• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergolakan Politik Partai Masyumi 1956-1958

BAB IV PERKEMBANGAN POLITIK PARTAI MASYUMI PASCA

A. Pergolakan Politik Partai Masyumi 1956-1958

Partai-partai yang ikut serta dalam pimilihan umum 1955 menjalankan fungsi mengartikulasi aspirasi masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan serta kinerja politik yang memunculkan tokoh-tokoh nasional sebagai wakil rakyat maupun untuk mengisi jabatan pemerintah. Tak pelak karena keinginan partai ataupun kubu internal partai muncul bebeapa gejolak maupun pandangan. Gejolak dalam partai yang merujuk masalah pemerintahan selalu berimbas pada kekuatan daerah pendukung partai. Gejala ini selalu berkesinambungan dalam perpolitikan nasional.

Hasil pemilu 1955 ternyata tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi perjalanan politik nasional. Konflik antara golongan partai kian menajam. Konflik di tingkat elite itu berakibat pula pada sulitnya membentuk pemerintahan yang stabil. Persoalan bertambah pelik ketika beberapa daerah melancarkan pemberontakan dengan rasa tidakpuasnya terhadap pemerintah pusat. Kondisi semcam ini merangsang militer untuk mendesak Sukarno agar segera mengumumkan Undang-undang Darurat Perang demi menjaga keutuhan

Negara Republik Indonesia.1

1

Zainal Abidin Amir. Peta Islam Politik Pasca Soeharto. (Jakarta: LP3ES, 2003), hlm. 42.

Pasca pemilu 1955 pelantikan kabinet dilakukan Sukarno dengan menunjuk Ali-Rhoem-Idham yang dilantik pada tanggal 24 Maret 1956 menggantikan Burhanuddin Harahap. Pada masa kabinet Ali II ini perbedaan-perbedaan terpusat pada kebijaksanaan kepegawaian, politik luar negeri, masalah tentara, dan masalah daerah. Masalah-masalah ini menyebabkan timbulnya ketegangan dalam hubungan antara partai Masyumi (Madjelis Syuro Muslimin Indonesia) dan PNI (Partai Nasional Indonesia). Sementara di daerah-daerah di Indonesia, daerah luar jawa umumnya daerah penghasil devisa untuk negara yang penting untuk menjalankan roda pemerintahan. Tantangan datang dari PNI dan partai Masyumi, sebagai pendukung kabinet. Tantangan lain dalam kabinet ini ialah perpecahan Angkatan Darat yang mengakibatkan rusaknya hubungan angkatan darat dari pusat ke daerah, yang kemudian bermuara ke peristiwa PRRI (Pemberontakan Revolusioner Republik Indonesia). Keadaan seamakin parah

ketika Bung Hatta meletakkan jabatan kursi Wakil Presiden pada tahun 1956. 2

Pada tahun 1956 masalah daerah menjadi genting sedemikan rupa. Perasaan tidak puas dengan gejolak politik kemudian melahirkan pembentukan dewan dewan di berbagai daerah luar Jawa, yang merupakan pelaksanaan pemerintah tersendiri pula. Lambat laun dewan-dewan mengambil kekuasaan pemerintah daerah. Pada bulan Desember 1956 para perwira tentara di Sumatera yang berhasil mendirikan Dewan Banteng yang berisi veteran-veteran dari bekas

2

Bibit Suprapto. Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia. (Jakarta: Ghalia Indonesia. 1985). hlm. 183-184.

divisi Banteng dari masa revolusi. Pada tanggal 20 Desember, komandan resimen di Sumatera Barat mengambil alih pemerintah sipil. Pada tanggal 22 Desember kolonel Maludin Simbolon Panglima Divisi Bukit Barisan mengumumkan

pengambil alihan kekuasaan di Sumatera Utara.3 Kejadian ini disusul pula

terbentuknya dewan-dewan dalam tubuh Angkatan Darat di Sulawesi yang bernama Dewan Manguni.

Perwira militer senior di Indonesia Timur, komandan TT (Teritorial Tertinggi) -VII , Letnan Kolonel H.N.V (Ventje) Sumual telah menghadiri reuni SSKAD (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat) di Bandung pada November 1956. Keadaan disana TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan negara diperbincangkan serta ada seruan untuk persatuan TNI. Sumal rupanya sudah berhubungan dengan kolonel-kolonel di Sumater seperti, Simbolon dan Husein dan bersimpati pada mereka, tetapi merasa bahwa dia hanya mempunyai satu batalyoan di bawah kekuasaan operasionalnya di Sulawesi Selatan, tempat markas kedudukan besarnya. Panglima Sumual kemudian berangkat pula ke Jakarta untuk meyakinkan pemerintah pusat tentang gawatnya di Indonesia

Timur dan menyongsong tuntutan Gubernur atas otonomi sipil. 4

Pertengahan Februari sebelumnya pemimpin-pemimpin sipil mengorganisir diri ke dalam suatu perkumpulan. Perkumpulan tersebut bernama Konsentrasi

3

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Jakarata: Serambi Ilmu, 2008), hlm. 503.

4

Barbara Sillars Harvey, Permesta Pemberontakan Setengah Hati (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 67.

Tenaga untuk keselamatan rakyat Sulawesi. Pemimpinnya dari PKR (Partai Kedaulatan Rakyat) Residen Andi Burhanuddin, wakil ketua J. Latumabina, Sekretaris Henk Rondonuwu; pembantu-pembantu ditunjuk dari partai seperti A. Tadjuddin PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Abdul Muluk Makatita Partai Masyumi. Maksud mereka untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah agar mendapatkan pengertian yang lebih baik dari pemerintah pusat atas tuntutan otonomi provinsi. Tujuan Otonomi mereka adalah untuk memajukan kemakmuran rakyat Sulawesi, bukan untuk memisahkan mereka dari Republik

Indonesia.5

Himpitan situasi yang begitu berat tidak memungkinkan kabinet tidak bertahan lama. Partai Masyumi lebih dahulu menarik mentei-menterinya dalam kabinet. Soekarno mengganggap bahwa demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan kemudain memperkenalkan apa yang disebut musyawarah dalam mufakat. Sistem multipartai oleh tokoh politik dinyatakan sebagai salah satu penyebab infektivitas pengambilan keputusan

karena masyarakat lebih didorong ke arah bentuk yang fragmatis.6

Pada tanggal 21 Februari 1957 Soekarano lalu mengemukakan tiga konsepsinya yang pertama, kabinet akan didasarkan pada empat partai besar hasil pemilu: PNI, partai Masyumi, NU dan untuk pertama kalinya PKI (Partai

5

Ibid, hlm 62. 6

Rusadi Kantraprawira, Sistem Politik Indonesia (Bandung: Sinar Baru, 1988), hlm. 189.

Komunis Indonesia). Kedua akan dibentuk suatu Dewan Nasional yang ditetapkan presiden, terdiri dari wakil-wakil daerah dan kelompok-kelompok fungsional, akan dibutuhkan untuk memberi nasihat pada kabinet. Sistem Demokrasi Parlementar sudah tidak cocok, harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin. Pengucapan konsepsi itu adalah langkah yang pertama dalam proses penerimaan Soekarno atas suatu perintah politik yang lebih aktif yang berpuncak

pada Juli 1959.7

Natsir dan partainya menolak konsepsi Presiden tentang sistem partai dan demokrasi terpimpin. Natsir juga tidak setuju ketika PKI masuk dalam kabinet karena di kabinet sebelumnya terjadi banyak perdebatan. Suasana semakin tegang terlebih usaha-usaha untuk melaksanakan konsepsi Presiden mendapat tantangan di daerah. Penolakan tersebut bertentangan dengan kebijakan Presiden

Soekarno yang hendak menyatukan seluruh kekuatan bangsa.8 Akibatnya,

keadaan dalam negeri menjadi gawat, sedang kabinet semakin lemah. Akhirnya kabinet Ali II menyerahkan mandat ke Presiden Soekarno tanggal 14 Maret 1957.

Pasca jatuhnya kabinet Ali II yang disusul dengan pemberlakuan darurat perang. Kemudian Soekarno menunjuk Ir. Juanda, komposisi dari kabinet Juanda sendiri juga belum bisa dikatakan sebagai politik kaki empat, karena partai

7

Barbara, op.cit., hlm. 28. 8

M.Abdul Karim, Islam dan Kemerdekaan Indonesia (Yogyakarta: Sumbangsih Press, 2005), hlm. 164.

Masyumi pun tidak duduk dalam kabinet, walaupun ada dua orang anggota partai yang masuk ke kabinet terpaksa dikeluarkan seperti Pangeran Noor sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Muljadi yang diangkat menteri, berhenti dari Masyumi atas inisiatif sendiri. Menurut partai Masyumi prosedur yang ditempuh Soekarno bertentangan dengan UUD dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Sementara itu ketika mempergunakan keadaan bahaya perang karena munculnya pemberontakan dan pembentukan kabinet secara mutlak bertentangan dengan pasal-pasal dalam undang-undang keadaan bahaya itu sendiri oleh sebab itu maka partai islam ini melarang angggotanya untuk turut serta dalam kabinet,

meskipun NU duduk dalam kabinet.9

Kondisi dalam konstituante semakin memperburuk karena timbulnya perbedaan dalam kabinet Juanda. Dalam kelompok konstituante terdapat kelompok yang berbeda. Golongan Islam menghendaki Dasar Negara Islam, Golongan Nasionalis menghendaki Dasar Negara Pancasila, sementara golongan komunis menghendaki dasar negara Komunis. Ketiga kelompok ini sulit untuk dikompromi, sehingga sidang konstituante. Presiden segera bertindak atas kisruh yang ada. Amanat tanggal 22 April 1959 di muka sidang konstituante mengharapkan agar kembali kepada UUD 1945. Langkah serius kemudian dilakukan dengan mengadakan vooting pada tanggal 30 Mei 1959, dari 468 anggota yang hadir yang setuju kembali ke UUD 1945 ada 269 orang dan tidak

9

P.N.H. Simanjuntak, Kabinet-Kabinet Republik Indonesia dari awal kemerdekaan hingga refformasi, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 183.

setuju 199 orang. Berarti ini tidak Quarum 2/3, sebagaimana ketentuan untuk menetapkan atau mengubah Undang Undang Dasar. Sekali lagi diadakan vooting tanggal 1 dan 2 Juni 1959 tetapi masih gagal dalam Quarum. Keadaan semakin sulit ketika para anggota sulit dikumpulkan karena kemelut yang berlangsung tak kunjung usai. Keadaan ini akan membawa situasi dan kondisi yang tidak menentu. Masyarakat merasa resah dan bertanya-tanya bagaimana kondisi politik

yang terjadi.10

Sebagai akhir kemelut, Presiden mengeluarkan Dekritnya tanggal 5 Juli

1959 yang terkenal dengan nama Dekrit Presiden (Lihat lampiran 5 halaman 105

).11 Dekrit adalah suatu keputusan dari penguasa tertinggi (Presiden atau Raja)

secara sepihak dan bertentangan atau mengubah perundang-undangan yang berlaku bahkan Undang-undang Dasar, demi keselamatan bangsa dan negara. Dekrit sendiri sudah memenuhi syarat dimana dikeluarkan presiden Soekarno secara sepihak tanpa ada persetujuan dahulu dari Lembaga Legislatif. Demi keselamatan bangsa dan negara, karena kesemrawutan yang terjadi membuaat

efek kurang baik bagi bangsa dan negara.12

10

Deliar Noer. Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,1987). hlm. 200.

11

Sidang kabinet kabinet inti yang menghasilkan peraturan penyederhanaan partai dan pengawasan partai-partai. (1960). Mimbar Indonesia, No. 29. hlm. 6.

12

Menurut Ahmad Syafii Maarif, Gejala semacam ini merupakan gejala yang tidak sehat dalam politik. Kekecewaan Soekarno dengan keadaan, sebenarnya juga berpangkal pada kegagalan kabinetnya mewujudkan kehendaknya: membentuk kabinet gotong royong atau kabinet berkaki empat. Dewan nasional kemudian dibentuk pada tangal 11 Juli 1957, yang diketuai oleh Soekarno. Kemudian dibentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) pada 22

Juli 1959 dibawah UUD 1945.13

Pembentukan Dewan Nasional memang tidak jelas dasar hukumnya. Oleh karena itu Hatta, Natsir dan Sjahrir telah mengecam pembentuk dewan ini. Tapi Soekarno mulai muncul dalam konstitusi. DPAS kemudian diserahkan oleh wakil ketua Roeslan Abdulghani tokoh PNI. DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar pidato 17 Agustus 1959 dijadikan Manifesto Politik yang kemudian berkembang menjadi Manifes politik USDEK (UUD1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi ala Indonesia, Ekonomi Terpimpin dan Keadilan Sosial). Kesemuanya menjadi landasan dasar bagi pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Pembentuk dewan-dewan tersebut pada Maret 1960 ditambah dengan pembentukan DPRDGR( Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong) sebgai ganti DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) pilihan rakyat yang dibubarkan, merupakan mekanisme

demokrasi terpimpin.14

13

Ahmad Syafii Maarif. Islam dan Politik Teori belah bambu masa Demokrasi terpimpin (1959-1965). (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 48-49.

14

Orang-orang yang duduk dalam dewan-dewan tersebut adalah mereka yang disukai Soekarno. Oleh karena itu partai Masyumi dan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) yang menentang politik Soekarno harus tersingkir. Soekarno dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959 dengan judul penemuan kembali revolusi kita menjelaskan prinsip-prinsip dasar Demokrasi Terpimpin dalam dua kategori:

1. Tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum,

masyarakat dan negara.

2. Tiap-tiap orang berhak mendapat penghidupan layak dalam masyarakat,

bangsa dan negara.

Sebelum ada amanat 22 April 1959, Soekarno mengatakan bahwa demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin atau dalam UUD 45 dikatakan demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sedangakan dalam kesempatan lain Soekarno menjelaskan bahwa demokrasi terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan tanpa anarki liberalisme.

Demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahan kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan sentral ditangan pemimpin yang mengayomi. Menurutnya sistem semacam inilah yang sesuai dengan UUD 1945 dan memancarkan kepribadian bangsa

Indonesia.15 Di mata partai Masyumi sistem demokrasi terpimpin akan

membawa bencana bagi Bangsa dan Negara, oleh karena itu harus dilawan.

15

Partai Masyumi sebagai cagar demokrasi tampaknya tidak punya pilihan selain menghadapi Soekarno dan sistemnya, sekalipun dengan tenaga yang tak seimbang. Harapan partai bahwa rakyat akan berpihak kepada demokrasi, tidak kepada sistem otoriter. Sementara PKI sengat lihat memanipulasi politik berpihak sepenuhnya kepada sistem Soekarno.

Tujuan taktik PKI adalah menghancurkan lawan politiknya dan yang terbesar adalah partai Masyumi. Pembentukan DPRGR ternyata mempercepat proses kristalisasi di kalangan umat Islam. Sebagai partai yang dikategorikan menentang revolusi partai Masyumi dituduh sebagai partai turut mendalangi pemberontakan Permesta PRRI, sekalipun secara hukum tuduhan ini tidak beralasan. Nasib partai Masyumi dan PSI sudah dibayang kehancuran. Pembahasan selanjutnya disini penulis akan menjelaskan tentang pembubaran partai Masyumi.

Dokumen terkait