• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masyarakat Nelayan Wilayah Pesisir

Definisi wilayah pesisir di Indonesia masih belum jelas. Namun kalau kita mengacu pada definisi internasional, wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke darat mengcakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (Budiharsono, 2001).

Wilayah pesisir dan lautan dari konsep wilayah bisa termasuk dalam empat jenis wilayah. Pertama, sebagai wilayah homogen yaitu; merupakan wilayah pesisir yang memproduksikan ikan, namun bisa juga dikatakan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan penduduk yang tergolong dibawah garis kemiskinan. Kedua, sebagai wilayah nodal yaitu; wilayah pesisir seringkali sebagai wilayah pesisir belakang, sedangkan daerah perkotaan sebagai intinya. Bahkan seringkali wilayah pesisir dianggap sebagai halaman belakang (backyard), yang merupakan tempat membuang segala macam limbah. Sebagai wilayah belakang, wilayah pesisir sebagai input (pasar input) bagi inti, dan merupakan pasar bagi barang-barang jadi (output) dari inti. Ketiga, sebagai wilayah administrasi yaitu; wilayah pesisir dapat merupakan wilayah administrasi yang relatif kecil seperti kecamatan atau gampong, namun juga dapat berupa Kabupaten/Kota, pada Kabupaten/Kota yang merupakan pulau kecil. Keempat, sebagai wilayah perencanaan yaitu; batas wilayah pesisir lebih ditentukan dengan kriteria ekologi. Karena menggunakan batasan kriteria ekologi tersebut, maka batas wilayah pesisir sering melewati batas-batas satuan wiayah admistratif (Budiharsono, 2001).

Nelayan adalah orang yang mata pencaharian utamannya dari usaha menangkap ikan di laut. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung seperti para penebar dan perakit jaring, dan secara tidak langsung seperti juru mudi perahu layar, nakhoda kapal ikan bermotor, marsinis kapal, koki kapal penangkapan ikan sebagai mata pencaharian. Nelayan harus melengkapi dirinya tentang pengetahuan mengenai ciri-ciri dan cara hidup dari berbagai jenis ikan, nelayan harus mempunyai suatu Pengetahuan yang lebih teliti mengenai sifat-sifat laut, angin, arus, dan mengenai

bintang-bintang di langit untuk menjadi pedoman dalam mengemudikan perahu/kapal (Koentjaningrat, 1974). Pengetahuan nelayan tentang alam lingkungan, sebenarnya ada ciri kesamaan bagi nelayan tentang alam lingkungan, sebenarnya ada ciri kesamaan bagi nelayan Indonesia pada khususnya dan nelayan Asia Tenggara pada umumnya. Kesamaan itu sebagai berikut :

“Para nelayan sering menggunakan metode-metode ilmu gaib untuk menambahkan metode-metode teknologi yang nyata. Hal ini malahan mendapat kesan bahwa suku-suku bangsa nelayan secara lebih intensif mempergunakan metode ilmu gaib dalam ilmu dukun, bila dibandingkan dengan suku-suku bangsa yang hidup dari berburu. Hal ini mungkin karena mencari ikan itu rupanya merupakan suatu mata pencaharian hidup yang pada dasarnya mengandung lebih banyak bahaya dan resiko dari pada berburu, atau mata pencaharian hidup lain seperti bercocok tanam dan beternak “ (Koentjaningrat, 1974).

Dalam himpunan masyarakat memiliki tingkatan lapisan sosial tersendiri. Tingkatan sosial itu juga ditemukan dalam masyarakat nelayan yang umumnya kelompok masyarakat ini adalah nelayan. Kusnadi (2002), menggambarkan bahwa penggolongan tingkatan sosial dalam masyarakat nelayan ini dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan penangkapan, seperti perahu, jaring, dan perlengkapan lainnya. Secara struktural, masyarakat nelayan ini dapat dibagi dua katagori, yaitu nelayan pemiliki alat produksi dan nelayan buruh. Nelayan buruh ini adalah masyarakat nelayan golongan bawah yang tidak memiliki alat-alat produksi, mereka hanya golongan masyarakat yang menyumbang jasa dan tenaganya dengan memperoleh hak yang sangat terbatas. Mereka indentik dengan buruh tani dalam masyarakat pertanian (agraris). Secara kuantitatif, dalam sebuah gampong nelayan di Aceh jumlah nelayan buruh lebih besar dibandingkan dengan nelayan golongan menengah ke atas yang memiliki alat-alat produksi penangkapan.

Kedua, penggolongan masyarakat nelayan berdasarkan tingkat investasi modal. Berdasarkan tingkat investasi modal nelayan dibagi dalam dua golongan, yaitu nelayan besar dan nelayan kecil. Dikatakan nelayan besar karena modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan itu relatif lebih banyak dibandingkan dengan nelayan kecil yang hanya menjual jasa dan tenaga kepada nelayan yang bermodal besar dengan memperoleh upah harian, mingguan, atau secara bulanan.

Kemudian dari sudut pandang ketiga, penggolongan tingkatan sosial dalam masyarakat nelayan, ini juga terjadi akibat pengaruh teknologi yang membentuk masyarakat nelayan modern dan masyarakat nelayan tradisional. Disebut nelayan modern karena mereka menggunkan alat penangkapan teknologi canggih dibandingkan masyarakat tradisional yang menggunakan alat penangkapan secara alamiah. Secara kuantitatif, jumlah nelayan modern memang relatif lebih kecil dibandingkan nelayan tradisional. Namun dalam kedudukan sosialnya pengaruh nelayan modern atau nelayan besar (pemilik modal) ini jauh lebih besar terhadap nelayan tradisional atau nelayan kecil.

Perbedaan-perbedaan tingkatan itu dalam masyarakat nelayan tidak hanya mengimplikasikan pada tingkatan pendapatan dan kemampuan atau kesejahteraan sosial-ekonomi meraka masing-masing, tapi dengan tingkatan itu meski mereka tergolong dalam suatu himpunan masyarakat nelayanlingkungan budaya geografis yang sama menggunakan sumberdaya laut untuk mencapai kebutuhan hidupnya namun mereka memiliki orientasi usaha dan perilaku yang berbeda-beda (Kusnadi, 2002).

- Kondisi Ekonomi dan Pendidikan

Keadaan sosial-ekonomi yang rendah memang sudah menjadi ciri umum kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Tingkat pendapatan mereka kalau dikalkulasikan hanya sedikit diatas petani kecil. Bahkan menurut Winahyu dan Santiasih dalam Mubyarto “Dua Puluh Tahun Penelitian Gampongan” seperti kutipan Kusnadi (2002), tingkatan kemiskinan masyarakat nelayan jika dibandingkan secara seksama dengan kelompok masyarakat disektor pertanian, maka masyarakat nelayan khususnya buruh dan nelayan kecil atau nelayan tradisional, mereka dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin kondisi ekonominya.

Secara fisik kondisi kemiskinan ini dapat dilihat dari gambaran umum tempat tinggal nelayan. Kampung-kampung nelayan akan sangat mudah diidentifikasikan sebagai perkampungan yang kumuh. Mereka hanya menempati rumah-rumah yang sangat sederhana dengan keterbatasan berbagai alat perabotan rumah tangga. Namun bukan berarti masyarakat di wilayah pesisir ini tidak ada yang menikmati kemewahan. Kemewahan dalam golongan masyarakat nelayan hanya dinikmati oleh segelintir orang yang

memanfaatkan jasa-jasa nelayan. Mereka adalah kelompok pemilik perahu/motor bot dan pemilik modal yang memberikan pekerjaan kepada nelayan, dan memegang kendali atas pekerjaan tersebut. Mereka ini sering disebut dengan istilah toke atau Agen. Merekalah yang lebih banyak menikmati keuntungan dari hasil kerja nelayan. Mereka dapat hidup dengan mewah dari hasil keringat nelayan, sementara nelayannya tetap berkubang dengan kemiskinan.

Masalah pendidikan masyarakat nelayan juga merupakan masalah tersendiri yang harus mendapatkan perhatian khusus. Dalam realitas nelayan di Indonesia ini masih banyak anak nelayan usia sekolah yang putus sekolah. Akibat ketidakberdayaan ekonomi orang tuanya, mereka harus meninggalkan bangku sekolah untuk mengikuti jejak orang tuannya menjadi nelayan. Lebih- lebih ketika musim paceklik datang, yaitu musim ketika nelayan tidak bisa turun kelaut. Pada musim ini tidak ada penghasilan yang dapat diandalkan untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, selain menguras tabungan bagi yang mempunyai tabungan.

Lain halnya dengan masyarakat yang hidup disektor pertanian. Umumnya, para petani memiliki pekerjaan sambilan yang menjadi sumber pengahasilan pengganti ketika musim paceklik tiba. Untuk mengisi waktu luang kerja setelah musim tanam tiba, keluarga petani biasanya melakukan pekerjaan lain, seperti beternak, membuat barang-barang kerajinan atau melakukan pekerjaan lainnya yang bersifat non pertanian. Dari hasil usaha itu petani dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Sedangkan bagi nelayan, terutama buruh nelayan tidak demikian. Sebagai contoh kasus kehidupan nelayan nelayan di Aceh, umumnya hanya semata-mata bekerja mencari ikan di laut. Bila musim Barat (musim tidak dapat melaut) merupakan masa-masa krisis bagi nelayan diwilayah Aceh khususnya Kabupaten Aceh Selatan. Sambil menunggu datangnya musim ikan kembali, mereka hanya membetulkan alat-alat tangkap ikan yang rusak dan mencari ikan yang terdekat dengan pantai untuk konsumsi keluarganya. Cara lain digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari selama musim paceklik adalah meminjam uang kepada toke/pemilik boat yang akan dibayar pada saat mereka melaut pada musim Timur nantinya.

Dalam kondisi ekonomi seperti itu, maka masalah pendidikan bagi masyarakat nelayan ini menjadi suatu kebutuhan yang amat berat mereka penuhi. Ketidak mampuan itu dapat dilihat dari pada contoh kasus keadaan perekonomian masyarakat nelayan sebagaimana yang telah diuraikan diatas tadi. Kesulitan ekonomi telah menyebabkan masalah pendidikan menjadi sesuatu yang terabaikan dalam kehidupan masyarakat nelayan, pendidikan bagi mereka bukanlah kebutuhan utama.

- Ketidak Berpihakan Kebijakan Publik.

Masalah yang masih krusial yang dihadapi komunitas nelayan Indonesia, terutama nelayan-nelayan kecil masih menggunakan peralatan tangkap tradisional. Banyak faktor yang membuat nelayan menjadi komunitas yang lemah dan serba kekurangan dibandingkan masyarakat yang hidup diwilayah pedalaman agraris (pertanian) dan perkotaan. Di antara faktor yang signifikan terhadap ketidak berdayaan masyarakat nelayan adalah sistem budaya yang dibangun dalam kebijakan pembangunan, tidak menghargai komunitas masyarakat nelayan. Sehingga komunitas nelayan menjadi komunitas yang secara kultural dipandang sangat rendah dalam segala aspek sosial. Dari sudut pandang ekonomi, pendidikan, hukum, dan politik, mereka dianggap sebagai komunitas masyarakat yang tidak memiliki kemampuan terhadap semua itu. Pandangan tersebut secara kultural telah menjadi opini publik. (Hasibuan, dkk, 2003)

Ketidak berpihakan publik terhadap masyarakat nelayan ini dapat dilihat dari kurangnya perhatian dan kepedulian yang diberikan kepada mereka selama ini, terutama pemerintah. Lemahnya keberpihakan kebijakan pembangunan terhadap sumber daya laut juga telah mengakibatkan rendahnya kepedulian publik untuk ikut serta menjaga kelestarian hayati yang terkandung di dalamnya. Malah yang terjadi adalah penekanan-penekanan terhadap komunitas nelayan dengan pengoperasian peralatan tangkap modern (pukat harimau) yang jelas-jelas melanggar hukum, tidak hanya hukum adat tetapi juga hukum negara. Penggunaan alat tangkap yang merusak terus berlangsung dan mendapatkan perlindungan dari oknum-oknum aparat keamanan dengan menakut-nakuti para nelayan tradisional.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketidak berpihakan publik terhadap masyarakat pesisir, yang mayoritas warganya berprofesi sebagai

nelayan, selain disebabkan kesalahan kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi kedaratan selama puluhan Tahun belakang ini, juga ada pengaruhnya dengan pandangan publik secara kultural bahwa komunitas masyarakat nelayan yang mendiami wilayah pesisir adalah komunitas masyarakat yang memiliki kekurangan dalam segala hal dibandingkan dengan masyarakat yang mendiami wilayah perkotaan dan pedalaman yang menurut pandangan publik agak lebih maju dalam berbagai bentuk intraksi sosial dan budayanya.

Pengorganisasian

Organisasi komunitas merupakan perkumpulan orang dalam masyarakat yang mengelola kegiatan tertentu. Unsur ini merupakan wadah dimana unsur- unsur komunitas lainnya mengalami modifikasi atau menjadi lebih dinamis (Kolopaking dan Tonny, 2006)

Kemampuan organisasi komunitas terletak pada solidaritas yang tinggi diantara anggota. Menurut Karter (1983) dalam Kolopaking dan Tonny, 2006, organisasi informal sebagai pusat kehidupan politik organisasi, hubungan berkelanjutan antar orang dibangun atas dasar persahabatan dan royalitas. Jaringan antar anggota memperhatikan bagaimana lingkungan dalam organisasi dikonstruksikan. Ini berarti bahwa perhatian lebih banyak tertuju pada segi-segi normatif dan budaya dari lingkungan seperti sistem kepercayaan, hak profesi, dan sumber-sumber legitimasi. lkatan jaringan antar para anggotanya menjembatani hubungan-hubungan mereka dalam organisasi.

Mendukung pandangan di atas Swedberg (1990) dalam Kolopaking dan Tonny, 2006, menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh anggota jaringan terlekat sebab diekspresikan dalam interaksi dengan orang lain. Cara seseorang terlekat dalam hubungan sosial adalah penting dalam penentuan banyaknya tindakan sosial dan jumlah dari hasil institusional. Misalnya, apa yang terjadi dalam produksi, distribusi dan konsumsi banyak dipengaruhi oleh keterlekatan orang dalam hubungan sosial.

Sedangkan organisasi sosial yang dimaksud berada di Desa/Kelurahan yang memiliki pimpinan, pengurus dan anggota penduduk, berdasarkan rasa pada kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial untuk meningkatkan kualitas

kehidupan dan penghidupan warga Desa/Kelurahan. Selanjutnya menurut Bakke dalam Sutarto, ( 1995) dikatakan bahwa :

“Organisasi sosial adalah suatu sistem yang kontinyu dari aktivitas orang- orang yang berbeda dan terkoordinasikan yang memakai, mengubah, dan memadu bersama-sama suatu perangkat khusus dari orang, barang, modal, pemikiran dan sumber-sumber alam ke dalam suatu ketunggalan, keseluruhan pemecahan masalah yang fungsinya adalah memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia tertentu dalam saling pengaruh dengan berbagai sistem lain dari aktivitas-aktivitas dan sumber-sumber manusia di dalam lingkungan khususnya."

Sehubungan dengan pandangan di atas, maka organisasi sosial merupakan suatu sistem yang berlangsung secara kontinyu dan terkoordinasi dalam mengemban fungsi dan tugas pokoknya perlu ditingkatkan kesadaran akan hak dan kewajibannya dengan pemecahan masalah dapat memuaskan kebutuhan masyarakat berdasarkan aktivitas dan sumber-sumber masyarakat dilingkungan sosialnya. Keberhasilan ORSOS diupayakan untuk bersinergi dalam mengemban fungsi dan peranannya sampai sejauhmana dapat memberdayakan masyarakatnya secara individu keluarga dan masyarakat luas pada umumnya. Berkaitan dengan itu, maka menurut Triguno, (1996), mengatakan bahwa upaya untuk mencapai pengelolaan organisasi yang tingkat optimal, maka bawahan harus secara psikologis terlibat dalam aktiviias partisipasional , artinya dapat memiliki kecerdasan dan kehendak untuk melakukan aktivitas bersifat gotong-royong atau kerjasama mereka akan menjadi lebih kreatif. Untuk itu dalam praktek kepemimpinan (leadership), harus mengakui bahwa orang-orang atau bawahannya memiliki keterampilan dan kemampuan selain apa yang dapat mereka kerjakan dengan tangan. Karena dengan kemampuan untuk berpikir, dapat menciptakan ide-ide baru, memprakarsai prosedur baru serta cara-cara kerja mutakhir dalam pengelolaan organisasi yang optimal.

Organisasi yang dibentuk melalui jalur birokratis yaitu Posyandu dan PKK tidak memiliki legitimasi dalam proses pengumpulan dana komunitas. Hubungan kader dengan partisipan lebih benuansa hubungan instrukif dari pada hubungan sosial timbal balik. Kekurangan dari organisasi ini adalah hanya sebagai simbol dan tidak memiliki arti yang signifikan dalam gerak pembangunan desa. Oleh karena itu organisasi akar rumput sering diabaikan (Kolopaking dan Tonny, 2006).

Kelembagaan dalam Masyarakat Nelayan

Kelembagaan dapat diartikan sebagai pranata ataupun sebagai organisasi. pranata terdiri dari norma-norma atau “rules of games” (aturan main) yang menjadi pedoman bagi warga masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan- kebutuhan tertentu (Soekanto, 1990). Kelembagaan sebagai organisasi tidak hanya mempunyai “rules of games”, tetapi juga mempunyai struktur, partisipan, sarana-prasarana (teknologi) dan tujuan yang ingin dicapai. Peran kelembagaan yang ada harus pula memungkinkan informasi yang diperlukan masyarakat untuk memberdayakan dirinya dapat mudah diperoleh. Sejumlah defenisikan kelembagaan, (Tony, 2006) menyimpulkan dalam empat katagori:

1. Suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas- aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.

2. Suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting

3. Himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat

4. Tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, organisasi, dan sistem sosial lainnya

“institutions, whether organisations or not, are complexes of norms and behaviors that persist over time by serving collectively valued purposed, while organisations, whether institutions or not, are structures of recognized and accepted roles.” (Uphoff, 1993).

Dalam masyarakat nelayan di wilayah pesisir, untuk meningkatkan peran masyarakat dalam perlindungan wilayah dan sumber daya alam, diperlukan kelembagaan sosial untuk mendorong peranan masyarakat secara kolektif. Semangat kolektif akan mendorong upaya pemberdayaan masyarakat untuk melindungi wilayahnya dari kerusakan yang dapat mengancam perekonomian. Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan lembaga sosial diharapkan untuk memperkuat posisi masyarakat dalam menjalankan fungsi manajemen wilayah pesisir dan laut. Selain itu, pengembangan kelembagaan sosial diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kegiatan masyarakat untuk selanjutnya akan berdampak pada jalannya kegiatan ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Pengembangan kelembagaan dapat dilakukan dengan pembentukan embrio lembaga-lembaga sosial di berbagai bidang. Apabila lembaga serupa telah ada sebelumnya, maka lembaga-lembaga tersebut perlu diberdayakan. Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam pengembangan kelembagaan di masyarakat Aceh adalah pengembangan jaringan sosial antara lembaga- lembaga baik dalam lingkungan gampong, antar gampong, maupun antar kecamatan. Selain itu, pemberian peranan yang lebih kepada lembaga-lembaga tersebut dalam proyek-proyek pembangunan akan makin memperkuat kapasitas lembaga-lembaga yang bersangkutan.

Dalam masyarakat Aceh kelembagaan Panglima Laôt merupakan kelembagaan dipesisir yang mengawasi dan memelihara hukum adat laut dan istiadat. Lembaga adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di Aceh adalah: Tuha Peut, Imum Meunasah, Keujruen Blang, Panglima Laôt, Peutua Seuneubok, Haria Peukan, Syahbanda, dan lembaga-lembaga adat yang disebut dengan nama lain, tetapi mempunyai fungsi dan tujuan yang sama dengan lembaga-lembaga adat (Pasal 2 ayat (1) Perda No. 2 Tahun 1990).

Dalam Pasal 5 ayat (2) Perda Nomor 7 Tahun 2000, disebutkan dengan jelas lembaga-lembaga adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, antara lain: Imuem Mukim, Geusyik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Imuem Meunasah, Keujruen Blang, Panglima Laôt, Peutua Seuneubok, Haria peukan.

Lembaga-lembaga itulah yang melaksanakan pembagian tugas dalam setiap gampong. Panglima Laôt berfungsi; untuk membantu Keuchik di bidang kelautan, Peutua Suneubok untuk pimpinan urusan kehutanan-perkebunan dan perladangan, Keujreun Blang untuk membantu Keuchik dalam urusan pembagian pengairan dan persawahan, serta Haria Pekan untuk membantu Keuchik di bidang ketertiban, keamanan, kebersihan, serta mengutip retribusi pasar gampong. Dalam hal ini, Panglima Laôt dibantu Syahbandar, yakni orang yang memimpin dan mengatur perahu, lalu lintas kapal/perahu (Pasal 1 ayat (13), (14), (15), (16), dan ayat (17) Perda Nomor 7 Tahun 2000).

Peran Kelembagaan Panglima Laôt dalam Masyarakat Nelayan

Menurut Sarbin & Allen, (1968), Biddle & Thomas, (1966) peran adalah pola tingkah laku yang sangat tergantung pada posisi sabjek saat melakukan interaksi sosial dengan objek. Peran yang berbeda membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula. Tetapi apa yang membuat tingkah laku itu sesuai dalam suatu situasi dan tidak sesuai dalam situasi lain relatif independent (bebas) pada seseorang yang menjalankan peran tersebut.

Kelembagaan Panglima Laôt merupakan kelembagaan yang ada pada masyarakat pesisir. Panglima Laôt adalah seorang pemimpin nelayan yang secara hukum adat laut bertugas mengkoordinasi satu atau lebih wilayah operasional nelayan, dan minimal satu pemukiman nelayan. Dengan demikian tugas dan tanggung jawab Panglima Laôt di antaranya mengawasi dan memelihara pelaksana hukum adat laut, menyelesaikan berbagai pertikaian sehubungan dengan penangkapan ikan dan menyelenggarakan upacara- upacara adat laut, dan lainnya.

Main (1992), dalam hasil penelitian menyebutkan bahwa Panglima Laôt merupakan pimpinan tertinggi yang mengatur tentang usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang dapat/boleh dilakukan oleh masyarakat nelayan. Menurut Snouck Hurgronye (1906), mengenai struktur Panglima Laôt hanya ada dua tingkatan, yaitu Panglima Laôt Lhôk dan Panglima Laôt. Sementara itu pada tingkat berikutnya Panglima Laôt Lhôk sering disingkat/disebut menjadi Panglima Lhôk atau Panglima Laôt, yang mempunyai wilayah tanggung jawab terbatas pada wilayah Lhôk. Wilayah Lhôk adalahsuatu wilayah pesisir di mana nelayan berdomisili dan sebagian besar melakukan usaha penangkapan ikan atau bermata pencaharian utama menangkap ikan di laut. Wilayah tersebut dapat terdiri dari satu wilayah pantai yang melingkupi beberapa gampong atau wilayah satu kemukiman ataupun satu kepulauan yang berpenduduk jarang (Nyak Pha, 2001).

Tugas Panglima Laôt tingkat Kabupaten/Kota antara lain adalah ; menyelesaikan sengketa tentang kegiatan mencari ikan di laut, perselisihan tentang adat (hukum adat) laut antara Panglima Laôt Lhôk dan Pawang Laôt yang tidak terselesaikan pada tingkat Panglima Laôt Lhôk, dan perkara antara para nelayan yang tidak dapat diselesaikan oleh Pawang Pukat atau Pawang

Laôt setempat ataupun oleh Panglima Laôt Lhôk. Tugas utama lainnya adalah mengatur kenduri laôt bersamaan dengan nelayan dibawah koordinir Panglima Laôt Lhôk (Nyak Pha, 2001).

Menurut Iksan dan Ishak (2005), tentang Peran (role) adalah komponen perilaku nyata yang disebut norma. Norma-norma adalah harapan dan kebutuhan perilaku yang sesuai dengan untuk suatu peranan tertentu. Tiap-tiap peran berhubungan dengan suatu identitas yang menggambarkan individu dalam hal, bagaimana mereka harus bertindak dalam situasi khusus. Bila seorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukan maka seseorang akan menjalankan perannya. Dengan demikian yang dimaksud dengan peran Panglima Laôt dalam masyarakat nelayan, adalah seorang pemimpin yang terdapat legitimasi adat tersebut. Hampir semua aspek kenelayanan berada dibawah Panglima Laôt.

Pada pasal 1 ayat 14 Peraturan Daerah (Nyak Pha, 2001) berisi tentang peran Panglima Laôt dalam masyarakat nelayan. Panglima Laôt adalah orang yang memimpin adat, dan kebiasaan yang berlaku dibidang penangkapan ikan dan penyelesaian sengketa. Sementara itu, hasil musyawarah Panglima Laôt Se- Aceh yang dilaksanakan pada tanggal 6-7 Juni 2000, menghasilkan enam keputusan tentang peran kelembagaan Panglima Laôt yaitu :

1. Melihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan hukum adat dan istiadat. 2. Mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan di laut.

3. Menyelesaikan perselisihan/sengketaan yang terjadi di antara sesama

Dokumen terkait