• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT NELAYAN

7. Perda No 2 Tahun 1990.

Dengan adanya revitalisasi Perda Istimewa Aceh No. 2 Tahun 1990 kelembagaan Panglima Laôt menjadi lembaga adat di masyarakat nelayan Nanggroe Aceh Darussalam yang secara resmi keberadaannya diakui oleh Negara, namun demikian lembaga Panglima Laôt bukanlah lembaga negara. Lembaga Panglima Laôt tidak termasuk dalam struktur pemerintahan seperti; Pemerintah Gampong, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, tetapi keberadaan kelembaga Panglima Laôt diluar struktur pemerintahan. Lembaga Panglima Laôt merupakan lembaga adat yang telah mengtradisi dimasyarakat nelayan di wilayah pesisir Aceh.

Perda No. 2 Tahun 1990 membuat keberadaan kelembagaan Panglima Laôt dalam melaksanakan perannya di wilayah pesisir Aceh dilindungan oleh hukum Negara. Hal ini sesuai dengan Pasal 13 No. 2 Tahun 1990 yaitu :

- Panglima Laôt pemimpin wilayah kelautan.

- Panglima Laôt pemimpin penyelesaian perselisihan di laut. - Panglima Laôt pemimpin pelestarian lingkungan.

Kelembagaan Panglima Laôt bukan kelembagaan yang di atur oleh Pemerintah dalam melaksakan perannya di masyarakat wilayah pesisir, melainkan lembaga adat yang berperan membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di masyarat pesisir Aceh, sesuai dalam Pasal 6 Perda No. 2 Tahun 1990, yaitu:

1. Membantu Pemerintah dalam memperlancarkan pelaksanaan pembangunan. 2. Melestarikan hukum adat, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat.

3. Memberi kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang menyangkut keperdataan adat.

4. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat.

Berdasarkan Perda No. 2 Tahun 1990, sebagai acuan pedoman Panglima Laôt untuk membuat keputusan tentang tata cara/peraturan penangkapan ikan di laut dalam pertemuan/musyawarah Panglima Laôt Se-Daerah Istimewa Aceh di Banda Aceh Tahun 2000, sehingga peraturan yang dikeluarkan hasil pertemuan tersebut tidak melanggar dari hukum Negara (lampiran 2).

Hubungan dengan Masyarakat Nelayan

Hubungan masyarakat nelayan Gampong Telaga Tujuh dalam aktifitas sehari-hari bergaul sesama warga gampong terjalin cukup akrab. Keakraban bergaul tersebut timbul atas kesadaran bersama-sama warga. Tampak yang lebih mengikat sesama warga adalah ajaran agama Islam. Selain itu, ciri masyarakat gampong adalah jiwa gotong royong. Gotong royong inilah merupakan impuls dari dalam yang dapat untuk saling membantu dalam senang maupun susah. Dalam berbagai aktifitas gampong atau sekitar lingkungan rumah akan selalu mendapat perhatian warga. Dalam aktifitas mengerjakan kepentingan umum, seperti membersihkan rumah ibadah, membersihkan selokan, dan lain-lain, biasanya melibatkan seluruh warga gampong. Bagi nelayan yang sedang melakukan penangkapan ikan di laut pada saat warga bergotong royong, bukanlah satu pelanggaran yang berakibatkan mendapat sanksi dari sesama warga. Dalam hal musyawarah gampong dan aktifitas di Mesjid ditinggalkan atau tidak hadir, ini akan mendapat perhatian dari warga lain.

Dalam kegiatan sekitar lingkungan rumah, kerja sama antara individu terlihat berlangsung baik. Hal tersebut dapat diamati pada pekerjaan pembangunan atau perbaikan rumah, jiwa gotong royong demikian melekat antar warga gampong, diminta atau tidak mereka saling bahu-membahu dalam melakukan kegiatan gotong royong tersebut. Dalam operasi penangkapan ikan di laut, tantangan dari alam yang dihadapi oleh nelayan beraneka ragam seperti, ganasnya gelombang, derasnya air, kencangannya hembusan angin, hujan yang lebat dan teriknya sengat matahari, sehingga kedisiplinan yang teruji, merupakan keharusan yang dimiliki oleh setiap nelayan. Situasi yang penuh tantangan menjadi suatu ikatan yang emosional antara nelayan yang lebih mempersatukan jiwa mereka. Rasa kebersamaan sebagai nelayan menjadi perekat, saling mengerti, memahami satu dengan lainnya. Ikatan ini menjadi rasa persaudaraan yang erat, saling asah, asih, dan asuh antar nelayan. Alam menempa jiwanya sehingga antar nelayan tidak ada jarak, seolah-olah mereka satu dalam komunitas yang sulit untuk dipisahkan.

Hubungan nelayan dengan Panglima Laôt terjalin cukup baik. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa tanggung jawab yang besar dari Panglima Laôt yang langsung dirasakan oleh nelayan. Tanggung jawab tersebut, tidak hanya dalam hubungan dengan pekerjaan nelayan, lebih dari itu sampai dengan masalah keluarga nelayan. Tanggung jawab Panglima Laôt terhadap keperluan nelayan dalam kaitan pengadaan perlengkapan peralatan menangkap ikan, memang tidak dapat dipenuhi, namun nelayan dapat memahami keterbatasan yang dimiliki oleh Panglima Laôt. Hal itu tidak mengurangi rasa hormat dan kepatuhan nelayan terhadap Panglima Laôt. Bila ada warga masyarakat nelayan yang melanggar peraturan hukôm adat/adat laôt yang telah ditetapkan digampong Telaga Tujuh, dalam menyelesaikan masalah lebih bersifat kepada pendekatan keagamaan, lebih menonjolkan usaha untuk memdamaikan dari pada memutuskan.

Dukungan Stakeholders

Untuk mendukung peran lembaga Panglima Laôt di Gampong Telaga Tujuh telah dibangun hubungan kemitraan yang baik dengan stakeholders di antaranya; tokoh masyarakat, Dinas Perikanan dan Kelautan, Syahbandar, Polisi Air, Keamanan Laut (Kamla) dan donor. Hubungan kemitraan Panglima Laôt dan

didukung oleh stakeholders dalam menjalan peran Panglima Laôt yang berlandasan persamaan hak dan kewajiban dalam mengayomi masyarakat nelayan, baik itu pengelolaan hasil laut, aturan yang adil, mengawasi ekosistem, menyelesaikan sengketa nelayan, dangan tujuannya untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat nelayan diwilayah pesisir.

Dukungan stakeholders dalam hukum adat ini di ataranya pengeluaran ijin penangkapan ikan, baik yang diberikan oleh Panglima Laôt Lhôk maupun oleh pihak yang telah mempunyai hak penangkapan ikan terlebih dahulu di wilayah lhôk. Akan tetapi, perijinan yang dikeluarkan terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan pawang pukat dan geuchik (kepala Gampong) agar tidak merugikan pihak-pihak lain yang berkepentingan di dalamnya.

Selanjutnya dalam kerangka hukum nasional, setiap nelayan harus mengajukan ijin resmi berlayar dan menangkap ikan yang dikeluarkan oleh Syahbandar (Harbourmaster) dan Dinas Perikanan dan Kelautan (Surat izin usaha penangkapan ikan dan surat izin penangkapan ikan ) setempat dengan rekomendasi dari Panglima Laôt. Walupun telah mengantongi surat izin tersebut, nelayan yang ingin bersandar atau menangkap ikan di dalam wilayah lhôk harus mengikuti aturan-aturan hukum adat Laôt yang menaungi wilayah tersebut.

Dokumen terkait