• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN UMUM PERCERAIAN

B. Perceraian Menurut UU Perkawinan dan KHI

1. Alasan Perceraian

Secara ideal suatu perkawinan diharapkan dapat bertahan seumur hidup, tetapi tidak selamanya pasangan suami istri akan dapat menjalani

kehidupan yang ma’ruf sakinah mawaddah warahmah. Dalam perjalanan

perkawinannya kadang pasangan suami istri menemui masalah atau kendala-kendala yang menyebabkan terjdinya perceraian. Perceraian tidak mudah untuk dilakukan, karena harus ada alasan-alasan kuat yang mendasarinya.

Pasal 39 ayat 1-2 UU No.1 tahun 1974, menyatakan:

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri. (Departemen Agama RI, 2001:125)

Alasan-alasan perceraian ada dalam pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Penjelasan UU No.1 Tahun 1974 yaitu;

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau peyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. (Departemen Agama Islam RI, 2001:146)

Dalam Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 Tentang KHI, pasal 116 menyebutkan tentang alasan-alasan perceraian yaitu :

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau peyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. (Departemen Agama RI, 2001:188-189)

Alasan-alasan yang termuat dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 dan KHI adalah sama. Tetapi dalam KHI terdapat tambahan alasan terjadinya perceraian pada huruf g dan h, yaitu suami melanggar taklik talak dan peralihan agama dan murtad.

2. Macam-macam Talak

Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI, menyebutkan tentang macam-macma talak sebagai berikut: (Departemen Agama Islam RI, 2001:189)

Pasal 118

Talak Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk

Pasal 119

a. Talak Bain sugra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.

b. Talak Bain Sugra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah 1) talak terjadi qabla al dukhul

2) talak dengan tebusan atau khuluk

3) talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama Pasal 120

Talak Bain Kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang

lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis masa

iddahnya. Pasal 121

Talak Sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam wkatu suci tersebut.

Pasal 122

Talak Bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

3. Akibat Hukum Perceraian

Setelah terjadinya perceraian, maka bekas suami atau bekas istri mendapat kewajiban sebagai akibat hukum perceraian, yaitu

UU NO.1 tahun 1974 pasal 41 menyebutkan

a. Baik ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai pengusaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana Bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. (Departemen Agama RI, 2001:125)

Bagi suami atas perceraian tersebut mendapatkan kewajiban sebagai akibat talak, dalam Inpres RI No. 1 tahun 1991 tentang KHI menyebutkan. (Departemen Agama Islam RI, 2001:195)

Pasal 149

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib

a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul;

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada istri selama dalam iddah,

kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam

keadaan tidak hamil;

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhu;

d. Memberikan biaya hadhnah (pemeliharaan, termasuk didalamnya biaya pendidikan) untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Pasal 150

Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada istrinya yang masih dalam iddah.

Pasal 151

Bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

Pasal 152

Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari suaminya kecuali ia nusyuz.

Bagi istri setelah terjadinya perceraian wajib menjalani waktu tunggu atau masa iddah, tertera dalam pasal 153, yaitu (Departemen Agama RI, 2001:196)

a. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuiali qabla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.

b. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

1) Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari; 2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi

yang masih hadi ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang- kurangnya 90 (sembilan puluh) hari;

3) Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan; 4) Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut

dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. c. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian

sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al dukhul. d. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu

tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

e. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci.

f. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.

C. Perceraian menurut Peraturan Panglima TNI Nomor 11 Tahun 2007 dan

Dokumen terkait