• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI-AD) (Studi Kasus di Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI-AD) (Studi Kasus di Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012) - Test Repository"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL

INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI-AD)

(Studi Kasus di Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun

2010-2012)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Kewajiban dan Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh :

TRI YUNIANTO

21209004

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AS

SYAKHSHIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

(2)

SKRIPSI

PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDINESIA ANGKATAN DARAT (TNI-AD) (Studi Kasus di Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012)

Disusun Oleh TRI YUNIANTO

21209004

Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 5 Maret 2014 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar

Sarjana S1 Kependidikan Hukum Islam

Susunan Panitia Penguji

Ketua Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.

___________________

Sekretaris Penguji : Illya Muchsin, S.HI, M.Si.

(3)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara:

Nama : Tri Yunianto

NIM : 21209004

Jurusan : Syari’ah

Program Studi : Al-ahwal Al-syaksyyiah

Judul : PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TNI-AD (Studi

Kasus di Korem 073/Mkt Salatiga Tahun 2010-2012)

Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.

Salatiga, 05 Maret 2014 Pembimbing

Evi Ariyani, M.H.

(4)

KEMENTERIAN AGAMA RI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN) SALATIGA Jl. Stadion 03 TELP 0298323433 Salatiga 50721

Website: www.stainsalatiga.ac.id

Email administrasi @ stainsalatiga.ac.id

DEKLARASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Tri Yunianto

NIM : 21209004

Jurusan / Prodi : Syari’ah / ahwal Al-Syahkhsiyyah

Judul : Proses Perceraian Anggota TNI-AD ( Stadi Kasus

di Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012)

Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang

lain atau pernah diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun

pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi

yang dijadikan bahan rujukan.

Apabila dikemudian hari ternyata terdapat materi atau pikiran-pikiran orang lain

di luar referensi yang peneliti cantumkan, maka peneliti sanggup

mempertanggung jawabkan keaslian skripsi ini dihadapan sidang

munaqasyah skripsi.

Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dapat dimaklumi.

Salatiga, 05 Maret 2014 Yang menyatakan

(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain”

“Apa yang kita dapat tergantung sejauh mana yang kita perbuat”

PERSEMBAHAN:

Skripsi ini saya persembahkan kepada :

1. Bapak dan Ibu saya tercinta, yang telah memberikan do’a restunya.

2. Istri dan anak-anakku yang secara sabar dan ihlas telah mendukungku untuk maju

dalam menuntut ilmu.

3. Kakak-kakak dan adikku yang telah mendorong dan memberi semangat.

4. Komandan dan para pimpinan serta teman-temanku di Korem 073/Mkt yang telah

mendukung dan mentolerir aktifitasku.

5. Bapak dan Ibu Dosen Al-ahwal asyakhsiyyah, yang begitu sabar dalam mengajar dan

membimbingku.

6. Teman-temanku NON REGULER 2009,M. Fatwa, A. Kurniawan, Anif Latifah, Pujo

Wasono, Uswatun Hasanah, Syamsul Bahri, Raichan Rofi’I, Eka Jayanti, Muliyah,

(6)

ABSTRAK

Yunianto.Tri 2014. Proses Perceraian Anggota TNI-AD (Studi Kasus di Korem

073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012) Skripsi. Jurusan Syari’ah.

Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Evi Ariyani, M.H.

Kata Kunci : Proses Perceraian, Studi Kasus.

Skripsi ini membahas tentang hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang tata cara atau proses pengajuan ijin cerai di lingkungan TNI-AD beserta persyaratan dan landasan hukumnya, para pimpinan yang berhak memberikan ijin cerai kepada anggota TNI-AD, kebijakan Danrem 073/Mkt dan praktek perceraian anggota Korem 073/Mkt yang menyimpang dari hukum dan peraturan.

Ketertarikan penulis terhadap penelitian ini bermula ketika penulis melihat adanya beberapa kebijakan Danrem 073/Mkt yang saling bertolak belakang bahkan ada yang tidak sesuai dengan hukum dan peraturan. Hal ini disebabkan oleh sering adanya pergantian pejabat yang memiliki latar belakang yang berbeda baik secara sosiologis, relegius maupun edukatif. Juga adanya beberapa tindakan prajurit/istri prajurit yang menyimpang dari peraturan yang ada.

Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian kwalitatif , maka peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut: mengadakan pengamatan dan observasi terhadap lokasi yang hendak diteliti yaitu di Korem 073/Mkt serta melakukan wawancara dengan berbagai fihak yang berkompeten dan bisa memberikan keterangn yang penulis butuhkan tentang kebijakan Danrem 073/Mkt terkait dengan masalah perceraian serta tindakan prajurit/istri prajurit yang menyimpang dari hukum dan peraturan. Setelah itu penulis mengadakan pengamatan terhadap buku-buku dan dokumen baik yang berada di kantor Bintalrem maupun yang berada di perpustakaan terutama yang berkaitan dengan masalah perceraian.

Dari hasil penelitian ini penulis mendapati :

1. Adanya satu kebijakan Danrem 073/Mkt terkait masalah perceraian yang terlalu longgar sehingga tekesan tidak ada usaha untuk merukunkan atau menyelesaikan permasalahan anggotanya, bahkan bertentangaan dengan Peraturan Panglima TNI No. 11 tahun 2007 pasal 10 dan 11.

2. Adanya dua kebijakan Danrem 073/Mkt yang terlalu ketat, sehingga terkesan memaksakan kehendak, walaupun sudah jatuh talak tiga bahkan sudah terbit akte cerai dari PA, Danrem 073/Mkt masih berusaha untuk mendamaikan keduanya . Hal ini bertentangan dengan Al-Qur’an Surat al -Baqarah 229-230.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan

rahmat dan inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini.

Shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi besar Muhammad SAW,

keluarga, sahabat, dan pengikut beliau pada sampai akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk

itu kritik dan saran penulis harapkan untuk sempurnanya penelitian ini.

Keberhasilan penyusunan penelitian ini, selain atas ridho dari Allah SWT, juga

tak lepas dari bantuan, dorongan, dan bimbingan dari semua pihak. Oleh karena

itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada yang terhormat :

1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Pd., selaku ketua STAIN Salatiga.

2. Bapak Mubasirun, M.Ag., selaku ketua jurusan STAIN Salatiga.

3. Bapak Illya Muhsin, M.Si., selaku ketua Progdi studi Ahwal

al-Syakhsiyyah STAIN Salatiga.

4. Ibu Evi Ariyani, M.H selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu dosen dan para civitas akademika lingkungan Jurusan Syari’ah

yang telah dengan sabar dan ikhlas membagi ilmunya.

6. Para dosen serta karyawan STAIN Salatiga yang telah memberikan jalan ilmu

dan pelayanan.

7. Komandan dan para pimpinan serta teman-temanku di Korem 073/Mkt yang

(8)

8. Teman-teman sekelasku non-reguler angkatan 2009 yang telah menjadi

inspirator, motivator dan penyemangat.

Ilallahi nasyku ana fina maruman nantahi bihi ila husnil khitam

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

DEKLARASI ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat atau Kegunaan Penelitian ... 6

E. Penegasan Istilah ... 6

F. Telaah Pustaka ... 8

G. Kerangka Teoritik ... 8

H. Metode Penelitian ... 12

I. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II. TINJAUAN UMUM PERCERAIAN ... 17

A. Perceraian Menurut Fiqh ... 17

B. Perceraian Menurut UU Perkawinan dan KHI ... 29

(10)

BAB III. PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL

INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI-AD) (Studi Kasus Di

Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012) ... 41

A. Gambaran Umum Korem 073/Makutarama ... 41

B. Tata cara Perceraian di Lingkungan TNI-AD ... 54

C. Pejabat yang Berwenang Memberikan Ijin Cerai. ... 61

D. Kebijakan Danrem 073/Makutarama terkait Masalah Perceraian Anggota Korem 073/Makutarama. ... 62

E. Praktek Perceraian Anggota Korem 073/Makutarama yang Menyimpang dari Peraturan. ... 66

BAB IV. ANALISIS TERHADAP KEBIJAKAN DANREM 073/ MAKUTARAMA DAN ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PERCERAIAN ANGGOTA KOREM 073/MAKUTARAMA YANG MENYIMPANG DARI PERATURAN ... 68

A. Analisis Terhadap Kebijakan-Kebijakan Danrem 073/ Makutarama ... 71

B. Analisis Tentang Praktek Perceraian Anggota Korem 073 / Makutarama yang Menyimpang dari Peraturan dan akibat yang ditimbulkannya. ... 77

BAB V. PENUTUP ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kata “TENTARA” merupakan sebuah kata yang mengandung

berbagai macam makna. Ada yang memaknai tentara sebagai sebuah institusi

yang tegas, teratur dan berdisiplin tinggi, ada juga yang memandang tentara

sebagai organisasi yang otoriter, keras dan kaku, ada yang sangat extrim

memaknai tentara sebagai alat kekuasaan negara yang siap menjadi mesin

pembunuh bagi musuh negara. Tapi apapun pandangan orang tentang arti dan

makna tentara, yang jelas tentara dalah tentara.

Tentara terdiri dari tiga suku kata dan dari masing-masing suku kata

itu mengandung satu kata, jadi didalamnya terkandung tiga kata, yaitu tenar

tapi sengsara. Hal ini memberikan gambaran bahwa segala macam tugas yang

diemban oleh tentara selalu berhadapan dengan sengsara/derita/ keprihatinan,

sebagai contoh penugasan tentara di daerah rawan/konflik seperti di Aceh,

Ambon, Papua, Timor-Timur, yang kesemuanya mengandung derita/sengsara,

harus berpisah dan jauh dari keluarga, makan tidur dengan sarana seadanya,

dan sebagainya. Juga memberikan kesadaran bahwa untuk mencapai

ketenaran harus melalui penderitaan, kesuksesan hanya dapat dicapai dengan

perjuangan yang membutuhkan pengorbanan baik waktu, tenaga, harta bahkan

(12)

Agar tentara dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, benar dan

terarah maka segala kegiatan dan aktifitasnya didasarkan pada aturan, mulai

bangun tidur sampai tidur lagi bahkan dalam tidurpun setiap anggota Tentara

Nasional Indonesia (TNI) mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah,

mulai pangkat tertinggi sampai pada pangkat terendah, harus selalu

berpedoman pada aturan, baik peraturan-peraturan yang sudah digariskan oleh

pemerintah maupun kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pimpinan tertinggi

TNI, dalam hal ini adalah Panglima TNI. Peraturan dan kebijakan tersebut

dituangkan dalam undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan

Menhankam/Pangab, dan disahkan dengan surat keputusan Kasad (Kepala

Staf TNI Angkatan Darat). Kemudian peraturan dan kebijakan yang sudah

disahkan tersebut didistribusikan ke instansi tingkat pusat sampai ke jajaran

tingkat daerah, untuk dipedomani serta dilaksanakan dalam kehidupan

keprajuritan dan kedinasan di lingkungan masing-masing.

Di dalam bergerak, berjalan, berlari baik sendirian maupun dalam

hubungan kelompok, tentara diatur dengan Peraturan Baris Berbaris (PBB).

Bagaimana tata cara menghormati orang lain baik penghormatan kepada

atasan langsung, atasan biasa, sesama rekan dan kepada bawahan, baik

perorangan maupun dalam hubungan kelompok tentara diatur dengan

Peraturan Penghormatan Militer (PPM). Dalam hidup bermasyarakat baik di

lingkungan militer maupun dilingkungan masyarakat sipil, tentara diatur

(13)

Pelanggaran terhadap aturan dan kebijakan yang telah disahkan

tersebut akan menimbulkan sanksi bagi yang bersangkutan, baik sanksi

disiplin yang berupa tegoran, penahanan ringan, penahanan sedang dan

penahanan berat, maupun sanksi administrasi yang berupa pemotongan gaji,

pengurangan makan dan penurunan pangkat atau penundaan kenaikan

pangkat.

Dalam kaitanya dengan masalah perceraian, al-Qur’an dan Hadits telah

mengatur dengan tegas, juga pemerintah telah menetapkan aturan yang jelas

dan mendasar yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang

pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1971, tentang perkawinan. Juga

berbagai macam keputusan yang dikeluarkan oleh pimpinan TNI, yang secara

jelas dan tegas telah mengatur bagaimana tata cara pelaksanaan perceraian

bagi anggota tentara atau seorang prajurit yang masih berada di dalam dinas

keprajuritan, mulai pangkat terendah sampai pangkat yang paling tinggi.

Hal ini seharusnya bisa menjadi dasar dan landasan yang kuat bagi

setiap prajurit yang akan melaksanakan proses perceraian dan bagi para

komandan agar tidak salah dalam mengambil kebijakan, terutama yang

berkaitan dengan masalah perceraian prajurit, sehingga apapun keputusan dan

kebijakan yang diambil oleh seorang pimpinan benar-benar dapat membawa

kemaslahatan dan ketenteraman bagi anak buahnya serta meminimalisir

adanya penyimpangan dan pelanggaran terhadap undang-undang dan

(14)

Namun dalam kenyataannya tidak semua undang-undang dan

peraturan yang telah dikeluarkan baik oleh pemerintah maupun pimpinan

TNI itu, dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Dalam prakteknya

banyak kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para komandan yang

bertentangan atau menyimpang dari aturan yang ada. Sebagai contoh di

Korem 073/Makutarama Salatiga, pernah ada salah satu komandan yang

mengeluarkan kebijakan, bahwa untuk mendapatkan ijin cerai dari komandan

kesatuan (Komandan Korem), maka yang bersangkutan harus memperoleh

dahulu surat cerai dari Pengadilan Agama, padahal dalam hal ini sudah ada

aturan yang jelas dari komando atas, bagi anggota militer yang akan

mengajukan perceraian, sebelum maju ke Pengadilan Agama harus mendapat

ijin dulu dari komandan satuan. Juga banyak tindakan atau perbuatan seorang

prajurit, terutama tindakan istri prajurit yang menyimpang dari aturan, yaitu

dengan mengajukan cerai gugat langsung ke Pengadilan Agama tanpa

meminta ijin terlebih dahulu kepada komandan satuannya, padahal pada saat

mengajukan ijin kawin/pernikahan, telah membuat surat pernyataan

kesanggupan menjadi istri/suami anggota TNI-AD dengan menyatakan

“bersedia mematuhi dan tunduk pada peraturan pernikahan, perceraian dan

rujuk yang berlaku di lingkungan TNI-AD”.

Hal ini menimbulkan berbagai macam pertanyaan terutama bagi

mereka yang belum faham, mengenai tata cara pengajuan cerai bagi anggota

TNI-AD. Karena itulah maka peneliti tertarik untuk meneliti proses perceraian

(15)

harapan dapat memberikan gambaran yang sebenarnya tentang bagaimana tata

cara pengajuan ijin cerai di lingkungan TNI-AD.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang

hendak dicari jawabannya melalui penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah tata cara mengajukan permohonan ijin cerai di lingkungan

TNI-AD ?

2. Bagaimanakah kebijakan Danrem 073/Mkt terkait dengan proses

perceraian anggota Korem 073/Makutarama ?

3. Bagaimanakah jika praktek perceraian anggota Korem 073/Mkt ada yang

menyimpang dari Peraturan yang ada ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulis dalam penyusunan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui tata cara mengajukan permohonan ijin cerai di

lingkungan TNI-AD.

2. Untuk mengetahui kebijakan Danrem 073/Mkt terkait dengan proses

perceraian anggota Korem 073/Makutarama.

3. Untuk mengetahui bentuk penyimpangan dan akibat dari praktek

perceraian anggota Korem 073/Makutarama, dikaitkan dengan aturan yang

(16)

D. Manfaat atau Kegunaan Penelitian

Suatu penelitian dilaksanakan dengan harapan agar dapat bermanfaat

baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah pengetahuan dan wawasan kepada pembaca yang budiman

tentang proses perceraian anggota TNI-AD beserta landasan

hukumnya, baik hukum positif, hukum Islam maupun hukum yang

berlaku di lingkungan TNI-AD.

b. Hasil penelitian ini semoga dapat menambah khasanah perbendaharaan

karya ilmiah.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan referensi atau

landasan hukum dalam kasus yang sama, khususnya bagi anggota

TNI-AD dan umumnya bagi siapa saja yang membutuhkan.

b. Hasil penelitian ini semoga dapat memberikan sumbangan pemikiran

dan saran kepada para komandan agar lebih hati-hati dan luwes dalam

mengambil kebijakan, terutama yang berkaitan dengan hukum.

E. Penegasan Istilah

Agar tidak menimbulkan salah dalam pemahaman terhadap judul

(17)

1. Perceraian

Perceraian adalah putusnya perkawinan yang disebabkan karena

talak atau berdasarkan gugatan perceraian. (Pasal 114 KHI)

2. Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah Setiap warga negara

Indonesia yang mengabdikan dalam bentuk usaha bela negara dengan

menyandang senjata rela berkorban jiwa raga serta tunduk pada aturan

Tentara.

3. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD)

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) adalah

bagian dari TNI yang memiliki wilayah kekuasaan/teritorial di daratan

yang meliputi semua propinsi di seluruh wilayah NKRI.

4. Korem 073/Makutarama

Korem 073/Makutarama adalah bagian dari TNI-AD yang

berkedudukan di Salatiga yang daerah kekuasaan/teritorialnya membawahi

sembilan Kodim, enam Satuan Dinas Jawatan dan satu Batalyon Infanteri.

5. Anggota Korem 073/Makutarama

Anggota Korem 073/Makutarama adalah seluruh anggota TNI-AD

yang masih dinas di wilayah Korem 073/Makutarama, yang meliputi

anggota (Kodim Salatiga, Kodim Kendal, Kodim Pati, Kodim Kudus,

Kodim Demak, Kodim Purwodadi, Kodim Blora, Kodim Jepara, Kodim

(18)

Denhub, Denzibang, Denkes, Ajenrem) dan anggota Batalyon Infanteri

410/Alg yang belum memasuki masa Pensiun.

F. Telaah Pustaka

Banyak para pihak yang telah melakukan penelitian tentang masalah

perceraian, namun lokasi atau tempat penelitian kebanyakan di Pengadilan

agama, dan masalah yang diangkat/diteliti berkisar masalah latar belakang dan

akibat dari adanya perceraian baik terhadap hak asuh anak maupun pembagian

harta gono-gini.

Sedangkan penelitian yang akan kami lakukan berlokasi di Korem

073/Makutarama Salatiga, mengangkat masalah kebijakan-kebijakan para

pejabat komandan Korem073/Mkt dan tindakan prajurit/istri prajurit yang

menyimpang dari peraturan, beserta hal-hal yang melatarbelakanginya.

G. Kerangka Teoritik

Beberapa teori yang digunakan sebagai landasan pemikiran dalam

menganalisis dan mengarahkan alur penulisan ini antara lain

1. Firman Allah dalam Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 229–230 sebagai

berikut:

























(19)













































Artinya : ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk

lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang

yang zalim”.

Ayat inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh.

Kulu' yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang

disebut 'iwadh. dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui”.

(20)

2. Sabda Rosulullah SAW, قلاطلا للهادنع للاحلا ظغبٲ bahwa “Talak/Perceraian

merupakan perbuatan yang halal tapi dibenci oleh Allah”.

Hal ini mengisyaratkan bahwa perceraian merupakan jalan terakhir

setelah gagal dalam usaha-usaha untuk mendamaikannya. Dalam arti

jangan melakukan perceraian kalau tidak benar-benar karena terpaksa.

3. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

pasal 114

Perceraian adalah putusnya perkawinan yang disebabkan karena talak atau

berdasarkan gugatan perceraian”

4. Dalam Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/11/VII/2007, tanggal 4

Juli 2007 tentang Tata Cara Pernikahan, Perceraian dan Rujuk Bagi

Prajurit TNI.

Pasal 2

Setiap pernikahan, perceraian dan rujuk dilaksanakan menurut

ketentuan/tuntunan agama yang dianut oleh prajurit yang bersangkutan

dan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 10

(1) Prajurit TNI yang akan melaksanakan perceraian harus mendapat izin

terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang.

(2) Izin cerai hanya diberikan apabila perceraian yang akan dilakukan itu

tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianut oleh kedua

(21)

(3) Izin cerai pada prinsipnya diberikan kepada prajurit apabila

pernikahan yang telah dilakukannya tidak memberi manfaat

ketenteraman jiwa dan kebahagiaan hidup sebagai suami istri.

(4) Untuk hal tersebut pada ayat (2) dan (3) pasal ini perlu adanya

pernyataan tertulis dari pejabat agama Angkatan yang bersangkutan.

Pasal 11

(1) Permohonan talak/gugatan perceraian terhadap prajurit oleh

suami/istri yang bukan prajurit disampaikan langsung oleh yang

berkepentingan kepada pengadilan setelah memberitahukan kepada

atasan prajurit yang bersangkutan.

(2) Setiap prajurit yang menerima pemberitahuan dari pengadilan tentang

telah diajukannya gugatan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini

segera menyampaikan laporan tentang hal tersebut kepada atasan

yang berwenang memberi ijin perceraian.

(3) Atasan yang berwenang memberi izin perceraian, setelah menerima

laporan tersebut dalam ayat (2) pasal ini, segera mengadakan

usaha-usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak.

Pasal 12

Permohonan ijin cerai ditolak apabila:

(1) Perceraian yang akan dilakukan itu bertentangan dengan hukum agama

yang dianut oleh kedua belah pihak yang bersangkutan.

(2) Alasan-alasan yang dikemukakan oleh anggota yang bersangkutan

(22)

(3) Pada ayat (1) dan (2) tersebut di atas dituangkan dalam bentuk berita

acara pemeriksaan bagi suami dan/atau istri serta dilengkapi dengan

berita acara pendapat dari pejabat agama.

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Berangkat dari judul dan permasalahan yang mendasari penelitian,

maka penelitian ini adalah termasuk dalam jenis penelitian deskriptif

(descriptive research), yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau

gejala-gejala lainnya. (Soerjono Soekanto. 1986:10).

2. Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judul skripsi yang penulis ajukan, maka untuk

memperoleh data-data yang diperlukan sesuai dengan pokok permasalahan

yang akan diteliti, maka lokasi yang penulis pilih adalah Korem

073/Makutarama yang beralamat di Jl. Diponegoro Salatiga.

3. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan yuridis empiris, yakni penelitian yang didasarkan pada suatu

ketentuan hukum (peraturan yang berlaku) dengan fenomena atau

kenyataan yang terjadi di lapangan serta dalam prakteknya sesuai dengan

(23)

partisipatif, yaitu observasi yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan

peneliti sebagai partisipan atau kelompok yang diteliti.

4. Sumber Data

Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari

antara lain

a. Sumber data primer. Sumber data primer ini diperoleh melalui

wawancara dengan pihak Korem 073/Makutarama Salatiga.

b. Sumber data sekunder. Sumber data sekunder diperoleh dari studi

pustaka, arsip-arsip, agenda, peraturan-peraturan dan hukum-hukum,

baik yang bersumber dari hukum Islam, hukum positif, maupun yang

berlaku di kalangan TNI-AD.

5. Metode Pengumpulan Data

Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis-empiris,

maka sumber data yang utama adalah data yang diperoleh langsung di

lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari sumber kepustakaan

sebagai landasan teori.

Adapun metode atau alat pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Metode Dokumentasi.

Metode Dokumentasi adalah metode pengumpulan data

berdasar pada dokumen tertulis (buku, agenda, arsip-arsip dan lain

sebagainya). (Arikunto, 1998:131). Metode ini digunakan untuk

mengetahui data otentik tentang praktek perceraian anggota Korem

(24)

b. Studi kepustakaan (library reasesrch)

Studi Kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan

cara mengumpulkan bahan-bahan pustaka, baik yang berupa

buku-buku literatur dokumen-dokumen (arsip kegiatan, kertas kerja dan lain

sebagainya).

c. Metode Wawancara atau interview.

Wawancara atau interview adalah suatu proses tanya jawab

secara lisan antara dua orang atau lebih dengan berhadapan secara fisik

yang satu dapat melihat dan yang satu dapat mendengar sendiri.

(Sutrisno Hadi, 1986:136)

6. Metode Analisa Data

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisa

kualitatif, yaitu metode analisis yang pada dasarnya mempergunakan

pemikiran logis, analisis dengan logika, induksi/ deduksi, analogi/

interpretasi, komparasi dan sejenisnya itu. Metode analisa data yang

digunakan adalah deduksi yaitu menganalisa berdasarkan pada hal-hal

yang bersifat umum kemudian meneliti persoalan-persoalan yang bersifat

khusus. Dari analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan yang pada

hakekatnya merupakan jawaban atas permasalahan.

I. Sistematika Penulisan

Secara garis besar skripsi ini terdiri dari tiga bagian besar, yaitu bagian

(25)

luar, cover dalam, Lembar Persetujuan Pembimbing, Lembar Pengesahan,

Motto, Kata Pengantar, Daftar Isi dan Daftar Lampiran.

Pada bagian isi skripsi terdiri dari lima bab, yaitu;

Bab I Pendahuluan yang didalamnya menguraikan tentang; Latar Belakang

Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan manfaat Penelitian, Penegasan

Istilah, Telaah Pustaka, Kerangka teoritik, Metode Penelitian, dan Sistematika

Penulisan Skripsi.

Bab II Kajian Pustaka yang menguraikan tentang pengertian, dasar hukum,

macam dan bentuk perceraian menurut fiqh, alasan perceraian, macam-macam

talak dan akibat hukum perceraian dilihat dari Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 dan KHI, syarat dan alasan perceraian, kelengkapan administrasi, dan

sebab-sebab ditolaknya izin cerai serta akibat perceraian menurut Peraturan

Panglima TNI Nomor 11 Tahun 2007 dan Skep KASAD Nomor 491 Tahun

2006.

Bab III Laporan Hasil Penelitian yang berisi tentang: Gambaran umum

Korem 073/Makutarama Salatiga, Tata cara pengajuan ijin cerai di

Lingkungan TNI-AD beserta persyaratan dan landasan hukumnya, Para

Pimpinan yang berhak memberikan ijin cerai kepada anggota TNI-AD,

Kebijakan Danrem 073/Makutarama terkait masalah perceraian Anggota

Korem 073/Makutarama, serta Praktek perceraian Anggota korem

073/Makutarama mulai tahun 2010-1012, yang bertentangan dengan

(26)

Bab IV Analisis terhadap kebijakan-kebijakan Danrem 073/Makutarama dan

analisis tentang praktek perceraian anggota Korem 073/Makutarama yang

menyimpang dari Peraturan.

Bab V Penutup yang berisi tentang; Kesimpulan dan Saran.

Pada bagian akhir skripsi berisi tentang; Daftar Pustaka,

(27)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERCERAIAN

Pada bab ini, akan menguraikan masalah perceraian ditinjau menurut fiqh,

menurut UU Perkawinan dan KHI serta menurut PP no 9 tahun 1975. Walaupun

semua yang termuat dalam UUP dan KHI serta peraturan yang berlaku di TNI-AD

(PP no 9 tahun 1975) tidak bertentangan atau sesuai dengan hukum Islam (fiqh),

tetapi dalam bab ini akan kami pisah menjadi sub bab tersendiri dengan maksud

agar perceraian mudah dipahami tidak hanya dalam fiqhnya saja, tetapi juga

dalam hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

A. Perceraian Menurut Fiqh

1. Pengertian Perceraian

Pengertian perceraian dapat dilihat dari dua segi yaitu bahasa dan

istilah. Menurut bahasa perceraian (talak) berasal dari kata

THALAQA-YATHLAQU-THALAAQAN yang bermakna melepas atau mengurai tali

pengikat, baik tali pengikat itu bersifat konkrit seperti tali pengikat kuda

maupun bersifat abstrak seperti tali pengikat perkawinan. Kata talak

merupakan isim masdar dari kata

THALLAQA-YUTHALLIQU-TATHLIIQAN, jadi kata ini semakna dengan kata tahliq yang bermakna

irsal” dan “tarku” yaitu melepaskan dan meninggalkan. (Zakiah Darajat,

1995:172)

Abi Yahya Zakaria al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahab

(28)

يىذو و ق لاطن ا ظفهبد اكىنا دقع مد

“Talak ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang

semacamnya. (Abi Yahya Zakaria al-Anshari, tanpa tahun:72)

Abdur Rahman Al-Jaziri dalam kitabnya AL-Fiqh Alal Madzahibil

Arba’ah memberi definisi talak sebagai berikut:

صىصخم ظفهب ًهد ن اصقو وا ح اكىن ا تنا زا قلاطن ا

“Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi

pelepasan ikatannya dengan mempergunakan kata-kata tertentu”.

(Abdur Rahman Al-Jaziri, 1990:248)

Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah memberi definisi talak

sebagai berikut:

تيج و سن ا تق لاعن ا ء اهو ا و ج ا و سن ا تطب ا ر مد

“Talak ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.” (Sayyid Sabiq, 1990:5)

Pengertian perceraian ialah satu keadaan dimana antara seorang

suami dan seorang istri telah terjadi ketidakcocokan batin yang berakibat

pada putusnya suatu tali perkawinan melalui suatu putusan pengadilan.

(Mahkamah Agung RI, 1994:53)

2. Dasar Hukum Perceraian

Agama Islam membolehkan suami istri bercerai itu bukanlah

berarti pintu terbuka, yang dengan mudah dilalui orang keluar masuk

sesuka hatinya. Tapi pintu itu sebenarnya adalah pintu darurat yang tidak

(29)

masuk kecuali dalam keadaan darurat baru pintu itu dibuka. (M. Said,

tanpa tahun:35)

Mengenai hukum talak, para ahli hukum Islam berbeda pendapat.

Pendapat yang paling bisa diterima akal dan konsisten dengan tujuan

syariat yaitu pendapat yang menyatakan bahwa perceraian hukumnya

terlarang, kecuali dengan alasan yang benar. (Sri Mulyati, 2004:18-19)

Pendapat ini ditopang oleh golongan Hanafi dan Hambali. Salah satu dalil

yang digunakannya adalah

ق لاطم قاو مك لله ا هعن

“Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka merasai (bersenggama)

dan bercerai (Sayyid Sabiq, 1990:11)

Namun apabila perselisihan suami istri telah sampai kepada tingkat

syiqoq (perselisihan yang mengkhawatirkan bercerai), hendaklah dicari

penyelesaian dengan cara mengangkat hakam dari keluarga suami istri,

yang akan mengusahakan dengan sekuat tenaga agar kerukunan hidup

suami istri dapat dipulihkan kembali. Apabila terpaksa perceraian tidak

dapat dihindarkan dan talak benar-benar terjadi, maka harus diadakan

usaha agar mereka dapat rujuk kembali melalui hidup baru.

Di sinilah letak pentingnya mengapa Islam mengatur bilangan talak

sampai tiga kali.

Meskipun talak benar-benar terjadi, pemeliharaan dan hubungan

baik antara bekas suami istri harus senantiasa dipupuk. Hal ini hanya dapat

(30)

dengan pertimbangan untuk kebaikan hidup masing-masing. (Ahmad

Azhar Bashir, 1996:65)

Seseorang yang berusaha merusak tali hubungan suami istri

dipandang keluar dari rel kebijaksanaan hukum Islam dan tidak

sepantasnya ia menamakan dirinya seorang muslim. Hadits dalam Fiqh

Sunnah, karangan Sayyid Sabiq menyatakan

اهجوز ىهع ة أ رم ا ببخ هم اىم صين

“Bukanlah termasuk golonganku orang yang merongrong

hubungan seorang istri dengan suaminya.” (Sayyid Sabiq,

1990:10)

Syariat Islam melarang keras seorang perempuan yang berusaha

membujuk seorang suami agar menceraikan istrinya untuk menggantikan

kedudukannya itu. Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menyatakan

ا قلاط ةأ رمن ا ل أطت لا

ام اهن امو ءاف خكىتن و اهتفذص غ رفتطتن اهتخ

اهن ردق

“Janganlah seorang wanita minta diceraikannya saudaranya

untuk dapat menggantikan kedudukannya (sebagai istri) hendaklah ia kawin (dengan laiki-laki lain), karena baginya telah ditakdirkan

Allah” (Sayyid Sabiq, 1990:10)

Istri yang meminta talak kepada suaminya tanpa sebab dan tanpa

alasan yang dibenarkan adalah perbuatan tercela. Hal ini dinyatakan dalam

hadist yang menyatakan

(31)

“Manakala istri menuntut cerai dari suaminya tanpa alasan,

maka haram baginya bau surga.” (Sayyid Sabiq, 1990:10)

Syara’ menjadikan talak sebagai jalan yang sah untuk bercerainya

suami istri, namun syara’ membenci terjadinya perbuaan ini dan tidak

merestui dijatuhkannya talak tanpa sebab dan alasan. Adapun sebab-sebab

dan alasan-alasan untuk jatuhnya talak itu adakalanya menyebabkan

kedudukan hukum talak menjadi wajib, adakalanya menjadi haram,

makruh, mubah dan sunnah.

a. Wajib

Artinya talak menjadi wajib bagi suami atas permintaan istri dalam

hal suami tidak mampu menunaikan hak-hak istri serta menunaikan

kewajibannya sebagai suami. Seperti suami tidak mampu mendatangi

istri atau suami tidak mampu menyelenggarakan nafkah istri. Dalam

hal ini istri berhak menuntut talak dari suaminya dan suami wajib

menuruti tuntutan istri, jangan membiarkan istri terkatung-katung

ibarat orang yang digantung, yakni tidak dilepaskan tetapi tidak

dijamin hak-haknya. (Abdur Rahman Al Jaziri, 1990:264)

b. Haram

Talak itu diharamkan jika dengan talak itu kemudian suami

berlaku serong, baik dengan bekas istrinya atau dengan wanita lain,

dengan kata lain suami diharamkan menjatuhkan talak jika hal itu

mengakibatkan terjatuhnya suami ke dalam perbuatan haram. (Abdur

(32)

c. Makruh

Talak makruh hukumnya jika dilakukan tanpa sebab. Berdasarkan

hadits yang menetapkan bahwa talak merupakan jalan yang halal yang

paling dibenci oleh Allah.(Sayyid Sabiq, 1990:12)

d. Mubah

Talak itu mubah hukumnya (dibolehkan) ketika ada keperluan

untuk itu, yakni karena jeleknya perilaku istri, buruknya sikap istri

terhadap suami, suami menderita mudhorot lantaran tingkah laku istri,

suami tidak mencapai tujuan perkawinan dari istri.

e. Sunah

Talak disunahkan jika istri rusak moralnya, berbuat zina atau

melanggar larangan-larangan agama, seperti meninggalkan shalat,

puasa, istri tidak afifah (menjaga diri, berlaku hormat). (Sayyid Sabiq,

1990:13)

3. Macam-Macam Talak

Ditinjau dari segi ada dan tidak adanya kemungkinan bekas suami

rujuk kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu

a. Talak Raj’i

Yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya yang

pernah dikumpuli, bukan karena memperoleh ganti dari istri, talak

yang pertama atau kedua kalinya dijatuhkan dan suami mempunyai

hak untuk merujuk. Firman Allah SWT dalam surat AL Baqarah ayat

(33)

















“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rukuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang

baik.”(Departemen Agama RI, 1997:37)

b. Talak Bain

Talak bain ada dua macam yaitu

1. Talak bain sugro ialah talak bain yang menghilangkan pemilikan

bekas suami terhadap istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan

bekas suami untuk kawin kembali dengan istri dengan nikah baru.

Termasuk talak bain sugro yaitu

a. Talak sebelum berkumpul

b. Talak dengan tebusan atau khulu’

c. Talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara,

talak karena penganiayaan dan yang semacamnya. (Zakiah

Darajat, 1995:177)

2. Talak bain kubro ialah talak bain yang menghilangkan pemilikan

bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan

bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istrinya kecuali

setelah bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul,

telah bercerai dan telah habis masa iddahnya. Talak bain kubro

terjadi pada talak yang ketiga. Firman Allah dalam surat Al

(34)



















“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua),

Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin

dengan suami yang lain.”(Departemen Agama RI, 1997: 37)

Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi

menjadi tiga macam, sebagai berikut:

a. Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan

sunnah.

Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat

1. Istri yang ditalak sudah pernah dikumpuli.

2. Istri dapat segera melakukan iddah suci, setelah ditalak.

3. Talak dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci

4. Suami tidak pernah mengumpuli istri selama masa suci dalam

masa talak itu dijatuhkan. (Zakiah Darajat, 1995:173)

b. Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai dengan tuntunan

sunnah.

Termasuk dalam talak Bid’i ialah

1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid.

2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci, tetapi

pernah dikumpuli oleh suaminya. (Zakiah Darajat, 1995:174)

c. Talak La Sunni Wala Bid’I yaitu talak yang tidak termasuk kategori

talak sunni dan talak Bid’I, yaitu

(35)

2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah berhaid,

atau istri yang telah lepas haid.

3. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil. (Zakiah

Darajat, 1995:174)

Ditinjau dari segi tegas atua tidaknya kata-kata yang dipergunakan

sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjdi dua macam yaitu:

a. Talak Sarih, ialah kata-kata talak yang ketika diucapkan dapat dengan

jelas sebagai perceraian, seperti “Kau aku cerai”, “Kau dicerai”.

Menurut Asy-Syafi’I lafal talak yang tergolong sarih ada tiga, yaitu

قلاطن ا ,ق ا رفنا dan حارطنا (cerai, pisah, lepas), yang semua itu

tercantum di dalam al-quran.

b. Talak Kinayah, ialah talak dengan menggunakan kata-kata yang

menurut aslinya tidak berrti menceraikan, sedang berbagai sindiran bis

aberati demikian. Seperti kata-kata: “kamu lain”. Kata ini bis aberarti

“kamu bukan istriku lagi”. (Ibrahim Muhammad Al-Jamal, t.t:398)

4. Bentuk-bentuk Perceraian

Di dalam hukum Islam ada beberapoa bentuk perceraian, diantaranya yaitu

a. Khulu’ (tebus talak)

Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas tuntutan istri disertai

tebusan atau iwadl atas persetujuan kedua belah pihak, karena suami

cacat misalnya atau karena sebab lain. Bisa juga tebusan itu

(36)

Khulu’ dibolehkan di dalam agama berdasarkan firman Allah surat

AL-Baqarah ayat 229:













“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan

oleh istri untuk menebus dirinya. (Departemen Agama RI, 1997:37)

b. Mafqud

Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa istri

orang yang mafqud (hilang) serta hartanya, tetaplah milik mafqud

walaupun dalam jangka waktu yang lama sampai timbul dugaan bahwa

orang hilang tersebut telah mati, yaitu dengan melihat kawan-kawan

sebayanya sudah mati semua atau orang seperti dia tidak hidup lagi

pada masa yang bersangkutan. (Mahmud Syalthut, 2000:236)

Di dalam menentukan lamanya, terdapat beberapa pendapat

dalam kedua mazhab tersebut. Yaitu ada yang mengatakan 70 tahun,

ada yang mengatakan 80 tahun, dan seterusnya hingga 120 tahun.

Menurut satu pendapat dikalangan ulama Hanafiyyah, hal tersebut

diserahkan pada pendapat dan ijtihad qadhi (hakim). Juga ada yang

mengatakan bahwa inilah pendapat yang menonjol dikalangan ulama

syafi’iyyah. (Mahmud Syalthut, 2000:236)

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hilang itu ada dua

(37)

1) Mafqud yang menurut lahirnya selamat, seperti niaga ketempat

yang tidak berbahaya, menuntut ilmu, atau mengembara,

hukumnya sama seperti pendapat yang dikemukakan oleh ulama

Hanafiyyah dan ulama Syafi’iyyah.

2) Mafqud yang menurut lahirnya tidak selamat, seperti orang yang

hilang tiba-tiba diantara keluarganya, atau ia keluar untuk shalat,

tetapi tidak kembali lagi, atau ia pergi karena suatu keperluan lalu

tidak ada kabar beritanya atua ia hilang antara dua pasukan yang

bertempur atau bersamaan dengan tenggelamnya sebuah kapal dan

sebagainya. Hukum mengenai hal tersebut adalah menunggu

hingga 4 (empat) tahun. (Mahmud Syalthut, 2000:237)

Hukum di Yordania membuat ketetapan tentang perceraian

dalam kasus mafqud al-khabar, yaitu ketika suami sedang hilang dan

tidak ada kabar dari atau tetangganya. Jika sang istri bisa membuktikan

suami tidak ada di tempat wilayah perkawinannya, selama lebih dari 1

(satu) tahun tanpa ada permintaan maaf atau alasan apapun yang

masuk akal maka istri dibolehkan meminta qadhi untuk cerai. (Asghar

Ali Engineer, 2003:168)

c. Lian

Lian yaitu perceraian karena tuduhan berzina dari seorang

suami, tetapi tidak dapat mengajukan 4 orang saksi dan atau suami

mengingkari anak dalam kandungan atau sudah lahir dari istrinya,

(38)

sebaliknya istri menuduh suami berbuat zina, tetapi tidak dapat

mendatangkan 4 orang saksi. (A. Zuhdi Madlor, 1990:96)

d. Syiqaq

Perceraian karena perselisihan berat sehingga memerlukan

campur tangan orang lain ketiga yaitu seorang hakam (perantara) dari

pihak suami dan seorang hakam lagi dari pihak istri. Bila mereka

gagal dalam penyelesaian pertikaian ini. Maka hakim boleh

memutuskan perkawinan suami istri itu.(M. Said, t.t:36)

Firman Allah Surat An-Nisa’ ayat 35 menyatakan

















































Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi

Maha Mengenal. (Departemen Agama RI, 1997:75)

e. Kematian salah seorang diantara suami istri.

(39)

B. Perceraian Menurut UU Perkawinan dan KHI

1. Alasan Perceraian

Secara ideal suatu perkawinan diharapkan dapat bertahan seumur

hidup, tetapi tidak selamanya pasangan suami istri akan dapat menjalani

kehidupan yang ma’ruf sakinah mawaddah warahmah. Dalam perjalanan

perkawinannya kadang pasangan suami istri menemui masalah atau

kendala-kendala yang menyebabkan terjdinya perceraian. Perceraian tidak

mudah untuk dilakukan, karena harus ada alasan-alasan kuat yang

mendasarinya.

Pasal 39 ayat 1-2 UU No.1 tahun 1974, menyatakan:

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah

Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara

suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.

(Departemen Agama RI, 2001:125)

Alasan-alasan perceraian ada dalam pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975

tentang Penjelasan UU No.1 Tahun 1974 yaitu;

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,

(40)

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau peyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga. (Departemen Agama Islam RI, 2001:146)

Dalam Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 Tentang KHI, pasal 116

menyebutkan tentang alasan-alasan perceraian yaitu :

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

(41)

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau peyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga. (Departemen Agama RI, 2001:188-189)

Alasan-alasan yang termuat dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 dan

KHI adalah sama. Tetapi dalam KHI terdapat tambahan alasan terjadinya

perceraian pada huruf g dan h, yaitu suami melanggar taklik talak dan

peralihan agama dan murtad.

2. Macam-macam Talak

Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI, menyebutkan tentang

macam-macma talak sebagai berikut: (Departemen Agama Islam RI,

2001:189)

Pasal 118

Talak Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk

(42)

Pasal 119

a. Talak Bain sugra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad

nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.

b. Talak Bain Sugra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah

1) talak terjadi qabla al dukhul

2) talak dengan tebusan atau khuluk

3) talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama

Pasal 120

Talak Bain Kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak

jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali

apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang

lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis masa

iddahnya.

Pasal 121

Talak Sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan

terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam wkatu suci

tersebut.

Pasal 122

Talak Bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada

waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah

(43)

3. Akibat Hukum Perceraian

Setelah terjadinya perceraian, maka bekas suami atau bekas istri

mendapat kewajiban sebagai akibat hukum perceraian, yaitu

UU NO.1 tahun 1974 pasal 41 menyebutkan

a. Baik ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana

ada perselisihan mengenai pengusaan anak-anak, Pengadilan memberi

keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana Bapak dalam

kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat

menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas

istri. (Departemen Agama RI, 2001:125)

Bagi suami atas perceraian tersebut mendapatkan kewajiban

sebagai akibat talak, dalam Inpres RI No. 1 tahun 1991 tentang KHI

menyebutkan. (Departemen Agama Islam RI, 2001:195)

Pasal 149

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib

a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa

(44)

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada istri selama dalam iddah,

kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam

keadaan tidak hamil;

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila

qobla al dukhu;

d. Memberikan biaya hadhnah (pemeliharaan, termasuk didalamnya

biaya pendidikan) untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21

tahun.

Pasal 150

Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada istrinya yang masih dalam

iddah.

Pasal 151

Bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak

menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

Pasal 152

Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari suaminya

kecuali ia nusyuz.

Bagi istri setelah terjadinya perceraian wajib menjalani waktu

tunggu atau masa iddah, tertera dalam pasal 153, yaitu (Departemen

Agama RI, 2001:196)

a. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu

atau iddah, kecuiali qabla al dukhul dan perkawinannya putus bukan

(45)

b. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

1) Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al

dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;

2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi

yang masih hadi ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan

sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari;

3) Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut

dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;

4) Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut

dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

c. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian

sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al dukhul.

d. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu

tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang

mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan

yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak

kematian suami.

e. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu

menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali

waktu suci.

f. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka

iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun

(46)

C. Perceraian menurut Peraturan Panglima TNI Nomor 11 Tahun 2007 dan Skep KASAD Nomor 491 Tahun 2006.

1. Syarat Perceraian.

Secara ideal suatu perkawinan diharapkan dapat bertahan seumur

hidup, tetapi tidak selamanya pasangan suami istri akan dapat menjalani

kehidupan yang ma’ruf menuju terwujudnya keluarga yang sakinah

mawaddah warahmah. Dalam perjalanan perkawinannya kadang pasangan

suami istri menemui masalah atau kendala-kendala yang menyebabkan

terjadinya perceraian. Bagi prajurit TNI, perceraian tidak mudah untuk

dilakukan, karena harus ada persyaratan yang harus dipenuhi.

Di dalam pasal 10 Peraturan Panglima TNI Nomor 11/VII/2007

disebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang prajurit TNI

yang akan mengajukan ijin cerai, antara lain

a. Prajurit TNI yang akan melaksanakan perceraian harus mendapat ijin

terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang.

b. Ijin cerai hanya akan diberikan apabila perceraian yang akan

dilakukan itu tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianut

oleh kedua pihak yang bersangkutan dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

c. Ijin cerai pada prinsipnya diberikan kepada prajurit apabila pernikahan

yang telah dilakukan tidak memberikan manfaat ketenteraman jiwa

(47)

d. Untuk hal tersebut pada ayat (a) dan (b) pasal ini perlu adanya

pernyataan tertulis dari pejabat agama dari Angkatan yang

bersangkutan.

Pada pasal 11 Peraturan Panglima TNI Nomor 11/VII/2007

dijelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami/istri yang

akan mengajukan gugatan cerai kepada prajurit TNI, antara lain

a. Permohonan talak/gugatan perceraian terhadap prajurit oleh

suami/istri yang bukan prajurit disampaikan langsung oleh yang

berkepentingan kepada pengadilan setelah memberitahukan kepada

atasan prajurit yang bersangkutan.

b. Setiap prajurit yang menerima pemberitahuan dari pengadilan tentang

telah diajukannya gugatan yang dimaksud dalam ayat (a) pasal ini

segera menyampaikan laporan tentang hal tersebut kepada atasan yang

berwenang memberi ijin perceraian.

c. Atasan yang berwenang memberikan ijin perceraian, setelah

menerima laporan tersebut dalam ayat (b) pasal ini, segera

mengadakan usaha-usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak.

2. Alasan Perceraian.

Pada prinsipnya permohonan izin cerai atau gugatan perceraian

yang diajukan oleh seorang prajurit TNI dapat diterima apabila

(48)

Di dalam Skep Kasad Nomor 491 tahun 2006 telah diuraikan

dengan jelas mengenai alasan-alasan perceraian, antara lain

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,

penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau peyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Salah satu pihak pindah agama. (Skep Kasad, 2006:14)

3. Kelengkapan Administrasi Perceraian.

Bagi prajurit TNI yang akan mengajukan permohonan izin cerai,

maka yang bersangkutan harus melengkapi persyaratan administrasi yang

ditentukan sesuai dengan Skep Kasad Nomor 491 tahun 2006, sebagai

(49)

a. Surat pengantar dari kesatuan.

b. Surat permohonan ijin cerai dari yang bersangkutan.

c. Surat kesanggupan diceraikan dari pihak istri.

d. Berita acara pemeriksaan suami dan istri dari kesatuan yang

bersangkutan Bila tidak hadir untuk di BAP agar dilampirkan surat

pemanggilan BAP minimal tiga kali.

e. Pas photo berwarna ukuran 4X6 sebanyak 10 lembar.

f. Foto copy akte nikah/surat nikah. (Skep Kasad, 2006:15)

4. Hal-hal yang menjadi sebab ditolaknya permohonan izin cerai.

Meskipun ijin cerai bisa diberikan oleh seorang komandan, atasan

kepada bawahannya, tetapi bukan berarti bahwa semua permohonan ijin

cerai itu diterima, ada beberapa hal yang menyebabkan permohonan ijin

cerai itu tidak diterima/ditolak. Hal ini telah dijelaskan di dalam pasal 12

Peraturan Panglima TNI Nomor 11/VII/2007, bahwa permohonan izin

cerai dapat ditolak apabila

a. Perceraian yang akan dilakukan itu bertentangan dengan hukum

agama yang dianut oleh kedua belah pihak yang bersangkutan.

b. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh anggota yang bersangkutan

untuk melaksanakan perceraian tidak cukup kuat atau dibuat-buat.

c. Pada ayat (a) dan (b) tersebut diatas dituangkan dalam bentuk berita

acara pemeriksaan bagi suami dan/atau istri serta dilengkapi dengan

(50)

5. Akibat Perceraian.

Di dalam pasal 13 Peraturan Panglima TNI Nomor 11/VII/2007

disebutkan bahwa ada beberapa bal yang harus dilaksanakan oleh kedua

belah pihak yang telah bercerai, sebagai berikut

a. Setelah perceraian dilangsungkan, maka salinan surat cerai dari

lembaga yang berwenang, berikut salinan izin cerai harus diserahkan

oleh yang bersangkutan kepada pejabat personalia dari kesatuannya

guna menyelesaikan administrasi personil dan keuangan.

b. Pemberian nafkah kepada mantan istri/suami yang dicerai dan atau

kepada anak yang diasuhnya serta pembagian harta kekayaan akibat

(51)

BAB III

PROSES PERCERAIAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI-AD)

(Studi Kasus Di Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012)

A. Gambaran Umum Korem 073/Makutarama

1. Latar Belakang Pembentukan Korem 073/Makutarama

Sesuai dengan proses perkembangan dan perubahan

organi sasi Kodam V/Diponegoro, khususnya bagi Kesatuan Korem

073/Makutarama adalah sebagai berikut

Penggabungan Bri gade P ragol o I dan Pragolo II m en jadi

Brigade “ Pragolo “

Berdasarkan Surat Perintah Harian Panglima Divisi

Diponegoro Nomor 526/K.I/D.III/51 tanggal 29 Oktober 1951 dan

dikukuhkan dengan Surat Keputusan Panglima TT IV Nomor

73/B.4/d.III/51 Tanggal 30 Oktober 1951 tentang Perintah

Penyusunan Brigade Pragala.

Sebagai realisasi surat tersebut di atas, maka pada tanggal 21

Nopember 1951 bertempat di lapangan Kridanggo Salatiga telah

dilaksanakan serah terima dan penggabungan dari Brigade Pragolo –I

yang dipimpin oleh Letkol M. Sarbini dan Brigade Pragolo-II yang

dipimpin oleh Letkol Soeharto dan sebagai Komandan Brigade

Referensi

Dokumen terkait