• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Perencanaan Sosial Partisipatif dalam Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat Sampah Permukiman berbasis Masyarakat

Kuadran IV Kuadran III

(%) Informasi Pemilahan dan Daur Ulang

5.7. Mekanisme Perencanaan Sosial Partisipatif dalam Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat Sampah Permukiman berbasis Masyarakat

a m pah ( J ut a T o n) Jml_Sampah_Dibuang 1 Partisipas i_Masyarakat 2 2005 2010 2015 2020 1 2 3 1 2 1 2 1 2 1 2

Gambar 46. Perubahan Beban Sampah dengan Intervensi Struktural

5.7. Mekanisme Perencanaan Sosial Partisipatif dalam Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat

Pemerintah tingkat provinsi sebagai penanggung jawab dalam pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat, perlu menyusun kebijakan yang akan menjadi payung bagi peraturan yang lebih teknis di bawahnya. Kebijakan tersebut harus mampu mengakomodasikan karakteristik lokal sesuai dengan keragaman dalam tipologinya, baik tipologi permukiman, maupun tipologi partisipasi. Selanjutnya strategi dapat disusun berdasarkan tipologi yang ada dan dalam pelaksanaannya, berbagai masukan atau umpan balik perlu terus dilakukan untuk makin mempercepat aksesibilitas program oleh masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan permasalahan lingkungan sejak lama disepakati sebagai suatu faktor yang penting dalam memberikan kontribusi bagi kelayakan dan efektivitas suatu program lingkungan. Pendekatan yang umum dikembangkan untuk memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam inisiatif pengelolaan lingkungan

adalah pembentukan komite pengarah (steering committee) yang umumnya

hal ini, Komisi Pengelola Sampah Nasional/Daerah seperti yang tercantum dalam RUU Pengelolaan Sampah merupakan salah satu bentuk dari komite pengarah. Secara umum, arahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 47 berikut,

Gambar 47. Arah Program Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat di DKI Jakarta

Pendekatan lainnya adalah melalui pembentukan kelompok-kelompok

topik (topic groups) yang mewakili aktivitas tertentu. Selanjutnya melalui

masukan tertulis dan diskusi terarah juga dapat dijaring bagaimana melakukan pendekatan untuk melibatkan masyarakat secara proaktif dalam banyak inisiatif pengelolaan lingkungan (Edwards et al., 1997). Pengelolaan lingkungan melalui

pendekatan yang berasal dari bawah (bottom-up approaches) yang terus

menguat, pada akhirnya akan memberi proporsi yang berarti dalam proses pengambilan keputusan, sehingga efektivitas suatu program dapat dicapai. Penguatan kelembagaan dalam masyarakat perlu dilakukan secara berkelanjutan dan dalam kerangka yang semakin melebar dengan terbentuknya forum antar organisasi atau kelembagaan yang ada dalam masyarakat, sehingga posisi tawar program dan lembaga tersebut akan semakin meningkat (KPMNT, 2003). Secara umum, kerangka penguatan kelembagaan dalam masyarakat tersebut dapat dilihat pada Gambar 48 berikut,

Kebijakan Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat di DKI Jakarta

(KEBIJAKAN ”PAYUNG”)

Pilihan Program Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat sesuai dengan Karakteristik Lokal

(STRATEGI)

Perbedaan Tipe Partisipasi sesuai dengan Tipologi Permukiman

(KARAKTERISTIK LOKAL)

Persepsi Para Pemangku Kepentingan

Gambar 48. Kerangka Penguatan Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sampah Permukiman

Dari gambar di atas tampak bahwa penguatan kelembagaan lokal diperlukan untuk memperluas jaringan dan kerjasama antar lembaga dan komunitas yang melakukan pengelolaan sampah dengan berbasis partisipasi masyarakat. Pembentukan forum antar lembaga atau organisasi dalam masyarakat dapat menjadi motivasi dan sumber informasi, sehingga posisi tawar masyarakat sebagai pengelola sampah akan meningkat, antara lain dalam pengembangan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan efisiensi kegiatan daur ulang sampah yang dilakukan oleh masyarakat.

Selama ini, peranserta masyarakat dalam pengelolaan sampah hanya dilihat dalam konteks yang sempit, antara lain cukup dengan membayar retribusi dalam jumlah tertentu, maka sampai di situ saja perannya dan selanjutnya menjadi tugas pemerintah. Dengan demikian, partisipasi masyarakat “terbatas” pada implementasi kebijakan pemerintah, sehingga masyarakat tidak dikembangkan potensinya untuk berkreasi dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis” serta tidak dapat menjangkau partisipasi kognitif. Kondisi ini tentu saja tidak menjadi permasalahan yang berarti apabila pemerintah mampu mengatasi permasalahan sampah dari hulu ke hilir, tetapi yang terjadi saat ini merupakan kebalikannya. Kecenderungan di berbagai kota di dunia pun beban sampah semakin meningkat dan memerlukan upaya yang besar apabila pemerintah ingin mengatasinya sendiri. Oleh sebab itu, partisipasi

Kelompok Masyarakat Lembaga di Tingkat Komunitas (RW) Kepeloporan lokal Forum antar Lembaga Lembaga lain Komunitas lain Kepeloporan lokal

masyarakat merupakan salah satu jalan keluar yang dapat diandalkan dalam jangka panjang serta mengurangi secara optimal beban pencemaran lingkungan. Keterlibatan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat merupakan bagian dari asas kota berkelanjutan sebagaimana dideklarasikan dalam Asas Melbourne tentang Kota Berkelanjutan (Mei 2002) dan Indonesia menandatangani deklarasi tersebut (Kuswartojo, 2006). Sejalan dengan pendapat Cohen dan Uphoff (1977), keterlibatan masyarakat perlu diupayakan mulai dari tahap pengambilan keputusan, implementasi program, monitoring dan

evaluasi program dan menikmati manfaat program/participation in benefits

(Ndraha, 1990). Dengan demikian, akan tumbuh kesadaran kritis dalam memahami permasalahan dan berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah tersebut.

Pada permukiman lapisan menengah dan lapisan atas, perencanaan partisipatif dalam pengelolaan sampah dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam upaya mengatasi permasalahan sampah sekaligus menjaga kualitas lingkungan. Pada permukiman lapisan bawah, dengan partisipasi juga membantu mereka untuk melihat realitas sosial ekonomi yang mengelilinginya, sehingga kemampuan masyarakat untuk mewujudkan dan mempengaruhi arah serta pelaksanaan suatu program dilakukan dengan mengandalkan kekuatan yang dimilikinya. Kegiatan ekonomi dari pengelolaan sampah adalah alternatif yang sudah ada di depan mata untuk dikerjakan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan mereka. Dengan demikian, pemberdayaan (empowerment) merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif. Meskipun demikian, perlu dorongan dan dukungan yang kuat dari pemerintah dan swasta sebagai agen peubah, melalui kebijakan dan program yang mampu menumbuhkan minat untuk menjadikan sampah sebagai sumber

kegiatan ekonomi. Success story7 merupakan salah satu upaya dalam

menumbuhkan minat tersebut. Di samping itu, tersedianya rantai pemasaran, teknologi pemanfaatan sampah in-situ maupun industri daur ulang, dapat mempercepat tumbuhnya kegiatan ekonomi tersebut (Susanto, 2006).

7

Berdasarkan wawancara tanggal 29 Juli 2006, di Jakarta cukup banyak success story dalam

pengelolaan sampah, mulai dari Masturo Bayu di Kelurahan Kapuk, Cengkareng yang mengumpulkan dan memilah sampah hanya dari 150 KK atau setengah RT di permukiman padat dan kumuh, tetapi dari penjualan hasil pemilahan tersebut dia mampu memperoleh pendapatan Rp. 1.200.000,-/bulan, sampai para pelapak yang omzetnya ratusan juta perhari, belum termasuk industri daur ulang.

Konsep pemberdayaan (empowerment) yang pertama kali dikemukakan oleh Friedmann (1992), memberikan tekanan pada otonomi dalam pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan pada sumberdaya individu, bersifat langsung melalui partisipasi, demokratis dan merupakan suatu pembelajaran sosial, sehingga fokus dari pemberdayaan adalah lokalitas. Salah satu kegagalan pembangunan yang bersifat positivistik di masa lalu adalah bahwa realitas dianggap tunggal dan seragam, sehingga nilai lokal diabaikan. Dialektika yang melibatkan semua unsur dalam masyarakat telah memberikan ruang bagi munculnya alternatif-alternatif konsep baru. Oleh sebab itu, konsep pemberdayaan merupakan hasil kerja proses dialektika pada tataran ideologis, yaitu antara konsep top-down dengan bottom-up, dan pada tataran praksis yang merupakan pertarungan antar otonomi (Sastrosasmita, 1998). Dari uraian di atas, terlihat bahwa pengelolaan sampah berbasis masyarakat perlu memberikan perhatian yang lebih pada peningkatan kualitas dan sumberdaya manusia, proses-proses demokratisasi dan pembelajaran sosial, partisipasi serta tidak melakukan generalisasi dan mengedepankan nilai-nilai lokal. Hal tersebut pada hakikatnya merupakan tujuan yang lebih lanjut dari pembangunan sebagaimana yang dikemukakan oleh Sen (1999). Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah berada pada tataran normatif, yang mendukung peran masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya secara optimal. Bentuk kebijakan tersebut dapat berupa insentif/disinsentif, administratif, transparansi informasi dan regulasi lainnya.

Partisipasi adalah proses aktif, yang inisiatifnya diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Oleh sebab itu, strategi pengelolaan kelembagaan menjadi penting sebab titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian merefleksikan tindakan tersebut dalam suatu kelembagaan yang mewakili seluruh pemangku kepentingan. Secara garis besar, mekanisme perencanaan sosial partisipatif dalam pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat dapat dilihat pada Gambar 49 berikut,

Instrumen: regulasi, administratif, insentif/disinsentif, sosilisasi & transparansi informasi

Gambar 49. Mekanisme Perencanaan Sosial Pengelolaan Sampah Permukiman berbasis Masyarakat

Ke bij a k a n

Pe n ge lola a n Ke le m ba ga a n

Pa r t isipa si Kom u n it a s

Partisipasi Masyarakat sesuai dengan Tipologi Permukiman

Pemilahan Sampah Permukiman

Interaksi Kebijakan Strategi Goal Pe n ge m ba n ga n I n fr a st r uk t ur Implementasi Anorganik Organik Biogas Energi Listrik Kompos Penghijauan & Pertanian Perkotaan

Industri Daur Ulang

Produk Daur Ulang TPA

Sisa

Dari Gambar 48 terlihat bahwa perencanaan sosial yang diimplementasikan oleh pemerintah daerah melalui kebijakan dalam mewujudkan pengelolaan sampah terpadu dengan berbasis pada partisipasi masyarakat, memerlukan umpan balik yang terus-menerus, baik dari masyarakat maupun pemangku kepentingan lainnya yang terlibat dalam pengelolaan sampah di DKI Jakarta. Proses tersebut memerlukan forum antar pemangku kepentingan yang bersifat cair dan tidak kaku. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari forum terjebak dalam formalitas yang akhirnya hanya menghasilkan kebuntuan dan rutinitas, padahal forum dituntut untuk memberi masukan yang kreatif dan mengembangkan ide-ide baru untuk melakukan intervensi agar terjadi akselerasi dalam mewujudkan partisipasi masyarakat. Adanya forum tersebut merupakan salah satu mekanisme perencanaan partisipatif yang penting untuk menampung dan mengembangkan berbagai bentuk partisipasi dari para pemangku kepentingan. Forum dapat memberikan ruang untuk :

1. Mewadahi berbagai kepentingan (interest), baik masyarakat dari berbagai

lapisan, maupun pemerintah daerah, pihak swasta, perguruan tinggi, dan pemangku kepentingan lainnya.

2. Menciptakan struktur peluang untuk berpartisipasi, yaitu melalui kelembagaan (institusionalisasi), baik kelembagaan yang bersifat sosial maupun kelembagaan yang berorientasi pada keuntungan (profit oriented)

3. Mengembangkan kepemimpinan (leadership) dalam berbagai lapisan

permukiman. Umumnya pada permukiman lapisan menengah sampai lapisan atas, kepemimpinan lebih bersifat demokratis, sedangkan pada permukiman lapisan bawah, cenderung diperlukan kepemimpinan yang lebih otoriter sebab pada permukiman lapisan bawah, sumberdaya relatif terbatas yang menyebabkan kepedulian masyarakat kurang terhadap kesehatan dan kenyamanan lingkungan.

Implementasi kebijakan dan strategi pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat merupakan upaya optimalisasi peran pemerintah daerah dalam mengelola sampah. Dalam implementasinya, aspek pembiayaan merupakan salah satu faktor penting yang memerlukan inovasi. Dalam lima tahun ke depan, dapat terjadi perubahan yang signifikan dalam konteks CDM (Clean Development Mechanism), sehingga terjadi peningkatan minat komunitas

akan semakin meningkat mengikuti standar internasional. Saat ini biaya tipping

fee Rp. 50.000,- sampai Rp. 65.000,-/ton sampah, sedangkan International

selling price tipping fee sebesar USD 25.00 (Wirahadikusumah, 2006). Kondisi tersebut dapat menciptakan iklim investasi yang baik dalam pengolahan sampah, tetapi untuk mendukung tumbuh suburnya industri pengolahan dan daur ulang sampah, pemerintah perlu mewujudkan pemilahan sampah dari sumbernya.

Dalam Rencana Tindak Tahun 2006-2015, dianggarkan kegiatan pemberdayaan masyarakat dan stakeholders sebesar Rp. 3,5 Milyar setiap tahunnya (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005). Anggaran tersebut dapat difokuskan pada upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemilahan dan daur ulang sampah. Di samping itu, dengan adanya pelimpahan kewenangan dalam pengelolaan sampah kepada kelurahan, maka penyusunan program dapat dilakukan secara partisipatif dengan dikoordinasikan oleh Dewan Kelurahan. Meskipun demikian, kerangka program-program tersebut perlu

mengikuti Masterplan DKI Jakarta. Saat ini, anggaran kebersihan dari

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang dikelola oleh kelurahan, penggunaannya kurang efektif. Hal tersebut antara lain karena tidak memiliki perencanaan yang menuju pada sasaran yang sama, sehingga program kebersihan sangat bervariasi dan efektivitasnya rendah, padahal anggarannya dapat mencapai lebih dari Rp. 300 juta pertahun untuk setiap kelurahan.

Masterplan sistem pengelolaan sampah merupakan suatu keharusan sebagai dasar kebijakan yang akan diimplementasikan oleh pemerintah daerah. Meskipun demikian, adanya mekanisme perencanaan yang partisipatif merupakan upaya lain yang ditujukan untuk menumbuhkan gerakan sosial (social movement) dalam pengembangan partisipasi masyarakat, sehingga

terjaga keberlanjutan (sustainability) lingkungan dan keberlanjutan dari

6.1. Kesimpulan

1. Kawasan permukiman dalam kaitannya dengan pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat, memiliki beberapa golongan dengan karakteristik tertentu, yang membentuk lima tipologi permukiman dalam pengelolaan sampah, yaitu permukiman lapisan bawah, menengah bawah, menengah, menengah atas dan atas. Setiap tipe permukiman memiliki karakteristik tertentu dalam tipe pengelolaan sampah dan infrastrukturnya, serta karakteristik fisik lainnya seperti keteraturan kawasan, kepadatan ruang dan luas bangunan. Keseluruhan karakteristik tersebut membentuk suatu kesatuan tipe pengelolaan sampah dalam permukiman. Kondisi tersebut dapat menjadi titik tolak dalam menentukan pola partisipasi dengan pendekatan yang sesuai.

2. Pola-pola partisipasi dan potensi partisipasi dalam masyarakat di kawasan permukiman memberikan karakteristik tertentu yang membentuk tipologi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah berdasarkan tipe keterlibatan masyarakat dan tipe pelancaran pengaruhnya. Tipe partisipasi yang dominan adalah kalkulatif-remuneratif, kalkulatif-normatif dan moral-remuneratif.

3. Pada permukiman lapisan bawah dan menengah bawah, interaksi sosial relatif tinggi tetapi sumberdaya terbatas dan tidak ada otoritas, sehingga pola partisipasi yang sesuai adalah melalui pendekatan kalkulatif-remuneratif tetapi dengan titik masuk menjadikan kegiatan pengelolaan sampah sebagai kegiatan ekonomi dalam kerangka pengembangan masyarakat.

4. Pada permukiman lapisan menengah dan menengah atas, pendekatan yang tepat adalah kalkulatif-remuneratif sampai moral-remuneratif dengan menitik-beratkan pada tipe keterlibatan secara moral, sebab pada dasarnya mereka telah memiliki wawasan dan persepsi yang cukup, tetapi dengan tipe pelancaran pengaruh remuneratif melalui tawaran fasilitas tertentu dari pemerintah.

5. Pada permukiman lapisan atas, interaksi sosial relatif rendah tetapi tingkat kesadaran dan sumberdaya relatif tinggi, sehingga pendekatan

moral-normatif sangat sesuai dalam mewujudkan partisipasi masyarakat.

Pengelolaan sampah dapat didekati dengan pendekatan gaya hidup (life

style) yang merupakan bagian dari wawasan dan tanggung jawab masyarakat dalam peningkatan kualitas lingkungan dan pelestarian alam. 6. Strategi perencanaan sosial partisipatif dalam pengelolaan sampah

permukiman dengan pendekatan tipologi permukiman dan tipologi partisipasi, menghasilkan strategi pengembangan infrastruktur, strategi partisipasi komunitas dan strategi pengelolaan kelembagaan. Implementasi ketiga strategi tersebut dapat menghasilkan percepatan dalam mewujudkan partisipasi masyarakat.

7. Mekanisme perencanaan sosial partisipatif dalam pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat dilakukan dengan terus mengembangkan umpan balik dari para pemangku kepentingan, sehingga kebijakan normatif mampu mendukung tumbuh kembang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman dan menjadi gerakan sosial dengan tingkat penerimaan yang tinggi (social acceptability).

6.2. Saran

1. Penyebarluasan informasi menjadi bagian pertama yang penting untuk dilakukan oleh pemerintah berkaitan dengan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Bentuk dan jenis informasi perlu disesuaikan dengan sasaran penerima informasi tersebut dan tidak terjebak dalam penggunaan media yang sangat umum karena jangkauannya terlalu luas.

2. Menggandeng kemitraan dengan pihak swasta merupakan salah satu strategi yang mampu bersinergi dengan keseluruhan program, terutama

apabila dikaitkan dengan program CSR (Corporate Social Responsibility)

perusahaan dan DKI Jakarta tidak akan pernah kekurangan perusahaan untuk diajak bermitra.

3. Membentuk forum komunikasi antar lembaga lokal di tingkat komunitas dapat memberikan arti penting dalam percepatan upaya penutupan efek mozaik yang merupakan konsekuensi dari penerapan pengelolaan sampah dengan dasar partisipasi masyarakat.