• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revitalisasi Peran Kelembagaan Panglima Laôt dalam Pengembangan Masyarakat Nelayan (Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Revitalisasi Peran Kelembagaan Panglima Laôt dalam Pengembangan Masyarakat Nelayan (Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)"

Copied!
250
0
0

Teks penuh

(1)

(Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

A. J U F R I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Revitalisasi Peran Kelembagaan Panglima Laôt Dalam Pengembangan Masyarakat Nelayan (Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tugas akhir ini.

Bogor, 25 Februari 2008

(3)

ABSTRACT

A. JUFRI. Revitalization of the Role of Panglima Laôt Institution in Fishermen Community Development. Under the Guidance of SAID RUSLI and NINUK PURNANINGSIH

For the most of households in Gampong fishermen Telaga Tujuh community, catching fish in the sea have been their main source of income. In line with this, there has existed a number of traditional norms which must be obeyed by the member of fishermen community. To preserve their tradition, an institution which is called Panglima Laôt was institution nalized. Panglima Laôt acts as the head of adat in the community of Gampong Telaga Tujuh.

Objectives of this have been to examine the role of Panglima Laôt institution in social mapping and existing institutional arrangements, to evaluate community development programs related to the revitalization of the roles of Panglima Laôt institution and the role of Panglima Laôt institution in the fishermen community.

The study results show of Panglima Laôt plays a significant role in guiding the community Gampong Telaga Tujuh. Therefore, Panglima Laôt institution is an important key to develop fishermen community in Gampong Telaga Tujuh, along the coastal area of Aceh. The activities to develop fish processing group arranged by Rehabilitation and Reconstruction Body Program of NAD-Nias, in Gampong Telaga Tujuh did not work well because the programs were top-down in nature. The involvement of Panglima Laôt institution only in the inplemenlation. In the meantime, the activity of Panglima Laôt institution in buying and selling traditional fishermen’s catch has been very effective in helping the traditional fishermen so that they can save time and money compared to if they have to go the fishing market at Langsa Town.

Based on the problem identification, it can be concluded that the main problem is related to the role of Panglima Laôt institution. Through Focus Group Discussion (FGD), the formulation of programs is conducted in a participative manner involving the elements of Panglima Laôt, Panglima Laôt Secretary, Pawang Laôt, the government (Marine and Fishery Agency), and community and fishermen figures. From the activity, action program related to the role of Panglima Laôt institution in Gampong Telaga Tujuh can be made with the aim of revitalizing Panglima Laôt role and developing Panglima Laôt personnel.

`

(4)

RINGKASAN

A.JUFRI, Revitalisasi Peran Kelembagaan Panglima Laôt Dalam Pengembangan Masyarakat Nelayan. Di bawah bimbingan SAID RUSLI dan NINUK PURNANINGSIH.

Kelembagaan Panglima Laôt sebagai lembaga adat di masyarakat wilayah pesisir Aceh yang telah ada mulai dari masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1637), masa penjajahan kolonial Belanda (1904-1942). Setelah indonesia merdeka perhatian pemerintah terhadap lembaga Panglima Laôt terabaikan. Sehingga macam-macam peran Panglima Laôt tidak berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun demikian, keberadaan lembaga Panglima Laôt tetap terpelihara dalam masyarakat pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun program pengembangan peran Panglima Laôt di kalangan masyarakat nelayan.

Dalam pengumpulan data pengkaji menggunakan metode triangulasi. Metode triangulasi adalah tehnik pengumpulan data dengan memadukan berbagai tehnik-tehnik metode pengumpulan data. Dalam penelitian ini digunakan kegiatan diskusi kelompok, observasi dan wawancara. Untuk memperoleh data, baik berupa data primer maupun data sekunder, dilakukan dengan menggunakan tehnik; wawancara, observasi langsung, FGD, FRA, dan studi dokumentasi. Pengkaji menggunakan metode Participatory Rural Apparisal (PRA) untuk penyusunan program kegiatan. Metode ini dipakai oleh pengkaji guna menganalisis masalah, potensi, kebutuhan, situasi dan kondisi sosial yang ada di masyarakat Gampong Telaga Tujuh yang dominan penduduknya bermata pencaharian nelayan. Pengkaji juga secara bersama-sama mencari pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat nelayan. Disini pengkaji bertindak sebagai fasilitator program, sehingga peran dan tanggung jawabnya seperti mengumpulkan data, memfasilitasi diskusi kelompok maupun kegiatan lain dalam rangka bersama-sama menyusun program yang tepat.

Gampong Telaga Tujuh (Pusong) berada di wilayah Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang beriklim tropis memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, dengan luas wilayah 600 hektar pada ketinggian dua meter diatas permukaan air laut. Penduduk Gampong Telaga Tujuh berjumlah 2.883 jiwa, laki-laki berjumlah 1.497 (51.93%) perempuan berjumlah 1.386 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 583 KK. Kepala keluarga yang tergolong katagori miskin di Gampong Telega Tujuh berjumlah 508 KK (86,62%), dan tergolong katagori sejahtera 78 KK (13,38%). Mata pencaharian penduduk Gampong Telaga Tujuh yang lebih dominan yaitu; sektor nelayan yang berjumlah 1.783 jiwa (90.0%), dan urutan selanjutnya pedagang berjumlah 152 jiwa (7.7%), sedangkan petani tambak yang mata pencaharian urutan ketiga sebagian telah mengalihkan profesi sebagai nelayan usaha budidaya udang/ikan sering gagal panen.

(5)

Panglima Laôt di antaranya mengawasi dan memelihara pelaksana hukum adat laut, menyelesaikan berbagai pertikaian sehubungan dengan penangkapan ikan dan menyelenggarakan upacara-upacara adat laut, dan lainnya.

Kegiatan pengembangan kelompok Usaha Pengolahan Ikan (UPI) dari program Badan Rehabilitasi dan Rekontuksi (BRR) NAD-Nias di Gampong Telaga Tujuh tidak dapat berjalan, disebabkan kegiatan yang dilaksanakan oleh BRR secara top down bukan bottom up. Keterlibatan kelembagaan Panglima Laôt bukan pada awal kegiatan tetapi kegiatan telah dilaksanakan. Sedangkan Kegiatan dilaksanakan oleh kelembagaan Panglima Laôt yaitu jual beli hasil tangkapan nelayan tradisional sangat tepat sasarannya, karena dapat membantu nelayan tradisional dalam menjual hasil tangkapan sehingga biaya untuk pengeluaran transportasi ke pasar ikan Kota Langsa tidak perlu dikeluarkan lagi.

Peran Panglima Laôt dapat digiatkan kembali setelah adanya perdamaian RI dengan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15 Agustus 2005. Sehingga macam-macam peran kelembagaan Panglima Laôt di Gampong Telaga Tujuh dapat berjalan yaitu: Satu, peran Panglima Laôt memelihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan hukum adat dan istiadat. peran ini, tidak menjadi problema karena masyarakat nelayan pada umumnya mentaati ketentuan-ketentuan adat/hukum adat sebagai suatu kewajiban. Masyarakat nelayan Aceh pada umumnya menghormati dan mentaati hukum adat, menghormati hukum adat berarti demi kepentingan diri sendiri. Kedua, Peran Panglima Laôt mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan di laut. Hal ini bukan berarti Panglimat Laôt harus melaut setiap hari. Bila ada hal yang terjadi dalam usaha penangkapan ikan dilaut seperti nelayan menggunakan alat tangkap trawl, maka nelayan tersebut akan melaporkan kepada Panglimat Laôt. Laporan nelayan tersebut akan ditindak lanjut oleh Panglima Laôt kepihak keamanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan untuk diambil tindakan/sanksi adat dan hukum Negara.

Ketiga, peran Panglima Laôt menyelesaikan perselisihan/sengketaan yang terjadi di antara sesama anggota nelayan atau kelompoknya. Sengketa yang sering terjadi di nelayan Gampong Telaga Tujuh yaitu sengketa dalam usaha penangkapan ikan dilaut, terutama dalam merebut fishing ground di laut. Untuk menyelesaikan perkara perselisihan dalam hukôm adat laôt. Keempat, peran Panglima Laôt memutuskan dan menyelenggarakan upacara adat laôt. Melaksanakan upacara adat laôt seperti khanduri laôt sebelumnya di adakan musyawarah oleh lembaga Panglima Laôt bersama tokoh masyarakat, aparat gampong, dan seluruh masyarakat nelayan di Gampong Telaga Tujuh. Upacara khanduri laôt dipimpin oleh Panglima Laôt setempat.

Kelima, peran Panglima Laôt menjaga/mengawasi agar pohon-pohon ditepi pantai jangan ditebang. Dalam peran ini, Panglima Laôt tidak dapat berbuat banyak untuk menjegah masyarakat nelayan disebabkan oleh faktor ekonomi nelayan yang tidak setabil dalam usaha penangkapan ikan di laut. Pohon mangrove yang ditebang oleh masyarakat nelayan di Gampong Telaga Tujuh di pergunakan untuk membuat rumah atau merehab rumah. Keenam, peran Panglima Laôt merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan Pawang Laôt dengan Pawang Laôt lainnya. Peran ini, guna untuk pengembangan sumberdaya masyarakat nelayan. Hubungan tersebut, dari tingkat aparat gampong hingga Pemerintah Kota Langsa. Panglima Laôt menjadi sebagai mitra Kepala Gampong, seperti dalam pembuatan surat izin berlayar, surat izin penangkapan ikan, dan lain-lainnya. Panglima Laôt juga penghubung antara Pawang Laôt dengan Pawang Laôt lainnya seperti, informasi tetang daerah penangkapan ikan (fishing ground) dilaut.

(6)

melaksanakan kegiatan di laut merupakan sebagai perpanjangan peran Panglima Laôt. Peran Panglima Laôt yang dijalankan oleh ketiga pawang tersebut di antaranya; satu, mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan di laut, seperti kapal ikan yang melakukan usaha penangkapan ikan di laut menggunakan alat tangkap trawl (melanggar Pasal 8 Keppres 39 Tahun 1980) yang merusak ekosisteam dan menghilangkan regenerasi ikan untuk selanjutnya. Hal ini bila diketemukan diperairan Aceh oleh Pawang Laôt akan melaporkan atau menginformasikan segera ke Panglima Laôt.

Identifikasi masalah dan penyebab yaitu; satu, Dalam mengkordinir setiap usaha penangkapan ikan oleh nelayan, Panglima Laôt tidak dapat turun langsung ke daerah penangkapan ikan dilaut karena kelembagaan Panglima Laôt tidak mempunyai armada kapal untuk operasional di laut. Dua, kondisi kepengurusan Panglima Laôt seperti proses pergantian seseorang, baik Panglima Laôt atau Sekretaris Panglima Laôt berlangsung sering terjadi. Beberapa calon Panglima Laôt atau Sekretaris Panglima Laôt, bahkan ada yang dipaksakan meskipun tidak sesuai dengan syarat adat yang telah ditentukan. Penyebabnya adalah karena ada harapan bahwa lembaga Panglima Laôt akan mendapat dana sangat besar pascatsunami, padahal dalam kenyataan tidak ada. Yang ada adalah kegiatan peran Panglima Laôt mulai tidak ada ancaman lagi.Tiga, merupakan permasalahan utama kelembagaan Panglima Laôt adalah kualitas sumberdaya manusia Panglima Laôt yang rata-rata rendah.

Alternatif pemecahan masalah diantaranya; satu, untuk melaksanakan peran Panglima Laôt dalam mengkoordinir usaha penangkapan ikan diperairan laut Pemerintah Kota Langsa. Panglima Laôt Gampong Telaga Tujuh perlu meningkatkan kerjasama dengan Polisi air (Airut), Syahbandar, Pawang Laôt dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Kedua, menguatkan revitalisasi peran Panglima Laôt dalam mengawasi hukum adat laut. Ketiga, penguatan hubungan kelembagaan Panglima Laôt ini merupakan proses dalam pembangunan masyarakat nelayan di wilayah pesisir dan perlu adanya; mempromosikan program pembangunan yang berbasis pada masalah riil yang dihadapi masyarakat nelayan, memastikan akuntabilitas pelaksanaan program, menguatkan kapasitas Lembaga Otonom agar mampu menjadi lembaga yang dipercaya (credible), dapat dipertanggung jawabkan (accountable) dan berpegang teguh kepada tatanan adat. Keempat, peningkatkan SDM lembaga Panglima Laôt seperti; pelatihan keterampilan untuk meningkatkan pengetahuan pengenalan Alat teknologi yang modern dalam kegiatan kenelayanan, pelatihan peningkatan manajemen kelembagaan Panglima Laôt, pelatihan pengembangan jaringan kemitraan Panglima Laôt, pelatihan sistem monitoring dan evaluasi.

(7)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

(Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota

Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

A. J U F R I

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

(Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

Nama Mahasiswa : A. J U F R I

Nomor Pokok : I 354060285

Disetujui Komisi Pembimbing

Ir. Said Rusli, MA

K e t u a Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

Penulis, dilahirkan di Idi Kabupaten Aceh Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 16 Agustus 1971. Kedua orang tua merupakan suku Aceh, orang tua laki-laki bernama Usman M, dan ibu bernama Nazariah binti Abubakar Patha (almarhum). Penulis sendiri merupakan putra ke tiga diri tujuh bersaudara.

Pada Tahun 1991, Penulis menamatkan SMA Ranto Perlak. Melanjutkan Perguruan Tinggi pada Universitas Abulyatama Aceh Tahun 1993, mengambil jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Agustus 2006 diterima pada Sekolah Pascasarjana Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB).

Riwayat pekerjaan di Pemerintahan, menjadi CPNSD tahun 2002 ditempatkan pada Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Peternakan dan Perikanan dan Kelautan Pemerintah Kota Langsa, kemudian Maret 2006 mendapat kepercayaan menjadi Pendamping BRR NAD-NIAS Kota Langsa. Sehubungan dengan panggilan IPB, penulis menyatakan mengundurkan diri dari jabatan tersebut pada awal Agustus 2006 dan memperoleh Tugas Belajar pada Agustus 2006.

Bogor, 25 Februari 2008

(11)

Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan berkat dan rahmat-Nya penulisan tugas akhir kajian pengembangan masyarakat (KPM) sebagai persyaratan menyelesaikan studi pada Progam Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), dapat penulis selesaikan tepat waktunya. Judul KPM ini adalah Revitalisasi Peran Kelembagaan Panglima Laôt dalam Pengembangan Masyarakat Nelayan (Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).

Penyusunan tugas akhir ini tidak akan terlaksana jika penulis lakukan sendiri, tetapi justru berkat bantuan semua pihak sehingga telah memudahkan pengumpulan data sampai kepenulisan. Sehubungan dengan dukungan dan jasa dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimaksih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Ir. Said Rusli, MA, selaku Ketua Komisi Pembimbing.

2. Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si, selaku Anggota Komisi Pembimbing.

3. Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS, selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

4. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, selaku Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB).

5. Dr. Endriatmo Soetarto, Selaku Penguji Luar Komisi Pembimbing.

6. Ibu Dra. Neni Kusumawardhani, MS, Selaku Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung.

7. Pemerintah Kota Langsa yang memberi Tugas Belajar dan bantuan lainnya. 8. Seluruh staf pengajar dan Sekretariat dengan pelayanan administrasi. 9. Pihak keluarga yang memberi dorongan moril.

10. Warga masyarakat nelayan Gampong Telaga Tujuh dengan partisipasinya. 11. Kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dalam riset.

Penulis sangat menyadari bahwa penyajian kajian ini masih banyak kekurangan. Guna menyempurnakannya, tentu memerlukan munculnya koreksi dan saran konstruktif dari pihak penelaah. Kritikan tersebut penulis harapkan secara lisan maupun tulisan, sehingga karya ilmiah akhir akan lebih sempurna dan bermanfaat bagi masyarakat nelayan di wilayah pesisir.

Bogor, 25 Februari 2008

(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

P E N D A H U L U A N ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan masalah ... 6

Tujuan Kajian ... 6

Kegunaan Kajian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Masyarakat Nelayan Wilayah Pessir ... 8

Pengorganisasian ... 13

Kelembagaan dalam Masyarakat Nelayan ... 15

Peran Kelembagaan Panglima Laot dalam Masyarakat Nelayan ... 17

Kerangka Pemikiran ... 19

METODE KAJIAN Proses dan Metode Kajian ... 23

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 24

Metode Penyusunan Program ... 30

PETA SOSIAL KOMUNITAS Data Geografis, Demografis, dan Kondisi Masyarakat ... 32

Komposisi Penduduk ... 34

Mata Pencaharian Penduduk ... 37

Kehidupan Rumah Tangga Nelayan ... 38

Struktur Komunitas ... 39

Kelembagaan dan Organisasi ... 42

Sumberdaya Lokal ... 45

(13)

Masyarakat Nelayan ... 52

ANALISIS KEGIATAN PANGLIMA LAÔT DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT NELAYAN Macam-Macam Peran Kelembagaan Panglima Laôt ... 55

Lembaga Pelaksana Peran Panglima Laôt ... 64

Performa Kelembagaan Panglima Laôt ... 65

Hubungan dengan Masyarakat Nelayan ... 70

Dukungan Stakeholders ... 71

STRATEGI PROGRAM REVITALISASI PERAN PANGLIMA LAÔT Proses Penyusunan Rencana Program ... 73

Identifikasi Masalah dan Penyebab ... 74

Alternatif Pemecahan Masalah ... 80

Program Aksi ... 91

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 100

(14)

Halaman

1 Jadwal Pelaksanaan Kajian Lapangan Tahun 2007... 24 2 Kelengkapan Metode ... 28 3 Jarak dan Waktu Ditempuh dari Gampong Telaga Tujuh ke Ibukota ... 33 4 Komposisi Penduduk Gampong Telaga Tujuh Berdasarkan Kelompok

Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2007 ... 35 5 Komposisi Penduduk Gampong Telaga Tujuh Menurut Jenis

Mata Pencarian Tahun 2007 ... 38 6 Jalur Penangkapan Ikan ... 56 7 Nomenklatur Pedoman Keuneunong (Musim) Wilayah Aceh

Tahun 1893 Masehi (1310 – 11 Hijriah) ... 76 8 Peran Panglima Laôt Sebelum Revitalisasi dan Sesudah Revitalisasi

di Gampong Telaga Tujuh ... 84 9 Indentifikasi Masalah, Penyebab, Potensi Masalah, dan Alternatif

Masalah Peran Kelembagaan Panglima Laôt dalam Pengembangan

Masyarakat Nelayan di Gampong Telaga Tujuh ... 90 10 Program Aksi Kelembagaan Panglima Laôt dalam Pengembangan

(15)

Halaman

1 Bagan Kerangka Pikiran Kajian ... 22 2 Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Kota Langsa ... 33 3 Kapal Transportasi ke Gampong Telaga Tujuh Kecamatan

Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa ... 34 4 Piramida Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis

Kelamin GampongTelaga Tujuh ... 36 5 Piramida Pelapisan Sosial Penduduk Gampong Telaga Tujuh ... 41 6 Pola Hubungan Jejaring Panglima Laôt Gampong Telaga Tujuh

Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa ... 45 7

7 SSttuurruukkttuurrOOrrggaanniissaassiiUUssaahhaaPPeellaayyaannaannPPeennggeemmbbaannggaann((UUPPPP)) “

“DDaammaaii SSeejjaahhtteerraa””TTiinnggkkaattKKeeccaammaattaannLLaannggssaaTTiimmuurr ... 5500 8

8 Struktur Kepengurusan Kelembagaan Panglima Laôt... 7766 9 Penguatan Hubungan Kelembagaan Panglima Laôt ... 86

(16)

Halaman

1 Peta Kota Langsa ... 102

2 Hukum Adat Laôt dalam Tata Cara Penangkapan Ikan dan Sanksi Adat di Wilayah Perairan Laut Aceh di Seluruh Daerah Tingkat II dalam Provinsi Aceh ... 103

3 Kuesioner Nelayan Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa ... 111

4 Pedoman Wawancara Panglima Laôt ... 113

5 Pedoman Wawancara SekretarisPanglima Laôt ... ... 115

6 Pedoman Wawancara Tokoh Masyarakat/Aparat Gampong ... 117

7 Pedoman WawancaraUnsur Dinas Terkait ... 119

8 Pedoman FGD ... 121

(17)

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Masyarakat Nelayan Wilayah Pesisir

Definisi wilayah pesisir di Indonesia masih belum jelas. Namun kalau kita mengacu pada definisi internasional, wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke darat mengcakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (Budiharsono, 2001).

Wilayah pesisir dan lautan dari konsep wilayah bisa termasuk dalam empat jenis wilayah. Pertama, sebagai wilayah homogen yaitu; merupakan wilayah pesisir yang memproduksikan ikan, namun bisa juga dikatakan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan penduduk yang tergolong dibawah garis kemiskinan. Kedua, sebagai wilayah nodal yaitu; wilayah pesisir seringkali sebagai wilayah pesisir belakang, sedangkan daerah perkotaan sebagai intinya. Bahkan seringkali wilayah pesisir dianggap sebagai halaman belakang (backyard), yang merupakan tempat membuang segala macam limbah. Sebagai wilayah belakang, wilayah pesisir sebagai input (pasar input) bagi inti, dan merupakan pasar bagi barang-barang jadi (output) dari inti. Ketiga, sebagai wilayah administrasi yaitu; wilayah pesisir dapat merupakan wilayah administrasi yang relatif kecil seperti kecamatan atau gampong, namun juga dapat berupa Kabupaten/Kota, pada Kabupaten/Kota yang merupakan pulau kecil. Keempat, sebagai wilayah perencanaan yaitu; batas wilayah pesisir lebih ditentukan dengan kriteria ekologi. Karena menggunakan batasan kriteria ekologi tersebut, maka batas wilayah pesisir sering melewati batas-batas satuan wiayah admistratif (Budiharsono, 2001).

(18)

bintang-bintang di langit untuk menjadi pedoman dalam mengemudikan perahu/kapal (Koentjaningrat, 1974). Pengetahuan nelayan tentang alam lingkungan, sebenarnya ada ciri kesamaan bagi nelayan tentang alam lingkungan, sebenarnya ada ciri kesamaan bagi nelayan Indonesia pada khususnya dan nelayan Asia Tenggara pada umumnya. Kesamaan itu sebagai berikut :

“Para nelayan sering menggunakan metode-metode ilmu gaib untuk menambahkan metode-metode teknologi yang nyata. Hal ini malahan mendapat kesan bahwa suku-suku bangsa nelayan secara lebih intensif mempergunakan metode ilmu gaib dalam ilmu dukun, bila dibandingkan dengan suku-suku bangsa yang hidup dari berburu. Hal ini mungkin karena mencari ikan itu rupanya merupakan suatu mata pencaharian hidup yang pada dasarnya mengandung lebih banyak bahaya dan resiko dari pada berburu, atau mata pencaharian hidup lain seperti bercocok tanam dan beternak “ (Koentjaningrat, 1974).

Dalam himpunan masyarakat memiliki tingkatan lapisan sosial tersendiri. Tingkatan sosial itu juga ditemukan dalam masyarakat nelayan yang umumnya kelompok masyarakat ini adalah nelayan. Kusnadi (2002), menggambarkan bahwa penggolongan tingkatan sosial dalam masyarakat nelayan ini dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan penangkapan, seperti perahu, jaring, dan perlengkapan lainnya. Secara struktural, masyarakat nelayan ini dapat dibagi dua katagori, yaitu nelayan pemiliki alat produksi dan nelayan buruh. Nelayan buruh ini adalah masyarakat nelayan golongan bawah yang tidak memiliki alat-alat produksi, mereka hanya golongan masyarakat yang menyumbang jasa dan tenaganya dengan memperoleh hak yang sangat terbatas. Mereka indentik dengan buruh tani dalam masyarakat pertanian (agraris). Secara kuantitatif, dalam sebuah gampong nelayan di Aceh jumlah nelayan buruh lebih besar dibandingkan dengan nelayan golongan menengah ke atas yang memiliki alat-alat produksi penangkapan.

(19)

Kemudian dari sudut pandang ketiga, penggolongan tingkatan sosial dalam masyarakat nelayan, ini juga terjadi akibat pengaruh teknologi yang membentuk masyarakat nelayan modern dan masyarakat nelayan tradisional. Disebut nelayan modern karena mereka menggunkan alat penangkapan teknologi canggih dibandingkan masyarakat tradisional yang menggunakan alat penangkapan secara alamiah. Secara kuantitatif, jumlah nelayan modern memang relatif lebih kecil dibandingkan nelayan tradisional. Namun dalam kedudukan sosialnya pengaruh nelayan modern atau nelayan besar (pemilik modal) ini jauh lebih besar terhadap nelayan tradisional atau nelayan kecil.

Perbedaan-perbedaan tingkatan itu dalam masyarakat nelayan tidak hanya mengimplikasikan pada tingkatan pendapatan dan kemampuan atau kesejahteraan sosial-ekonomi meraka masing-masing, tapi dengan tingkatan itu meski mereka tergolong dalam suatu himpunan masyarakat nelayanlingkungan budaya geografis yang sama menggunakan sumberdaya laut untuk mencapai kebutuhan hidupnya namun mereka memiliki orientasi usaha dan perilaku yang berbeda-beda (Kusnadi, 2002).

- Kondisi Ekonomi dan Pendidikan

Keadaan sosial-ekonomi yang rendah memang sudah menjadi ciri umum kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Tingkat pendapatan mereka kalau dikalkulasikan hanya sedikit diatas petani kecil. Bahkan menurut Winahyu dan Santiasih dalam Mubyarto “Dua Puluh Tahun Penelitian Gampongan” seperti kutipan Kusnadi (2002), tingkatan kemiskinan masyarakat nelayan jika dibandingkan secara seksama dengan kelompok masyarakat disektor pertanian, maka masyarakat nelayan khususnya buruh dan nelayan kecil atau nelayan tradisional, mereka dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin kondisi ekonominya.

(20)

memanfaatkan jasa-jasa nelayan. Mereka adalah kelompok pemilik perahu/motor bot dan pemilik modal yang memberikan pekerjaan kepada nelayan, dan memegang kendali atas pekerjaan tersebut. Mereka ini sering disebut dengan istilah toke atau Agen. Merekalah yang lebih banyak menikmati keuntungan dari hasil kerja nelayan. Mereka dapat hidup dengan mewah dari hasil keringat nelayan, sementara nelayannya tetap berkubang dengan kemiskinan.

Masalah pendidikan masyarakat nelayan juga merupakan masalah tersendiri yang harus mendapatkan perhatian khusus. Dalam realitas nelayan di Indonesia ini masih banyak anak nelayan usia sekolah yang putus sekolah. Akibat ketidakberdayaan ekonomi orang tuanya, mereka harus meninggalkan bangku sekolah untuk mengikuti jejak orang tuannya menjadi nelayan. Lebih-lebih ketika musim paceklik datang, yaitu musim ketika nelayan tidak bisa turun kelaut. Pada musim ini tidak ada penghasilan yang dapat diandalkan untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, selain menguras tabungan bagi yang mempunyai tabungan.

Lain halnya dengan masyarakat yang hidup disektor pertanian. Umumnya, para petani memiliki pekerjaan sambilan yang menjadi sumber pengahasilan pengganti ketika musim paceklik tiba. Untuk mengisi waktu luang kerja setelah musim tanam tiba, keluarga petani biasanya melakukan pekerjaan lain, seperti beternak, membuat barang-barang kerajinan atau melakukan pekerjaan lainnya yang bersifat non pertanian. Dari hasil usaha itu petani dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

(21)

Dalam kondisi ekonomi seperti itu, maka masalah pendidikan bagi masyarakat nelayan ini menjadi suatu kebutuhan yang amat berat mereka penuhi. Ketidak mampuan itu dapat dilihat dari pada contoh kasus keadaan perekonomian masyarakat nelayan sebagaimana yang telah diuraikan diatas tadi. Kesulitan ekonomi telah menyebabkan masalah pendidikan menjadi sesuatu yang terabaikan dalam kehidupan masyarakat nelayan, pendidikan bagi mereka bukanlah kebutuhan utama.

- Ketidak Berpihakan Kebijakan Publik.

Masalah yang masih krusial yang dihadapi komunitas nelayan Indonesia, terutama nelayan-nelayan kecil masih menggunakan peralatan tangkap tradisional. Banyak faktor yang membuat nelayan menjadi komunitas yang lemah dan serba kekurangan dibandingkan masyarakat yang hidup diwilayah pedalaman agraris (pertanian) dan perkotaan. Di antara faktor yang signifikan terhadap ketidak berdayaan masyarakat nelayan adalah sistem budaya yang dibangun dalam kebijakan pembangunan, tidak menghargai komunitas masyarakat nelayan. Sehingga komunitas nelayan menjadi komunitas yang secara kultural dipandang sangat rendah dalam segala aspek sosial. Dari sudut pandang ekonomi, pendidikan, hukum, dan politik, mereka dianggap sebagai komunitas masyarakat yang tidak memiliki kemampuan terhadap semua itu. Pandangan tersebut secara kultural telah menjadi opini publik. (Hasibuan, dkk, 2003)

Ketidak berpihakan publik terhadap masyarakat nelayan ini dapat dilihat dari kurangnya perhatian dan kepedulian yang diberikan kepada mereka selama ini, terutama pemerintah. Lemahnya keberpihakan kebijakan pembangunan terhadap sumber daya laut juga telah mengakibatkan rendahnya kepedulian publik untuk ikut serta menjaga kelestarian hayati yang terkandung di dalamnya. Malah yang terjadi adalah penekanan-penekanan terhadap komunitas nelayan dengan pengoperasian peralatan tangkap modern (pukat harimau) yang jelas-jelas melanggar hukum, tidak hanya hukum adat tetapi juga hukum negara. Penggunaan alat tangkap yang merusak terus berlangsung dan mendapatkan perlindungan dari oknum-oknum aparat keamanan dengan menakut-nakuti para nelayan tradisional.

(22)

nelayan, selain disebabkan kesalahan kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi kedaratan selama puluhan Tahun belakang ini, juga ada pengaruhnya dengan pandangan publik secara kultural bahwa komunitas masyarakat nelayan yang mendiami wilayah pesisir adalah komunitas masyarakat yang memiliki kekurangan dalam segala hal dibandingkan dengan masyarakat yang mendiami wilayah perkotaan dan pedalaman yang menurut pandangan publik agak lebih maju dalam berbagai bentuk intraksi sosial dan budayanya.

Pengorganisasian

Organisasi komunitas merupakan perkumpulan orang dalam masyarakat yang mengelola kegiatan tertentu. Unsur ini merupakan wadah dimana unsur-unsur komunitas lainnya mengalami modifikasi atau menjadi lebih dinamis (Kolopaking dan Tonny, 2006)

Kemampuan organisasi komunitas terletak pada solidaritas yang tinggi diantara anggota. Menurut Karter (1983) dalam Kolopaking dan Tonny, 2006, organisasi informal sebagai pusat kehidupan politik organisasi, hubungan berkelanjutan antar orang dibangun atas dasar persahabatan dan royalitas. Jaringan antar anggota memperhatikan bagaimana lingkungan dalam organisasi dikonstruksikan. Ini berarti bahwa perhatian lebih banyak tertuju pada segi-segi normatif dan budaya dari lingkungan seperti sistem kepercayaan, hak profesi, dan sumber-sumber legitimasi. lkatan jaringan antar para anggotanya menjembatani hubungan-hubungan mereka dalam organisasi.

Mendukung pandangan di atas Swedberg (1990) dalam Kolopaking dan Tonny, 2006, menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh anggota jaringan terlekat sebab diekspresikan dalam interaksi dengan orang lain. Cara seseorang terlekat dalam hubungan sosial adalah penting dalam penentuan banyaknya tindakan sosial dan jumlah dari hasil institusional. Misalnya, apa yang terjadi dalam produksi, distribusi dan konsumsi banyak dipengaruhi oleh keterlekatan orang dalam hubungan sosial.

(23)

kehidupan dan penghidupan warga Desa/Kelurahan. Selanjutnya menurut Bakke dalam Sutarto, ( 1995) dikatakan bahwa :

“Organisasi sosial adalah suatu sistem yang kontinyu dari aktivitas orang-orang yang berbeda dan terkoordinasikan yang memakai, mengubah, dan memadu bersama-sama suatu perangkat khusus dari orang, barang, modal, pemikiran dan sumber-sumber alam ke dalam suatu ketunggalan, keseluruhan pemecahan masalah yang fungsinya adalah memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia tertentu dalam saling pengaruh dengan berbagai sistem lain dari aktivitas-aktivitas dan sumber-sumber manusia di dalam lingkungan khususnya."

Sehubungan dengan pandangan di atas, maka organisasi sosial merupakan suatu sistem yang berlangsung secara kontinyu dan terkoordinasi dalam mengemban fungsi dan tugas pokoknya perlu ditingkatkan kesadaran akan hak dan kewajibannya dengan pemecahan masalah dapat memuaskan kebutuhan masyarakat berdasarkan aktivitas dan sumber-sumber masyarakat dilingkungan sosialnya. Keberhasilan ORSOS diupayakan untuk bersinergi dalam mengemban fungsi dan peranannya sampai sejauhmana dapat memberdayakan masyarakatnya secara individu keluarga dan masyarakat luas pada umumnya. Berkaitan dengan itu, maka menurut Triguno, (1996), mengatakan bahwa upaya untuk mencapai pengelolaan organisasi yang tingkat optimal, maka bawahan harus secara psikologis terlibat dalam aktiviias partisipasional , artinya dapat memiliki kecerdasan dan kehendak untuk melakukan aktivitas bersifat gotong-royong atau kerjasama mereka akan menjadi lebih kreatif. Untuk itu dalam praktek kepemimpinan (leadership), harus mengakui bahwa orang-orang atau bawahannya memiliki keterampilan dan kemampuan selain apa yang dapat mereka kerjakan dengan tangan. Karena dengan kemampuan untuk berpikir, dapat menciptakan ide-ide baru, memprakarsai prosedur baru serta cara-cara kerja mutakhir dalam pengelolaan organisasi yang optimal.

(24)

Kelembagaan dalam Masyarakat Nelayan

Kelembagaan dapat diartikan sebagai pranata ataupun sebagai organisasi. pranata terdiri dari norma-norma atau “rules of games” (aturan main) yang menjadi pedoman bagi warga masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu (Soekanto, 1990). Kelembagaan sebagai organisasi tidak hanya mempunyai “rules of games”, tetapi juga mempunyai struktur, partisipan, sarana-prasarana (teknologi) dan tujuan yang ingin dicapai. Peran kelembagaan yang ada harus pula memungkinkan informasi yang diperlukan masyarakat untuk memberdayakan dirinya dapat mudah diperoleh. Sejumlah defenisikan kelembagaan, (Tony, 2006) menyimpulkan dalam empat katagori:

1. Suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.

2. Suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting

3. Himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat

4. Tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, organisasi, dan sistem sosial lainnya

“institutions, whether organisations or not, are complexes of norms and behaviors that persist over time by serving collectively valued purposed, while organisations, whether institutions or not, are structures of recognized and accepted roles.” (Uphoff, 1993).

(25)

Pengembangan kelembagaan dapat dilakukan dengan pembentukan embrio lembaga-lembaga sosial di berbagai bidang. Apabila lembaga serupa telah ada sebelumnya, maka lembaga-lembaga tersebut perlu diberdayakan. Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pengembangan kelembagaan di masyarakat Aceh adalah pengembangan jaringan sosial antara lembaga-lembaga baik dalam lingkungan gampong, antar gampong, maupun antar kecamatan. Selain itu, pemberian peranan yang lebih kepada lembaga-lembaga tersebut dalam proyek-proyek pembangunan akan makin memperkuat kapasitas lembaga-lembaga yang bersangkutan.

Dalam masyarakat Aceh kelembagaan Panglima Laôt merupakan kelembagaan dipesisir yang mengawasi dan memelihara hukum adat laut dan istiadat. Lembaga adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di Aceh adalah: Tuha Peut, Imum Meunasah, Keujruen Blang, Panglima Laôt, Peutua Seuneubok, Haria Peukan, Syahbanda, dan lembaga-lembaga adat yang disebut dengan nama lain, tetapi mempunyai fungsi dan tujuan yang sama dengan lembaga-lembaga adat (Pasal 2 ayat (1) Perda No. 2 Tahun 1990).

Dalam Pasal 5 ayat (2) Perda Nomor 7 Tahun 2000, disebutkan dengan jelas lembaga-lembaga adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, antara lain: Imuem Mukim, Geusyik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Imuem Meunasah, Keujruen Blang, Panglima Laôt, Peutua Seuneubok, Haria peukan.

(26)

Peran Kelembagaan Panglima Laôt dalam Masyarakat Nelayan

Menurut Sarbin & Allen, (1968), Biddle & Thomas, (1966) peran adalah pola tingkah laku yang sangat tergantung pada posisi sabjek saat melakukan interaksi sosial dengan objek. Peran yang berbeda membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula. Tetapi apa yang membuat tingkah laku itu sesuai dalam suatu situasi dan tidak sesuai dalam situasi lain relatif independent (bebas) pada seseorang yang menjalankan peran tersebut.

Kelembagaan Panglima Laôt merupakan kelembagaan yang ada pada masyarakat pesisir. Panglima Laôt adalah seorang pemimpin nelayan yang secara hukum adat laut bertugas mengkoordinasi satu atau lebih wilayah operasional nelayan, dan minimal satu pemukiman nelayan. Dengan demikian tugas dan tanggung jawab Panglima Laôt di antaranya mengawasi dan memelihara pelaksana hukum adat laut, menyelesaikan berbagai pertikaian sehubungan dengan penangkapan ikan dan menyelenggarakan upacara-upacara adat laut, dan lainnya.

Main (1992), dalam hasil penelitian menyebutkan bahwa Panglima Laôt merupakan pimpinan tertinggi yang mengatur tentang usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang dapat/boleh dilakukan oleh masyarakat nelayan. Menurut Snouck Hurgronye (1906), mengenai struktur Panglima Laôt hanya ada dua tingkatan, yaitu Panglima Laôt Lhôk dan Panglima Laôt. Sementara itu pada tingkat berikutnya Panglima Laôt Lhôk sering disingkat/disebut menjadi Panglima Lhôk atau Panglima Laôt, yang mempunyai wilayah tanggung jawab terbatas pada wilayah Lhôk. Wilayah Lhôk adalahsuatu wilayah pesisir di mana nelayan berdomisili dan sebagian besar melakukan usaha penangkapan ikan atau bermata pencaharian utama menangkap ikan di laut. Wilayah tersebut dapat terdiri dari satu wilayah pantai yang melingkupi beberapa gampong atau wilayah satu kemukiman ataupun satu kepulauan yang berpenduduk jarang (Nyak Pha, 2001).

(27)

Laôt setempat ataupun oleh Panglima Laôt Lhôk. Tugas utama lainnya adalah mengatur kenduri laôt bersamaan dengan nelayan dibawah koordinir Panglima Laôt Lhôk (Nyak Pha, 2001).

Menurut Iksan dan Ishak (2005), tentang Peran (role) adalah komponen perilaku nyata yang disebut norma. Norma-norma adalah harapan dan kebutuhan perilaku yang sesuai dengan untuk suatu peranan tertentu. Tiap-tiap peran berhubungan dengan suatu identitas yang menggambarkan individu dalam hal, bagaimana mereka harus bertindak dalam situasi khusus. Bila seorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukan maka seseorang akan menjalankan perannya. Dengan demikian yang dimaksud dengan peran Panglima Laôt dalam masyarakat nelayan, adalah seorang pemimpin yang terdapat legitimasi adat tersebut. Hampir semua aspek kenelayanan berada dibawah Panglima Laôt.

Pada pasal 1 ayat 14 Peraturan Daerah (Nyak Pha, 2001) berisi tentang peran Panglima Laôt dalam masyarakat nelayan. Panglima Laôt adalah orang yang memimpin adat, dan kebiasaan yang berlaku dibidang penangkapan ikan dan penyelesaian sengketa. Sementara itu, hasil musyawarah Panglima Laôt Se-Aceh yang dilaksanakan pada tanggal 6-7 Juni 2000, menghasilkan enam keputusan tentang peran kelembagaan Panglima Laôt yaitu :

1. Melihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan hukum adat dan istiadat. 2. Mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan di laut.

3. Menyelesaikan perselisihan/sengketaan yang terjadi di antara sesama anggota nelayan atau kelompoknya.

4. Memutuskan dan menyelenggarakan upacara adat Laôt.

5. Menjaga/mengawasi agar pohon-pohon ditepi pantai jangan ditebang.

6. Merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan Pawang Laôt dengan Pawang Laôt lainnya .

(28)

Kerangka Pemikiran

Untuk kepentingan kajian ini; pertama, kelembagaan Panglima Laôt diartikan sebagai lembaga adat terdiri dari norma-norma yang menjadi pedoman masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan tertentu. Kedua, kelembagaan Panglima Laôt diartikan sebagai organisasi tradisi yang antara lain dicirikan oleh adanya struktur (Panglima Laôt, Sekretaris, dan Pawang Laôt) untuk mencapai tujuannya. Bila seorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukan maka seseorang akan menjalankan perannya. Dengan demikian Panglima Laôt adalah seorang yang memimpin organisasi tradisi dan adat di masyarakat nelayan yang mendapat legitimasi adat.

Dalam sejarah Panglima Laôt sebagai pemimpin masyarakat di wilayah pesisir Aceh dapat di indentifikasi mulai dari masapemerintahan Sultan Iskandar Muda, masa penjajahan kolonial Belanda, dan setelah indonesia merdeka. Pada masapemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1637), kejayaan peran lembaga Panglima Laôt/hukôm Adat laôt3

telah dikenal dengan kerajaan adalah Samudra Pasai. Pada awalnya lembaga Panglima Laôt sebagai lembaga perpanjangan tangan Sultan untuk memungut pajak/cukai, dan mobilisasi masyarakat dalam perperangan. Dalam mengambil keputusan, Panglima Laôt berkoordinasi dengan ''uleebalang'', yang menjadi penguasa wilayah administratif.

Di masa penjajahan kolonial Belanda (1904-1942) terjadi pergeseran peran Panglima Laôt, sebelumnya sebagai perpanjangan sultan menjadi lembaga adat dan mengatur kegiatan nelayan dalam kehidupan masyarakat pesisir. Struktur ini mulanya dijabat secara turun temurun, meski ada juga yang dipilih dengan pertimbangan senioritas dan pengalaman dalam bidang kemaritiman.

Dalam perkembangan selanjutnya setelah indonesia merdeka perhatian pemerintah terhadap lembaga Panglima Laôt terabaikan, Hal ini disebabkan, pemerintah ingin meninggalkan tradisi lama untuk meraih kemajuan disegala bidang di Indonesia. Pandangan tersebut tidak benar, untuk mencapai kemajuan diperlukan kerangka sosial dalam masyarakat yaitu lembaga adat, sebab tampa lembaga adat masyarakat akan semberaut bergerak maju tampa ada pedoman.

3

(29)

Ketika rezim Orde Baru berkuasa, segala bentuk Organisasi Rakyat di Indonesia, secara sistematis dimarginalkan. Demikian pula halnya dengan organisasi masyarakat nelayan di Aceh yang dikenal sebutan Panglima Laôt, sehingga macam-macam peran Panglima Laôt tidak berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun demikian, keberadaan lembaga Panglima Laôt tetap terpelihara dalam masyarakat pesisir.

Setelah dikeluarkan Perda Daerah Istimewa Aceh No. 2 Tahun 1990, pada Pasal 1, Panglima Laôt adalah orang yang memimpin adat istiadat, kebiasaa-kebiasaan yang berlaku dalam penangkapan ikan di lautan, termasuk dalam hal ini mengatur tempat/areal penangkapan. Penebatan perahu dan penyelesaian sengketa bagi hasil. Pasal 1 tersebut, pertama-tama menegaskan Panglima Laôt adalah orang yang memimpin Lembaga adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku dibidang penangkapan ikan di lautan. Perkataan pemimipn disinilah dalam hukum, mempunyai makna yang memelihara, menjaga atas dasar wewenang yang diberikan hukum. Artinya bila ada yang bertindak tidak menurut hukum orang tersebut harus diberi ganjaran, seperti melarang turun kelaut, memberi sanksi, dan sebagainya.

Lembaga Panglima Laôt bukan bagian dari struktur pemerintahan melainkan lembaga diluarnya, yaitu sebagai lembaga mitra yang membantu tugas-tugas pemerintahan dibidang pembangunan dan sebaliknya. Namum memperhatikan ketentuan Pasal 9 (1) Perda no. 2 Tahun 1990 tersebut, dapat disimpulkan, lembaga Panglima Laôt dalam pengembangan peran tugas kelembagaan bertanggung jawab kepada pemerintah, yaitu kepada Gebernur Kepala Daerah, dan Bupati/Walikota, karena mereka sebagai pembina kelembaga Panglima Laôt.

(30)

Kelembagaan Panglima Laôt sebagai pengayom masyarakat nelayan, memiliki jalinan hubungan dengan berbagai pihak guna meningkatkan sumberdaya nelayan. Hubungan tersebut dari tingkat gampong hingga ke pemerintahan.

Berbagai norma-norma tradisi adat yang mengkultur diselingkaran hidup masyarakat nelayan diwilayah pesisir (Stages a long the life cycle). Tuntutan adat bagi masyarakat nelayan harus dipenuhi, sehingga sadar atau tidak, mereka tunduk dan patuh. Sebagai elemem masyarakat gampong, nelayan tidak terlepas dari kepatuhan tersebut.

Lembaga Panglima Laôt adalah kunci utama yang perlu dicermati di wilayah pesisir Aceh, apabila berkeinginan untuk mengembangkan masyarakat nelayan Aceh. Panglima Laôt adalah sosok pemimpin yang karismatik, sehingga nelayan merasa menyatu, tunduk dan patuh kepadanya. Dalam kegiatan berhubungan dengan nelayan, apabila Panglima Laôt tidak di ikut sertakan akan membawa pengaruh negatif. Hal ini, yang sering tidak dilakukan oleh pihak luar dalam melaksana program pengembangan masyarakat nelayan.

Panglima Laôt sebagai pemimpin masyarakat nelayan Aceh, sangat besar pengaruhnya. Namun yang menjadi persoalan adalah kebijakan yang ditempuh oleh pengambil kebijakan (Pemerintah) dalam usaha meningkatkan taraf hidup nelayan yang cenderung mengabaikan aspek budaya setempat.

Sedikitnya terdapat tiga faktor penghambat tidak terlaksananya peran kelembagaan Panglima Laôt; Pertama, pemerintah dalam mengambil kebijakan tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat nelayan. Kedua, Juragan (Ureung poe hareukat) pemilik kapal nelayan, dalam pembagian hasil lebih menguntungkan dari pada nelayan pekerja (ureung mita hareukat). Ketiga, Pedagang Perantara (Toke Bangku) membeli hasil tangkapan nelayan dengan harga lebih murah dari harga pasaran. Ketika faktor tersebut yang kurang hubungan dengan kelembagaan Panglima Laôt.

(31)

Tujuan dari program revitalisasi peran kelembagaan Panglima Laôt di Gampong Telaga Tujuh adalah terwujudnya kembali macam-macam peran Panglima Laôt yang diharapkan oleh masyarakat nelayan, lembaga (organisasi) pelaksanaan peran, norma-norma yang diharapkan untuk mengatur peran Panglima Laôt, hubungan dengan masyarakat nelayan, dan dukungan stakeholder, sehingga secara tidak langsung terjamin sumber nafkah nelayan dan tatanan kehidupan nelayan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan revitalisasi peran lembaga Panglima Laôt adalah penguatan pelaksanaan peran yang dilakukan oleh Panglima Laôt dimasyarakat pesisir. Kerangka pikir dalam kajian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan Kerangka pikir Kajian

Peran Kelembagaan

Panglima Laot Pra

Revitalisasi :

• Macam- macam Peran Panglima Laot

• Lembaga (organisasi) pelaksanakan peran Panglima Laot

• Norma-norma tradisi yang mengkultur peran

• Macam-macam peran Panglima Laot Yang Diharapkan.

• Lembaga (organisasi) pelaksanaan peran

(32)

METODE KAJIAN

Proses dan Metode Kajian

Tahap Proses Kajian. Kegiatan Kajian dilaksanakan melalui tiga tahap. Tahap pertama, Praktek Lapangan I dilaksanakan di Gampong Telaga Tujuh pada tanggal 26 Desember 2006 sampai dengan 14 Januari 2007. Kegiatannya adalah pemetaan sosial. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang komprehensif tentang situasi kependudukan, sistem sosial, struktur komunitas, organisasi kelembagaan, sumber dan potensi lokal dan masalah-masalah sosial yang ada di Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur, Pemerintah Kota Langsa.

Tahap kedua, Praktek Lapangan II dilaksanakan di Gampong Telaga Tujuh pada tanggal 13 April sampai dengan 8 Mei 2007. Kegiatannya adalah mengenali dan mengevaluasi program-program atau kegiatan pengembangan masyarakat yang telah dilaksanakan di Gampong Telaga Tujuh tersebut.

Tahap ketiga, ialah pelaksanaan kajian perencanaan program pengembangan masyarakat (Revitalisasi peran kelembagaan Panglima Laôt) di Gampong Telaga Tujuh hingga laporan penulisan kajian, yang dilaksanakan pada tanggal 03 September sampai dengan tanggal 23 September 2007.

(33)

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat

2006 TAHUN 2007 2008

BULAN

No JENIS KEGIATAN

12 1 4 7 8 9 10 11 12 1 2 3

1. Praktek Lapangan I 2. Praktek Lapangan II

3 Persiapan Kolokium 4. Penyusunan Provosal 5. Kajian Lapangan 6. Penyusunan KIA 7. Seminar dan Ujian 8. Penggandaan Laporan

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis Data. Data yang digunakan dalam kajian lapangan ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer ialah data yang diperoleh dari sumber data ‘responden atau informan’ diskusi kelompok dan juga dari hasil pengamatan langsung oleh pengkaji. Data sekunder ialah data yang diperoleh dari data statistik, literatur dan laporan-laporan dari instansi terkait serta data pendukung dari Gampong Telaga Tujuh, misalnya: data monografi Gampong, laporan Tahunan Gampong, data potensi Gampong, data dari buku administrasi para kepala dusun serta data dari dokumen lainnya yang dibutuhkan oleh pengkaji dalam kegiatan kajian.

(34)

Penetapan sumber data ‘informan’ didasari atas pertimbangan penguasaannya terhadap materi kajian, ialah:

1. Kegiatan peran Panglima Laôt dalam pengembangan. 2. Kegiatan kemitraan oleh pemilik modal dengan Nelayan.

3. Program dan kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat pesisir.

Pengumpulan Data. Untuk mendukung prosedur analisis data, dalam pengumpulan data pengkaji menggunakan metode triangulasi. Metode triangulasi adalah tehnik pengumpulan data dengan memadukan berbagai tehnik-tehnik metode pengumpulan data. Dimana dalam penelitian ini digunakan kegiatan diskusi kelompok, observasi dan wawancara. Untuk memperoleh data, baik berupa data primer maupun data sekunder, dilakukan dengan menggunakan tehnik:

1. Wawancara

Teknik wawancara adalah suatu cara perolehan data yang berkaitan dengan permasalahan kajian melalui kegiatan tatap muka yang dilakukan oleh pengkaji dengan tineliti (responden dan informan). Pertanyaan yang diajukan tidak harus terstruktur tetapi terpusat pada topik kajian. Wawancara disini bersifat mendalam adalah suatu proses temu muka berulang antara peneliti dan subyek tineliti, melalui cara ini pengkaji hendak memahami pandangan subyek tineliti tentang hidupnya, pengalamannya, permasalahan yang dihadapi dalam usahanya, harapan-harapan serta situasi dan kondisi sosial yang ada dilingkungannya.

Sasaran wawancara dalam kajian adalah 15 orang responden nelayan, Panglima Laôt (ketua), Sekretaris Panglima Laôt, dan Pawang jhareng4satu orang, Pawang Kawe5 satu orang dan Pawang Pukat6 satu orang. Sedangkan untuk informan yang diwawancara adalah pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Langsa, pegawai Syahbandar Kuala Langsa, Kepala Gampong Telaga Tujuh, dan Tokoh masyarakat.

2. Observasi Langsung (direct observation)

Teknik pengumpulan data primer ini dilakukan juga secara pengamatan langsung.Pengumpulan data direct observation (pengamatan langsung) tidak

4Pawang jhareng

artinya orang yang ahli penangkapan ikan menggunakan alat tangkap jaring.

5Pawang Kawe

artinya orang yang ahli penangkapan ikan menggunakan alat tangkap pancing.

6

(35)

menggunakan instrumen apapun kecuali alat komonikasi/dokumentasi. Teknis ini dilakukan khusus, jika ada indikasi data yang sulit terungkap atau kurang memuaskan dari hasil wawancara mendalam. Moleong (1977) mengemukakan alasannya bahwa tampaknya pengalaman langsung bersama objek penelitian atau pandangan mata merupakan alat yang ampuh untuk mengetes/menguji suatu kebenaran. Jika suatu data yang diperoleh melalui intrumen lain kurang meyakinkan, bisa saja peneliti menanyakannya kepada subjek, tetapi kebanyakan informasi justru kurang terfokus dan kurang akurat, maka untuk meyakinkan tentang keabsahan data tersebut, jalan yang lebih efektif dapat ditempuh dengan cara mengamati sendiri berarti melihat langsung peristiwanya.

Pengamatan langsung dilakukan oleh peneliti dalam menyingkap pola tabiat tingkah laku dan kelakuan sehari-hari masyarakat nelayan, pengurus kelembagaan Panglima Laôt, dan memonitoring keberadaan pemanfaatan dan kerusakan sumberdaya alam.

3. Observasi Peran Serta

Pengamatan berperan serta (penulis dengan masyarakat nelayan pesisir) dilakukan guna mengungkapkan secara pandangan mata terhadap peran kelembagaan Panglima Laôt dan terhadap kegiatan yang telah dan sedang dikerjakan di gampong tersebut. Pengamatan peran serta dalam penyelesai kasus perselisihan penangkapan ikan di laut antara nelayan, laporan nelayan tetang aktifitas kegiatan dilaut, kegiatan jual beli hasil tangkapan nelayan tradisional oleh sekretaris Panglima Laôt, dan kegiatan usaha pengolahan ikan (UPI) oleh nelayan di Gampong Telaga Tujuh. Namun diamati juga terhadap kegiatan lain yang berkaitan dengan peran kelembagaan Panglima Laôt.

4. Focus Group Discussion (FGD)

(36)

di antara para peserta diskusi dalam satu kelompok untuk membahas satu masalah khusus yang telah terdefinisikan sebelumnya.

Dalam FGD peneliti berperan ganda yaitu sebagai fasilisator diskusi dan pengamat jalannya diskusi dalam menyusun program aksi yang di inginkan oleh masyarakat gampong Telaga Tujuh. Di ikut sertakan dalam Focus Group Discussion (FGD) yaitu; Nelayan, Panglima Laôt, Sekretaris Panglima Laôt, Pawang Laôt,Tokoh Masyarakat, dan Dinas Kelautan dam Perikanan. 5. Participatory Rural Appraisal (PRA) yaitu pengkajian peran Panglima Laôt

dalam pengembangan masyarakat nelayan di Gampong Telaga Tujuh. Dalam hal ini pengkaji menggunakan metode dimaksud adalah suatu kegiatan bersama-sama antara masyarakat dan peneliti dalam pemetaan suatu wilayah untuk mengindentifikasi masalah, potensi, dan kebutuhan masyarakat dalam upaya pengembangan masyarakat gampong Telaga Tujuh, sehingga bisa membuat perencanaan program dengan baik. Data skunder yang dibutuhkan yaitu peta gampong, data potensi gampong, dokumen, dan lain- lainnya yang dibutuhkan untuk analisis peneliti.

6. Studi Dokumentasi

Kegiatan pengumpulan data dari teknik studi dokumentasi yaitu; data pendukung yang ada di kantor Gampong Telaga Tujuh, dokumen/laporan Tahunan Gampong, dokumen/laporan Panglima Laôt, kepala dusun, laporan dan data yang bersumber dari instansi terkait baik yang ada di tingkat Pemerintah Kota maupun Kecamatan.

Pengolahan dan Analisis Data. Berbagai data yang telah terkumpul, dikerjakan, diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa dalam rangka untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam kajian lapangan. Teknik pengolahan data tersebut adalah dengan menggunakan tabulasi data, sedangkan teknik menganalisisnya adalah dengan menggunakan analisis data kualitatif.

Menurut Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus dan Agusta (2005), analisa data kualitatif meliputi:

(37)

2. Penyajian data, adalah sekumpulan data informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 3. Kesimpulan, adalah proses menemukan makna data yang bertujuan untuk

memahami tafsiran dalam konteknya dengan masalah secara keseluruhan. Secara rinci tentang tujuan kajian, data yang diperlukan dan cara pengumpulan data kajian lapangan di Gampong Telaga Tujuh dapat dilihat pada Tabel 2:

Tabel 2, Kelengkapan Metode

No Tujuan Kajian Aspek Parameter Sumber Data Instrumen

1 2 3 4 5 6

A. Pemetaan Sosial:

1. Letak geografis Gampong Telaga Tujuh.

2. Mata pencaharian penduduk Gampong Telaga Tujuh.

3. Kehidupan rumah tangga nelayan.

(38)

5. Peran menjaga

Panglima Laôt tidak

(39)

3. Menyelesaikan pohon di tepi pantai jangan ditebang.

6. Merupakan badan penghubung antara

(40)

Serangkaian kegiatan yang dapat dilakukan oleh pengkaji berkaitan dengan fungsinya sebagai fasilitator adalah:

1. Melakukan identifikasi data tentang masalah komunitas, potensi dan sumber-sumber lokal dan kebutuhan masyarakat melalui teknik observasi, wawancara, diskusi kelompok dan studi dokumentasi untuk dijadikan materi dalam diskusi kelompok ataupun FGD.

2. Memfasilitasi terlaksananya diskusi kelompok dan diskusi terfokus (FGD) untuk bersama-sama para tokoh masyarakat baik formal maupun informal, stakeholders yang terkait, kelembagaan Panglima Laôt dan juga masyarakat nelayan; untuk menyusun rencana program yang sesuai dengan permasalahan dan potensi yang ada, sehingga program adalah benar-benar murni kesepakatan dan hasil dari masyarakat bawah.

3. Bersama-sama masyarakat secara luas, melakukan evaluasi rencana program yang telah disusun, guna diketahui secara bersama-sama kemungkinan adanya hambatan maupun dukungan terhadap program yang telah disepakati bersama.

(41)

PETA SOSIAL KOMUNITAS

Pada kegiatan Praktek Lapangan satu yang telah dilaksanakan di Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Pengkaji telah melaksanakan pemetaan sosial dan masalah sosial yang dialami oleh masyarakat nelayan diwilayah pesisir, sehingga perlu dicari solusi pemecahan masalahnya. Masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat nelayan adalah masalah kemiskinan, maka perlu adanya suatu peran kelembagaan yang dapat mengayom masyarakat nelayan di wilayah pesisir.

Data Geografis, Demografis dan dan Kondisi Masyarakat

Gampong Telaga Tujuh (Pusong) yang berada di wilayah Kecamatan Langsa Timur Pemeritah Kota Langsa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, terletak pada 04º24’35,68” - 04º33’47,03” Lintang Utara dan 97º55’16,22” - 98º04’42,16” Bujur Timur. Gampong Telaga Tujuh mempunyai batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kuala Langsa.

- Sebelah Utara berbatasan dengan Gampong Langsa Lama.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Gampong Manyak Pahed (Kabupaten Aceh Temiang).

- Sebelah selatan berbatasan dengan Salat Malaka.

(42)

Gambar 2. Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Kota Langsa.

Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur merupakan wilayah beriklim tropis yang memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung antara bulan September sampai dengan Februari sedangkan musim kemarau berkisar antara bulan Maret sampai dengan Agustus. Rata-rata curah hujan tiap Tahun adalah antara 500 mm sampai dengan 504 mm sedangkan suhu rata-rata 28ºC-32ºC. Gampong Telaga Tujuh merupakan Gampong pesisir yang memiliki luas wilayah 600 hektar dengan ketinggian dua meter diatas permukaan air laut. Jarak dan waktu yang ditempuh dapat dilihat pada Tabel 3:

Tabel 3, Jarak dan Waktu Tempuh dari Gampong Telaga Tujuh Ke Ibukota

No Orbitasi Jarak (Km) Waktu tempuh (Jam)

1. 2. 3.

Ibukota Kecamatan Ibukota Pemkot Langsa Ibukota Provinsi

22 10 424

1,5 1 12

Sumber data : BPS Kota Langsa di analisis

(43)

kapal pengangkut penumpang per jiwa Rp. 3.000,- (keberangkatan). Jarak tempuh dari dermaga Kuala Langsa ke Gampong Telaga Tujuh 45 menit. Kapal transportasi Gampong Telaga Tujuh untuk menuju ke Kota Langsa dapat dilihat pada Gambar 3:

Gambar 3. Kapal transportasi ke Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa.

Komposisi Penduduk.

(44)

Tabel. 4 Komposisi Penduduk Gampong Telaga Tujuh Bedasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2007.

Jenis Kelamin No Kelompok Umur Laki-laki

(Jiwa)

Sumber : Data BPS Kota Langsa 2007.

(45)

LK PR

Gambar 4, Piramida Penduduk berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Gampong Telaga Tujuh

Piramida penduduk diatas yang menggambarkan bentuk melebar bagian bawah untuk laki-laki dan perempuan menunjukan kelahiran beberapa Tahun terakhir masih cukup tingggi. Gampong Telaga Tujuh berkepadatan penduduk 481 jiwa per km².

Sehubungan dengan piramida penduduk, tentang perubahan kelahiran dan kematian menurut Peserikatan Bangsa-Bangsa dapat dikatagorikan sebagi berikut :

1. Kelahiran sedang menurun kematian rendah.

2. Kelahiran rendah kematian rendah . 3. Kelahiran tinggi kematian tinggi.

4. Kelahiran tinggi kematian cukup tinggi/sedang menurun.

Menurut Jenis Kelamin piramida penduduk Gampong Telaga Tujuh menunjukkan besarnya penduduk usia 0 - 4 Tahun hampir sama dengan jumlah penduduk usia 5 - 9 Tahun dan 10 - 14 Tahun. Penduduk tampaknya angka pertilitas penduduk Gampong Telaga Tujuh terjadi penurunan dalam 15 Tahun terakhir, usia 0 - 14 Tahun adalah 881 jiwa (30,56%), sedangkan penduduk

(46)

dengan usia kerja/usia produktif 15 – 59 Tahun mencapai 1.847 jiwa (64,07%), dan usia konsuntif 60 Tahun ke atas hanya 155 jiwa (5,38%). Angka rasio beban tanggungan Tahun 2007 diperhitungkan sekitar 56,09%.

Berdasarkan kenyataan ini, kemudian dilakukan verifikasi data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2007, menyimpulkan bahwa kepala keluarga tergolong katagori miskin di Gampong Telaga Tujuh berjumlah 505 KK (86,62%), dan warga masyarakat yang tergolong katagori sejahtera 78 KK (13,38%). Pertimbangan ini mengingat memang ditemui adanya keluarga nelayan devisit pendapatan, karena dalam usaha menangkap ikan di laut alat tangkap/perahu yang digunakan masih tradisional, dan sebagian nelayan masih ketergantungan kepada pedagang perantara (toke bangku).

Berarti kesimpulannya, permasalahan kemiskinan disini dapat teratasi jika angka fertilitas tidak lebih tinggi dan dapat ditekan dengan program KB ke depan. Dikatakan bawa penduduk dapat keluar dari kemisiknan karena daya dukung sumberdaya alam (SDA) mengcukupi. Sebaliknya jika potensi alam dimanfaakan dengan tidak memperhatikan keseimbangannya, dikhawatirkan permasalahan angka kemiskinan akan lebih tinggi bagi keturunan selanjutnya.

Mata Pencaharian Penduduk

(47)

Tabel 5, Komposi Penduduk Gampong Telaga Tujuh Menurut Jenis Mata Pencaharian.

J u m l a h No Mata Pencaharian

Jiwa %

Sumber : data potensi Gampong Telaga Tujuh Tahun 2007.

Dari 583 KK penduduk Gampong Telaga Tujuh, jika dilihat dari jenis kegiatannya dapat diklasifikasikan dalam lima jenis mata pencaharian tetap yang meliputi; sektor nelayan 1.783 jiwa, PNS 5 Jiwa, pedagangan 152 jiwa, Jasa Transportasi 10 jiwa, dan petani tambak 32 jiwa.

Dari Tabel diatas jelas menerangkan bahwa mata pencaharian sangat dominan penduduk Gampong Telaga Tujuh yaitu ketergantungan pada sektor nelayan, dengan jumlah nelayan sebanyak 1.783 orang ( 90.0%), dan urutan selanjutnya pedagang sebanyak 152 orang (7,7%), sedangkan mata pencaharian sebagai petani tambak sebagian telah mengalihkan propesinya sebagai nelayan. Petani tambak sering mengalami kerugian dalam budidaya udang yang jarang sekali berhasil, disebabkan oleh penyakit udang MBV (Monodon Munacula Virus) yang tidak bisa diatasi.

Kehidupan Rumah Tangga Nelayan

(48)

disibukkan rutinitas tersebut, maka peran utama didalam keluarga nelayan secara dominan dipegang oleh ibu rumah tangga.

Peran yang dijalankan oleh ibu rumah tangga sebagai pendidik anak, diterima dengan iklas oleh istri nelayan. Sesuai dengan penuturan informan, nelayan sadar akan tugas seorang ayah. Meskipun seorang nelayan disibukkan dengan pekerjaan kenelayanan, bukan berarti peran ayah sebagai kepala keluarga tidak dijalankan. Apabila ada masalah yang sulit berhubugan dengan mendidik atau membina anak, istri-istri nelayan selalu meminta pendapat kepada suaminya. Bahkan apabila ada masalah yang dapat berakibat fatal, misal pergaulan muda mudi hal ini langsung ditangani oleh suami.

Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dikalangan keluarga nelayan, tidak begitu berbeda dengan keluarga bukan nelayan yang berdomisili di wilayah pesisir. Pembagian tugas selalu diterapkan bagi anak-anaknya. Dalam hal tertentu dalam menghadapi permasalahan keluarga, misalnya pernikahan anak, seluruh keluarga dilibatkan dengan memberi peran atau tugas sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sebenarnya dalam membina anak, seorang ayah yang mata pencahariannya sebagai nelayan tidaklah membuat dirinya asing bagi keluarga, justru senda gurau sering terdengar dalam keluarga nelayan.

Struktur Komunitas

Masyarakat pesisir memiliki lingkungan budaya yang berbeda dengan masyarakat agraris pedalaman atau masyarakat perkotaan. Sistem nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat pesisir terbentuk oleh faktor alam geografis yang berbeda, juga ada yang terbentuk bedasarkan kesepakatan, seperti aturan-aturan khusus yang kemudian menjadi norma-norma sebagai pedoman dalam setiap interaksi antar sesama warganya.

(49)

Demikian pula dengan masyarakat Gampong Telaga Tujuh yang dominan hidup melaut atau menjadi nelayan. Meskipun dalam masyarakat Gampong Telaga Tujuh terdapat warganya yang tidak menggantungkan hidupnya atau mata pencahariannya pada sumberdaya laut, namun secara kultural mereka harus tunduk pada sistem sosial budaya Gampong Telaga Tujuh.

Jalinan hubungan sosial dan kerja sama antar sesama warga masyarakat

nelayan Gampong Telaga Tujuh tidak hanya ketika mereka berada di daratan (perkampungan). Jalinan kerjasama itu malah lebih terlihat ketiga nelayan melakukan aktifitas ditengah laut yang saling bekerja sama dengan penuh tanggung jawab. Masing-masing nelayan telah mempunyai tugas sesuai dengan struktur di dalam sebuah kapal ikan, sehingga mereka tidak saling menyalahkan apabila terjadi hal-hal yang mengganggu keselamatan di laut atau didalam pekerjaan.

Dalam struktur didalam kapal penangkapan ikan yang bertanggung jawab dalam hal keselamatan di lautan adalah Pawang Laôt.Pawang Laôt merupakan pemimpin anak buah kapal (ABK) atau dalam bahasa Aceh disebut aneuk bot dalam melakukan penangkapan ikan di lautan. Tanggung jawab lain Pawang Laôt adalah menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi dengan bantuan Panglima Laôt setempat, jika terjadi kesalah pahaman yang dianggap menyalahi aturan-aturan kelautan yang telah disepakati diwilayah Gampong tersebut.

Pelapisan sosial ini terjadi karena adanya penilaian terhadap hal-hal tertentu dalam komunitas masyarakat Gampong Telaga Tujoh Kecamatan Langsa Timur. Terdapat warga masyarakat yang di nilai lebih tinggi dari warga lainnya dalam Gampong tersebut. Penilaian tersebut bedasarkan pada kategori; mempunyai kekayaan, kekuasaan, pendidikan yang tinggi, tokoh agama, pemangku pranata adat.

(50)

Gambar 5. Piramida Pelapisan Sosial Penduduk Gampong Telaga Tujuh.

Pelapisan sosial di masyarakat GampongTelaga Tujuh yaitu: satu, tokoh agama, Panglima Laôt, Keuchik7, dan Juragan. Keempat unsur tersebut menduduki setara pada lapisan atas di masyarakat Gampong Telaga Tujuh. Tokoh agama berpengaruh dalam lingkungan masyarakat Gampong Telaga Tujuh karena sebagai tokoh panutan dalam agama (agama Islam). Panglima Laôt sebagai mitra kerja Keuchik yaitu sama-sama sebagai pengayom masyarakat nelayan. Sedangkan Juragan (toke) yaitu pemilik modal atau merupakan pemilik kapal penangkapan ikan yang ukuran 20 GT keatas. Dalam aktifitas penangkapan ikan dilaut banyak masyarakat Gampong Telaga Tujuh bekerja pada kapal ikan milik juragan atau miminjam modal usaha menangkap ikan di laut. Hal ini membuat masyarakat Gampong Telaga Tujuh menghormati juragan tersebut.

Kedua, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan PNS menduduki strata pada lapisan ketiga yang berperan aktif dalam kemasyarakatan untuk mendukung kegiatan di masyarakat Gampong Telaga Tujuh. Ke tiga tokoh tersebut sangat menghormati setrata lapisan pertama segala kegiatan yang dilaksanakan di Gampong Telaga Tujuh selalu dikonsultasi pada tokoh tersebut. Ketiga; Pawang Laôt yaitu seorang yang ahli dibidang usaha penangkapan ikan

7

Keuchik artinya Kepala Desa

Tokoh Agama, Panglima Laôt, Keuchik, dan Juragan

Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, dan PNS

Masyarakat Nelayan (ABK)

Pawang Kawe,

Pawang Jhareng,

(51)

dilaut dan sebagai pemimpin di kapal penangkapan ikan di laut. Hal ini membuat Pawang Laôt di masyarakat nelayan Gampong Telaga Tujuh menduduki strata pada pelapisan sosial pada tingkat kedua. Keempat, nelayan atau anak buah kapal ikan di Gampong Telaga Tujuh yaitu sebagai pekerja pada kapal penangkapan ikan dilaut menepati strata lapisan bawah.

Kepemimpinan di Gampong Telaga Tujuh muncul dikalangan mereka yang memiliki harta, mampu membuka jejaring dengan komunitas luar yang sifat membangun, sedang memangku jabatan, dan mempunyai pendidikan yang tinggi (Sekolah/agama).

Masyarakat Gampong Telaga Tujuh sangat demokratis dalam memilih seorang pemimpin. Pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang diharapkan mampu membawa aspirasi masyarakat, tidak KKN dan dapat menyelesaikan hal-hal yang terjadi dalam masyarakat.

Gampong Telaga Tujuh mempunyai Kepala Gampong (Keuchik) yang dipilih oleh masyarakat secara langsung dan demokratis. Kepala Gampong yang dipilih mempunyai peranan yang menyangkut hal-hal administrasi kemasyarakatan, seperti pembuatan KTP, pengurusan izin, administrasi jual beli, dan administrasi pemerintah. Kepala Gampong Telaga Tujuh dalam memimpin masyarakat bekerjasama dengan Panglima Laôt, sehingga tanggung jawab Kepala Gampong dalam memimpin masyarakat tidak begitu berat.

Panglima Laôt dipilih oleh masyarakat pesisir secara langsung dan demokratis. Peran Panglima Laôt di daerah pesisir sangat besar sesuai dengan Pasal, 6, 4, 2, Perda No. 2 Tahun 1990. Dalam pasal 2 Perda No. 2 Tahun 1990, lembaga Panglima Laôt menjadi lembaga resmi keberadaannya diakui yang oleh Negara.

Kelembagaan dan Organisasi sosial

Gambar

Gambar 1. Bagan Kerangka pikir Kajian
Tabel 1.  Jadwal Pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat
Tabel 2 (Lanjutan).
Tabel 2 (Lanjutan).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Manisha Behal tahun 2015 didapatkan hasil bahwa kematian perinatal paling banyak terjadi pada kelompok yang melakukan persalinan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menyusun strategi pengembangan sumber benih mindi pada hutan rakyat di Jawa Barat, adapun tujuan khusus yang juga menjadi aspek

Hasil yang diperoleh dari pengujian hipotesis dengan teknik analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara identitas sosial dengan

Hasil menunjukkan bahwa galur IPB 161-F-6-1-1 merupakan galur terbaik dibandingkan galur-galur lainnya, dan menunjukkan sifat-sifat penting padi tipe baru antara

Persimpangan tak bersinyal dan jalan masuk pada jalan raya dengan lalulintas cepat adalah keadaan dimana lalulintas lain menggunakan sebagian kapasitas yang

memperkaya pengetahuan politik mereka dalam menghadapi pengalaman pertama mereka untuk ikut berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019. Apatah

Dan komunikasi antarpribadi dalam keluarga yang terjalin secara terus menerus, maka dapat terlihat bahwa pola komunikasi yang terbentuk adalah pola komunikasi kelengkapan,

Biasanya 6 bulan sampai setahun sebelum hari H sudah melakukan persiapan dari melakukan perencanaan, membuat konsep acara, dana dan lain-lain termasuk diantaranya adalah