• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Rukun dan Syarat Talak

1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia

Sejarah hukum keluarga Indonesia terbagi dalam dua masa yaitu hukum keluarga prakemerdekaan, yang dibagi menjadi dua yaitu hukum keluarga prapenjajahan (prakolonial), dan hukum keluarga zaman penjajahan (kolonial). Hukum keluarga pascakemerdekaan dibagi dalam tiga yaitu hukum keluarga awal kemerdekaan, hukum keluarga sesudah 1950, dan terbentuknya Undang-undang perkawinan baru. Berikut uraiannya:75

a. Kerajaan Islam

Hukum Islam mulai berlaku dan dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. Hukum Islam ada ketika pertama kali orang Islam menginjakkan kakinya di Indonesia (abad XII-XVII M). Penyelesaian perkara masih dengan cara yang sederhana yaitu melalui hakam (abritase).76

Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i. Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Sementara itu, di bagian timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.77

75 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandar Lampung: PT Citra

Aditya Bakti, 2010), h. 60-64.

76 Ali Sodikin, Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, (Yogyakarta: Beranda, 2012), h. 181.

77

b. Masa Penjajahan Belanda

Masa awal penjajahan Belanda, hukum perkawinan yang berlaku adalah hukum perkawinan Islam khususnya yang berasal dari kitab-kitab fikih berbahasa Arab atau dari kitab UU yang dibuat oleh beberapa kerajaan Islam. UU Perkawinan yang tercantum dalam staatblad tahun 1929 menempatkan penghulu sebagai pegawai pemerintah yang berada di bawah kontrol Bupati. Kemudian tahun 1931 keluar UU staatblad No. 53. UU ini memberikan efek yang serius bagi eksistensi hukum Islam.

c. Masa Kemerdekaan

Memasuki masa kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia telah menerapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dan Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1947 tentang Pegawai Pencatat Nikah.78 Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk (NTR) yang berrtugas meninjau RUU (Rancangan Undang-undang) yang selaras dengan keadaan zaman.79 Pada masa orde baru inilah keinginan untuk mewujudkan Undang-undang perwakilan bangkit kembali, yang berujung dengan diajukannya Rancangan Undang-undang (RUU) perkawinan oleh Menteri Kehakiman sebagai perwakilan dari pemerintah ke DPR pada tahun 1973 terlaksana. Meskipun demikian ternyata draft RUU tersebut menuai banyak kecaman, terlebih dari kalangan umat Islam yang menilai RUU tersebut banyak yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Dengan perjalanan yang berliku dan perjuangan yang keras akhirnya pada tanggal 2 Januari 1974 RUU perkawinan disahkan menjadi Undang-undang. Kehadiran UU No. 1 Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya beberapa peraturan pelaksana. Pertama, PP No. 9 Tahun 1975 yang diundangkan tanggal 1 April 1975.

78 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), cet.1, h. 157.

Kedua, Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Ketiga, Petunjuk Mahkamah Agung RI.80

Dalam Pasal 67 PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa: 1. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975, 2. Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan secara efektif dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Bagi umat Islam diatur dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 dan No. 4 Tahun 1975, kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1975. Bagi yang beragama selain Islam diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 221a Tahun 1975, tanggal 1 Oktober 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil. Kemudian pada tahun 1983 lahir pula PP No. 10 yang mengatur izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan pada tanggal 21 April 1983. Selanjutnya disusul lagi dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kemudian pada tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi perubahan PP No. 10 Tahun 1983. Kemudian satu tahun sesudahnya berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam mengenai perkawinan, pewarisan, dan perwakafan.81

Latar belakang penyusunan KHI didasarkan pada konsideran Keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Poyek Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi atau yang lebih dikenal sebagai proyek KHI.82 Proses pembentukan KHI ini mempunyai kaitan yang erat dengan kondisi hukum Islam di Indonesia selama ini. Dalam membicarakan hukum Islam di

80 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan

Hukum Indonesia di Gunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pebaruan, dan Materi & Status Perempuan dalam Hukum Perkawinan/Keuarga Islam, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009),

h. 48.

81 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan

Hukum Indonesia di Gunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pebaruan, dan Materi & Status Perempuan dalam Hukum Perkawinan/Keuarga Islam, h. 49.

82 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 15.

Indonesia. Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegangi/ditaati oleh mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan hukum nasional dan merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya.83

KHI ini merupakan keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada pemerintahan orde baru. Tujuan perumusan KHI di Indonesia adalah menyiapkan pedoman fikih yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan ini diharapkan tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga peradilan Agama. Apabila tidak ada KHI atau para hakim di Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara, maka ia berpedoman kepada referensi kitab fikih yang dibuat oleh para fuqaha terdahulu berdasarkan situasi dan kondisinya di mana fuqaha itu berada, hakim dalam menyelesaikan perkara yang sama sering putusannya berbeda sebagai akibat rujukan yang berbeda.84

2. Perceraian dalam Ketentuan Hukum Keluarga di Indonesia a. Pengertian dan Alasan Perceraian

“Putusnya Perkawinan” adalah istilah hukum yang digunakan dalam Undang-undang Perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang telah hidup sebagai suami istri.85 Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri.86 Perceraian diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun

83 M. Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), h. 198.

84 Asril, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Hukum Islam, vol. XV, No. 1, (Riau: Juni, 2015), h. 33.

85 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), cet.3, h. 189.

86 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

1974 tentang Perkawinan Pasal 38 dan menurut KHI diatur dalam Pasal 113 sampai 128 yang menerangkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan.87

Sebab perceraian, Undang-undang Perkawinan memberikan aturan-aturan yang telah baku, terperinci, dan sangat jelas.88 Bahwa perceraian harus memiliki salah satu alasan dari beberapa alasan, baik dalam cerai talak atau gugat, pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 dan KHI Pasal 116 menyebutkan beberapa alasan yang dapat menyebabkan perceraian, yaitu berikut ini:

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

6) Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukum lagi dalam rumah.

7) Suami melanggar taklik talak

8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

b. Syarat Sah Perceraian

Syarat untuk melakukan perceraian di Indonesia adalah perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan artinya perceraian hanya terjadi, dan sah jika diucapkan di depan pengadilan. Hal ini sesuai dengan pasal 39 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI pasal 115 “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan (Agama) setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

87 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 148-149.

88 Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung:

pihak”. Artinya di Indonesia dalam menyelesaikan perkara perceraian harus di depan sidang Pengadilan, jika perceraian dilakukan di luar Pengadilan maka perceraiannya dianggap tidak sah atau statusnya masih suami istri. Karena dengan ini perempuan akan mendapatkan perlindungan hukum. Dan perceraian di luar Pengadilan (perceraian liar) jelas-jelas tidak akan memberikan jaminan dan kepastian hukum untuk perempuan.89

Pengadilan akan menjatuhkan talak apabila memang dipandang pasangan suami istri itu tidak dapat disatukan lagi. Dan kalaulah tetap dipertahankan perkawinan itu, akan memberikan kemudharatan kepada kedua belah pihak, seperti yang tercantum dalam pasal 130 KHI, “Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya banding atau kasasi”. Namun perlu dicatat disini bahwa untuk menjamin keadilan dan kewibawaan hukum, Pengadilan Agama memerlukan hakim-hakim yang berwawasan (khususnya wawasan gender), cakap, jujur, dan bijaksana.90

c. Bentuk-bentuk Perceraian

Dari ketentuan tentang perceraian yang diatur dalam pasal 39 sampai dengan pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 14 sampai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah Perkawinan No. 9 Tahun 1975, dapat ditarik kesimpulan adanya dua macam perceraian, yaitu:91

1) Cerai Talak

Cerai talak adalah perceraian yang terjadi sebagai akibat dijatuhkannya talak oleh suami terhadap istrinya di muka sidang pengadilan. Cerai talak ini hanya khusus untuk yang beragama Islam, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 114 Peraturan Pemerintah No. 9

89 Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, cet.1, h. 193.

90 Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, cet.1, h. 192-194.

91 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), h.

Tahun 1975 bahwa “Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang ada menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”92 Cerai talak menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama dalam Pasal 66 adalah seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.93

Adapun tata cara seorang suami yang hendak mentalak istrinya selanjutnya diatur dari Pasal 15 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:

a) Setelah Pengadilan menerima surat pemberitahuan tersebut dan mempelajarinya, selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima surat itu, Pengadilan memanggil suami dan istri yang akan bercerai itu untuk dimintai penjelasan.

b) Setelah Pengadilan mendapat penjelasan dari suami istri tersebut dan ternyata memang terdapat alasan-alasan untuk bercerai, kemudian Pengadilan berpendapat pula bahwa antara suami istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun dalam rumah tangga, maka Pengadilan memutuskan untuk mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu.

c) Kemudian Ketua Pengadilan memberi surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut dan surat keterangan tersebut dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.

2) Cerai Gugat

92 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet.2, h. 18.

Cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh seorang istri agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. Mengenai cerai gugat ini, perundang-undangan menyebutkan dalam Pasal 73 (1) UU No. 7 Tahun 1989, Pasal 132 (1) KHI dan Pasal 20 (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang perkawinan.

a) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 73 (1) dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 132 (1) bahwa gugatan perceraian diajukan istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.

b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Pasal 20 (1) bahwa gugatan perceraian dapat dilakukan oleh seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan itu selain agama Islam.

Pemeriksaan perkara ditingat pertama dilakukan melalui tahap-tahap pemeriksaan perkara yang dimulai dari:94

a) Pembukaan sidang

Pada sidang pertama yang ditetapkan melalui Penetapan Hari Sidang.

(1) Ketidakhadiran penggugat

Jika penggugat/kuasanya tidak hadir tetapi tergugat hadir, maka gugatan dapat dinyatakan gugur atau sidang ditunda untuk memanggil penggugat sekali lagi.

(2) Ketidakhadiran tergugat

94 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha,

Jika prnggugat hadir, tetapi tergugat atau kuasanya tidak hadir, maka perkaranya akan diputus verstek, yaitu penggugat dianggap menang dan tergugat dianggap kalah.

b) Penanyaan Identitas para Pihak

Setelah sidang dinyatakan dibuka, untuk menghindari eror in persona (keliru mengenai orang) maka hal pertama yang dilakukan oleh majelis hakim adalah menanyakan identitas pihak-pihak, dimulai dari penggugat dan selanjutnya tergugat meliputi nama, bin/ti, alias/julukan/gelar, umur, agama, pekerjaan, dan temtpat tinggal terakhir.

c) Anjuran Damai

Jika kedua belah pihak hadir dan berhasil diakhiri dengan perdamaian yang dituangkan dalam Akta Perdamaian yang kekuatan hukumnya sama dengan putusan, tetapi tidak dapat banding atau diajukan lagi.95 Tetapi jika perdamaian tidak berhasil, maka Hakim Pemeriksa Perkara segera menerbitkan penetapan untuk melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.96

d) Pembacaan Gugatan

Setelah gugatan dibacakan, sebelum tahap jawaban tergugat, penggugat berkesempatan untuk menyatakan sikap sehubungan dengan gugatannya. Ada tiga kemungkinan sikap penggugat: mencabut gugatan, mengubat gugatan, dan tetap mempertahankan gugatan.

95 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), cet.10, h. 19.

96 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016, Pasal 32 ayat

e) Jawaban Tergugat

Jawaban tergugat dapat diberikan secara tertulis atau lisan yang harus dihadiri oleh tergugat atau kuasa hukumnya. Jika tidak dihadiri oleh tergugat atau kuasa hukumnya meskipun ada mengirimkan surat jawaban tertulis, maka jawaban itu tidak akan diperhatikan dan dianggap tidak pernah ada, kecuali jika jawaban itu berisi eksepsi bahwa pengadilan tersebut tidak berwenang mengadili.

f) Replik Penggugat

Setelah tergugat memberikan jawabannya, selanjutnya kesempatan beralih kepada penggugat untuk memberikan replik yang menanggapi jawaban tergugat sesuai dengan pendapatnya.

g) Duplik Tergugat

Setelah replik penggugat maka bagi tergugat dapat membalasnya dengan mengajukan duplik yang kemungkinan sikapnya sama seperti replik penggugat.

h) Pembuktian

Alat-alat bukti yang dapat dikemukakan di muka sidang terdiri dari: alat bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah, pemeriksaan di tempat, saksi ahli, pembukuan dan pengetahuan hakim.

i) Kesimpulan Para Pihak

Setelah tahap pembuktian berakhir sebelu dibacakan keputusan, para pihak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan mereka terhadap hasil pemeriksaan selama persidangan.

j) Musyawarah Majelis Hakim

Terhadap hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan selanjutnya majelis hakim akan melakukan sidang tertutp untuk melakukan

perundingan dalam merumuskan putusan melalui musyawarah majelis hakim.

k) Pembacaan Putusan Hakim

Pembacaan putusan dilakukan oleh Ketua Majelis Hakim. Dalam perkara perceraian putusan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka, dan suatu perceraian berikut akibat-akibatnya dianggap terjadi terhitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

d. Akibat Putusnya Perkawinan

Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah:97

1) Idah

Idah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah masa tunggu (belum boleh menikah) bagi wanita yang berpisah dengan suami, baik karena ditalak maupun bercerai mati, wanita yang ditalak oleh suaminya harus menjalani selama tiga kali suci dari menstruasi.98 Undang-undang Perkawinan tampaknya tidak mengatur tentang idah ataupun waktu tunggu secara rinci. Satu-satunya pasal yang bicara tentang waktu tunggu adalah Pasal 11 ayat 1 dan 2 sebagai berikut:99

a) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

b) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Selanjutnya waktu tunggu ini dimuat di dalam PP No.9 Tahun 1975 Pasal 39 yang berbunyi sebagai berikut:

a) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut:

97 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, cet.2, h. 301.

98 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. 2016.

99 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada

(1) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditentukan 110 hari.

(2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu yang masih berdatang bulan ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari.

(3) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

b) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan.

c) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi Perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

Menurut KHI dalam pasal 153 mengatur tentang masa tunggu (idah) seorang wanita (janda) yang telah diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya. Pada ayat (1) berbunyi “bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau idah, kecuali qabla al dukhûl dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami”. Pasal 153 waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

a) Bagi seorang istri yang putus perceraiannya berlaku waktu tunggu atau idah, kecuali qabla al-dukhûl dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.

b) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: (1) Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla

al-dukhûl, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.

(2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.

(3) Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

(4) Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersbeut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

c) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian tersebut dengan bekas suami qabla al-dukhûl.

2) Nafkah idah

Dalam KHI Pasal 149 huruf (b) juga dijelaskan bilamana perkawinan putuh karena talak, maka bekas suami wajib memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istrinya selama dalam idah, kecuali bekas istri telah dijatuhkan talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Mengenai ukuran nafkah idah atau kadarnya dalam peraturan di Indonesia, tidak ditemukan jumlahnya secara pasti. Namun dalam PP No. 9 Tahun 1975 dan Undang-undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 dijelaskan bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian berdasarkan permohonan pemohon ataupun termohon, pengadilan dapat menentukan jumlah nafkah yang harus ditanggung suami.

3) Mut’ah

Mut’ah menurut KHI adalah pemberian bekas suami kepada istri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya. Dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mut’ah adalah sesuatu (uang, barang, dan sebagainya) yang diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya.100 Dalam KHI Pasal 149 huruf (a) menyatakan bahwa, “Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhûl”.

Berdasarkan Pasal 158 huruf (b) tersebut, jika perceraian tersebut berasal dari kehendak istri yaitu dengan jalan khuluk, maka suami tidak wajib untuk membayarkan mut’ah kepada mantan istrinya. Mengenai ukuran mut’ah yang dibebankan kepada mantan suami tidak terdapat pedoman khusus dalam peraturan Perundang-undangan. Namun pada Pasal 160 KHI menjelaskan bahwa ukuran mut’ah ditentukan

100 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan

berdasarkan kemampuan suami, sehingga besar atau kecilnya mut’ah tergantung kepada kemampuan suami.

4) Rujuk

Rujuk menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kembalinya suami kepada isrtinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih dimasa idah.101 Baik Undang-undang No. 1 Tahun 1974 maupun Undang-undang No. 7 Tahun 1989, begitu pula Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, secara spesifik tidak mengatur rujuk. KHI mengatur rujuk dan cara pelaksanaannya secara lengkap yang secara

Dokumen terkait