• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI AD) YANG TINDAK PIDANA. Oleh : Dr. Ruslan Abdul Gani, SH, MH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI AD) YANG TINDAK PIDANA. Oleh : Dr. Ruslan Abdul Gani, SH, MH"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA TENTARA

NASIONAL INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI AD)

YANG TINDAK PIDANA

Oleh :

Dr. Ruslan Abdul Gani, SH, MH

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang Penegakan hukum terhadap anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) yang melakukan tindak pidana. Adapun yang menjadi permasalahan yang dibahas antara lain, Proses Penegakan Hukum Terhadap Anggota TNI AD Yang melakukan Tindak Pidana, dan Sanksi yang Dijatuhkan Terhadap Anggota TNI AD yang Terbukti Bersalah Melakukan Tindak Pidana Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan. Proses Penegakan Hukum Terhadap Anggota TNI AD Yang Melakukan Tindak Pidana, pada dasarnya berbeda dengan proses penegakan hukum yang berlaku di luar lingkungan militer. Sedangkan dalam proses peradilannya antara peradilan militer dengan peradilan umum terdapat persamaan. Sanksi yang Dijatuhkan Terhadap Anggota TNI AD yang Terbukti Bersalah Melakukan Tindak Pidana ada dua bentuk yakni, Pidana–Pidana Utama meliputi antara lain, Pidana Mati. Pidana Penjara, Pidana Kurunga, Pidana tutupan,Pidana-Pidana Tambahan. Kemudian Pidana Tambahan antara lain Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata, Penurunan Pangkat, dan Pencabutan hak-hak tertentu.

Kata Kunci : Penegakan Hukum, TNI AD, Melakukan, Tindak Pidana.

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai Negara hukum, tentunya setiap warganegara yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana haruslah mendapat perlakukan yang sama tanpa membeda-bedakan status atau kedudukan orang bersangkutan apakah ia pejabat atau bukan TNI/Polri atau bukan. Artinya bila ada warga Negara Indonesia yang melanggar hukum, penerapan sanksi kepada yang melanggar adalah sama, namun yang membedakan dalam penegakan hukum terhadap mereka adalah peraturan perundang-undangan atau Hukum Acara yang diterapkan kepada orang yang bersangkutan.

Bagi mereka yang berstatus Militer atau TNI Hukum Acara Pidana yang diterapkan kepada mereka yang melakukan tindak pidana adalah Kitab Undang-Undang Acara Pidana Militer (KUHAPM),

Hj. Nuraini, SH, MH. adalah Dosen Tetap PS. Ilmu Hukum Fakultas Hukum

(2)

sebagaimana di atur di dalam Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sedangkan bagi mereka yang bukan dari golongan TNI, Hukum Acara Pidana yang diterapkan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.

Dalam Hukum Acara Pidana Militer Jaksa yang bertindak sebagai penuntut umum dikenal Oditur Militer sedangkan di dalam tindak pidana umum dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Di dalam KUHAP wewenang mengadakan pemeriksaan permulaan berada ditangan penyidik Kepolisian Negara. Sedangkan di militer sesuai Pasal 69 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Meliter menjelaskan Penyidik adalah:

a. Atasan yang berhak untuk menghukum (ANKUM). b. Polisi Militer ; dan

c. Oditur.

El Fateh Abel Salam, sebagaimana dikutif oleh Zulkarnain, SH.MH., berpendapat bahwa terdapat dikotomi berkaitan dengan sifat perkara. Para ilmuwan sosial terbagi-bagi dalam persoalan apakah perkara pidana harus dipandang sebagai sesuatu yang rasional, kostruktif, dan berfungsi secara sosial, sehingga terhadap perkara tersebut harus diselesaikan berdasarkan aneka mekanisme yang ada, ataukah perkara tersebut merupakan sesuatu yang irasional, patologis, dan tidak berfungsi secara sosial, sehingga penyelesaiannyapun tidak berpengaruh pada sistem sosial, karena perkara tersebut bersifat individual.1

Terlepas dari pendapat apakah suatu perkara pidana dalam masyarakat dapat dipandang sebagai sesuatu yang rasional atau tidak, menurut hemat penulis bahwa suatu perkara dalam bentuk apapun namanya apakah si pelaku orang sipil atau oknum anggota militer haruslah diselesaikan melalui proses peradilan yang jujur dan adil.

Sebagai mana telah jelaskan bahwa Penyelesaian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh mereka berstatus militer bila dibandingkan orang yang bukan berstatus militer terdapat perbedaan. Untuk mereka yang bestatus militer, dimana peranan Atasan Untuk berhak untuk Menghukum (Ankum) sangat berpenan sekali. Untuk anggota militer yang terlibat tindak pidana mereka dikenakan dua hukuman yang melekat sekaligus pada diri mereka yakni pertama hukuman disiplin berupakan penundaan kenaikan pangkat, penurunan pangkat sampai pada pemecatan. Sedangkan hukuman yang kedua adalah berupa hukuman badan yakni penjara atau kurungan. Untuk hukum pertama tidak dikenal di dalam hukum pidana umum.

Mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang berstatus militer, untuk data dalam penanganan perkaranya sulit diketahui bila dibandingkan dengan tindak pidana umum yang biasa

1 Zulkarnain, Praktik Peradilan Pidana Panduan Praktis Kemahiran Hukum Acara

Pidana, Laboraturium Hukum Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang,

(3)

terjadi. Begitu pula peradilannyanya dimana untuk anggota militer Jambi yang melakukan tindak pidana penyelesaian proses penyelesaiannya di adili di Mahkamah militer Palembang. Sehingga sangat sulit sekali untuk memperoleh data dan informasi tentang bagaimana proses penyelesaian hukum terhadap anggota TNI Angkatan Darat yang melakukan tindak pidana.

Berdasar uraian yang penulis kemukakan di atas, sehingga penulis tertarik untuk menulis karya ilmiah judul: Penegakan Hukum Terhadap Angota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Dar Yanmg Melakukan Tindak Pidana.

B. Perumusan Masalah

Untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap Anggota Tentara Nasional Inonesia Angkatan Darat (TNI AD) yang melakukan tindak pidana, maka perlu di batasan perumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Proses Penegakan Hukum Terhadap Anggota TNI AD Yang melakukan Tindak Pidana.

2. Sanksi Apakah yang Dijatuhkan Terhadap Anggota TNI AD yang Terbukti Bersalah Melakukan Tindak Pidana.

C. Pembahasan

1. Proses Penegakan Hukum Terhadap Anggota TNI AD Yang Melakukan Tindak Pidana.

Bila lihat proses penegakan hukum yang berlaku di lingkungan militer, pada prinsipnya terdapat perbedaan dengan yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Di dalam lingkungan peradilan militer, dimana proses penyidikan terhadap anggota militer yang terlibat tindak pidana, penanganan perkaranya diserahkan pada Den Pom ABRI (Polisi Militer).

Menurut Peltu Devi Arianto, untuk anggota Tentara yang terlibat dalam tindak pidana, maka pelakunya ditangani oleh Penyidik Den POM ABRI. Apabila berkas perkaranya telah dinyatakan selesai, selanjutnya berkas perkara dan terdakwanya diteruskan/dilimpahkan Peradilan Militer. Untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI di dalam lingkungan Korem 042 Garuda Putih pelimpahan berkas perkaranya di Peradilan Militer Palembang.1

Selanjutnya dijelaskan pula oleh Kapten Sudio, apabila berkas perkara yang telah dibuat oleh penyidik Den POM ABRI telah dinyatakan lengkap, maka sebelum dikirim maka berkas tersebut harus diketahui oleh Komandan Den POM ABRI. Dalam penyerahan berkas perkara ke Oditur Militer Palembang, biasanya sekaligus lengkap dengan tersangkanya juga.2

1 PeltuDevi Arioanto, Penyidik Pembantu Den POM ABRI Jambi, Wawancara

tanggal 2 Desember 2016.

2 Sudio, Perwira Hukum Pada Korem 042 Garuda Putih, Wawancara

(4)

Penyerahan berkas perkara di dalam peradilan militer berdasarkan Pasal 18 ayat (1) yo ayat (3) Undang-Undang No. 1 Drt Tahun 1958 dimana Perwira Penyerah Perkara (PAPERA) untuk melimpahkan suatu perkara ke Mahkamah Militer sudah dilengkapi dengan Surat Tuduhan. Dimana kelengkapan surat-surat Dakwaan guna pelimpahan tersebut dibuat oleh Oditur Milter, pembuatan surat dakwaan itu dilakukan oleh Jaksa Tentara.

Setelah di undang-undangkannya Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dimana di dalam termasuk Hukum Acara Pidana Militer, maka sesuai ketentuan Pasal 130 bahwa: Oditur Militer diserahi tugas untuk membuat surat dakwaan. Surat dakwaan dalam perkara militer pada dasarnya hampir sama dengan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut umum. Yakni berisikan Identitas pelaku, tempat dan waktu perbuatan pidana itu. Tindak pidana yang dilanggar.

Selanjutnya dijelaskan pula oleh Bapak Sukemi Sunandar dalam penyusunan Surat Dakwaan yang dibuat oleh Oditur Milter harus diperhatikan syarat-syarat antara lain:

1. Syarat Formil:

Oditur Militer mmebuat surat dakwaan yang diberi tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal terdakwa.

2. Syarat Materiel

Dalam syarat materieel ini surat dakwaan memuat isi dari dakwaan, ialah yang mengenai perbuatan-perbuatan, tempat dan waktu tempat tindak pidana itu dilakukan dan segala keadaan atau masalah yang mendahului, menyertai atau mengikuti perbuatan itu yang dapat memberatkan atau dapat meringankan perbuatan terdakwa.3

Yang dimaksud dengan perbuatan disini adalah dalam arti perbuatan/sikap/gerakan atau tindakan manusia dan dal tersebut haruslah disusun sedemikian rupa, sehingga perumusannya memuat segala unsur tindak pidana yang dikenakan atau didakwakan. Perumusan materieel ini ditujukan kepada terdakwa, karena perumusan ini harus terang, jelas dan tepat, sebab terdakwa harus mengerti betul-betul apa yang didakwakan kepadanya, sehingga dengan demikian ia atau pembelanya dapat mengadakan pembelaan diri secara efektif.

Mengenai proses penanganan perkara di lingkungan Peradilan Militer di dalam Pasal 142 dijelaskan:

(1). Hakim Ketua memerintahkan supaya Terdakwa dipanggil masuk ke ruang sidang, dan dihadapkan dengan pengawalan tetapi dalam keadaan bebas.

3 Lenttu Sukemi Sunandar, Penyidik Den POM ABRI Jambi, Wawancara

(5)

(2). Apabila dalam pemeriksaan Terdakwa yang tidak di tahan dan tidak hadir pada hari sidang yang sudah ditetapkan, Hakim Ketua meneliti apakah Terdakwa sudah dipanggil secara sah.

(3). Apabila terdakwa dipanggil secara tidak sah, Hakim Ketua menunda persidangan dan memerintahkan supaya Terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.

(4). Apabila Terdakwa ternyata sudah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, Hakim Ketua memerintahkan supaya terdakwa dihadirkan secara pakasa pada sidang berikutnya.

(5). Apabila terdakwa lebih dari 1 (satu) orang dan tidak semua hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap yang hadir dapat dilangsungkan.

(6). Panitera mencatat laporan dari Oditur mengenai pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) kemudian menyampaikan kepada hakim Ketua.

Setelah Hakim Ketua membuka sidang, dengan mengatakan sidang terbuka untuk umum, maka pada permulaan sidang hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa tentang nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama dan tempat tinggal, kemudian mengingatkan Terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang.

Selanjutnya Hakim Ketua menanyakan pula apakah Terdakwa akan didampingi oleh penasehat hukum apa tidak. Kemudian Hakim Ketua memerintahkan Oditur supaya membacakan surat dakwaan dengan berdiri dan memerintahkan Terdakwa supaya berdiri dalam keadaan sikap sempurna.

Selesai Oditur membacakan surat Dakwaan, Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa apakah ia benar-benar mengerti isi surat dakwaan tersebut, dan apabila Terdakwa belum mengerti atau kurang jelas, hakim Ketua memerintahkan supaya Oditur memberi penjelasan. Kemudian setelah Oditur memberikan penjelasan tentang dakwaannya, Hakim Ketua menanyakan pula apakah Terdakwa atau Penasehat Hukum akan mengajukan keberatan tentang kewenangan Pengadilan mengadili perkara Terdakwa atau tentang dakwaan Oditur tidak dapat diterima karena itu harus dibatalkan.

Keberatan terdakwa atas dakwaan Oditur itu dalam Ilmu hukum dikenal dengan nama “Exceptie” atau “tangkisan”. Exceptie merupakan suatu upaya hukum sebelum diadakan pemeriksaan terhadap pokok perkara. Oleh karena itu exceptie merupakan pembelaan dengan tujuan yang utama menghindarkan diadakan putusan tentang pokok perkara, karena apabila exceptie diterima oleh Pengadilan, maka pokok perkara tidak perlu diperiksa dan diputus.

(6)

Setelah exceptie selesai dilakukan, persidangan selanjutnya adalah pemeriksaan terhadap saksi. Menurut Ketentuan Pasal 152 Hukum Acara Peradilan Militer:

(1). Hakim Ketua meneliti apakah semua saksi yang dipanggil sudah hadir dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai Saksi berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi keterangan di sidang pengadilan.

(2). Dalam hal Saksi tidak hadir, meskipun sudah dipanggil dengan sah dan Hakim Ketua mempunyai cukup alasan untuk menduga bahwa Saksi itu tidak akan hadir, Hakim Ketua dapat memerintahkan supaya Saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.

Mengenai tata cara pemeriksaan terhadap saksi dalam hukum Acara Peradilan Milter pada prinsipnya sama dengan pemeriksaan saksi dalam Peradilan umum. Dimana sebelum saksi diperiksa, terlebih dahulu saksi ditanyakan identitasnya seperti: nama saksi, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, Agama, kebangsaan, tempat tinggal, apa saksi ada hubungan keluarga/hubungan pekerjaan dengan terdakwa, mengertikah saksi di panggil ke persidangan ini, apakah saksi bersedia untuk di sumpah, bersediakah saksi untuk memberikan keterangan.

Setelah keterangan saksi semuanya diperiksa oleh Hakim, perkara lanjutkan dengan pemeriksaan terhadap terdakwa. Pemeriksaan terhadap terdakwa terakhir dilakukan adalah untuk mengetahui apakah keterangan dari saksi-saksi yang telah diperiksa tersebut ada hubungannya dengan keterangan terdakwa karena dasar dari keterangan dari saksi yang telah diperiksa di persidangan hakim dapat mengembangkan berbagai pertanyaan kepada saksi sehingga hakim dapat memperoleh suatu keyakinan guna untuk memutuskan suatu perkara.

Setelah pemeriksaan saksi dilakukan tugas Oditur Militer selanjuntya dengan tuntutan pidana atau di dalam Hukum Acara Pidana dikenal dengan istiulah “requissitoir” . tuntutan pidana pada dasarnya merupakan hukuman yang telah tetapkan oleh Oditur Militer terhadap terdakwa. Dasar dari tuntutan pidana adalah berdasarkan fakta-fakta yang ia peroleh selama dalam persidangan seperti keterangan saksi, barang bukti dan keterangan terdakwa begitu juga terhadap pertimbangan hukum terhadap hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan terdakwa.

Terhadap tuntutan Oditur Militer tersebut bila terdakwa didampingngi oleh Penasehat Hukumnya, maka kepada Penasehat hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan Nota Pembelaan atau “Pledoi” stelah nota pembelaan, selanjutnya hakim memberikan kesempatan kepada Oditur untuk menanggapinya dan bila sudah selesai penasehat hukum terdakwa ditanyakan kembali apakah tetap pada pledoinya atau tidak.

Setelah habis acara jawab menjawab, persidangan dilanjutkan dengan mendengarkan putusan hakim.

Putusan pengadilan pada dasarnya memuat kalimat pertamanya dalah “ Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

(7)

Kemudian nama Terdakwa, Pangkat, Kesatuan, Urian tindak pidana yang terdakwa lakukan, dasar pertimbangan putusan, antara lain saksi-saksi, bukti-bukti, Tuntutan dari Jaksa Oditur, Pertimbangan terhadap hal yang meringankan dan yang memberatkan kemudian barulah besikan putusan hakim.

2. Sanksi yang Dijatuhkan Terhadap Anggota TNI AD yang Terbukti Bersalah Melakukan Tindak Pidana

Mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap seorang anggota Tentara yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana menurut Bapak Lettu Sukemi Sunandar: Sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer di dalam Pasal 6 nya memuat beberapa sanksi yang dapat dikenakan kepada anggota Militer yang terbukti bersalah melakukan kejahatan/tindak pidana yakni:3

a. Pidana – Pidana Utama 1. Pidana Mati. 2. Pidana Penjara. 3. Pidana Kurungan 4. Pidana tutupan b. Pidana Tambahan

1. Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata.

2. Penurunan Pangkat.

3. Pencabutan hak-hak tertentu.

Untuk lebih jelasnya mengenai pelaksanaan dari sanksi/hukuman terhadap anggota Tentara yang terbukti bersalah melakukan kejahatan/tindak pidana sebagaimana telah dijelaskkan di atas, dapat dilihat pada penjelasan berikut di bawah ini.

a. Pidana Utama: 1. Pidana Mati.

Dalam pelaksanaan hukuman pidana mati, di dalam hukum pidana militer pada prinsipnya sama dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dimana pelaksanaan pidana mati dilakukan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak dilakukan di muka umum.

Dalam pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh satu regu militer. Dan Panglima daerah bertanggungjawab mengenai pelaksanaan hukuman mati setelah terlebih dahulu mendengar saran dari Oditur Militer yang bersangkutan dan menanyakan hari/tanggal pelaksanaan tersebut.

Tiga kali 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Oditur militer yang bersangkutan memberitahukan tentang pelaksanaan tersebut kepada terpidana dan apabila terpidana mengemukakan sesuatu maka pesan itu harus diterima oleh Oditur militer yang bersangkutan.

3 Sudio, Perwira Hukum Pada Korem 042 Garuda Putih, Wawancara 2

(8)

Setelah selesai pelaksanaan pidana mati, Oditur Militer membuat berita cara pelaksanaan pidana mati, kemudian berita acara tersebut disalin untuk dikirimkan kepada Pengadilan yang telah memutus pidana mati itu.

2. Pidana Penjara.

Pelaksanaan hukuman penjara bagi anggota Tentara, dimana setelah menerima kutipan surat putusan pengadilan, Oditur melaporkan hal itu kepada PAPERA/ANKUM, dengan melampirkan ikhtisar putusan. Selanjutnya bagi Oditur Militer membawa terpidananya ke Lembaga Pemasyarakatan Militer (INREHAB) atau ditempatkan menurut ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Apabila terpidananya dipecat dari dinas keprajuritan, maka pidananya dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum.

Jadi bagi seorang militer baik ia dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Militer maupun dijatuhi oleh Pengadilan Umum selama tidak dipecat dari dinas militer, tetap menjalani pidana tersebut di Lembaga Pemasyarakatan Militer. Kalau terpidana Militer dipecat, maka pelaksanaan menjalani hukuman di Rumah Pemasyarakatan Umum.

3. Pidana Kurungan

Di dalam Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer menyatakan: Apabila seorang dinyatakan bersalah karena melakukan suatu kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang ini dan kepadanya akan dijatuhkan pidana penjara sebagai pidana utama yang tidak melebihi tiga bulan, hakim berhak menentukan dengan putusan bahwa pidana tersebut dijalankan sebagai pidana kurungan.

Biasanya terhadap terpidana yang dijatuhi pidana kurungan dalam peraturan kepenjaraan diadakan perbedaan, dimana kepada terpidana kurungan diberikan pekerjaan di dalam tembok rumah pemasyarakatan dan pekerjaan yang diberikan lebih ringan dibantingkan dengan mereka yang dijatuhi hukuman penjara.

4. Pidana tutupan

Hukuman tutupan ini sebagai penganti dari hukuman penjara, hukuman ini biasanya berlaku bagi orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.

b. Pidana Tambahan

. 1. Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata.

Dalam rangka penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki angkatan bersenjata secara bersama-sama dengan dengan hukuman Pokok, maka pemecetan itu diikuti dengan mencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata.

(9)

Ukuran penjatuhan pidana pemecatan di samping pidana pokok, ialah pandangan hakim militer mengenai kejahatan yang dilakukan terdakwa/terpidana berdasarkan mana nilai sebagai tidak layak lagi dipertahankan dalam kehidupan masyarakat militer.

2. Penurunan Pangkat.

Di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1947 Tentang Disiplin Militer dalam Pasal 4 menentukan sanksi terhadap anggota militer yang dikenakan penurunan pangkat antara lain meliputi:

1. Tegoran.

2. Penahanan ringkan maksimum 14 hari. 3. Penahanan sedang maksimum 14 hari 4. Penahanan berat maksimum 14 hari. 5. Penurunan Pangkat.

Di dalam praktek penjatuhan hukuman penurunan pangkat ini jarang diterapkan, karena dirasakan kurang adil dan tidak banyak manfaatnya dalam rangka pembinaan militer, terutama bagi Bintara Tinggi dan Perwira-Perwira.

3. Pencabutan hak-hak tertentu

Pencabutan hak ini meliputi tiga macam yakni: 1. Pencabuatan hak untuk memegang jabatan.

2. Pencabuatan hak untuk memasuki angkatan bersenjata, apabila menurut pertimbangan hakim bahwa orang tersebut tidak layak untuk berada dalam masyarakat militer.

3. Pencabutan hak untuk memilih dan dipilih hal ini biasanya dijatuhkan terhadap seorang prajurit yang melakukan tindak pidana politik yang bertentangan dengan ideologi negera terutama terhadap aktivitas Gerakan 30 September, maka umumnya terhadap mereka dicabut haknya untuk memilih dan dipilih.

D. Penutup

1. Proses Penegakan Hukum Terhadap Anggota TNI AD Yang Melakukan Tindak Pidana, pada dasarnya berbeda dengan proses penegakan hukum yang berlaku di luar lingkungan militer. Di dalam lingkungan peradilan militer, dimana proses penyidikan terhadap anggota militer yang terlibat tindak pidana, penanganan perkaranya diserahkan pada Den Pom ABRI (Polisi Militer). Selanjutnya bila berkas perkara tersebut dinyatakan sudah lengkap oleh Pimpinan/Komandan, maka terhadap berkas perkara dan tersangkanya diserahkan kepada Mahkamah militer. Sedangkan dalam proses peradilannya antara peradilan militer dengan peradilan umum terdapat persamaan.

3. Sanksi yang Dijatuhkan Terhadap Anggota TNI AD yang Terbukti Bersalah Melakukan Tindak Pidana ada dua bentuk yakni

a. Pidana–Pidana Utama meliputi antara lain 1. Pidana Mati.

2. Pidana Penjara. 3. Pidana Kurungan

(10)

4. Pidana tutupan

5. Pidana-Pidana Tambahan. b. Pidana Tambahan

1. Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata.

2. Penurunan Pangkat.

3. Pencabutan hak-hak tertentu. E. Saran

1. Dalam pelaksanaan peroses penegaka hukum yang dilakukan Oditur Milter benar-benar menjunjung rasa keadilan dan tidak berdasarkan prinsip balas dendam sesama korup.

2. Oditur Milter dalam Melaksanakan fungsi dan peranannya benar-benar berdasarkan sumpah prajurit dan sapta marga dan tidak menyempingkan tugas dan tanggung jawab yang diamanatkan.

F. Daftar Putsaka

Abdlluah, R. Hukum Acara Peradilan Militer di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1981.

Faisal Salam Moch. Hukum Acara Pidana Militer CV. Maju, Jakarta, 2001. Poernomo Bambang, Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia: Yogyakarta, 2008. Roeslan Saleh Roeslan, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua

Pengertian Dasar, Jakarta: Liberty : 1989.

Sianturi, SR. Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1985.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, 1984. Sunggono Bambang, S.H. M.S., Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo

Jakarta, 1996.

--- Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. --- Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Referensi

Dokumen terkait

Kaedah pembersihan: Bagi tumpahan yang sikit, serap dengan tisu dan simpan di dalam bekas untuk pelupusan Bagi tumpahan yang banyak serap dengan bahan lengai dan simpanlah di

Поред опширног службеног извештаја, који је по повратку из Јапана поднела пословодству, Марија је била љубазна да на овај начин неке од многих

Namun kepada sesama manusia yang tersinggung dan begitu sulit memaafkan, kita malah sering sembrono, padahal, dibandingkan dengan dosa yang langsung berhubungan dengan

Obyek wisata Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) dengan fasilitas yang ada memiliki daya tarik utama sebagai tempat konservasi satwa.Dengan daya tarik yang dimiliki

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis penentuan adanya biaya atas keterlambatan pembayaran atau denda kepada nasabah dalam pembiayaan al

Karena penelitian ini bam sampai mengangkat hubungan pemanfaatan sumber belajar perpustakaan dan komunikasi interpersonal dengan hasil belajar sosiologi siswa,

Sebagai tindak lanjut dari presentasi program kerja tahun akademik 2017/2018 yang telah dilaksanakan, maka bersama ini kami mohon kesediaan bapak/ ibu untuk hadir pada kegiatan

Dari pengertian teori-teori di atas dapat dikatakan bahwa hasil belajar adalah hasil yag diperoleh oleh seseorang setelah melaksanakan kegiatan belajar mengajar baik