebusan atau cerai tebus talak, Hakim boleh membantu masalah pembayaran (tebusan) istri kepada suami dengan status dan keluarga istri. Hakim pun akan meminta kepada suami untuk mengucapkan cerai dengan tebusan,115 kemudian Hakim akan menilai jumlah yang perlu dibayar sesuai degan taraf kemampuan kedua belah pihak tersebut serta mendaftarkan perceraian itu.116 Hal tersebut tertuang dalam Pasal 48 menyatakan bahwa,

a) Jika suami tidak bersetuju menjatuhkan talak dengan kerelaannya sendiri, tetapi pihak-pihak itu bersetuju bercerai dengan cara tebus talak (khulu’), Mahkamah hendaklah, selepas jumlah bayaran tebus talak dipersetujui dan telah dijelaskan oleh pihak istri itu, mengarahkan suami melafalkan perceraian dengan cara cerai tebus talak dan perceraian itu adalah baain sughra.

b) Jika jumlah bayaran tebus talak tidak dipersetujui oleh pihak-pihak itu, Mahkamah boleh mentaksirkan jumlah itu mengikut Hukum Syara’ dengan memberi perhatian kepada taraf, sumber kewangan pihak-pihak itu dan mas kawin. Jika Mahkamah telah menetapkan jumlah tebus talak dan Mahkamah telah mengarahkan supaya suami itu melafalkan talak dan didapati suami enggan berbuat demikian, maka Mahkamah boleh menjatuhkan talak.

c) Mahkamah hendaklah merekodkan cerai tebus talak itu dengan sewajarnya dan menghantar satu kalimat rekod itu yang diperakui kepada Pendaftar yang berkenaan dan kepada Ketua Pendaftar untuk didaftarkan.

d. Akibat Hukum Setelah Perceraian 1) Idah

Idah adalah tempoh atau masa bagi seseorang perempuan di tengah bernikah.117 Pada peraturan Undang-undang di Negara Brunei tidak menjelaskan tentang batas waktu lamanya idah, hanya saja di

115 Dedi Supriyadi, Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,

(Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009), h. 149.

116 M. Atho’ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam

Modern, cet.1, h. 190.

117 Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1)

Negara Brunei batas waktu idah mengikuti Hukum Syara'. di Negara Brunei hanya menjelaskan tentang masa idah qabla dukhul yaitu jika perempuan dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak boleh dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam masa idah kecuali telah dibenarkan oleh kadi yang berkuasa dimana ia tinggal. Pernyataan tersebut terdapat dalam Perintah Darurat (Undang-undang keluarga Islam), 1999 pada Pasal 13 ayat (3) yang menyatakan bahwa,

“Jika perempuan itu mendakwa telah bercerai sebelum dia telah disetubuhi oleh suaminya dalam perkahwinan itu, dia tidaklah boleh, dalam masa ‘iddah perceraian biasa, berkahwin dengan seseorang selain daripada suaminya yang dahulu itu, kecuali dengan kebenaran Hakim Syar’ie yang mempunyai bidang kuasa di tempat di mana perempuan itu bermastautin”.

2) Nafkah Idah

Nafkah idah berasal dari kata nafkah yang artinya perbelanjaan yang wajib mengenai makanan, pakaian, dan tempat tinggal bagi istri, anak-anak, janda, dan orang-orang lain di bawah tanggungan seorang suami atau bekas suami dan mana-mana orang termasuk bapak, ibu, dan bapak angkat mengikuti hukum syara’. Sedangkan idah adalah tempoh atau masa bagi seseorang perempuan di tengah bernikah mengikuti hukum syara’. Jadi nafkah idah yaitu kebutuhan yang berbentuk pakaian, makanan, dan pakaian yang ditanggung oleh suami atau bekas suami dalam tempoh bagi seseorang perempuan di tengah bernikah. Di dalam Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 Pasal 72 menjelaskan bahwa,

“Seseorang istri yang telah diceraikan oleh suaminya boleh atas permohonannya di Mahkamah mendapatkan suatu perintah terhadap bekas suaminya kerana bayaran di dalam ‘iddahnya, jika perceraian itu dengan talaq satu atau dua atau pun di dalam tempoh dia mengandung dengan bekas suaminya sebanyak mana nafkah yang dia boleh berhak menerimanya dan perbelanjaan lain yang munasabah mengikuti Hukum Syara’”.

Pada peraturan Negara Brunei pembayaran nafkah idah dibayar sesuai perintah Mahkamah. Hal ini sesuai pada Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 Pasal 73 ayat (1) dan (2), yaitu:

a) Jika Mahkamah berpuas hati bahawa terdapat alasan-alasan untuk pembayaran nafkah, Mahkamah boleh membuat suatu perintah terhadap suami bagi membayar nafkah sementara yang akan berkuatkuasa dengan serta-merta dan terus berkuatkuasa sehingga suatu perintah Mahkamah dibuat atas permohonan untuk nafkah.

b) Suami boleh menyelaraskan nafkah sementara yang dibayar dengan jumlah yang diperintahkan supaya dibayar untuk nafkah di bawah perintah Mahkamah.

3) Mut’ah

Mut’ah adalah pemberian yang wajib ke atas suami kepada jandanya mengikuti hukum syara’.118 Di dalam Undang-undang Negara Brunei Darussalam telah dijelaskan tentang mut’ah bahwa, jika seorang istri sudah diceraikan suaminya, si istri berhak untuk meminta mut’ah

kepada Mahkamah. Dalam pembagian mut’ah, Mahkamah

memerintahkan kepada suami untuk membayar sejumlah uang sesuai dengan Hukum Syara’. Hal ini sesuai pada Undang-undang Negara Brunei pada Pasal 57 yaitu sebagai berikut:

“selain dari haknya untuk memohon nafkah, seseorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya boleh memohon pemberian sagu hati (mut’ah) kepada Mahkamah, dan Mahkamah boleh, selepas mendengar pihak-pihak itu dan apabila berpuas hati bahawa perempuan itu telah diceraikan, memerintahkan suami supaya membayar sejumlah wang sebagaimana yang mungkin wajar dan patut mengikut Hukum Syara’”.

4) Rujuk

Pada Undang-undang Negara Brunei Darussalam, rujuk adalah perkembangan seseorang perempuan yang ditalak oleh suaminya bukan secara ba’in kepada nikah asal dengan tidak memerlukan nikah baru.119

118 Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1)

tentang Permulaan.

119 Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1)

Apabila perceraian yang bisa dirujuk kembali dilakukan dengan tanpa sepengetahuan istri, maka ia tidak dapat diminta untuk tinggal bersama sampai diberitahukan tentang perkara itu. Kemudian jika setelah menjatuhkan talak yang masih bisa dirujuk kembali, pihak suami mengucapkan rujuk dan pihak istri menerimanya, maka istri dapat diperintahkan oleh kadi untuk tinggal bersama, tetapi perintah tersebut tidak bisa dibuat sekiranya pihak istri tidak memberi kerelaan. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Negara Brunei Darussalam pada Pasal 52 ayat (6) dan (7) yang menyatakan bahwa,

a) Jika talaq raj’i telah berlaku tanpa sepengetahuan oleh istri, suami tidaklah boleh menghendaki atau meminta isteri supaya ruju’ semula dengannya tanpa menzahirkan kepadanya hal perceraian itu.

b) Jika selepas talaq raj’i suami melafazkan ruju’ dan isteri telah bersetuju terhadap ruju’ itu, isteri boleh, atas permohonan suami, diperintahkan oleh Mahkamah supaya berbaik semula sebagai suami isteri, melainkan jika isteri itu menunjukkan sebab-sebab yang munasabah sebaliknya mengikut Hukum Syara’ dan, jika demikian halnya, Mahkamah perkara itu kepada Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga.

e. Hakam (Arbitrator)

Undang-undang di Negara Brunei juga mengatur mengenai hakam (arbitrator). Apabila selalu muncul masalah antara suami dan istri, maka kadi bisa mengangkat seorang, dua orang pendamai atau hakam dari keluarga yang dekat dari masing-masing pihak yang mengetahui keadaanya.120 Undang-undang Negara Brunei mengatur bahwa, ketika terjadi perceraian dan kedua pihak (suami istri) setuju untuk bercerai, dan Pengadilan telah puas setelah melakukan penyelidikan bahwa perkawinannya tersebut telah diputus dan tidak dapat dipersatukan lagi. Maka tidak ada tahapan mediasi, karena diaturan tersebut setelah Pengadilan yakin bahwa pernikahannya tidak dapat bersatu lagi, si suami diperintahkan

120 A. Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam”, Al-Qadau, Vol. 2,

untuk mengucapkan lafaz talak. Sejalan dengan Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 Pasal 42 ayat (3) yang berbunyi:

“Jika pihak yang satu lagi bersetuju terhadap perceraian itu dan Mahkamah berpuas hati selepas menjalankan penyiasatan yang sewajarnya bahawa perkahwinan itu telah pecah belah dengan tidak dapat dipulihkan, maka Mahkamah hendaklah menasihatkan suami supaya melafazkan satu talaq di hadapan Mahkamah”.

Sedangkan jika salah satu pihak tidak setuju dengan perceraian tersebut, dan menurut Mahkamah ada niat baik dari para pihak berperkara untuk berdamai, barulah Mahkamah bertugas untuk mengusulkan para pihak berperkara kepada Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga atau Mediator. Hal tersebut dijelaskan pada Peraturan Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 Pasal 42 ayat (6) yang berbunyi sebagai berikut:

“Jika pihak yang satu lagi tidak bersetuju terhadap perceraian itu atau jika Mahkamah berpendapat bahawa ada kemungkinan yang munasabah bagi suatu perdamaian antara pihak-pihak itu, Mahkamah bolehlah merujukkan kes itu kepada Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga”.

Apabila terjadi perceraian karena syiqaq antara suami istri, maka kadi bisa mengangkat seorang, dua orang pendamai atau hakam dari keluarga yang dekat dari masing-masing pihak yang mengetahui keadaannya. Hal ini diatur dalam peraturan perintah darurat (Undang-Undang Keluarga Islam), 1999 Pasal 43 ayat 3 mengatakan bahwa,

“apabila melantik Hakam di bawah ceraian, Mahkamah hendaklah, jika boleh, memberi keutamaan kepada qarabah qarib pihak-pihak yang berkenaan itu yang tahu akan hal keadaan kes itu”. Artinya: “ketika menunjuk hakam dalam perceraian, Pengadilan akan, jika memungkinkan, memberikan prioritas kepada pengasuh terdekat pihak yang berkenaan itu yang tahu tentang kasus yang dialami para pihak”.

Kadi memberikan petunjuk kepada hakam untuk melaksanakan arbitrasi sesuai dengan hukum muslim. Apabila kadi tidak sanggup atau kadi tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh hakam, kadi akan mengganti hakam yang lain. Haruslah diangkat seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, kedua hakam yang diangkat itu adalah orang orang yang terpercaya dengan persetujuan suami istri dan kedua suami suami istri itu mewakilkan kepada kedua hakam untuk kumpul

lagi atau bercerai apabila kedua hakam itu berpendapat demikian. Demikian pula jika hakam berpendapat bahwa pihak-pihak ini layak bercerai tetapi dengan tanpa adanya alasan untuk menyatakan perceraian, maka kadi akan mengangkat hakam yang lain dan akan memberikan otoritas untuk mempengaruhi perceraian.121

121 M. Atho’ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam

69

Dokumen terkait