• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

4. Perceraian

a. Definisi perceraian

Secara hukum perceraian didefinisikan sebagai penghapusan

perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu setelah gagal dalam usaha mendamaikan kedua belah pihak (Achmad, 1990). Dari kepustakaan, selain pernikahan yang mendahului perceraian dalam definisi hukum perceraian tersebut, juga ada istilah kohabitasi yang merujuk pada bentuk lain keluarga yang hubungan suami istrinya tanpa adanya status hukum yang sah (Ono & Yeilding, 2009; Bradatan & Kulcsar, 2008). Hubungan kohabitasi bisa pula berakhir perceraian (Ono & Yeilding, 2009), dengan risiko yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pernikahan resmi (Wilson, 2004).

Secara umum, perceraian adalah berakhirnya unit keluarga, merupakan peristiwa yang menyakitkan biasanya diikuti dengan penyesuaian psikologis, sosial dan keuangan (Atwater, 1983; Cohen, 2002). Banyak pernikahan yang tidak mendatangkan kebahagiaan tetapi tidak diakhiri dengan perceraian karena pernikahan tersebut didasari oleh pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi dan alasan lainnya, tetapi banyak juga pernikahan yang diakhiri dengan perpisahan dan pembatalan secara hukum maupun dengan diam-diam dan ada juga yang salah satu (suami/istri) meninggalkan keluarga (Amato & Marriott, 2007).

commit to user b. Penyebab perceraian

Perceraian diawali dengan ketidakharmonisan pernikahan (Murtagh, 1998; Amato & Cheadle, 2008). Penyebab ketidakharmonisan (Murtagh, 1998) meliputi : 1) mementingkan diri sendiri, 2) harapan yang tidak realistik, 3) masalah keuangan (Grabel et al, 2007), 4) tidak saling dengar satu sama lainnya, 5) adanya penyakit (yang berlarut-larut seperti depresi), 6) kecanduan obat atau alkohol, (Amato & Cheadle, 2008) 7) cemburu, terutama pada pria, 8) cerewet (tidak toleran terhadap kesalahan-kesalahan kecil), 8) “ada main” satu sama lain, 9) dorongan ambisi, 10) tidak matang (Grabel et al, 2007; Amato & Marriott, 2007), 11) komunikasi yang buruk.

c. Dampak perceraian

Peristiwa perceraian akan diikuti dengan keadaan-keadaan yang tidak menguntungkan bagi anak yakni, transisi perkawinan seperti tidak hadirnya orang tua yang tidak memiliki hak asuh (ayah) tanpa alasan yang sejelas kematian, berlanjutnya perselisihan orang tua, menurunnya standar kehidupan, anak berhadapan dengan orang tua sambung dan berubahnya pola hubungan anggota keluarga besar. Keseluruhan keadaan ini merupakan peristiwa yang menegangkan bagi anak dan juga orang tua (Nelson & Israel, 2006; Amato & Cheadle, 2007).

Dampak perceraian bagi anak-anak secara umum adalah anak-anak berisiko tinggi dengan permasalahan emosional dan perilaku (depresi dan prestasi akademik yang menurun di sekolah) karena ketidakmampuan dalam melakukan penyesuaian (Nelson & Israel, 2006; Amato & Cheadle, 2007).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

Perceraian merupakan pengalaman menegangkan bagi anak dan kedua orang tuanya (Bryner, 2001; Cohen, 2002). Lebih lanjut dampak perceraian meliputi 4 reaksi atau dampak. 1) Reaksi segera anak; manifestasi klinik perceraian pada anak tergantung pada beberapa variabel, meliputi usia anak, tingkat fungsi psikososial keluarga, kemampuan orang tua dalam mengendalikan kemarahan, kehilangan dan ketidaknyamanan serta memusatkan perhatian pada perasaan dan kebutuhan anak dan kecocokan temperamen antara orang tua dan anak (Bryner, 2001; Cohen, 2002; Nelson & Israel, 2006). Bayi dan anak yang berusia kurang dari 3 tahun akan berbeda reaksinya dengan anak yang berusia 4 – 5 tahun, demikian juga dengan anak usia sekolah dan remaja. Bayi berumur 3 tahun mengalami regresi perkembangan, sementara anak umur 4 – 5 tahun menjadi keras kepala, pada anak usia sekolah menunjukkan penurunan prestasi belajar, sedangkan pada remaja menunjukkan perilaku asusila dan sebagainya. Secara umum anak cenderung merasa bersalah dan bertanggung jawab terhadap perpisahan dan merasa bahwa mereka harus mencoba memulihkan perkawinan (orang tuanya) (Cohen, 2002; Amato &Cheadle, 2007). 2) Reaksi segera orang tua; orang tua menderita efek merusak akibat dari perceraian dan berwujud pada bermacam reaksi yang negatif dan tidak nyaman. Ibu cenderung reaktif terhadap stresor harian dan peristiwa-peristiwa besar yang tidak diinginkan dengan mengonsumsi lebih banyak alkohol, lebih banyak memanfaatkan layanan kesehatan untuk depresi, kecemasan, atau perasaan terhina; dan merasa sangat terbebani dan kurang mampu berperan sebagai orang tua (Cohen, 2002). Ayah merasa dikesampingkan, kurang mendapat

commit to user

penerimaan oleh anak-anaknya, dan juga bisa menderita depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan zat. Kakek dan nenek juga sering menerima penurunan kualitas hubungan dengan cucu-cucu mereka, tetapi dengan pengaturan pemeliharaan akan lebih punya pengaruh saat jadwal kunjungan walaupun dengan jarak geografis jauh (Cohen, 2002). 3) Terjadinya hambatan peran orang tua pada perceraian; dari aspek teoretis dalam menjelaskan kaitan antara perceraian dengan hasil yang negatif pada anak didasarkan pada 2 komponen dasar tumbuh kembang anak : fungsi keluarga dan lingkungan sosioekonomis. Dari perspektif keluarga menekankan asumsi bahwa kompetensi menjadi orang tua harus bisa berkompromi dengan distress psikologis orang tua sebagai akibat perpisahan dalam perkawinan atau kesulitan keuangan, sedangkan dari perspektif investasi berpendapat bahwa kesejahteraan anak akan menurun dengan kemungkinan penurunan yang drastis dibandingkan standar hidup (setempat) dari orang tua yang mendapatkan hak asuh, setelah terjadinya perceraian (Cohen, 2002). Di tahun 1990 sekitar 10% anak-anak di Skandinavia tinggal dengan keluarga ibu tunggal dengan kondisi rumah tangga yang memrihatinkan, dimana gambaran yang serupa di Amerika Serikat terjadi sebesar sekitar 60% (Roustit et al, 2007). Orang tua dapat memberikan bantuan pada saat perceraian dengan menyiapkan anak-anak mereka mengenai apa yang terjadi. Penyiapan harus sesuai usia dan tingkat perkembangan si anak. Orang tua harus menunjukkan komitmen yang kuat pada anak-anak mereka. Anak-anak akan melakukan coping lebih bagus pada perceraian bila orang tua bisa bekerja sama satu sama lain dan mau menerima perilaku “bersama untuk

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

anak kita walaupun kita berpisah” (Cohen, 2002). 4) Dampak perceraian pada masing-masing anggota keluarga yakni a) suami; beresiko menjadi sakit, perokok, pecandu obat dan alkohol, pola makan tidak sehat (Ikeda et al, 2007; Fukuda et al, 2005; Fukuda et al, 2005; Eng et al, 2005); b) istri; beresiko menjadi sakit, perokok, pecandu obat dan alkohol, penurunan status finansial, dukungan jejaring sosial, harapan sehat (Weitoft et al, 2002; Ikeda et al, 2007; Fukuda et al, 2005; Fukuda et al, 2005; Lee et al, 2005); c) Anak; beresiko menjadi perokok dan peminum dini sebelum usia 14 tahun (Anda et al, 1999; Kestila et al, 2006; Rothman et al, 2008), alami depresi dan gangguan psikiatri lain (Gilman et al, 2003; Schilling et al, 2007), lakukan percobaan bunuh diri (Dube et al, 2001), menderita ADHD (Strohschein, 2007), menunjukkan perilaku rivalry dengan saudara kandung (Setiawati & Zulkaida, 2007), lakukan aktivitas sex pranikah (Wong et al, 2009), mendertia DM tipe 1 autoimun (Sepa et al, 2005), menderita sindrom metabolik (Thomas et al, 2008). Tidak jelas pengaruh pada perkembangan motorik halus maupun kasar (Sacker et al, 2006) maupun pada kejadian wasting dan stunting saat diare (Engebretsen et al, 2008). Adanya pengaruh bermakna pada perkembangan kognitif dan tinggi badan anak laki-laki saat berusia pra remaja (Li et al, 2004; Richards & Wadsworth, 2004). Sebagai faktor risiko gagal tumbuh (Block et al, 2005), sedangkan yang lain tidak (Blair et al, 2004). d) Ibu menyusui; tidak berpengaruh terhadap pola inisiasi ASI (Rosem et al, 2009).

commit to user

5. Perbedaan status gizi dan perkembangan antara anak balita dari orang tua

Dokumen terkait