• Tidak ada hasil yang ditemukan

Periode Pengembangan (1996–2020)

Dalam dokumen MASA DEPAN ADALAH UJUNG SEJARAH (Halaman 89-107)

BAB I DEPARTEMEN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN

1.3. Periode Pengembangan (1996–2020)

Mintobudoyo: “Rasa” dan Laboratorium Perumahan

Tak sekedar demi tujuan praktek mahasiswa, proyek Kota Gede, yang melibatkan Pak Mintobudoyo pun menjadi cikal-bakal laboratorium perumahan JUTAP UGM. Jika ditelusuri sejarahnya, eksistensi laboratorium perumahan tidak dapat dipisahkan dari Pak Mintobudoyo ―salah satu abdi dalem Keraton―yang turut menyumbangkan pengetahuannya dalam pengembangan JUTA (saat itu masih bernama Jurusan Teknik Arsitektur). Selanjutnya, JUTA UGM pun membuat empat laboratorium: 1) Laboratorium Sejarah Arsitektur, 2) Laboratorium Konstruksi, 3) Laboratorium Kota, dan 4) Laboratorium Perumahan. Laboratorium Perumahan dipimpin oleh Ir. Soewandi Indanoe, M.Sc. yang banyak meneliti dan membidangi konstruksi Jawa.

Sistem Jenjang menjadi Kredit: Insomnia Pre-Req, Insinyur INPRES, dan Kedalaman

Pada awal berdiri, sistem perkuliahan di JUTAP adalah berjenjang. Supaya memperoleh gelar Insinyur atau Sarjana, mahasiswa angkatan awal masih mengalami sistem berjenjang dengan ijazah kelulusan di tiap tingkat. Terdapat lima tingkat menuju sarjana; propadius 1, propadius 2, kandidat, bachelor. Tahun pertama perkuliahan termasuk dalam tingkat propadius 1, tahun kedua disebut tingkat propadius 2, tahun

ketiga adalah tingkat kandidat, dan tahun keempat disebut tingkat bachelor atau sarjana muda.

Program pre-req atau pre-requisite adalah program prasyarat, yaitu sistem kuliah yang berkesinambungan. Dalam program ini, jika mahasiswa tidak lulus mata kuliah prasyarat pada satu semester ganjil/genap maka tidak bisa mengambil mata kuliah yang terkait dengannya pada semester ganjil/genap berikutnya. Untuk mengulangnya mahasiswa harus menunggu setahun lagi. Jadi tidak bisa mencicil atau melompat dan diharuskan mengikuti aturannya.

Proses kuliah pun menjadi amat panjang dan berat. Nilai pada sistem yang dahulu juga hanya ada tiga, yaitu [L] lulus, [U] ulang, atau [T] tidak lulus. Mahasiswa yang 75% mata kuliah di tingkat sebelumnya belum lulus, maka jangan harap dapat meneruskan ke tingkat selanjutnya. Setiap semester mahasiswa sudah diberikan paket yang harus diambil yang sifatnya tidak dapat berubah dan jika tidak dapat memenuhi ketentuan yang ada seperti tidak lulus 75 % atau nilai U melebihi kuota yang diizinkan maka tidak dapat mengambil paket selanjutnya.

Jadi sistem pre-req atau prasyarat ini ternyata erat kaitannya dengan jenjang kuliah. Karenanya, mereka yang terganjal pada mata kuliah tertentu di semester sebelumnya, tentu saja harus rela kehilangan setahun waktunya untuk mengulang mata kuliah itu di tahun berikutnya. Itu juga belum tentu lulus. Banyak mahasiswa yang terganjal oleh mata kuliah prasyarat dan harus tinggal kelas. Waktu kuliah molor. Stress, tentu saja dirasakan karena harus membayar biaya kuliah tambahan, membayar kebutuhan rumah tangga bagi yang sudah berkeluarga, dan juga karena harus kuliah bersama dengan adik kelas yang pernah diplonconya. Beban mental.

Sistem perkuliahan yang semula sistem pre-req berjenjang, diubah menjadi sistem kredit. Pada sistem kredit, mahasiswa diperkenankan mengambil kredit mata kuliah di angkatan atasnya sesuai kemampuannya. Perubahan menjadi sistem kredit ini sangat mengutungkan mahasiswa dari segi waktu tempuh kuliah yang dulunya 11–13 tahun hanya menjadi kurang lebih 4 tahun.

Dalam masa perubahan itu, muncul istilah yang dikenal di kalangan mahasiswa sebagai “Insinyur INPRES”, atau di beberapa kelompok lain disebut sebagai “Insinyur Ngglundungan”. Memang hanya sebuah sebutan di beberapa kalangan mahasiswa. Hanya sebuah ledekan tak serius, tapi toh disyukuri. Proses studi yang menegangkan bertahun-tahun, tiba-tiba saja terselesaikan ketika bangun tidur.

Yudisium: Transformasi Calon Sarjana

Ketika sistem perkuliahan pre-req berjenjang dianut, setiap mahasiswa akan mendapatkan ijazah kelulusan di tiap tingkat. Kalau dikumpulkan hingga sarjana, seluruhnya berjumlah lima ijazah. Ijazah propadius 1, propadius 2, kandidat, bachelor atau sarjana muda, dan akhirnya insinyur atau sarjana. Masing-masing ijazah itu dapat diperoleh jika mahasiswa betul- betul lulus di tingkat itu. Sementara itu, dikenal pula tiga sistem penilaian: L (lulus), U (ulang), dan T (tidak lulus). Mahasiswa yang 75% mata kuliah di tingkat sebelumnya belum lulus, tidak mungkin dapat meneruskan ke

tingkat selanjutnya.

Gelar Sarjana Muda atau BA Arch., Bachelor of Architecture, boleh disandang bila mahasiswa telah menempuh 3 tingkatan, dan lulus 100%. Biasanya, level ini ditempuh mahasiswa selama 2–3 tahun karena mereka harus melakukan kerja praktik. Mendapat gelar Sarjana Muda sama dengan memberi pilihan bagi mahasiswa karena lulusan Sarjana Muda diperbolehkan untuk memilih antara melanjutkan atau tidak ke tingkat sarjana. Dengan ijazah itu, mereka mendapat kesempatan tidak hanya melamar pekerjaan, namun juga melamar wanita. Kala itu, asisten dosen pun dapat direkrut berdasarkan ijazah itu. Menikah juga di usia itu. Lulus Sarjana Muda adalah kejelasan status.

Pusat Pelestarian Pusaka (Center for Heritage Conservation/CHC UGM) 1998– 2020

CHC-UGM didirikan pada tahun 1998. Penggiat kegiatan ini adalah Dr.Eng. Ir. Laretna T. Adishakti, M.Arch., dan Dr. Ir. Dwita Hadi Rahmi, MA. Pada awalnya dimulai sebagai kelompok minat pelestarian arsitektur dan kota. CHC-UGM, selain meningkatkan materi pembelajaran pelestarian pusaka melalui penelitian dan praktek pelestarian juga aktif melakukan pengabdian masyarakat. Pada tahun 2000, CHC-UGM menjadi sekretariat Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia (JPPI) yang didirikan bersama berbagai organisasi pelestarian pusaka di Indonesia. Tahun 2003 CHC-UGM juga menjadi sekretariat penyelenggaraan Tahun Pusaka Indonesia 2003. Sebuah kegiatan akbar yang baru pertama kali diselenggarakan di Indonesia, serta menghasilkan piagam yang baru pertama pula dimiliki di Indonesia di bidang pelestarian pusaka yaitu Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003.

Pada tahun 2004, CHC-UGM berperan serta bersama berbagai organisasi pelestarian pusaka di Indonesia mengembangkan Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia menjadi Badan Pelestarian Pusaka Indonesia yang berbadan hukum dan berkedudukan di ibukota negara. Sejak saat itu, beragam kegiatan pelestarian pusaka di daerah, nasional maupun internasional dikembangkan secara berkelanjutan di CHC. Hasilnya selain digunakan untuk materi utama pembelajaran, juga untuk mendorong peningkatan praktek pelestarian pusaka yang komprehensif di Indonesia, serta mampu berkontribusi bagi terwujudnya Sustainable Development Goals (SDG’s).

Gambar 1.4 Mahasiswa Jurusan Arsitektur

(Sumber: Buku DTAP Dalam Memori 1962-2020)

Gambar 1.5 Kegiatan Pembelajaran di DTAP

(Sumber: Buku DTAP Dalam Memori 1962-2020)

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi: International Field School & Summer Course, International Workshops & Conferences dan menerbitkan karya publikasi Kanki, K., Adishakti L.T, Fatimah, T. (Ed.), 2015, “BOROBUDUR AS CULTURAL LANDSCAPE: Local Communities’ Initiatives for the Evolutive Conservation of Pusaka Saujana BOROBUDUR”, Kyoto University Press, Kyoto, 233 pg, 23 cm. ISBN 978-487-6983-65-0, www.amazon.com; Adishakti L.T., Hadiwinoto, S. (Ed.), 2010, “PENDIDIKAN PUSAKA INDONESIA: Panduan. untuk Guru Sekolah Dasar di Daerah Istimewa Yogyakarta”. A book published by Indonesian Heritage Trust in collaboration with Erfgoed Netherlands, Ministry of National Education Republic Indonesia, Universitas Gadjah Mada, and UNESCO Office Jakarta. ISBN 978-602-8756-17-4;

APTARI dan ASPI

APTARI berdiri pada tahun 2001. Awalnya beberapa perguruan tinggi arsitektur di Indonesia berkumpul di Jakarta, kemudian menyusul Bandung dan Yogyakarta. Selain UGM, terdapat pula UI, ITB, Universitas Parahyangan Bandung, Universitas Kristen Petra Surabaya, UGM, UNHAS, UII, bahkan UMM dan Universitas Muslim Indonesia (UMI) yang sangat berperan dalam memperjuangkan terbentuknya APTARI. Meski pada mulanya organisasi ini dianggap sepele, saat ini, APTARI memiliki pengaruh cukup kuat bagi perguruan tinggi lain. Seolah-olah, APTARI adalah pusat informasi dan keanggotaan suatu universitas di mana APTARI melegitimasi eksistensi universitas itu. Salah satu kisah menarik terjadi pada awal mula berdirinya organisasi ini. Pada kepengurusan pertama, Pak Santoso dipilih sebagai ketua umum, kemudian Pak Revi Revianto Budi Santoso dari UII sebagai wakil, dan Pak Luis Santoso dari UNHAS yang dikenal sebagai “Santoso Clan”.

Sementara itu, peran besar MPKD JUTAP di antara lembaga pendidikan perencanaan lain di Indonesia salah satunya adalah pembentukan ASPI. ASPI berdiri dan dideklarasikan di Senayan, Jakarta, pada tahun 2001. Terbentuknya ASPI sebetulnya berawal dari kejadian yang tak disengaja. Tahun 1994, ITB mengadakan seminar dalam rangka merayakan lustrumnya yang dihadiri oleh Pak Achmad Djunaedi, Pak Leksono PS., Pak Sudaryono, Pak Haryadi dan Pak Bakti Setiawan (Bobi). Di sela-sela acara seminar itu, Prof. Achmad Djunaedi berdiskusi dengan Pak Bambang, salah satu pihak yang pernah memberi bantuan ke ITB dan berkeinginan untuk memberi bantuan dalam pengembangan sekolah perencanaan di Indonesia. Namun tidak tahu caranya. Akhirnya, dengan disponsori oleh Jerman, UGM bersama 7 universitas lain, yang memiliki program studi perencanaan, mendirikan ASPI pada tahun 2001. ASPI pun menjadi salah satu hasil perjuangan MPKD JUTAP pada eranya. Tentu saja keberadaan APTARI dan ASPI mesti terjaga baik. Kedua organisasi adalah salah satu wujud kepedulian JUTAP UGM terhadap pengembangan pendidikan dan silaturahminya dengan lembaga pendidikan arsitektur dan perencanaan di seluruh Indonesia.

Merancang Asa Masyarakat Pasca Bencana: Gempa, Tsunami, dan Erupsi

Bencana Millenium Baru, Gempa & Tsunami Aceh 2004, menghentak tidak hanya Indonesia tetapi juga Dunia. Untuk memikirkan cara agar saudara-saudara di Aceh bisa bangkit setelah bencana besar tersebut, Tim Aceh bangkit JUTAP & Fakultas Teknik UGM, bahu-membahu memikirkan aksi nyata apa yang bisa dilakukan. Pada tingkat JUTAP, sesuai kompetensi keilmuan Arsitektur, relawan-relawan dosen mulai berkoordinasi cepat. Adalah Laretna Trisnantari Adishakti, yang pernah mengalami gempa Kobe 1995 dan RA Wondo Amiseno yang mendorong para relawan dosen merancang Shelter cepat bangun. Tidak lebih dari satu minggu dari bencana Aceh 26 Desember 2004, tiga mock-up 1:1 model “Rumah untuk Aceh”, telah berdiri di halaman Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, yang dirancang oleh relawan Ismudiyanto, Djoko Wijono, dan Ikaputra. Sistem dukungan logistik pembuatan mock-up terutama penyediaan material dikoordinasikan oleh Medy Krisnani dan Soeleman Saragih.

Di tengah ketidakpastian apakah mock-up di UGM tersebut bisa disumbangkan dan dibangun di Aceh yang jauh dari Yogyakarta, pemberitaan terkait aksi JUTAP mulai terpampang baik di koran lokal, Kedaulatan Rakyat dan Kompas, baik yang ditulis oleh wartawan maupun relawan dosen sendiri. Tim Fakultas Teknik UGM yang dipimpin Prof. Nizam (sekarang dirjen Dikti) mengajak Ismudiyanto dan Ikaputra untuk ke Banda Aceh dan membawa misi untuk menyumbangkan pemikiran-pemikiran tentang RT-Lorong Spontan dan “Rumah Aceh” cepat bangun bagi masyarakat Aceh. Hasilnya dua bulan setelah bencana, terbangun pemukiman sementara di desa Kandang Labuhan dengan 117 unit tinggal dan tujuh fasilitas bersama, kerjasama UGM, Dompet Dhuafa, dan Republika; Pemukiman sementara desa Cot Gue terbangun 120 Unit tinggal, kerjasama UGM, KNPD, Pemerintah Turki dan Pemerintah Daerah Aceh; Pengembangan pemukiman sementara dengan 35 unit rumah panggung kayu hasil kerjasama UGM dan Kementerian Pekerjaaan Umum, di Adjun Banda Aceh yang merupakan sumbangan dari Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu Ibu Ani SBY. Relawan Tim Evaluasi Program Aceh JUTAP—Ismudiyanto, Jatmika AS, Ikaputra, Harry Kurniawan, dan Syam Rachma M—berangkat ke Aceh dan Nias mengkaji perkembangan pemanfaatan rumah-rumah hunian sementara setelah satu tahun dibangun.

Program PHK-A2, 2004–2006

Dalam perkembangannya, Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan pernah memperoleh dana pengembangan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, melalui Program Hibah Kompetisi batch 1 yang ditujukan untuk Peningkatan Kualitas Lulusan. Program meliputi pengembangan relevansi, manajemen internal, dan Kerjasama, yang dilaksanakan pada tahun 2004-2006.

Judul program yang diangkat adalah ‘Peningkatan Profesionalisme dan Kepekaan terhadap Masalah Nyata’, dengan 5 sub-program yaitu (1) Peningkatan penguasaan practical skill mahasiswa, (2) Peningkatan penguasaan soft skill mahasiswa, (3) Peningkatan kinerja melalui pengembangan sistem informasi manajemen, (4) Peningkatan interaksi antarunsur dalam proses pembelajaran, dan (5) Peningkatan kerjasama dengan alumni, industri, pemerintah dan masyarakat.

Kegiatan yang memiliki dampak signifikan bagi pengembangan program studi adalah rangkaian kegiatan untuk meningkatkan proses pembelajaran, khususnya Studio Arsitektur. Kegiatan dimulai dengan diskusi secara intensif dengan beberapa perguruan tinggi dan praktisi bereputasi, yang ditindaklanjuti dengan penyusunan rencana pelaksanaan studio, baik secara substansial maupun secara teknis, yang di antaranya meliputi kompetensi, strategi, tema/fokus studio, kasus/pengayaan wawasan, sistem asistensi, sistem penilaian, dan sarana-prasarana pendukung. Kompetensi yang digagas meliputi practical skill dan soft skill.

Merancang Asa Masyarakat Pasca Bencana: Gempa, Tsunami, dan Erupsi

Kurang dari satu setengah tahun setelah bencana di Aceh, Gempa hebat melanda Yogyakarta 27 Mei 2006. Peran Penting JUTAP pada penanganan Gempa Yogyakarta

resources penting bagi berbagai pihak di dalam negeri maupun luar negeri yang ingin mendengarkan sharing experiences Institusi JUTAP terkait bencana. Dengan Magnitude 5,8 skala Richter dengan durasi hampir satu menit, tak kurang dari 400.000 keluarga telah kehilangan tempat tinggal di DIY dan Jawa Tengah. Hal ini menunjukkan kualitas konstruksi rumah-rumah di DIY dan Jawa Tengah sangat rendah. Lima hari setelah bencana 1 Juni 2006, JUTAP, telah membuat one day seminar, diinisiasi oleh Bakti Setiawan dan Ikaputra. Seminar tersebut diikuti oleh jurusan-jurusan arsitektur dari perguruan tinggi di Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta, serta dari luar negri (Kobe University), LSM dan Institusi luar negeri dan dalam negeri, (Habitat for Huminity, JICA, dll.); dan relawan-relawan atas nama pribadi.

Hasil diskusi dituangkan dalam dua slide skematis, terkait dengan kerangka kerja “Pemberdayaan Masyarakat Rekonstruksi Rumah tinggal Paska Gempa”. Skema yang digagas menjamin 3 Aspek penting pemberdayaan berjalan, yakni: (1) Kendali (control) atas kualitas tahan gempa Rumah yang akan dibangun; (2) Bantuan pendanaan, yang sumbernya bervariasi tetapi perlu akuntabilitas; dan (3) Pendampingan, yang mampu menjamin kualitas rumah dan bantuan dana tersalurkan dengan benar dan efisien. Pada malam hari, skema yang bertujuan agar proses rekonstruksi rumah pascagempa Jogja bisa terlembaga, telah dipaparkan ke Gubernur DIY, para bupati dan walikota beserta jajaran SKPD. Skema ini diyakini sebagai dasar pengembangan “POKMAS” (Kelompok Masyarakat) rekonstruksi DIY yang menjadi salah satu referensi negara-negara lain dalam menangani rekonstruksi rumah pascagempa berbasis masyarakat.

Dalam tataran kerja JUTAP, kegiatan para dosen sebagai relawan telah memberikan kontribusi yang cukup penting dalam berbagai kegiatan passcabencana. Dalam Aspek Rekonstruksi Rumah pascagempa, mulai dari gagasan rancangan Transitional Shelter, (Haryana, R. Wondo Amisena, Jatmika AS, Ikaputra), Core House dan Rumah Permanen, (Ikaputra, Ismudiyanto, Djoko Wijono), Pendampingan Masyarakat melalui penyuluhan ke sekitar 900 dusun bersama relawan dosen, mahasiswa, dan pensiunan PU, dimotori oleh Jatmika AS. Penerapan 16,000 unit T-Shelter Bambu dari sekitar 70.000 unit yang terbangun di DIY juga dimotori oleh Jatmika AS yang dijuluki sebagai profesor T-Shelter. Pembuatan Manual Rumah Tahan Gempa (dukungan PMI), Rumah Aksesibel (dukungan Handicap International), dan Home Owner Manual for Kotagede Heritage Reconstruction (UNESCO) oleh tim di bawah koordinasi Jatmika AS, Ikaputra, Laretna TA, dan Dwita HR, juga telah tercetak dan bahkan digunakan tak hanya bagi bencana Jogja tetapi juga bencana-bencana lain setelah itu.

Pusat Layanan Teknis, dikenal dengan “Pusyanis” yang dikembangkan oleh JTSL dan JUTAP dan didukung oleh JICA, melibatkan pilot project penerapan “Pusyanis” di dua Kawasan, yakni Pusyanis Kasongan (Ardhya Nareswari, Diananta P, bersama relawan mahasiswa S1) dan Pusyanis Kotagede (Laretna TA dan Dyah Titisari W bersama relawan mahasiswa S2). Memperkenalkan teknologi baru tahan gempa-api-angin topan melalui struktur Rumah Dome di Ngelepen (JTSL-JUTAP dan relawan S2); Pendampingan pembangunan rekonstruksi fasilitas publik, baik sementara maupun permanen telah dilakukan oleh Eugenius Pradipta, yang membantu membuat “Gereja

Sementara dengan Struktur Bambu” untuk Gereja St. Yakobus Klodran Bantul yang mendapatkan Penghargaan Nasional PU untuk Teknologi Tepat Guna Pasca Gempa, Pembangunan SD-SD di Klaten dan SMP di Bantul oleh Arif Kusumawanto, relawan mahasiswa dan alumni JUTAP (bantuan dari Kemenlu), Pembangunan Taman Kanak-Kanak di Bantul dan Retrofitting sekolah Heritage zaman Belanda (SD Ngupasan & SD Margoyasan) di Yoggyakarta bekerja sama dengan Teddy Boen pakar konstruksi tahan gempa Indonesia yang didukung bantuan Pemerintah Kobe (Ikaputra dan tim JTSL).

Lebih dari sekedar pengalaman institusi JUTAP terlibat dalam permasalahan rekonstruksi “klasik” berupa fisik rumah dan fasilitas, pengalaman para relawan dosen telah memberikan “preseden” baru yang menginspirasi penanganan permasalahan pascabencana beyond fisikal, tetapi terkait modal jejaring gotong royong, penanganan aspek budaya, ekonomi, pariwisata, bahkan sistem pendidikan dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan penanganan Tourism Post Earthquake, gotong royong dukungan desa-desa salak pondoh Turi-Sleman dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, untuk membangun sekolah-sekolah darurat dan posko darurat di Bantul dengan atap daun Salak Pondoh, yang dipimpin oleh pakar pariwisata Wiendu Nuryanti; Penanganan Heritage Post Earthquake baik aset budaya fisik arsitektur maupun aspek nonfisik kerajinan dan komunitas.

Rekonstruksi Bangsal Trajumas Kraton Kesultanan Yogyakarta dan Rekonstruksi Pojok Beteng, dimotori Arya Ronald dan Laretna TA Kerjasama UGM dan JHS, dan Culture Emergency Response, Prince Clause Fund. Kotagede Bangkit Paska Gempa, Kotagede Post Earthquake dan Gabusan Art Market Economic Revival melalui program Foster Parents for Heritage Buildings and Economic revival through Craft, melibatkan relawan-relawan Laretna TA, Dyah Titisari Widyastuti, Ardhya Nareswari, Sulaiman Saragih dan Ikaputra hasil kerjasama UGM dan mitra kerja ExxonMobile, Total Indonesie, JICA, Prince Clause Netherland, Pemerintah Kyoto kemudian dilanjutkan oleh REKOMPAK Bank Dunia. Penanganan Pusaka Batik Imogiri pascagempa juga menjadi perhatian JUTAP bekerja sama dengan Paguyuban Batik Sekar Jagad.

Program pendidikan pengurangan risiko bencana untuk komunitas dan anak-anak juga dikembangkan, yakni Inisiatif Kanca Cilik (IKC) dan Bokomi (Basis Organisasi Kesiagaan Komunitas) mengadopsi model yang dikembangankan di Kobe Jepang didukung oleh NPO-Plus Art, Pemerintah Kobe, JICA Jepang, dan Japan Foundation, dimotori oleh Ikaputra dan Dyah Titisari W. Masih banyak kegiatan-kegiatan Relawan dosen yang belum tercatat dalam kegiatan-kegiatan pasca gempa Jogja 2006 ini. Dokumentasi dalam bentuk buku, paper seminar dan jurnal-jurnal terkait dengan gempa bumi Yogyakarta telah banyak dipublikasikan. Para penulis juga banyak terlibat dalam kegiatan nyata di lapangan, dan salah satu buku yang lengkap dalam bentuk monogram, dikoordinasikan oleh Yoyok T Wahyu Subrata dan Diananta Pramitasari. Buku International Recovery Platform: Build Back Better yang dipublikasikan oleh Asian Disaster Reduction Center (ADRC) melibatkan dosen-dosen Bakti Setiawan, M. Sani Roychansyah, Jatmika Adi Suryabrata, Laretna TA, Ardya Nareswari, Dyah Titisari W, and Ikaputra.

Basecamp Mahasiswa: Dari Bawah Tangga ke Rumah Kayu

Organisasi kemahasiswaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan perkuliahan. Di Fakultas Teknik, selain ada BEM UGM dan BEM FAKULTAS TEKNIK UGM, organisasi kemahasiswaan ada di level departemen. Bahkan di departemen tertentu, termasuk DTAP organisasi berada di level prodi, walaupun pembinaanya tetap oleh departemen. Untuk menunjang kegiatan KM/HM ini, perlu adanya sekretariat sebagai tempat menjalankan kegiatan. Seringkali, kegiatan mahasiswa apa pun dilaksanakan di sekretariat ini baik yang berkaitan dengan perkuliahan maupun tidak sehingga menjadi basecamp.

Basecamp angkatan 2009 masih di bawah tangga. Jika rapat di Tedjo dan Rumah Aceh (sewaktu itu rumah Aceh masih di Innercourt). Issue pengadaan basecamp yang lebih “proper” sampai pernah disentil pada saat pelepasan wisuda. Tidak lama setelah itu dibangunlah sekretariat berupa rumah kayu secara bertahap menyesuaikan biaya yang ada untuk menjaga kualitas. Awalnya sekretariat KMTA dulu yang dibangun, berikutnya sekretariat HMT PWK. Walaupun belakangan, ruang HM dirasa lebih baik kualitasnya. Periode KMHM 2011 saat pertama kali basecamp KM dan HM dibangun menjadi saksi kegiatan formal dan nonformal bagi mahasiswa. Saking senangnya ada basecamp yang dibangun, sampai beraktivitas di kampus hingga pagi hari. Karena kampus ditutup pukul 22.00 WIB, mahasiswa banyak yang memanfaatkan “jebolan” dinding pagar Teknik Sipil untuk keluar. Motor diparkir di depan gerbang/ pintu kecil depan Teknik Sipil dan Alhamdulillah tidak ada motor yang hilang.

Merancang Asa Masyarakat Paska Bencana: Gempa, Tsunami, dan Erupsi

Bencana Erupsi Siklus 100 tahunan pada tahun 2010 juga telah menggerakkan JUTAP. Walaupun tidak banyak relawan dosen yang terlibat, karena skala bencana tidak sebesar Gempa Jogja 2006. Namun keterlibatan dosen-dosen sejak awal sudah terpadu secara multidisiplin dan memanfaatkan jejaring yang dimiliki sebelumnya.

Mulai dari masa tangap darurat, dengan memanfaatkan jejaring Windu Nuryanti dengan Kementerian PUPR, Dinas Tata Kota DKI, dan Walikota Jakarta Utara untuk Pengadaan MCK Umum, tandon air dan pemipaannya; Penyusunan Kebijakan, pemilihan lokasi, perancangan site plan, dan penerapan 7 lokasi hunian antara pascaerupsi dengan konsep pemberdayaan basis POKDUS (Kelompok Dusun), untuk mendukung kebijakan BNPB dan Dinas PU-ESDM DIY serta didukung oleh Relawan TNI, Basarnas, TV One, Metro TV, GP Anshor dan dusun-dusun yang terdampak dll. Tim huntara ini banyak melibatkan relawan dosen—Laretna TA, Ismudiyanto, Ikaputra, Ardya Nareswari, Eugenius Pradipto dan rekan-rekan dosen JTSL—juga didukung oleh mahasiswa khususnya S2 dan S3 serta Alumni. Pembangunan Huntara Gondang, Huntara Kuwang, Huntara Sudimoro, merupakan sumbangan nyata relawan JUTAP. Huntara Sudimoro karya Eugenius Pradipto mendapatkan Penghargaan Karya Konstruksi Indonesia (KKI) 2011 dari Kementrian Pekerjaan Umum. Kerjasama relawan fakultas ekonomi, ilmu budaya, peternakan dan arsitektur (Ikaputra dan Laretna TA) telah mengkaji pengembangan budaya 3T (Ternak, Tani, Tambang) dengan menghasilkan kajian “Ruang Ekonomi Hunian Antara Pasca Erupsi Merapi” dengan dukungan dana AIDR-AUSAID. Penyusunan “Pola Ruang Wilayah Merapi Pasca Erupsi 2010” oleh Sudaryono bersama Tim Laboratorium Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana Fakultas Geografi

Dalam dokumen MASA DEPAN ADALAH UJUNG SEJARAH (Halaman 89-107)