• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

A. Perilaku Prososial

1. Definisi Perilaku Prososial

Menurut Baron (2005) tindakan prososial adalah tindakan yang tidak menyediakan keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut dan bahkan mungkin mengandung derajat risiko tertentu. Perilaku prososial adalah perilaku yang memberi manfaat yang baik kepada orang lain atau masyarakat disekitarnya, dengan cara menolong orang lain tanpa memandang tentang motif dari penolong (Baron, 2008 ; Taylor dkk, 2006).

Watson (1984) berpendapat bahwa perilaku prososial adalah tindakan yang memiliki konsekuensi positif bagi orang lain, tindakan menolong sepenuhnya yang dimotivasi oleh kepentingan sendiri tanpa mengharapkan sesuatu untuk dirinya. Pendapat ini juga di dukung oleh pendapat Myers (dalam Sarwono, 2002) menyatakan bahwa perilaku prososial atau altruisme adalah hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan - kepentingan sendiri. Kartono (2003) menambahkan tentang teori prososial. Kartono (2003) menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu perilaku sosial yang menguntungkan di dalamnya terdapat unsur unsur kebersamaan, kerjasama, kooperatif, dan altruisme.

Perilaku prososial dapat memberikan pengaruh bagaimana individu melakukan interaksi sosial. Sears (1991) memberikan pemahaman mendasar bahwa masing-masing individu bukanlah semata-mata makhluk tunggal yang mampu hidup sendiri, melainkan sebagai makhluk sosial yang sangat bergantung pada individu lain, individu tidak dapat menikmati hidup yang wajar dan bahagia tanpa lingkungan sosial. Taylor dkk (2006) juga berpendapat hal yang sama, bahwa perilaku prososial sangat efektif membangun relasi antara penolong dengan orang lain.

Dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku yang memberi bantuan kepada orang lain tanpa memikirkan kerugian dari penolong itu sendiri.

2. Aspek – aspek perilaku prososial.

Menurut Mussen dkk. (dalam, Asih dan Pratiwi, 2010) menjelaskan aspek- aspek dari perilaku prososial. Mussen membagi aspek-aspek tersebut menjadi 5, yaitu :

a. Berbagi

Kesediaan penolong untuk berbagi perasaan dengan orang lain (korban) dalam suasana suka maupun suasana duka.

Kesedian untuk bekerjasama dengan orang lain demi mencapai tujuan bersama.

c. Menolong

Kesediaan untuk menolong orang lain, di saat orang tersebut sedang berada di situasi yang sulit.

d. Bertindak jujur

Kesediaan untuk melakukan suatu tindakan yang tidak dibuat-buat (apa adanya) dan tidak berbuat curang.

e. Berderma

Kesediaan untuk memberikan secara sukarela sebagian dari barang miliknya kepada orang yang lain yang sedang membutuhkan.

Bringham (dalam, Asih dan Pratiwi, 2010) juga memberikan pendapatnya tentang aspek-aspek dari perilaku prososial. Ada sedikit perbedaan yang diungkapkan oleh Bringham. Bringham mengungkapkan tentang persahabatan di dalam aspek prososial sedangkan Mussen tidak. Bringham membagi aspek prososial menjadi 5, yaitu:

a. Persahabatan

Ketersediaan penolong untuk menjalin relasi yang lebih dekat lagi dengan orang lain.

b. Kerjasama

Ketersediaan untuk bekerjasama dengan orang lain agar tercapai tujuan yang diinginkan.

c. Menolong

Kesediaan untuk menolong orang lain yang berada dalam situasi kesulitan atau membutuhkan pertolongan

d. Bertindak jujur

Kesediaan penolong untuk bertindak apa adanya dan tidak berbuat curang

e. Berderma

Kesediaan untuk memberikan secara sukarela sebagian dari barang miliknya kepada orang yang lebih membutuhkan.

Aspek-aspek tersebut memiliki kaitan yang erat antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, di penelitian ini menggunakan aspek sebagai berikut : berderma, persahabatan, kerjasama, menolong, bertindak jujur dan berbagi.

3. Faktor – faktor perilaku prososial

Aronson dkk (2005) dan Baron (2005) memaparkan bahwa ada 7 faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, yaitu:

a. Faktor naluri dan gen.

Ahli biologi evolusi seperti E.O. Wilson (1975) dan Richard Dawkins (1976) telah menggunakan prinsip-prinsip teori evolusi untuk menjelaskan perilaku sosial seperti agresi dan altruisme dan diterima secara luas sebagai psikologi evolusioner. Psikologi evolusioner menyatakan bahwa perilaku didorong oleh atribut genetis yang berevolusi karena atribut tersebut kemungkinan diwariskan ke gen seseorang pada generasi berikutnya. Teori ini menerangkan perilaku prososial dalam 3 bagian. Pertama seleksi alam akan mendukung mereka yang menolong kerabat yang cukup muda untuk bereproduksi. Perilaku menolong pada kerabat dekat dipersepsikan sebagai hal yang rasional, etis dan merupakan kewajiban, tetapi hal ini berlaku hanya jika menolong akan memberi pengaruh terhadap keberhasilan bertahan hidup (survival) atau reproduksi (Kruger, 2001) dan hanya jika individu merasa dekat secara emosional dengan kerabatnya (Korchmaros ;Kenny, 2001). Kedua, manusia berekspetasi bahwa menolong orang lain pada saat ini akan memperbesar kemungkinan bahwa mereka yang telah ditolong akan membantu penolong di waktu yang akan datang. Ketiga, manusia yang dapat mempelajari dengan baik tentang norma-norma dan kebiasaan masyarakat di lingkungannya akan lebih dapat bertahan hidup, misalnya bagaimana cara untuk bekerja sama.

b. Perbandingan antara keuntungan dan kerugian saat melakukan perilaku prososial.

Seseorang akan memaksimalkan penghargaan sosial daripada kerugian sosial. Perilaku prososial merupakan perilaku yang memiliki biaya mahal (misalnya mengakibatkan rasa sakit, kehilangan materi dan memakan waktu) karena itu, seseorang harus yakin adanya timbal balik positif yang lebih besar daripada biaya yang telah ia keluarkan (dalam, Baron, 2005). c. Empati dan kepribadian altruism.

Secara afektif, orang yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan (Darley, 1993), merasa simpatik, tidak hanya merasakan penderitaan orang lain tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka. Individu yang memiliki empati tinggi lebih termotivasi untuk menolong seorang teman daripada mereka yang memiliki empati rendah (Schlenker & Britt, 2001). Secara kognitif, orang yang berempati memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa (Azar, 1997). Komponen dapat disimpulkan bahwa empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan orang lain, mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Fakta bahwa banyak aspek dari kepribadian terlibat dalam perilaku prososial telah menyebabkan para peneliti Robert Baron (2005) menyatakan bahwa suatu kombinasi dari faktor-faktor yang

relevan menentukan apa yang disebut sebagai kepribadian altruistik (altruistic personality). Altruisme adalah tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain.

d. Mood.

Kondisi suasana hati yang baik akan meningkatkan peluang terjadinya perilaku menolong orang lain, sedangkan kondisi suasana hati yang tidak baik akan menghambat pertolongan (Amato, 1986; Rogers dkk, 1982; Thompson, Cowan, & Rosenham, 1980). Orang yang memiliki suasana hati yang baik cenderung memiliki sudut pandang positif terhadap kehidupan, mampu melihat sisi baik dalam setiap peristiwa dan terbuka pada orang lain.

DL Rosenhan, Bill Moore, dan Bert Underwood (1974) mengatakan bahwa pengalaman positif menciptakan suasana umum dari kebaikan yang mencakup baik diri sendiri dan orang lain, sedangkan pengalaman negatif memiliki efek yang sebaliknya. Pendapat ini juga didukung oleh Alice M. Isen dan rekan-rekannya (dalam Stephen Worchel and Joel Cooper, 1979) menyatakan bahwa suasana hati yang baik melibatkan proses berpikir tentang materi positif. Mereka menemukan bahwa orang-orang yang memiliki suasana hati yang baik lebih cenderung mengambil informasi positif daripada informasi negatif dari memori. Pada akhirnya, tindakan

membantu lebih cenderung mengikuti dari situasi seperti ini (terutama ketika membantu ini kompatibel dengan pikiran yang menyenangkan). Singkatnya, suasana hati yang baik, bahan yang menyenangkan dari memori, dan kegiatan prososial saling memperkuat satu sama lain. Selain itu juga, kondisi mood yang baik terutama dibangun oleh kesadaran diri dan penguasaan diri mereka.

e. Jenis kelamin.

Sebenarnya antara pria dan wanita sama sama memiliki keberanian yang luar biasa dalam membantu orang lain (Taylor dkk, 2005). Para wanita menawarkan bantuan untuk wanita dan pria dalam kadar yang sama, sedangkan pria lebih banyak menawarkan bantuan kepada wanita (Myers, 2012). Peneliti telah berfokus pada sikap membantu yang melibatkan tentang pengasuhan dan komitmen, tapi beberapa studi telah menemukan bahwa perempuan lebih membantu dalam jangka panjang, hubungan mengasuh daripada laki-laki (dalam, Elliot Aronson dkk, 2005). f. Faktor lingkungan.

Amato (1983) menjelaskan hanya 15 persen orang yang tinggal di kota besar akan menawarkan pertolongan pada orang yang membutuhkan. Keadaan ini berbeda dengan seseorang dibesarkan di desa lalu pindah ke kota, orang tersebut akan tetap membantu orang lain. Ini disebabkan karena orang tersebut sudah menginterlisasikan norma sosial (salah

satunya saling membantu satu sama lain) yang dianut di lingkungan desa. Efek bystander juga mempengaruhi orang tersebut berperilaku prososial atau tidak. Kecenderungan untuk berespon prososial pada keadaan darurat dipengaruhi oleh jumlah bystander, probabilitas bahwa seorang bystander

akan menolong menurun dan lamanya waktu sebelum pertolongan diberikan meningkat.

g. Tanggung jawab moral, berupa integritas moral, hipokrisi moral.

Integritas moral adalah motivasi untuk bermoral dan benar-benar terlibat dalam tingkah laku moral. Bagi mereka yang termotivasi dengan integritas moral, pertimbangan kebajikan dan keadilan terkadang sering sekali membutuhkan pengorbanan self-interest untuk melakukan hal yang benar. Bagi orang yang bermoral, konflik antara self-interest dan integritas moral dapat diselesaikan dengan pilihan bermoral, suatu pilihan yang juga dipengaruhi oleh dukungan internal dan eksternal. Kategori manusia yang ingin terlihat bermoral sementara sebenarnya orang tersebut sedang menghindari kerugian dari tingkah laku bermoral sebenarnya disebut hipokrisi moral. Individu pada kategori ini ini didorong oleh self-interest

tetapi juga mempertimbangkan penampilan luar mereka. Kombinasi ini berarti bahwa penting bagi mereka untuk terlihat peduli dalam melakukan hal yang benar, sementara mereka sebenarnya tetap mengutamakan kepentingan-kepentingan mereka pribadi. Dua bentuk tanggungjawab

moral tersebut menjadi motif seseorang dalam melakukan perilaku prososial, artinya seseorang terdorong untuk memenuhi standar tanggungjawab dan membangun komitmen untuk berperilaku prososial berdasarkan tingkat kekuatan motivasi mereka.

Dokumen terkait