• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

D. Suku Dayak di Singkawang

4. Pergeseran Kesetaraan Gender di Suku Dayak

Puspitawati (2009) menjelaskan bahwa pada masa-masa awal, tidak ada pembedaan peran dan derajat antara laki-laki dan perempuan di suku dayak, artinya pembagian semuanya sama. Sesungguhnya, bila kita ingin menelaah tentang kesetaraan dan kesenjangan gender, khususnya pada masyarakat Dayak, maka tidak cukup hanya mengamatinya melalui pembagian kerja, tapi melihatnya dari sisi budayanya, misalnya adat-istiadat, tradisi, mitologi, dan kebiasaan sehari-hari orang Dayak. Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran atau kesenjangan gender.

a. Faktor budaya

Dalam Budaya Dayak perempuan memang hanya sebatas subordinatif bagi kaum laki-laki. Laki-laki adalah kepala rumah

tangga, sumber utama ekonomi keluarga, “polisi” dalam keluarga, dan aktif dalam kegiatan sosial dan politik dalam masyarakat. Isteri adalah ibu rumah tangga, peran domestik, pengasuh dan pendidik anak-anak dan orang tua serta keluarga yang sakit. Sesungguhnya bila dilihat dari distribusi peran domestik dan peran non domestik, secara kuantitatif perempuan masih terlalu banyak dibanding laki-laki (sekitar 3:1). Baik dalam mitologi maupun cerita lisan lainnya di kalangan Dayak, perempuan lebih banyak hanya sebagai harta dan perhiasan bagi laki-laki.

Seorang Kepala Suku Dayak bisa berpoligami, pada jaman pengayauan perempuan dan anak-anak dijadikan budak belian, dalam rumah panjang(betang) perempuan lebih banyak tinggal di rumah. Perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan pun dibedakan. Misalnya anak perempuan tidur dalam bilik betang sedangkan anak laki-laki tidur di luar bilik. Tempat pendidikan (bakuwo) bagi anak-anak dalam betang juga dibedakan yaitu, bagi anak-anak laki-laki berada di bagian ngaju dan untuk perempuan berada di bagian ngawa. Makna ngaju (ento) dan ngawa (lembang) identik dengan ento artinya timur dan lembang artinya barat. Tapi ngaju atau ento dan ngawa atau lembang tidak selalu mengikuti arah mata angin, tapi berdasarkan pertimbangan posisi bangunan rumah. Daerah yang dinamakan ento adalah daerah yang tinggi dan baik, sedangkan lembang bermakna dataran rendah dan kurang baik.

b. Faktor agama

Tuhan dipercaya memiliki sifat maskulin, oleh sebab itu perempuan harus tunduk pada suami (laki-laki) sebagaimana mereka tunduk dan taat pada Tuhan mereka. Pelanggaran pada aturan-aturan yang diatur oleh agama adalah dosa yang akan menggiring semua orang ke neraka. Janji yang indah adalah surga bagi setiap orang yang tunduk pada Tuhannya dan mengikuti semua perintah-Nya. Ketakutan akan dosa (neraka) inilah yang menghambat kaum perempuan untuk merubah mentalitas mereka yang disebut inferior menjadi superior, dan upaya mereka mensejajarkan peran mereka dengan laki-laki. Di samping itu ada agama yang menganjurkan poligami sebagai salah satu upaya memberdayakan perempuan yang lemah. Secara sosial budaya, perempuan yang dimadu lebih banyak diperlakukan tidak adil, baik dalam pembagian uang, tanggung jawab dan kebutuhan biologis.

c. Faktor stereotipe

Anggapan bahwa perempuan lemah, emosional, boros, dependen, tidak sabar, tidak cocok jadi pemimpin dan lain-lain hanyalah hasil konstruksi sosial budaya suatu masyarakat untuk selalu memojokkan perempuan. Tampaknya stereotipe negatif seperti ini sudah melekat dan dianggap sebagai kodrat bagi perempuan sehingga merupakan suatu hal yang tidak bisa diubah. Stereotipe seperti ini sudah melekat dalam pikiran laki-laki dan perempuan dan tampaknya

hal ini telah dijadikan senjata oleh laki-laki untuk menghambat kemajuan bagi perempuan.

d. Faktor political will.

Hingga saat ini berbagai peraturan yang mengatur tentang kesetaraan dan keadilan gender sudah cukup memadai. Namun disayangkan political will dari pemerintah masih belum tanggap untuk mendukung dan menjalankan berbagai peraturan tersebut. Landasan idil (Pancasila) dan landasan konstitusionil (UUD 1945), GBHN 1999 dan Inpres no:9/2000 secara eksplisit dan implisit sudah menyinggung tentang kesetaraan dan keadilan gender. Di tambah lagi dengan berbagai Konvensi PBB yang telah diratifikasi, misalnya Konvensi PBB yang diratifikasi dengan UU No 7 tahun 1984 tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Masalahnya pemerintah masih enggan untuk menindaklanjuti berbagai peraturan tersebut. Hal ini mungkin juga dilandasi oleh faktor budaya dan agama di atas yang seolah-olah hanya melegalkan posisi perempuan sebagai subordinatif bagi laki-laki. Apalagi bila kebijakan itu menyentuh kepentingan agama, maka pemerintahpun harus berhati-hati.

e. Faktor ketakutan laki-laki pada kaum perempuan.

Faktor ketakutan ini wajar, karena sejak jaman adam dan hawa laki-laki selalu menang, dan perempuan disalahkan. Laki-laki adalah kepala rumah tangga dan sumber utama atau tulang punggung

ekonomi keluarga. Ada kekhawatiran bila perempuan menjadi pemimpin sementara suaminya menjadi bahawan isterinya atau pangkat dan jabatannya jauh di bawah isterinya, akan menimbulkan tekanan psikologis yang luar biasa. Di samping itu, perempuan yang menjadi pemimpin agak susah untuk diajak berkolusi karena ketegasan dan kejujuran mereka. Bayangkan saja seorang guru perempuan yang suaminya nganggur atau “swasta”. Bisa kita bayangkan bagaimana perasaan dan harga diri suaminya, yang seharusnya suaminyalah yang menjadi guru dan tulang punggung ekonomi keluarga. Namun sebenarnya perasaan seperti itu tidak perlu terjadi bila masing-masing sudah bisa memahami dan menerima konsep gender yang seharusnya kita praktekkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

f. Faktor kesalahan perempuan sendiri

Di samping beberapa faktor di atas, sebenarnya kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan adalah kesalahan perempuan itu sendiri. Sebenarnya apa yang dihadapi oleh perempuan pada saat ini bukanlah masalah yang mengganggu mereka, sehingga timbul sifat apatis dan menyerah pada keadaan. Sifat menyerah pada keadaan ini dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki hidup muncul dari pengaruh nilai-nilai agama dan budaya agar bila ada masalah menyerahkan masalah itu pada Tuhan dan seolah-olah tidak boleh ada usaha lain selain hanya berserah pada Tuhan.

E. Hakekat Bimbingan Klasikal

Dokumen terkait