PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL
INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI-AD)
(Studi Kasus di Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun
2010-2012)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Kewajiban dan Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
TRI YUNIANTO
21209004
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AS
–
SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
SKRIPSI
PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDINESIA ANGKATAN DARAT (TNI-AD) (Studi Kasus di Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012)
Disusun Oleh TRI YUNIANTO
21209004
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 5 Maret 2014 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar
Sarjana S1 Kependidikan Hukum Islam
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
___________________
Sekretaris Penguji : Illya Muchsin, S.HI, M.Si.
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara:
Nama : Tri Yunianto
NIM : 21209004
Jurusan : Syari’ah
Program Studi : Al-ahwal Al-syaksyyiah
Judul : PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TNI-AD (Studi
Kasus di Korem 073/Mkt Salatiga Tahun 2010-2012)
Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.
Salatiga, 05 Maret 2014 Pembimbing
Evi Ariyani, M.H.
KEMENTERIAN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN) SALATIGA Jl. Stadion 03 TELP 0298323433 Salatiga 50721
Website: www.stainsalatiga.ac.id
Email administrasi @ stainsalatiga.ac.id
DEKLARASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Tri Yunianto
NIM : 21209004
Jurusan / Prodi : Syari’ah / ahwal Al-Syahkhsiyyah
Judul : Proses Perceraian Anggota TNI-AD ( Stadi Kasus
di Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012)
Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang
lain atau pernah diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun
pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi
yang dijadikan bahan rujukan.
Apabila dikemudian hari ternyata terdapat materi atau pikiran-pikiran orang lain
di luar referensi yang peneliti cantumkan, maka peneliti sanggup
mempertanggung jawabkan keaslian skripsi ini dihadapan sidang
munaqasyah skripsi.
Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dapat dimaklumi.
Salatiga, 05 Maret 2014 Yang menyatakan
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain”
“Apa yang kita dapat tergantung sejauh mana yang kita perbuat”
PERSEMBAHAN:
Skripsi ini saya persembahkan kepada :
1. Bapak dan Ibu saya tercinta, yang telah memberikan do’a restunya.
2. Istri dan anak-anakku yang secara sabar dan ihlas telah mendukungku untuk maju
dalam menuntut ilmu.
3. Kakak-kakak dan adikku yang telah mendorong dan memberi semangat.
4. Komandan dan para pimpinan serta teman-temanku di Korem 073/Mkt yang telah
mendukung dan mentolerir aktifitasku.
5. Bapak dan Ibu Dosen Al-ahwal asyakhsiyyah, yang begitu sabar dalam mengajar dan
membimbingku.
6. Teman-temanku NON REGULER 2009,M. Fatwa, A. Kurniawan, Anif Latifah, Pujo
Wasono, Uswatun Hasanah, Syamsul Bahri, Raichan Rofi’I, Eka Jayanti, Muliyah,
ABSTRAK
Yunianto.Tri 2014. Proses Perceraian Anggota TNI-AD (Studi Kasus di Korem
073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012) Skripsi. Jurusan Syari’ah.
Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Evi Ariyani, M.H.
Kata Kunci : Proses Perceraian, Studi Kasus.
Skripsi ini membahas tentang hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang tata cara atau proses pengajuan ijin cerai di lingkungan TNI-AD beserta persyaratan dan landasan hukumnya, para pimpinan yang berhak memberikan ijin cerai kepada anggota TNI-AD, kebijakan Danrem 073/Mkt dan praktek perceraian anggota Korem 073/Mkt yang menyimpang dari hukum dan peraturan.
Ketertarikan penulis terhadap penelitian ini bermula ketika penulis melihat adanya beberapa kebijakan Danrem 073/Mkt yang saling bertolak belakang bahkan ada yang tidak sesuai dengan hukum dan peraturan. Hal ini disebabkan oleh sering adanya pergantian pejabat yang memiliki latar belakang yang berbeda baik secara sosiologis, relegius maupun edukatif. Juga adanya beberapa tindakan prajurit/istri prajurit yang menyimpang dari peraturan yang ada.
Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian kwalitatif , maka peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut: mengadakan pengamatan dan observasi terhadap lokasi yang hendak diteliti yaitu di Korem 073/Mkt serta melakukan wawancara dengan berbagai fihak yang berkompeten dan bisa memberikan keterangn yang penulis butuhkan tentang kebijakan Danrem 073/Mkt terkait dengan masalah perceraian serta tindakan prajurit/istri prajurit yang menyimpang dari hukum dan peraturan. Setelah itu penulis mengadakan pengamatan terhadap buku-buku dan dokumen baik yang berada di kantor Bintalrem maupun yang berada di perpustakaan terutama yang berkaitan dengan masalah perceraian.
Dari hasil penelitian ini penulis mendapati :
1. Adanya satu kebijakan Danrem 073/Mkt terkait masalah perceraian yang terlalu longgar sehingga tekesan tidak ada usaha untuk merukunkan atau menyelesaikan permasalahan anggotanya, bahkan bertentangaan dengan Peraturan Panglima TNI No. 11 tahun 2007 pasal 10 dan 11.
2. Adanya dua kebijakan Danrem 073/Mkt yang terlalu ketat, sehingga terkesan memaksakan kehendak, walaupun sudah jatuh talak tiga bahkan sudah terbit akte cerai dari PA, Danrem 073/Mkt masih berusaha untuk mendamaikan keduanya . Hal ini bertentangan dengan Al-Qur’an Surat al -Baqarah 229-230.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi besar Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, dan pengikut beliau pada sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk
itu kritik dan saran penulis harapkan untuk sempurnanya penelitian ini.
Keberhasilan penyusunan penelitian ini, selain atas ridho dari Allah SWT, juga
tak lepas dari bantuan, dorongan, dan bimbingan dari semua pihak. Oleh karena
itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat :
1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Pd., selaku ketua STAIN Salatiga.
2. Bapak Mubasirun, M.Ag., selaku ketua jurusan STAIN Salatiga.
3. Bapak Illya Muhsin, M.Si., selaku ketua Progdi studi Ahwal
al-Syakhsiyyah STAIN Salatiga.
4. Ibu Evi Ariyani, M.H selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu dosen dan para civitas akademika lingkungan Jurusan Syari’ah
yang telah dengan sabar dan ikhlas membagi ilmunya.
6. Para dosen serta karyawan STAIN Salatiga yang telah memberikan jalan ilmu
dan pelayanan.
7. Komandan dan para pimpinan serta teman-temanku di Korem 073/Mkt yang
8. Teman-teman sekelasku non-reguler angkatan 2009 yang telah menjadi
inspirator, motivator dan penyemangat.
Ilallahi nasyku ana fina maruman nantahi bihi ila husnil khitam
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
DEKLARASI ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat atau Kegunaan Penelitian ... 6
E. Penegasan Istilah ... 6
F. Telaah Pustaka ... 8
G. Kerangka Teoritik ... 8
H. Metode Penelitian ... 12
I. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II. TINJAUAN UMUM PERCERAIAN ... 17
A. Perceraian Menurut Fiqh ... 17
B. Perceraian Menurut UU Perkawinan dan KHI ... 29
BAB III. PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL
INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI-AD) (Studi Kasus Di
Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012) ... 41
A. Gambaran Umum Korem 073/Makutarama ... 41
B. Tata cara Perceraian di Lingkungan TNI-AD ... 54
C. Pejabat yang Berwenang Memberikan Ijin Cerai. ... 61
D. Kebijakan Danrem 073/Makutarama terkait Masalah Perceraian Anggota Korem 073/Makutarama. ... 62
E. Praktek Perceraian Anggota Korem 073/Makutarama yang Menyimpang dari Peraturan. ... 66
BAB IV. ANALISIS TERHADAP KEBIJAKAN DANREM 073/ MAKUTARAMA DAN ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PERCERAIAN ANGGOTA KOREM 073/MAKUTARAMA YANG MENYIMPANG DARI PERATURAN ... 68
A. Analisis Terhadap Kebijakan-Kebijakan Danrem 073/ Makutarama ... 71
B. Analisis Tentang Praktek Perceraian Anggota Korem 073 / Makutarama yang Menyimpang dari Peraturan dan akibat yang ditimbulkannya. ... 77
BAB V. PENUTUP ... 78
A. Kesimpulan ... 78
B. Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 82
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata “TENTARA” merupakan sebuah kata yang mengandung
berbagai macam makna. Ada yang memaknai tentara sebagai sebuah institusi
yang tegas, teratur dan berdisiplin tinggi, ada juga yang memandang tentara
sebagai organisasi yang otoriter, keras dan kaku, ada yang sangat extrim
memaknai tentara sebagai alat kekuasaan negara yang siap menjadi mesin
pembunuh bagi musuh negara. Tapi apapun pandangan orang tentang arti dan
makna tentara, yang jelas tentara dalah tentara.
Tentara terdiri dari tiga suku kata dan dari masing-masing suku kata
itu mengandung satu kata, jadi didalamnya terkandung tiga kata, yaitu tenar
tapi sengsara. Hal ini memberikan gambaran bahwa segala macam tugas yang
diemban oleh tentara selalu berhadapan dengan sengsara/derita/ keprihatinan,
sebagai contoh penugasan tentara di daerah rawan/konflik seperti di Aceh,
Ambon, Papua, Timor-Timur, yang kesemuanya mengandung derita/sengsara,
harus berpisah dan jauh dari keluarga, makan tidur dengan sarana seadanya,
dan sebagainya. Juga memberikan kesadaran bahwa untuk mencapai
ketenaran harus melalui penderitaan, kesuksesan hanya dapat dicapai dengan
perjuangan yang membutuhkan pengorbanan baik waktu, tenaga, harta bahkan
Agar tentara dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, benar dan
terarah maka segala kegiatan dan aktifitasnya didasarkan pada aturan, mulai
bangun tidur sampai tidur lagi bahkan dalam tidurpun setiap anggota Tentara
Nasional Indonesia (TNI) mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah,
mulai pangkat tertinggi sampai pada pangkat terendah, harus selalu
berpedoman pada aturan, baik peraturan-peraturan yang sudah digariskan oleh
pemerintah maupun kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pimpinan tertinggi
TNI, dalam hal ini adalah Panglima TNI. Peraturan dan kebijakan tersebut
dituangkan dalam undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan
Menhankam/Pangab, dan disahkan dengan surat keputusan Kasad (Kepala
Staf TNI Angkatan Darat). Kemudian peraturan dan kebijakan yang sudah
disahkan tersebut didistribusikan ke instansi tingkat pusat sampai ke jajaran
tingkat daerah, untuk dipedomani serta dilaksanakan dalam kehidupan
keprajuritan dan kedinasan di lingkungan masing-masing.
Di dalam bergerak, berjalan, berlari baik sendirian maupun dalam
hubungan kelompok, tentara diatur dengan Peraturan Baris Berbaris (PBB).
Bagaimana tata cara menghormati orang lain baik penghormatan kepada
atasan langsung, atasan biasa, sesama rekan dan kepada bawahan, baik
perorangan maupun dalam hubungan kelompok tentara diatur dengan
Peraturan Penghormatan Militer (PPM). Dalam hidup bermasyarakat baik di
lingkungan militer maupun dilingkungan masyarakat sipil, tentara diatur
Pelanggaran terhadap aturan dan kebijakan yang telah disahkan
tersebut akan menimbulkan sanksi bagi yang bersangkutan, baik sanksi
disiplin yang berupa tegoran, penahanan ringan, penahanan sedang dan
penahanan berat, maupun sanksi administrasi yang berupa pemotongan gaji,
pengurangan makan dan penurunan pangkat atau penundaan kenaikan
pangkat.
Dalam kaitanya dengan masalah perceraian, al-Qur’an dan Hadits telah
mengatur dengan tegas, juga pemerintah telah menetapkan aturan yang jelas
dan mendasar yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1971, tentang perkawinan. Juga
berbagai macam keputusan yang dikeluarkan oleh pimpinan TNI, yang secara
jelas dan tegas telah mengatur bagaimana tata cara pelaksanaan perceraian
bagi anggota tentara atau seorang prajurit yang masih berada di dalam dinas
keprajuritan, mulai pangkat terendah sampai pangkat yang paling tinggi.
Hal ini seharusnya bisa menjadi dasar dan landasan yang kuat bagi
setiap prajurit yang akan melaksanakan proses perceraian dan bagi para
komandan agar tidak salah dalam mengambil kebijakan, terutama yang
berkaitan dengan masalah perceraian prajurit, sehingga apapun keputusan dan
kebijakan yang diambil oleh seorang pimpinan benar-benar dapat membawa
kemaslahatan dan ketenteraman bagi anak buahnya serta meminimalisir
adanya penyimpangan dan pelanggaran terhadap undang-undang dan
Namun dalam kenyataannya tidak semua undang-undang dan
peraturan yang telah dikeluarkan baik oleh pemerintah maupun pimpinan
TNI itu, dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Dalam prakteknya
banyak kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para komandan yang
bertentangan atau menyimpang dari aturan yang ada. Sebagai contoh di
Korem 073/Makutarama Salatiga, pernah ada salah satu komandan yang
mengeluarkan kebijakan, bahwa untuk mendapatkan ijin cerai dari komandan
kesatuan (Komandan Korem), maka yang bersangkutan harus memperoleh
dahulu surat cerai dari Pengadilan Agama, padahal dalam hal ini sudah ada
aturan yang jelas dari komando atas, bagi anggota militer yang akan
mengajukan perceraian, sebelum maju ke Pengadilan Agama harus mendapat
ijin dulu dari komandan satuan. Juga banyak tindakan atau perbuatan seorang
prajurit, terutama tindakan istri prajurit yang menyimpang dari aturan, yaitu
dengan mengajukan cerai gugat langsung ke Pengadilan Agama tanpa
meminta ijin terlebih dahulu kepada komandan satuannya, padahal pada saat
mengajukan ijin kawin/pernikahan, telah membuat surat pernyataan
kesanggupan menjadi istri/suami anggota TNI-AD dengan menyatakan
“bersedia mematuhi dan tunduk pada peraturan pernikahan, perceraian dan
rujuk yang berlaku di lingkungan TNI-AD”.
Hal ini menimbulkan berbagai macam pertanyaan terutama bagi
mereka yang belum faham, mengenai tata cara pengajuan cerai bagi anggota
TNI-AD. Karena itulah maka peneliti tertarik untuk meneliti proses perceraian
harapan dapat memberikan gambaran yang sebenarnya tentang bagaimana tata
cara pengajuan ijin cerai di lingkungan TNI-AD.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang
hendak dicari jawabannya melalui penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah tata cara mengajukan permohonan ijin cerai di lingkungan
TNI-AD ?
2. Bagaimanakah kebijakan Danrem 073/Mkt terkait dengan proses
perceraian anggota Korem 073/Makutarama ?
3. Bagaimanakah jika praktek perceraian anggota Korem 073/Mkt ada yang
menyimpang dari Peraturan yang ada ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis dalam penyusunan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui tata cara mengajukan permohonan ijin cerai di
lingkungan TNI-AD.
2. Untuk mengetahui kebijakan Danrem 073/Mkt terkait dengan proses
perceraian anggota Korem 073/Makutarama.
3. Untuk mengetahui bentuk penyimpangan dan akibat dari praktek
perceraian anggota Korem 073/Makutarama, dikaitkan dengan aturan yang
D. Manfaat atau Kegunaan Penelitian
Suatu penelitian dilaksanakan dengan harapan agar dapat bermanfaat
baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah pengetahuan dan wawasan kepada pembaca yang budiman
tentang proses perceraian anggota TNI-AD beserta landasan
hukumnya, baik hukum positif, hukum Islam maupun hukum yang
berlaku di lingkungan TNI-AD.
b. Hasil penelitian ini semoga dapat menambah khasanah perbendaharaan
karya ilmiah.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan referensi atau
landasan hukum dalam kasus yang sama, khususnya bagi anggota
TNI-AD dan umumnya bagi siapa saja yang membutuhkan.
b. Hasil penelitian ini semoga dapat memberikan sumbangan pemikiran
dan saran kepada para komandan agar lebih hati-hati dan luwes dalam
mengambil kebijakan, terutama yang berkaitan dengan hukum.
E. Penegasan Istilah
Agar tidak menimbulkan salah dalam pemahaman terhadap judul
1. Perceraian
Perceraian adalah putusnya perkawinan yang disebabkan karena
talak atau berdasarkan gugatan perceraian. (Pasal 114 KHI)
2. Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah Setiap warga negara
Indonesia yang mengabdikan dalam bentuk usaha bela negara dengan
menyandang senjata rela berkorban jiwa raga serta tunduk pada aturan
Tentara.
3. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD)
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) adalah
bagian dari TNI yang memiliki wilayah kekuasaan/teritorial di daratan
yang meliputi semua propinsi di seluruh wilayah NKRI.
4. Korem 073/Makutarama
Korem 073/Makutarama adalah bagian dari TNI-AD yang
berkedudukan di Salatiga yang daerah kekuasaan/teritorialnya membawahi
sembilan Kodim, enam Satuan Dinas Jawatan dan satu Batalyon Infanteri.
5. Anggota Korem 073/Makutarama
Anggota Korem 073/Makutarama adalah seluruh anggota TNI-AD
yang masih dinas di wilayah Korem 073/Makutarama, yang meliputi
anggota (Kodim Salatiga, Kodim Kendal, Kodim Pati, Kodim Kudus,
Kodim Demak, Kodim Purwodadi, Kodim Blora, Kodim Jepara, Kodim
Denhub, Denzibang, Denkes, Ajenrem) dan anggota Batalyon Infanteri
410/Alg yang belum memasuki masa Pensiun.
F. Telaah Pustaka
Banyak para pihak yang telah melakukan penelitian tentang masalah
perceraian, namun lokasi atau tempat penelitian kebanyakan di Pengadilan
agama, dan masalah yang diangkat/diteliti berkisar masalah latar belakang dan
akibat dari adanya perceraian baik terhadap hak asuh anak maupun pembagian
harta gono-gini.
Sedangkan penelitian yang akan kami lakukan berlokasi di Korem
073/Makutarama Salatiga, mengangkat masalah kebijakan-kebijakan para
pejabat komandan Korem073/Mkt dan tindakan prajurit/istri prajurit yang
menyimpang dari peraturan, beserta hal-hal yang melatarbelakanginya.
G. Kerangka Teoritik
Beberapa teori yang digunakan sebagai landasan pemikiran dalam
menganalisis dan mengarahkan alur penulisan ini antara lain
1. Firman Allah dalam Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 229–230 sebagai
berikut:
Artinya : ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang
yang zalim”.
Ayat inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh.
Kulu' yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang
disebut 'iwadh. dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui”.
2. Sabda Rosulullah SAW, قلاطلا للهادنع للاحلا ظغبٲ bahwa “Talak/Perceraian
merupakan perbuatan yang halal tapi dibenci oleh Allah”.
Hal ini mengisyaratkan bahwa perceraian merupakan jalan terakhir
setelah gagal dalam usaha-usaha untuk mendamaikannya. Dalam arti
jangan melakukan perceraian kalau tidak benar-benar karena terpaksa.
3. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pasal 114
Perceraian adalah putusnya perkawinan yang disebabkan karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian”
4. Dalam Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/11/VII/2007, tanggal 4
Juli 2007 tentang Tata Cara Pernikahan, Perceraian dan Rujuk Bagi
Prajurit TNI.
Pasal 2
Setiap pernikahan, perceraian dan rujuk dilaksanakan menurut
ketentuan/tuntunan agama yang dianut oleh prajurit yang bersangkutan
dan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10
(1) Prajurit TNI yang akan melaksanakan perceraian harus mendapat izin
terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang.
(2) Izin cerai hanya diberikan apabila perceraian yang akan dilakukan itu
tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianut oleh kedua
(3) Izin cerai pada prinsipnya diberikan kepada prajurit apabila
pernikahan yang telah dilakukannya tidak memberi manfaat
ketenteraman jiwa dan kebahagiaan hidup sebagai suami istri.
(4) Untuk hal tersebut pada ayat (2) dan (3) pasal ini perlu adanya
pernyataan tertulis dari pejabat agama Angkatan yang bersangkutan.
Pasal 11
(1) Permohonan talak/gugatan perceraian terhadap prajurit oleh
suami/istri yang bukan prajurit disampaikan langsung oleh yang
berkepentingan kepada pengadilan setelah memberitahukan kepada
atasan prajurit yang bersangkutan.
(2) Setiap prajurit yang menerima pemberitahuan dari pengadilan tentang
telah diajukannya gugatan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
segera menyampaikan laporan tentang hal tersebut kepada atasan
yang berwenang memberi ijin perceraian.
(3) Atasan yang berwenang memberi izin perceraian, setelah menerima
laporan tersebut dalam ayat (2) pasal ini, segera mengadakan
usaha-usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 12
Permohonan ijin cerai ditolak apabila:
(1) Perceraian yang akan dilakukan itu bertentangan dengan hukum agama
yang dianut oleh kedua belah pihak yang bersangkutan.
(2) Alasan-alasan yang dikemukakan oleh anggota yang bersangkutan
(3) Pada ayat (1) dan (2) tersebut di atas dituangkan dalam bentuk berita
acara pemeriksaan bagi suami dan/atau istri serta dilengkapi dengan
berita acara pendapat dari pejabat agama.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Berangkat dari judul dan permasalahan yang mendasari penelitian,
maka penelitian ini adalah termasuk dalam jenis penelitian deskriptif
(descriptive research), yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya. (Soerjono Soekanto. 1986:10).
2. Lokasi Penelitian
Sesuai dengan judul skripsi yang penulis ajukan, maka untuk
memperoleh data-data yang diperlukan sesuai dengan pokok permasalahan
yang akan diteliti, maka lokasi yang penulis pilih adalah Korem
073/Makutarama yang beralamat di Jl. Diponegoro Salatiga.
3. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis empiris, yakni penelitian yang didasarkan pada suatu
ketentuan hukum (peraturan yang berlaku) dengan fenomena atau
kenyataan yang terjadi di lapangan serta dalam prakteknya sesuai dengan
partisipatif, yaitu observasi yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan
peneliti sebagai partisipan atau kelompok yang diteliti.
4. Sumber Data
Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari
antara lain
a. Sumber data primer. Sumber data primer ini diperoleh melalui
wawancara dengan pihak Korem 073/Makutarama Salatiga.
b. Sumber data sekunder. Sumber data sekunder diperoleh dari studi
pustaka, arsip-arsip, agenda, peraturan-peraturan dan hukum-hukum,
baik yang bersumber dari hukum Islam, hukum positif, maupun yang
berlaku di kalangan TNI-AD.
5. Metode Pengumpulan Data
Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis-empiris,
maka sumber data yang utama adalah data yang diperoleh langsung di
lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari sumber kepustakaan
sebagai landasan teori.
Adapun metode atau alat pengumpulan data yang digunakan adalah:
a. Metode Dokumentasi.
Metode Dokumentasi adalah metode pengumpulan data
berdasar pada dokumen tertulis (buku, agenda, arsip-arsip dan lain
sebagainya). (Arikunto, 1998:131). Metode ini digunakan untuk
mengetahui data otentik tentang praktek perceraian anggota Korem
b. Studi kepustakaan (library reasesrch)
Studi Kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan
cara mengumpulkan bahan-bahan pustaka, baik yang berupa
buku-buku literatur dokumen-dokumen (arsip kegiatan, kertas kerja dan lain
sebagainya).
c. Metode Wawancara atau interview.
Wawancara atau interview adalah suatu proses tanya jawab
secara lisan antara dua orang atau lebih dengan berhadapan secara fisik
yang satu dapat melihat dan yang satu dapat mendengar sendiri.
(Sutrisno Hadi, 1986:136)
6. Metode Analisa Data
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisa
kualitatif, yaitu metode analisis yang pada dasarnya mempergunakan
pemikiran logis, analisis dengan logika, induksi/ deduksi, analogi/
interpretasi, komparasi dan sejenisnya itu. Metode analisa data yang
digunakan adalah deduksi yaitu menganalisa berdasarkan pada hal-hal
yang bersifat umum kemudian meneliti persoalan-persoalan yang bersifat
khusus. Dari analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan yang pada
hakekatnya merupakan jawaban atas permasalahan.
I. Sistematika Penulisan
Secara garis besar skripsi ini terdiri dari tiga bagian besar, yaitu bagian
luar, cover dalam, Lembar Persetujuan Pembimbing, Lembar Pengesahan,
Motto, Kata Pengantar, Daftar Isi dan Daftar Lampiran.
Pada bagian isi skripsi terdiri dari lima bab, yaitu;
Bab I Pendahuluan yang didalamnya menguraikan tentang; Latar Belakang
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan manfaat Penelitian, Penegasan
Istilah, Telaah Pustaka, Kerangka teoritik, Metode Penelitian, dan Sistematika
Penulisan Skripsi.
Bab II Kajian Pustaka yang menguraikan tentang pengertian, dasar hukum,
macam dan bentuk perceraian menurut fiqh, alasan perceraian, macam-macam
talak dan akibat hukum perceraian dilihat dari Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 dan KHI, syarat dan alasan perceraian, kelengkapan administrasi, dan
sebab-sebab ditolaknya izin cerai serta akibat perceraian menurut Peraturan
Panglima TNI Nomor 11 Tahun 2007 dan Skep KASAD Nomor 491 Tahun
2006.
Bab III Laporan Hasil Penelitian yang berisi tentang: Gambaran umum
Korem 073/Makutarama Salatiga, Tata cara pengajuan ijin cerai di
Lingkungan TNI-AD beserta persyaratan dan landasan hukumnya, Para
Pimpinan yang berhak memberikan ijin cerai kepada anggota TNI-AD,
Kebijakan Danrem 073/Makutarama terkait masalah perceraian Anggota
Korem 073/Makutarama, serta Praktek perceraian Anggota korem
073/Makutarama mulai tahun 2010-1012, yang bertentangan dengan
Bab IV Analisis terhadap kebijakan-kebijakan Danrem 073/Makutarama dan
analisis tentang praktek perceraian anggota Korem 073/Makutarama yang
menyimpang dari Peraturan.
Bab V Penutup yang berisi tentang; Kesimpulan dan Saran.
Pada bagian akhir skripsi berisi tentang; Daftar Pustaka,
BAB II
TINJAUAN UMUM PERCERAIAN
Pada bab ini, akan menguraikan masalah perceraian ditinjau menurut fiqh,
menurut UU Perkawinan dan KHI serta menurut PP no 9 tahun 1975. Walaupun
semua yang termuat dalam UUP dan KHI serta peraturan yang berlaku di TNI-AD
(PP no 9 tahun 1975) tidak bertentangan atau sesuai dengan hukum Islam (fiqh),
tetapi dalam bab ini akan kami pisah menjadi sub bab tersendiri dengan maksud
agar perceraian mudah dipahami tidak hanya dalam fiqhnya saja, tetapi juga
dalam hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
A. Perceraian Menurut Fiqh
1. Pengertian Perceraian
Pengertian perceraian dapat dilihat dari dua segi yaitu bahasa dan
istilah. Menurut bahasa perceraian (talak) berasal dari kata
THALAQA-YATHLAQU-THALAAQAN yang bermakna melepas atau mengurai tali
pengikat, baik tali pengikat itu bersifat konkrit seperti tali pengikat kuda
maupun bersifat abstrak seperti tali pengikat perkawinan. Kata talak
merupakan isim masdar dari kata
THALLAQA-YUTHALLIQU-TATHLIIQAN, jadi kata ini semakna dengan kata tahliq yang bermakna
“irsal” dan “tarku” yaitu melepaskan dan meninggalkan. (Zakiah Darajat,
1995:172)
Abi Yahya Zakaria al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahab
يىذو و ق لاطن ا ظفهبد اكىنا دقع مد
“Talak ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang
semacamnya. (Abi Yahya Zakaria al-Anshari, tanpa tahun:72)
Abdur Rahman Al-Jaziri dalam kitabnya AL-Fiqh Alal Madzahibil
Arba’ah memberi definisi talak sebagai berikut:
صىصخم ظفهب ًهد ن اصقو وا ح اكىن ا تنا زا قلاطن ا
“Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi
pelepasan ikatannya dengan mempergunakan kata-kata tertentu”.
(Abdur Rahman Al-Jaziri, 1990:248)
Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah memberi definisi talak
sebagai berikut:
تيج و سن ا تق لاعن ا ء اهو ا و ج ا و سن ا تطب ا ر مد
“Talak ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.” (Sayyid Sabiq, 1990:5)
Pengertian perceraian ialah satu keadaan dimana antara seorang
suami dan seorang istri telah terjadi ketidakcocokan batin yang berakibat
pada putusnya suatu tali perkawinan melalui suatu putusan pengadilan.
(Mahkamah Agung RI, 1994:53)
2. Dasar Hukum Perceraian
Agama Islam membolehkan suami istri bercerai itu bukanlah
berarti pintu terbuka, yang dengan mudah dilalui orang keluar masuk
sesuka hatinya. Tapi pintu itu sebenarnya adalah pintu darurat yang tidak
masuk kecuali dalam keadaan darurat baru pintu itu dibuka. (M. Said,
tanpa tahun:35)
Mengenai hukum talak, para ahli hukum Islam berbeda pendapat.
Pendapat yang paling bisa diterima akal dan konsisten dengan tujuan
syariat yaitu pendapat yang menyatakan bahwa perceraian hukumnya
terlarang, kecuali dengan alasan yang benar. (Sri Mulyati, 2004:18-19)
Pendapat ini ditopang oleh golongan Hanafi dan Hambali. Salah satu dalil
yang digunakannya adalah
ق لاطم قاو مك لله ا هعن
“Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka merasai (bersenggama)
dan bercerai (Sayyid Sabiq, 1990:11)
Namun apabila perselisihan suami istri telah sampai kepada tingkat
syiqoq (perselisihan yang mengkhawatirkan bercerai), hendaklah dicari
penyelesaian dengan cara mengangkat hakam dari keluarga suami istri,
yang akan mengusahakan dengan sekuat tenaga agar kerukunan hidup
suami istri dapat dipulihkan kembali. Apabila terpaksa perceraian tidak
dapat dihindarkan dan talak benar-benar terjadi, maka harus diadakan
usaha agar mereka dapat rujuk kembali melalui hidup baru.
Di sinilah letak pentingnya mengapa Islam mengatur bilangan talak
sampai tiga kali.
Meskipun talak benar-benar terjadi, pemeliharaan dan hubungan
baik antara bekas suami istri harus senantiasa dipupuk. Hal ini hanya dapat
dengan pertimbangan untuk kebaikan hidup masing-masing. (Ahmad
Azhar Bashir, 1996:65)
Seseorang yang berusaha merusak tali hubungan suami istri
dipandang keluar dari rel kebijaksanaan hukum Islam dan tidak
sepantasnya ia menamakan dirinya seorang muslim. Hadits dalam Fiqh
Sunnah, karangan Sayyid Sabiq menyatakan
اهجوز ىهع ة أ رم ا ببخ هم اىم صين
“Bukanlah termasuk golonganku orang yang merongrong
hubungan seorang istri dengan suaminya.” (Sayyid Sabiq,
1990:10)
Syariat Islam melarang keras seorang perempuan yang berusaha
membujuk seorang suami agar menceraikan istrinya untuk menggantikan
kedudukannya itu. Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menyatakan
ا قلاط ةأ رمن ا ل أطت لا
ام اهن امو ءاف خكىتن و اهتفذص غ رفتطتن اهتخ
اهن ردق
“Janganlah seorang wanita minta diceraikannya saudaranya
untuk dapat menggantikan kedudukannya (sebagai istri) hendaklah ia kawin (dengan laiki-laki lain), karena baginya telah ditakdirkan
Allah” (Sayyid Sabiq, 1990:10)
Istri yang meminta talak kepada suaminya tanpa sebab dan tanpa
alasan yang dibenarkan adalah perbuatan tercela. Hal ini dinyatakan dalam
hadist yang menyatakan
“Manakala istri menuntut cerai dari suaminya tanpa alasan,
maka haram baginya bau surga.” (Sayyid Sabiq, 1990:10)
Syara’ menjadikan talak sebagai jalan yang sah untuk bercerainya
suami istri, namun syara’ membenci terjadinya perbuaan ini dan tidak
merestui dijatuhkannya talak tanpa sebab dan alasan. Adapun sebab-sebab
dan alasan-alasan untuk jatuhnya talak itu adakalanya menyebabkan
kedudukan hukum talak menjadi wajib, adakalanya menjadi haram,
makruh, mubah dan sunnah.
a. Wajib
Artinya talak menjadi wajib bagi suami atas permintaan istri dalam
hal suami tidak mampu menunaikan hak-hak istri serta menunaikan
kewajibannya sebagai suami. Seperti suami tidak mampu mendatangi
istri atau suami tidak mampu menyelenggarakan nafkah istri. Dalam
hal ini istri berhak menuntut talak dari suaminya dan suami wajib
menuruti tuntutan istri, jangan membiarkan istri terkatung-katung
ibarat orang yang digantung, yakni tidak dilepaskan tetapi tidak
dijamin hak-haknya. (Abdur Rahman Al Jaziri, 1990:264)
b. Haram
Talak itu diharamkan jika dengan talak itu kemudian suami
berlaku serong, baik dengan bekas istrinya atau dengan wanita lain,
dengan kata lain suami diharamkan menjatuhkan talak jika hal itu
mengakibatkan terjatuhnya suami ke dalam perbuatan haram. (Abdur
c. Makruh
Talak makruh hukumnya jika dilakukan tanpa sebab. Berdasarkan
hadits yang menetapkan bahwa talak merupakan jalan yang halal yang
paling dibenci oleh Allah.(Sayyid Sabiq, 1990:12)
d. Mubah
Talak itu mubah hukumnya (dibolehkan) ketika ada keperluan
untuk itu, yakni karena jeleknya perilaku istri, buruknya sikap istri
terhadap suami, suami menderita mudhorot lantaran tingkah laku istri,
suami tidak mencapai tujuan perkawinan dari istri.
e. Sunah
Talak disunahkan jika istri rusak moralnya, berbuat zina atau
melanggar larangan-larangan agama, seperti meninggalkan shalat,
puasa, istri tidak afifah (menjaga diri, berlaku hormat). (Sayyid Sabiq,
1990:13)
3. Macam-Macam Talak
Ditinjau dari segi ada dan tidak adanya kemungkinan bekas suami
rujuk kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu
a. Talak Raj’i
Yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya yang
pernah dikumpuli, bukan karena memperoleh ganti dari istri, talak
yang pertama atau kedua kalinya dijatuhkan dan suami mempunyai
hak untuk merujuk. Firman Allah SWT dalam surat AL Baqarah ayat
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rukuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik.”(Departemen Agama RI, 1997:37)
b. Talak Bain
Talak bain ada dua macam yaitu
1. Talak bain sugro ialah talak bain yang menghilangkan pemilikan
bekas suami terhadap istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan
bekas suami untuk kawin kembali dengan istri dengan nikah baru.
Termasuk talak bain sugro yaitu
a. Talak sebelum berkumpul
b. Talak dengan tebusan atau khulu’
c. Talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara,
talak karena penganiayaan dan yang semacamnya. (Zakiah
Darajat, 1995:177)
2. Talak bain kubro ialah talak bain yang menghilangkan pemilikan
bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan
bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istrinya kecuali
setelah bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul,
telah bercerai dan telah habis masa iddahnya. Talak bain kubro
terjadi pada talak yang ketiga. Firman Allah dalam surat Al
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua),
Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain.”(Departemen Agama RI, 1997: 37)
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi
menjadi tiga macam, sebagai berikut:
a. Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan
sunnah.
Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat
1. Istri yang ditalak sudah pernah dikumpuli.
2. Istri dapat segera melakukan iddah suci, setelah ditalak.
3. Talak dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci
4. Suami tidak pernah mengumpuli istri selama masa suci dalam
masa talak itu dijatuhkan. (Zakiah Darajat, 1995:173)
b. Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai dengan tuntunan
sunnah.
Termasuk dalam talak Bid’i ialah
1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid.
2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci, tetapi
pernah dikumpuli oleh suaminya. (Zakiah Darajat, 1995:174)
c. Talak La Sunni Wala Bid’I yaitu talak yang tidak termasuk kategori
talak sunni dan talak Bid’I, yaitu
2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah berhaid,
atau istri yang telah lepas haid.
3. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil. (Zakiah
Darajat, 1995:174)
Ditinjau dari segi tegas atua tidaknya kata-kata yang dipergunakan
sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjdi dua macam yaitu:
a. Talak Sarih, ialah kata-kata talak yang ketika diucapkan dapat dengan
jelas sebagai perceraian, seperti “Kau aku cerai”, “Kau dicerai”.
Menurut Asy-Syafi’I lafal talak yang tergolong sarih ada tiga, yaitu
قلاطن ا ,ق ا رفنا dan حارطنا (cerai, pisah, lepas), yang semua itu
tercantum di dalam al-quran.
b. Talak Kinayah, ialah talak dengan menggunakan kata-kata yang
menurut aslinya tidak berrti menceraikan, sedang berbagai sindiran bis
aberati demikian. Seperti kata-kata: “kamu lain”. Kata ini bis aberarti
“kamu bukan istriku lagi”. (Ibrahim Muhammad Al-Jamal, t.t:398)
4. Bentuk-bentuk Perceraian
Di dalam hukum Islam ada beberapoa bentuk perceraian, diantaranya yaitu
a. Khulu’ (tebus talak)
Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas tuntutan istri disertai
tebusan atau iwadl atas persetujuan kedua belah pihak, karena suami
cacat misalnya atau karena sebab lain. Bisa juga tebusan itu
Khulu’ dibolehkan di dalam agama berdasarkan firman Allah surat
AL-Baqarah ayat 229:
“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh istri untuk menebus dirinya. (Departemen Agama RI, 1997:37)
b. Mafqud
Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa istri
orang yang mafqud (hilang) serta hartanya, tetaplah milik mafqud
walaupun dalam jangka waktu yang lama sampai timbul dugaan bahwa
orang hilang tersebut telah mati, yaitu dengan melihat kawan-kawan
sebayanya sudah mati semua atau orang seperti dia tidak hidup lagi
pada masa yang bersangkutan. (Mahmud Syalthut, 2000:236)
Di dalam menentukan lamanya, terdapat beberapa pendapat
dalam kedua mazhab tersebut. Yaitu ada yang mengatakan 70 tahun,
ada yang mengatakan 80 tahun, dan seterusnya hingga 120 tahun.
Menurut satu pendapat dikalangan ulama Hanafiyyah, hal tersebut
diserahkan pada pendapat dan ijtihad qadhi (hakim). Juga ada yang
mengatakan bahwa inilah pendapat yang menonjol dikalangan ulama
syafi’iyyah. (Mahmud Syalthut, 2000:236)
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hilang itu ada dua
1) Mafqud yang menurut lahirnya selamat, seperti niaga ketempat
yang tidak berbahaya, menuntut ilmu, atau mengembara,
hukumnya sama seperti pendapat yang dikemukakan oleh ulama
Hanafiyyah dan ulama Syafi’iyyah.
2) Mafqud yang menurut lahirnya tidak selamat, seperti orang yang
hilang tiba-tiba diantara keluarganya, atau ia keluar untuk shalat,
tetapi tidak kembali lagi, atau ia pergi karena suatu keperluan lalu
tidak ada kabar beritanya atua ia hilang antara dua pasukan yang
bertempur atau bersamaan dengan tenggelamnya sebuah kapal dan
sebagainya. Hukum mengenai hal tersebut adalah menunggu
hingga 4 (empat) tahun. (Mahmud Syalthut, 2000:237)
Hukum di Yordania membuat ketetapan tentang perceraian
dalam kasus mafqud al-khabar, yaitu ketika suami sedang hilang dan
tidak ada kabar dari atau tetangganya. Jika sang istri bisa membuktikan
suami tidak ada di tempat wilayah perkawinannya, selama lebih dari 1
(satu) tahun tanpa ada permintaan maaf atau alasan apapun yang
masuk akal maka istri dibolehkan meminta qadhi untuk cerai. (Asghar
Ali Engineer, 2003:168)
c. Lian
Lian yaitu perceraian karena tuduhan berzina dari seorang
suami, tetapi tidak dapat mengajukan 4 orang saksi dan atau suami
mengingkari anak dalam kandungan atau sudah lahir dari istrinya,
sebaliknya istri menuduh suami berbuat zina, tetapi tidak dapat
mendatangkan 4 orang saksi. (A. Zuhdi Madlor, 1990:96)
d. Syiqaq
Perceraian karena perselisihan berat sehingga memerlukan
campur tangan orang lain ketiga yaitu seorang hakam (perantara) dari
pihak suami dan seorang hakam lagi dari pihak istri. Bila mereka
gagal dalam penyelesaian pertikaian ini. Maka hakim boleh
memutuskan perkawinan suami istri itu.(M. Said, t.t:36)
Firman Allah Surat An-Nisa’ ayat 35 menyatakan
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal. (Departemen Agama RI, 1997:75)
e. Kematian salah seorang diantara suami istri.
B. Perceraian Menurut UU Perkawinan dan KHI
1. Alasan Perceraian
Secara ideal suatu perkawinan diharapkan dapat bertahan seumur
hidup, tetapi tidak selamanya pasangan suami istri akan dapat menjalani
kehidupan yang ma’ruf sakinah mawaddah warahmah. Dalam perjalanan
perkawinannya kadang pasangan suami istri menemui masalah atau
kendala-kendala yang menyebabkan terjdinya perceraian. Perceraian tidak
mudah untuk dilakukan, karena harus ada alasan-alasan kuat yang
mendasarinya.
Pasal 39 ayat 1-2 UU No.1 tahun 1974, menyatakan:
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.
(Departemen Agama RI, 2001:125)
Alasan-alasan perceraian ada dalam pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975
tentang Penjelasan UU No.1 Tahun 1974 yaitu;
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau peyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga. (Departemen Agama Islam RI, 2001:146)
Dalam Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 Tentang KHI, pasal 116
menyebutkan tentang alasan-alasan perceraian yaitu :
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau peyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga. (Departemen Agama RI, 2001:188-189)
Alasan-alasan yang termuat dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 dan
KHI adalah sama. Tetapi dalam KHI terdapat tambahan alasan terjadinya
perceraian pada huruf g dan h, yaitu suami melanggar taklik talak dan
peralihan agama dan murtad.
2. Macam-macam Talak
Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI, menyebutkan tentang
macam-macma talak sebagai berikut: (Departemen Agama Islam RI,
2001:189)
Pasal 118
Talak Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk
Pasal 119
a. Talak Bain sugra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad
nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
b. Talak Bain Sugra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah
1) talak terjadi qabla al dukhul
2) talak dengan tebusan atau khuluk
3) talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
Pasal 120
Talak Bain Kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak
jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali
apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang
lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis masa
iddahnya.
Pasal 121
Talak Sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan
terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam wkatu suci
tersebut.
Pasal 122
Talak Bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada
waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah
3. Akibat Hukum Perceraian
Setelah terjadinya perceraian, maka bekas suami atau bekas istri
mendapat kewajiban sebagai akibat hukum perceraian, yaitu
UU NO.1 tahun 1974 pasal 41 menyebutkan
a. Baik ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai pengusaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana Bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri. (Departemen Agama RI, 2001:125)
Bagi suami atas perceraian tersebut mendapatkan kewajiban
sebagai akibat talak, dalam Inpres RI No. 1 tahun 1991 tentang KHI
menyebutkan. (Departemen Agama Islam RI, 2001:195)
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada istri selama dalam iddah,
kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila
qobla al dukhu;
d. Memberikan biaya hadhnah (pemeliharaan, termasuk didalamnya
biaya pendidikan) untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21
tahun.
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada istrinya yang masih dalam
iddah.
Pasal 151
Bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak
menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
Pasal 152
Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari suaminya
kecuali ia nusyuz.
Bagi istri setelah terjadinya perceraian wajib menjalani waktu
tunggu atau masa iddah, tertera dalam pasal 153, yaitu (Departemen
Agama RI, 2001:196)
a. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu
atau iddah, kecuiali qabla al dukhul dan perkawinannya putus bukan
b. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
1) Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al
dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih hadi ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari;
3) Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
4) Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
c. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al dukhul.
d. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan
yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
kematian suami.
e. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu
menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali
waktu suci.
f. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka
iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun
C. Perceraian menurut Peraturan Panglima TNI Nomor 11 Tahun 2007 dan Skep KASAD Nomor 491 Tahun 2006.
1. Syarat Perceraian.
Secara ideal suatu perkawinan diharapkan dapat bertahan seumur
hidup, tetapi tidak selamanya pasangan suami istri akan dapat menjalani
kehidupan yang ma’ruf menuju terwujudnya keluarga yang sakinah
mawaddah warahmah. Dalam perjalanan perkawinannya kadang pasangan
suami istri menemui masalah atau kendala-kendala yang menyebabkan
terjadinya perceraian. Bagi prajurit TNI, perceraian tidak mudah untuk
dilakukan, karena harus ada persyaratan yang harus dipenuhi.
Di dalam pasal 10 Peraturan Panglima TNI Nomor 11/VII/2007
disebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang prajurit TNI
yang akan mengajukan ijin cerai, antara lain
a. Prajurit TNI yang akan melaksanakan perceraian harus mendapat ijin
terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang.
b. Ijin cerai hanya akan diberikan apabila perceraian yang akan
dilakukan itu tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianut
oleh kedua pihak yang bersangkutan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c. Ijin cerai pada prinsipnya diberikan kepada prajurit apabila pernikahan
yang telah dilakukan tidak memberikan manfaat ketenteraman jiwa
d. Untuk hal tersebut pada ayat (a) dan (b) pasal ini perlu adanya
pernyataan tertulis dari pejabat agama dari Angkatan yang
bersangkutan.
Pada pasal 11 Peraturan Panglima TNI Nomor 11/VII/2007
dijelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami/istri yang
akan mengajukan gugatan cerai kepada prajurit TNI, antara lain
a. Permohonan talak/gugatan perceraian terhadap prajurit oleh
suami/istri yang bukan prajurit disampaikan langsung oleh yang
berkepentingan kepada pengadilan setelah memberitahukan kepada
atasan prajurit yang bersangkutan.
b. Setiap prajurit yang menerima pemberitahuan dari pengadilan tentang
telah diajukannya gugatan yang dimaksud dalam ayat (a) pasal ini
segera menyampaikan laporan tentang hal tersebut kepada atasan yang
berwenang memberi ijin perceraian.
c. Atasan yang berwenang memberikan ijin perceraian, setelah
menerima laporan tersebut dalam ayat (b) pasal ini, segera
mengadakan usaha-usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak.
2. Alasan Perceraian.
Pada prinsipnya permohonan izin cerai atau gugatan perceraian
yang diajukan oleh seorang prajurit TNI dapat diterima apabila
Di dalam Skep Kasad Nomor 491 tahun 2006 telah diuraikan
dengan jelas mengenai alasan-alasan perceraian, antara lain
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau peyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Salah satu pihak pindah agama. (Skep Kasad, 2006:14)
3. Kelengkapan Administrasi Perceraian.
Bagi prajurit TNI yang akan mengajukan permohonan izin cerai,
maka yang bersangkutan harus melengkapi persyaratan administrasi yang
ditentukan sesuai dengan Skep Kasad Nomor 491 tahun 2006, sebagai
a. Surat pengantar dari kesatuan.
b. Surat permohonan ijin cerai dari yang bersangkutan.
c. Surat kesanggupan diceraikan dari pihak istri.
d. Berita acara pemeriksaan suami dan istri dari kesatuan yang
bersangkutan Bila tidak hadir untuk di BAP agar dilampirkan surat
pemanggilan BAP minimal tiga kali.
e. Pas photo berwarna ukuran 4X6 sebanyak 10 lembar.
f. Foto copy akte nikah/surat nikah. (Skep Kasad, 2006:15)
4. Hal-hal yang menjadi sebab ditolaknya permohonan izin cerai.
Meskipun ijin cerai bisa diberikan oleh seorang komandan, atasan
kepada bawahannya, tetapi bukan berarti bahwa semua permohonan ijin
cerai itu diterima, ada beberapa hal yang menyebabkan permohonan ijin
cerai itu tidak diterima/ditolak. Hal ini telah dijelaskan di dalam pasal 12
Peraturan Panglima TNI Nomor 11/VII/2007, bahwa permohonan izin
cerai dapat ditolak apabila
a. Perceraian yang akan dilakukan itu bertentangan dengan hukum
agama yang dianut oleh kedua belah pihak yang bersangkutan.
b. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh anggota yang bersangkutan
untuk melaksanakan perceraian tidak cukup kuat atau dibuat-buat.
c. Pada ayat (a) dan (b) tersebut diatas dituangkan dalam bentuk berita
acara pemeriksaan bagi suami dan/atau istri serta dilengkapi dengan
5. Akibat Perceraian.
Di dalam pasal 13 Peraturan Panglima TNI Nomor 11/VII/2007
disebutkan bahwa ada beberapa bal yang harus dilaksanakan oleh kedua
belah pihak yang telah bercerai, sebagai berikut
a. Setelah perceraian dilangsungkan, maka salinan surat cerai dari
lembaga yang berwenang, berikut salinan izin cerai harus diserahkan
oleh yang bersangkutan kepada pejabat personalia dari kesatuannya
guna menyelesaikan administrasi personil dan keuangan.
b. Pemberian nafkah kepada mantan istri/suami yang dicerai dan atau
kepada anak yang diasuhnya serta pembagian harta kekayaan akibat
BAB III
PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI-AD)
(Studi Kasus Di Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012)
A. Gambaran Umum Korem 073/Makutarama
1. Latar Belakang Pembentukan Korem 073/Makutarama
Sesuai dengan proses perkembangan dan perubahan
organi sasi Kodam V/Diponegoro, khususnya bagi Kesatuan Korem
073/Makutarama adalah sebagai berikut
Penggabungan Bri gade P ragol o I dan Pragolo II m en jadi
Brigade “ Pragolo “
Berdasarkan Surat Perintah Harian Panglima Divisi
Diponegoro Nomor 526/K.I/D.III/51 tanggal 29 Oktober 1951 dan
dikukuhkan dengan Surat Keputusan Panglima TT IV Nomor
73/B.4/d.III/51 Tanggal 30 Oktober 1951 tentang Perintah
Penyusunan Brigade Pragala.
Sebagai realisasi surat tersebut di atas, maka pada tanggal 21
Nopember 1951 bertempat di lapangan Kridanggo Salatiga telah
dilaksanakan serah terima dan penggabungan dari Brigade Pragolo –I
yang dipimpin oleh Letkol M. Sarbini dan Brigade Pragolo-II yang
dipimpin oleh Letkol Soeharto dan sebagai Komandan Brigade