• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Revitalisasi Peran Kelembagaan Panglima Laôt Dalam Pengembangan Masyarakat Nelayan (Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tugas akhir ini.

Bogor, 25 Februari 2008

A. J U F R I

ABSTRACT

A. JUFRI. Revitalization of the Role of Panglima Laôt Institution in Fishermen Community Development. Under the Guidance of SAID RUSLI and NINUK PURNANINGSIH

For the most of households in Gampong fishermen Telaga Tujuh community, catching fish in the sea have been their main source of income. In line with this, there has existed a number of traditional norms which must be obeyed by the member of fishermen community. To preserve their tradition, an institution which is called Panglima Laôt was institution nalized. Panglima Laôt acts as the head of adat in the community of Gampong Telaga Tujuh.

Objectives of this have been to examine the role of Panglima Laôt institution in social mapping and existing institutional arrangements, to evaluate community development programs related to the revitalization of the roles of Panglima Laôt institution and the role of Panglima Laôt institution in the fishermen community.

The study results show of Panglima Laôt plays a significant role in guiding the community Gampong Telaga Tujuh. Therefore, Panglima Laôt institution is an important key to develop fishermen community in Gampong Telaga Tujuh, along the coastal area of Aceh. The activities to develop fish processing group arranged by Rehabilitation and Reconstruction Body Program of NAD-Nias, in Gampong Telaga Tujuh did not work well because the programs were top-down in nature. The involvement of Panglima Laôt institution only in the inplemenlation. In the meantime, the activity of Panglima Laôt institution in buying and selling traditional fishermen’s catch has been very effective in helping the traditional fishermen so that they can save time and money compared to if they have to go the fishing market at Langsa Town.

Based on the problem identification, it can be concluded that the main problem is related to the role of Panglima Laôt institution. Through Focus Group Discussion (FGD), the formulation of programs is conducted in a participative manner involving the elements of Panglima Laôt, Panglima Laôt Secretary, Pawang Laôt, the government (Marine and Fishery Agency), and community and fishermen figures. From the activity, action program related to the role of Panglima Laôt institution in Gampong Telaga Tujuh can be made with the aim of revitalizing Panglima Laôt role and developing Panglima Laôt personnel.

`

Keywords: Revitalization, Panglima Laôt Institution, and Fishermen Community.

RINGKASAN

A.JUFRI, Revitalisasi Peran Kelembagaan Panglima Laôt Dalam Pengembangan Masyarakat Nelayan. Di bawah bimbingan SAID RUSLI dan NINUK PURNANINGSIH.

Kelembagaan Panglima Laôt sebagai lembaga adat di masyarakat wilayah pesisir Aceh yang telah ada mulai dari masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1637), masa penjajahan kolonial Belanda (1904-1942). Setelah indonesia merdeka perhatian pemerintah terhadap lembaga Panglima Laôt terabaikan. Sehingga macam-macam peran Panglima Laôt tidak berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun demikian, keberadaan lembaga Panglima Laôt tetap terpelihara dalam masyarakat pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun program pengembangan peran Panglima Laôt di kalangan masyarakat nelayan.

Dalam pengumpulan data pengkaji menggunakan metode triangulasi. Metode triangulasi adalah tehnik pengumpulan data dengan memadukan berbagai tehnik-tehnik metode pengumpulan data. Dalam penelitian ini digunakan kegiatan diskusi kelompok, observasi dan wawancara. Untuk memperoleh data, baik berupa data primer maupun data sekunder, dilakukan dengan menggunakan tehnik; wawancara, observasi langsung, FGD, FRA, dan studi dokumentasi. Pengkaji menggunakan metode Participatory Rural Apparisal (PRA) untuk penyusunan program kegiatan. Metode ini dipakai oleh pengkaji guna menganalisis masalah, potensi, kebutuhan, situasi dan kondisi sosial yang ada di masyarakat Gampong Telaga Tujuh yang dominan penduduknya bermata pencaharian nelayan. Pengkaji juga secara bersama-sama mencari pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat nelayan. Disini pengkaji bertindak sebagai fasilitator program, sehingga peran dan tanggung jawabnya seperti mengumpulkan data, memfasilitasi diskusi kelompok maupun kegiatan lain dalam rangka bersama-sama menyusun program yang tepat.

Gampong Telaga Tujuh (Pusong) berada di wilayah Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang beriklim tropis memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, dengan luas wilayah 600 hektar pada ketinggian dua meter diatas permukaan air laut. Penduduk Gampong Telaga Tujuh berjumlah 2.883 jiwa, laki-laki berjumlah 1.497 (51.93%) perempuan berjumlah 1.386 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 583 KK. Kepala keluarga yang tergolong katagori miskin di Gampong Telega Tujuh berjumlah 508 KK (86,62%), dan tergolong katagori sejahtera 78 KK (13,38%). Mata pencaharian penduduk Gampong Telaga Tujuh yang lebih dominan yaitu; sektor nelayan yang berjumlah 1.783 jiwa (90.0%), dan urutan selanjutnya pedagang berjumlah 152 jiwa (7.7%), sedangkan petani tambak yang mata pencaharian urutan ketiga sebagian telah mengalihkan profesi sebagai nelayan usaha budidaya udang/ikan sering gagal panen.

Dalam kehidupan masyarakat nelayan Gampong Telaga Tujuh mempunyai kelembagaan yang sangat berperan dimasyarakat nelayan adalah kelembagaan Panglima Laôt. Panglima Laôt merupakan kelembagaan adat dan karena berfungsi sebagai ketua adat bagi kehidupan nelayan di Gampong Telaga Tujuh, serta unsur penghubung pemerintah dan rakyat (nelayan) di tepi laut guna mengsuseskan program pembangunan perikanan dan program pemerintah lainnya, yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat yang bermukim di pesisir. Panglima Laôt adalah pemimpin nelayan yang secara hukum adat laut bertugas mengkoordinasi satu atau lebih wilayah operasional nelayan, dan minimal satu pemukiman nelayan. Dengan demikian tugas dan tanggung jawab

Panglima Laôt di antaranya mengawasi dan memelihara pelaksana hukum adat laut, menyelesaikan berbagai pertikaian sehubungan dengan penangkapan ikan dan menyelenggarakan upacara-upacara adat laut, dan lainnya.

Kegiatan pengembangan kelompok Usaha Pengolahan Ikan (UPI) dari program Badan Rehabilitasi dan Rekontuksi (BRR) NAD-Nias di Gampong Telaga Tujuh tidak dapat berjalan, disebabkan kegiatan yang dilaksanakan oleh BRR secara top down bukan bottom up. Keterlibatan kelembagaan Panglima Laôt bukan pada awal kegiatan tetapi kegiatan telah dilaksanakan. Sedangkan Kegiatan dilaksanakan oleh kelembagaan Panglima Laôt yaitu jual beli hasil tangkapan nelayan tradisional sangat tepat sasarannya, karena dapat membantu nelayan tradisional dalam menjual hasil tangkapan sehingga biaya untuk pengeluaran transportasi ke pasar ikan Kota Langsa tidak perlu dikeluarkan lagi.

Peran Panglima Laôt dapat digiatkan kembali setelah adanya perdamaian RI dengan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15 Agustus 2005. Sehingga macam-macam peran kelembagaan Panglima Laôt di Gampong Telaga Tujuh dapat berjalan yaitu: Satu, peran Panglima Laôt memelihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan hukum adat dan istiadat. peran ini, tidak menjadi problema karena masyarakat nelayan pada umumnya mentaati ketentuan-ketentuan adat/hukum adat sebagai suatu kewajiban. Masyarakat nelayan Aceh pada umumnya menghormati dan mentaati hukum adat, menghormati hukum adat berarti demi kepentingan diri sendiri. Kedua, Peran Panglima Laôt mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan di laut. Hal ini bukan berarti Panglimat Laôt harus melaut setiap hari. Bila ada hal yang terjadi dalam usaha penangkapan ikan dilaut seperti nelayan menggunakan alat tangkap trawl, maka nelayan tersebut akan melaporkan kepada Panglimat Laôt. Laporan nelayan tersebut akan ditindak lanjut oleh Panglima Laôt kepihak keamanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan untuk diambil tindakan/sanksi adat dan hukum Negara.

Ketiga, peran Panglima Laôt menyelesaikan perselisihan/sengketaan yang terjadi di antara sesama anggota nelayan atau kelompoknya. Sengketa yang sering terjadi di nelayan Gampong Telaga Tujuh yaitu sengketa dalam usaha penangkapan ikan dilaut, terutama dalam merebut fishing ground di laut. Untuk menyelesaikan perkara perselisihan dalam hukôm adat laôt. Keempat, peran Panglima Laôt memutuskan dan menyelenggarakan upacara adat laôt. Melaksanakan upacara adat laôt seperti khanduri laôt sebelumnya di adakan musyawarah oleh lembaga Panglima Laôt bersama tokoh masyarakat, aparat gampong, dan seluruh masyarakat nelayan di Gampong Telaga Tujuh. Upacara khanduri laôt dipimpin oleh Panglima Laôt setempat.

Kelima, peran Panglima Laôt menjaga/mengawasi agar pohon-pohon ditepi pantai jangan ditebang. Dalam peran ini, Panglima Laôt tidak dapat berbuat banyak untuk menjegah masyarakat nelayan disebabkan oleh faktor ekonomi nelayan yang tidak setabil dalam usaha penangkapan ikan di laut. Pohon mangrove yang ditebang oleh masyarakat nelayan di Gampong Telaga Tujuh di pergunakan untuk membuat rumah atau merehab rumah. Keenam, peran Panglima Laôt merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan Pawang Laôt dengan Pawang Laôt lainnya. Peran ini, guna untuk pengembangan sumberdaya masyarakat nelayan. Hubungan tersebut, dari tingkat aparat gampong hingga Pemerintah Kota Langsa. Panglima Laôt menjadi sebagai mitra Kepala Gampong, seperti dalam pembuatan surat izin berlayar, surat izin penangkapan ikan, dan lain-lainnya. Panglima Laôt juga penghubung antara Pawang Laôt dengan Pawang Laôt lainnya seperti, informasi tetang daerah penangkapan ikan (fishing ground) dilaut.

Lembaga pelaksana peran Panglima Laôt adalah Pawang pukat, pawang jhareng, pawang kawe di Gampong Telaga Tujuh secara tidak langsung dalam

melaksanakan kegiatan di laut merupakan sebagai perpanjangan peran Panglima Laôt. Peran Panglima Laôt yang dijalankan oleh ketiga pawang tersebut di antaranya; satu, mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan di laut, seperti kapal ikan yang melakukan usaha penangkapan ikan di laut menggunakan alat tangkap trawl (melanggar Pasal 8 Keppres 39 Tahun 1980) yang merusak ekosisteam dan menghilangkan regenerasi ikan untuk selanjutnya. Hal ini bila diketemukan diperairan Aceh oleh Pawang Laôt akan melaporkan atau menginformasikan segera ke Panglima Laôt.

Identifikasi masalah dan penyebab yaitu; satu, Dalam mengkordinir setiap usaha penangkapan ikan oleh nelayan, Panglima Laôt tidak dapat turun langsung ke daerah penangkapan ikan dilaut karena kelembagaan Panglima Laôt tidak mempunyai armada kapal untuk operasional di laut. Dua, kondisi kepengurusan Panglima Laôt seperti proses pergantian seseorang, baik Panglima Laôt atau Sekretaris Panglima Laôt berlangsung sering terjadi. Beberapa calon Panglima Laôt atau Sekretaris Panglima Laôt, bahkan ada yang dipaksakan meskipun tidak sesuai dengan syarat adat yang telah ditentukan. Penyebabnya adalah karena ada harapan bahwa lembaga Panglima Laôt akan mendapat dana sangat besar pascatsunami, padahal dalam kenyataan tidak ada. Yang ada adalah kegiatan peran Panglima Laôt mulai tidak ada ancaman lagi.Tiga, merupakan permasalahan utama kelembagaan Panglima Laôt adalah kualitas sumberdaya manusia Panglima Laôt yang rata-rata rendah.

Alternatif pemecahan masalah diantaranya; satu, untuk melaksanakan peran Panglima Laôt dalam mengkoordinir usaha penangkapan ikan diperairan laut Pemerintah Kota Langsa. Panglima Laôt Gampong Telaga Tujuh perlu meningkatkan kerjasama dengan Polisi air (Airut), Syahbandar, Pawang Laôt dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Kedua, menguatkan revitalisasi peran Panglima Laôt dalam mengawasi hukum adat laut. Ketiga, penguatan hubungan kelembagaan Panglima Laôt ini merupakan proses dalam pembangunan masyarakat nelayan di wilayah pesisir dan perlu adanya; mempromosikan program pembangunan yang berbasis pada masalah riil yang dihadapi masyarakat nelayan, memastikan akuntabilitas pelaksanaan program, menguatkan kapasitas Lembaga Otonom agar mampu menjadi lembaga yang dipercaya (credible), dapat dipertanggung jawabkan (accountable) dan berpegang teguh kepada tatanan adat. Keempat, peningkatkan SDM lembaga Panglima Laôt seperti; pelatihan keterampilan untuk meningkatkan pengetahuan pengenalan Alat teknologi yang modern dalam kegiatan kenelayanan, pelatihan peningkatan manajemen kelembagaan Panglima Laôt, pelatihan pengembangan jaringan kemitraan Panglima Laôt, pelatihan sistem monitoring dan evaluasi.

Untuk pengembangan peran kelembagaan Panglima Laôt di susun program aksi dalam bentuk; pertama, program revitalisasi peran Panglima Laôt yaitu;menguatkan peran kelembagaan dalam hal manajemen institusi, kapasitas SDM. Mengsosialisasikan peran Panglima Laôt kepada masyarakat, khususnya nelayan dan genearsi muda tentang peraturan-peraturan dalam menegakkan dan memelihara hukôm adat laôt di wilayah pesisir. Kedua, peningkatan SDM Panglima Laôt yaitu; Pelatihan alat teknologi penangkapan, penanganan, dan pengolahan ikan. Di samping itu, diberikan modal untuk kegiatan usaha nelayan

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulisan dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota

Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

A. J U F R I

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

Nama Mahasiswa : A. J U F R I Nomor Pokok : I 354060285

Disetujui Komisi Pembimbing

Ir. Said Rusli, MA

K e t u a Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS

Penulis, dilahirkan di Idi Kabupaten Aceh Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 16 Agustus 1971. Kedua orang tua merupakan suku Aceh, orang tua laki-laki bernama Usman M, dan ibu bernama Nazariah binti Abubakar Patha (almarhum). Penulis sendiri merupakan putra ke tiga diri tujuh bersaudara.

Pada Tahun 1991, Penulis menamatkan SMA Ranto Perlak. Melanjutkan Perguruan Tinggi pada Universitas Abulyatama Aceh Tahun 1993, mengambil jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Agustus 2006 diterima pada Sekolah Pascasarjana Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB).

Riwayat pekerjaan di Pemerintahan, menjadi CPNSD tahun 2002 ditempatkan pada Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Peternakan dan Perikanan dan Kelautan Pemerintah Kota Langsa, kemudian Maret 2006 mendapat kepercayaan menjadi Pendamping BRR NAD-NIAS Kota Langsa. Sehubungan dengan panggilan IPB, penulis menyatakan mengundurkan diri dari jabatan tersebut pada awal Agustus 2006 dan memperoleh Tugas Belajar pada Agustus 2006.

Bogor, 25 Februari 2008 A. J U F R I

Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan berkat dan rahmat-Nya penulisan tugas akhir kajian pengembangan masyarakat (KPM) sebagai persyaratan menyelesaikan studi pada Progam Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), dapat penulis selesaikan tepat waktunya. Judul KPM ini adalah Revitalisasi Peran Kelembagaan Panglima Laôt dalam Pengembangan Masyarakat Nelayan (Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).

Penyusunan tugas akhir ini tidak akan terlaksana jika penulis lakukan sendiri, tetapi justru berkat bantuan semua pihak sehingga telah memudahkan pengumpulan data sampai kepenulisan. Sehubungan dengan dukungan dan jasa dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimaksih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Ir. Said Rusli, MA, selaku Ketua Komisi Pembimbing.

2. Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si, selaku Anggota Komisi Pembimbing.

3. Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS, selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

4. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, selaku Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB).

5. Dr. Endriatmo Soetarto, Selaku Penguji Luar Komisi Pembimbing.

6. Ibu Dra. Neni Kusumawardhani, MS, Selaku Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung.

7. Pemerintah Kota Langsa yang memberi Tugas Belajar dan bantuan lainnya. 8. Seluruh staf pengajar dan Sekretariat dengan pelayanan administrasi. 9. Pihak keluarga yang memberi dorongan moril.

10. Warga masyarakat nelayan Gampong Telaga Tujuh dengan partisipasinya. 11. Kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dalam riset.

Penulis sangat menyadari bahwa penyajian kajian ini masih banyak kekurangan. Guna menyempurnakannya, tentu memerlukan munculnya koreksi dan saran konstruktif dari pihak penelaah. Kritikan tersebut penulis harapkan secara lisan maupun tulisan, sehingga karya ilmiah akhir akan lebih sempurna dan bermanfaat bagi masyarakat nelayan di wilayah pesisir.

Bogor, 25 Februari 2008

Halaman DAFTAR TABEL ... vi DAFTAR GAMBAR ... vii DAFTAR LAMPIRAN ... viii P E N D A H U L U A N ... 1

Latar Belakang ... 1 Rumusan masalah ... 6 Tujuan Kajian ... 6 Kegunaan Kajian ... 7 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Masyarakat Nelayan Wilayah Pessir ... 8 Pengorganisasian ... 13

Kelembagaan dalam Masyarakat Nelayan ... 15 Peran Kelembagaan Panglima Laot dalam Masyarakat Nelayan ... 17 Kerangka Pemikiran ... 19

METODE KAJIAN

Proses dan Metode Kajian ... 23 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 24 Metode Penyusunan Program ... 30

PETA SOSIAL KOMUNITAS

Data Geografis, Demografis, dan Kondisi Masyarakat ... 32 Komposisi Penduduk ... 34 Mata Pencaharian Penduduk ... 37 Kehidupan Rumah Tangga Nelayan ... 38 Struktur Komunitas ... 39 Kelembagaan dan Organisasi ... 42 Sumberdaya Lokal ... 45 EVALUASI KEGIATAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Deskripsi Program Pengembangan Kelompok Usaha

Masyarakat Nelayan ... 52 ANALISIS KEGIATAN PANGLIMA LAÔT DALAM PENGEMBANGAN

MASYARAKAT NELAYAN

Macam-Macam Peran Kelembagaan Panglima Laôt ... 55 Lembaga Pelaksana Peran Panglima Laôt ... 64 Performa Kelembagaan Panglima Laôt ... 65

Hubungan dengan Masyarakat Nelayan ... 70 Dukungan Stakeholders ... 71 STRATEGI PROGRAM REVITALISASI PERAN PANGLIMA LAÔT

Proses Penyusunan Rencana Program ... 73 Identifikasi Masalah dan Penyebab ... 74 Alternatif Pemecahan Masalah ... 80 Program Aksi ... 91 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 97 DAFTAR PUSTAKA ... 100 LAMPIRAN ...102

Halaman 1 Jadwal Pelaksanaan Kajian Lapangan Tahun 2007... 24 2 Kelengkapan Metode ... 28 3 Jarak dan Waktu Ditempuh dari Gampong Telaga Tujuh ke Ibukota ... 33 4 Komposisi Penduduk Gampong Telaga Tujuh Berdasarkan Kelompok

Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2007 ... 35 5 Komposisi Penduduk Gampong Telaga Tujuh Menurut Jenis

Mata Pencarian Tahun 2007 ... 38 6 Jalur Penangkapan Ikan ... 56 7 Nomenklatur Pedoman Keuneunong (Musim) Wilayah Aceh

Tahun 1893 Masehi (1310 – 11 Hijriah) ... 76 8 Peran Panglima Laôt Sebelum Revitalisasi dan Sesudah Revitalisasi

di Gampong Telaga Tujuh ... 84 9 Indentifikasi Masalah, Penyebab, Potensi Masalah, dan Alternatif

Masalah Peran Kelembagaan Panglima Laôt dalam Pengembangan

Masyarakat Nelayan di Gampong Telaga Tujuh ... 90 10 Program Aksi Kelembagaan Panglima Laôt dalam Pengembangan

Halaman 1 Bagan Kerangka Pikiran Kajian ... 22 2 Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur Kota Langsa ... 33 3 Kapal Transportasi ke Gampong Telaga Tujuh Kecamatan

Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa ... 34 4 Piramida Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis

Kelamin GampongTelaga Tujuh ... 36 5 Piramida Pelapisan Sosial Penduduk Gampong Telaga Tujuh ... 41 6 Pola Hubungan Jejaring Panglima Laôt Gampong Telaga Tujuh

Kecamatan Langsa Timur Pemerintah Kota Langsa ... 45 7

7 SSttuurruukkttuurrOOrrggaanniissaassiiUUssaahhaaPPeellaayyaannaannPPeennggeemmbbaannggaann((UUPPPP)) “

“DDaammaaii SSeejjaahhtteerraa””TTiinnggkkaattKKeeccaammaattaannLLaannggssaaTTiimmuurr ... 5500 8

8 Struktur Kepengurusan Kelembagaan Panglima Laôt... 7766 9 Penguatan Hubungan Kelembagaan Panglima Laôt ... 86

Halaman

1 Peta Kota Langsa ... 102 2 Hukum Adat Laôt dalam Tata Cara Penangkapan Ikan dan Sanksi Adat

di Wilayah Perairan Laut Aceh di Seluruh Daerah Tingkat II dalam

Provinsi Aceh ... 103 3 Kuesioner Nelayan Gampong Telaga Tujuh Kecamatan Langsa Timur

Pemerintah Kota Langsa ... 111 4 Pedoman Wawancara Panglima Laôt ... 113 5 Pedoman Wawancara SekretarisPanglima Laôt ... ... 115 6 Pedoman Wawancara Tokoh Masyarakat/Aparat Gampong ... 117 7 Pedoman WawancaraUnsur Dinas Terkait ... 119 8 Pedoman FGD ... 121 9 Dokumentasi Kegiatan Penelitian ... ... 122

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Aceh dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai daerah modal bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Aceh juga sebagai provinsi yang kaya sumberdaya alam, namun mengalami ketertinggalan dalam pembangunan. Ketertinggalan Aceh disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang sentralistik pada masa lalu. Kebijakan itu mengakibatkan konflik yang berkepanjangan1. Konflik yang terjadi antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Indonesia telah berlangsung selama hampir 30 Tahun sejak Tahun 1976 sampai dengan Tahun 2005.

Berlarutnya konflik di Aceh, telah mengakibatkan timbulnya kerugian jiwa dan harta benda tidak sedikit. Lebih dari itu adat istiadat, instabilitas di berbagai aspek kehidupan begitu berpengaruh terhadap rasa aman masyarakat dan menghambat upaya pembangunan, dan menghambatnya peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh.

Tanggal 26 Desember 2004, penderitaan rakyat Aceh bertambah dengan terjadi bencana gempa bumi yang disusul oleh gelombang tsunami. Hal ini, telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh. Begitu pula telah menumbuhkan kesadaran yang kuat dari Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka untuk menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelajutan, serta bermartabat yang permanen dalam Kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia.

Kemudian tanggal 15 Agustus 2005, dilakukan penandatangan perjanjian nota kesepahaman “Memorandum of Understanding Between The Government of The Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement”, (Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka), di Helsinki, Finlandia. Hal ini menandakan era baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakat Aceh menuju keadaan yang damai,

1

Dalam hal nama, Aceh pernah ditebalkan dengan gelar “daerah modal” atas sukacita Sukarno Presiden ketika Aceh menyumbang pesawat, senjata dan pejuang untuk Kemerdekaan Republik Indonesia. Sayangnya, sebagai pemodal atau pemegang saham, Aceh belum menikmati saham itu secara adil. Malah rakyat Aceh jatuh ke lembah nestapa yang berkepanjangan (Syarif Tahun 2001).

adil, makmur, sejahtera, dan martabat. Patut dipahami bahwa nota kesepahaman yang terwujud adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi dan politik di Aceh secara berkelanjutan

Dokumen terkait