• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Developer Sebagai Faktor Penyebab Banjir (Normalisas

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.4 Perilaku Developer Sebagai Faktor Penyebab Banjir (Normalisas

Secara Geografis Kelurahan Kampung Baru dan Kelurahan Sungai Mati terletak di Kecamatan Medan Maimun. Sebelah barat bersebelahan dengan Bandara Polonia (Kelurahan Suka Damai), dan sebelah timur besebelahan dengan Kelurahan Sitirejo serta Pasar Merah Darat. Kumuh, Padat, dan tanpa sanitasi yang baik adalah gambaran tersendiri dari pemukiman masyarakat Kelurahan Sungai Mati dan Kampung Baru. Dengan luas daerah yang hanya mencapai 1,50 km kedua kelurahan tersebut didiami oleh 27293 jiwa.

Miskin dan tanpa pendidikan yang memadai merupakan gambaran lain dari kehidupan masyarakat Sungai Mati dan Kampung Baru. Dari segi pendidikan mayoritas masyarakat Sungai Mati dan Kampung Baru hanya tamat Sekolah Menengah Pertama,

dan wajar saja jika mayoritas dari mereka bekerja disektor informal; Pengemudi Becak, Buruh Bangunan, Pedagang Kaki Lima, Kerajinan Rumah Tangga, Sopir Bajai, Tukang Kayu dan lain sebagainya.

Kekumuhan serta situasi perekonomian dan pendidikan masyarakat yang rendah kemudian letak geografis yang strategis; dipusat kota dan besebelahan dengan Bandara Polonia yang akan dijadikan Central Business Districk. Areal Kampung Baru dan Sungai Mati memiliki nilai tersendiri bagi Pemerintah Kota Medan dan juga pengusaha sector perumahan dan Department Store. Untuk daerah perluasan Central Business Districk misalnya tidak ada wilayah yang paling memungkinkan kecuali Sungai Mati dan Kampung Baru, sebab selain wilayahnya berdekatan, geografi tanah yang landai dan padat pemukiman serta rawan bajir menyebab harga tanah di Sungai Mati dan Kampung Baru masih sangat rendah jika dibandingkan dengan harga di lokasi lain ; Monginsidi, Suka Damai, Pasar Merah Darat, dan lain-lain.

Berhitung besarnya keuntungan libido bisinis PT Eka Kesuma Wijaya dan Kastil Kencana naik sampai ke kepala. Demi libido bisnis yang haus penyaluran tersebut PT Eka Kesuma Wijaya dan PT Kastil Kencana membeli dan melakukan penimbunan di Kampung Baru dan Sungai Mati. Walaupun Pemerintah Kota Medan mengakui bahwa proyek PT Kastil Kencana dan PT Eka Kesuma Wijayah tersebut belum mengantongi AMDAL dan IMB (Izin Mendirikan Bangunan), penimbunan dan penembokan terus dilakukan oleh Kastil Kencana dan Eka Wijaya Kesuma. Implikasinya adalah penderitaan masyarakat Sungai Mati dan Kampung Baru. Meningkatnya frekuensi banjir dan hilangnya fasilitas umum adalah indicator dari penderitaan itu. Yang lebih

memperhatinkan dari semua penderitaan tersebut adalah keterlibatannya aparat Pemerintahan Kota Medan (Lurah dan Kepala Lingkungan) dan aparat keamanan (Polisi) dalam melakukan intimidasi terhadap masyarakat. Penjara dan jalur hijau selalu dijadikan tameng untuk mendesak masyarakat menjual murah tanah yang mereka miliki kepada developver, dan wajar saja jika kemudian sebagian kecil masyarakat terutama masyarakat Sungai Mati telah meningalkan pemukiman mereka dengan mendapatkan ganti rugi yang tidak memadai.

PT Kastil Kencana melakukan proyek pelurusan Sungai Deli sepanjang 500 meter. Pihak developer menyatakan bahwa proyek pelurusan ini adalah bertujuan untuk mengendalikan banjir. Target pelurusan adalah kelokan yang menjorok ke bandara polonia yang semulanya ada beberapa kelokan dengan panjang total sekitar 1.300 meter dan pada akhirnya yang akan diluruskan hanya sekitar 450 meter.

Tindakan seperti diatas disebut dengan normalisasi. Normalisasi merupakan pendekatan yang keliru dan tidak ramah lingkungan. Penghilangan batuan dan tumbuhan dari daerah aliran sungai dengan membangun dinding beton serta melakukan penimbunan, justru akan menghilangkan fungsi control aliran oleh biota dan materil di dalamnya. Selain itu juga terjadi pendangkalan dan putusnya daur ekosistem di DAS.

Faktanya yang dapat dilihat sekarang, telah banyak perumahan-perumahan yang dibangun di sekitar lahan proyek normalisasi sungai. Jelas, developer meraup keuntungan yang besar di balik proyek pelurusan sungai Deli, karena kepentingan bisnis akan dibangun terkait rencana lahan eks bandara Polonia akan dijadikan central bisnis distric setelah bandara dipindahkan ke Kuala Namu.

Akibat adanya normalisasi sungai Deli, frekuensi banjir di daerah Kelurahan Sei Mati meningkat, dari 2-4 kali setahun menjadi 5-6 kali dalam sebulan. Bagi masyarakat, normalisasi Sungai Deli bukanlah merupakan sebuah solusi penyelesaian krisis banjir, tetapi justru memunculkan krisis baru, sebab bukan hanya banjir yang harus mereka hadapi; penggusuran, kehilangan fasilitas umum, terhambatnya aktivitas ekonomi dan berkurangnya penghasilan adalah persoalan baru yang muncul akibat pelurusan Sungai Deli.

Tidak hanya masyarakat Kelurahan Sei Mati saja yang merasakan akibat dari normalisasi Sungai Deli, masyarakat Kampung Aur pun merasakan hal demikian. Seperti yang diungkapkan seorang informan:

“Dulu sebelum ada proyek di Multatuli, banjir tak sesering dan separah sekarang dek. Kalo dulu banjir dalam setahun bisa dihitung dengan jari satu tangan, tapi sekarang, menghitung jumlah banjir yang terjadi dalam setahun harus minjam jari tangan kawan dek... seperti itulah pengaruhnya proyek tersebut. Banjir terbesar sepanjang adanya pemukiman di Kampung Aur ini adalah tahun 1956 dan yang kedua di tahun 2006, ketika proyek pelurusan sungai Deli sudah berjalan. Namun yang kami rasakan memang tak separah yang dirasakan saudara kita di Sei Mati, karena mereka harus meninggalkan tempat tinggal mereka dengan ganti rugi yang tidak seberapa. Itulah orang- orang berduit yang selalu menginjak-injak masyarakat yang miskin, dengan uang semua bisa mereka beli dan menambah penderitaan masyarakat. Kami semua hanya bisa pasrahlah dek...” (Syafri Icap, 42 tahun)

Walaupun normalisasi Sungai Deli tidak terjadi di daerah Kampung Aur, tapi dampaknya juga mereka rasakan, yaitu semakin tingginya frekuensi banjir yang terjadi di daerah ini. Ada tiga kelurahan yang menjadi langganan banjir setelah adanya

normalisasi Sungai Deli, yaitu Kelurahan Aur, Kelurahan Sei Mati dan Kelurahan Kampung Baru. Masyarakat hanya bisa pasrah dengan kondisi yang demikian, mereka tahu bahwa tidak bisa melawan developer-developer karena kondisi ekonomi dan status sosial yang berbeda.

Dokumen terkait