• Tidak ada hasil yang ditemukan

Periode Pertumbuhan (1970–1996)

Dalam dokumen MASA DEPAN ADALAH UJUNG SEJARAH (Halaman 83-89)

BAB I DEPARTEMEN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN

1.2. Periode Pertumbuhan (1970–1996)

Research Center dan Design Center: Awal Tradisi Penelitian

Sekitar tahun 1970-an, lembaga Research Center (RC) dan Design Center (DC) didirikan ketika JUTAP UGM berlokasi di Barek. RC adalah lembaga riset yang bergerak di bidang planning, sedangkan DC adalah lembaga bantuan desain yang bergerak di bidang arsitektur. RC ini pula yang menjadi cikal-bakal munculnya fokus tentang perencanaan wilayah dan kota di JUTAP UGM.

Kawasan Borobudur-Prambanan, Kotagede, dan Malioboro adalah wahana jurusan ini untuk belajar tak hanya building, tetapi juga build environment. Ini dapat dipahami, karena dulu diyakini bahwa belajar di arsitektur adalah belajar arsitektur kota, tak sekedar belajar bangunan. Sementara itu, mempelajari bangunan kawasan seperti Tamansari, Kotagede, dan sebagainya, disebabkan kawasan itu adalah fokus kebijakan pemerintah saat itu. Semua proyek itu adalah sebagian dari karya RC dan DC. Para dosen dan mahasiswa saat itu mengaku mendapat banyak pelajaran dengan adanya RC dan DC. Terutama karena pengayaan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat dalam proses belajar mengajar. Dengan terlibat di dua lembaga ini, materi bahan ajar banyak diperoleh para dosen dari pengembangan ilmu yang bersumber pada pengalaman nyata di lapangan. Dalam perkembangannya, RC pun tumbuh dan berubah nama menjadi

Pusat Studi Perencanaan dan Pembangunan Regional (PSPPR). Setiap proyek jurusan selalu diberikan kepada mahasiswa melalui RC dan atau DC. Semata demi tujuan satu-terpadunya banyak pihak; dosen, mahasiswa, dan lembaga RC-DC.

Kampus Mbarek-Bata Merah

Tahun 1972, kampus Arsitektur UGM menemukan identitasnya di Barek. Kampus Barek ini ada saat UGM memberi Bagian Arsitektur lahan untuk kegiatan belajar mengajar serta untuk kegiatan lain. Saat ini, lokasi Kampus MM UGM dikenali sebagai bekas lokasi Kampus Barek. Meski secara luasan kecil, namun inilah kampus arsitektur yang paling “ngarsitek”. Ruang fisik yang tidak formal, kelas yang terbatas dan berpindah-pindah pun memungkinkan kerapnya hubungan sosial antar semua pelaku ruang. Kampus Barek dengan bangunan bata merah yang tidak berlepo ini pun dikenang memiliki identitas khas yang pertama di Yogyakarta dan terkenal di seluruh Indonesia. Suasana kampus yang menginspirasi, homey, masih melekat hingga harus mengalami perpindahan menuju Kampus Grafika. Perpindahan kampus dari Barek ke Grafika terjadi pada masa transisi kepemimpinan dari Gunung Radjiman kepada Sigit Sayogyo Basuki sebagai Ketua Jurusan Arsitektur. Bermula dari rencana pengembangan kampus tahun 1993, Kampus Grafika selesai dibangun sekitar tahun 1995, dan dibuka pada tahun 1996.

Kehadiran Romo Mangunwijaya dengan Arsitektur Kerakyatannya memiliki tempat dan kesan tersendiri dalam pengembangan keilmuan arsitektur di JUTAP. Aliran arsitektur kerakyatan tersebut menginspirasi sekelompok mahasiswa yang kemudian mengembangkan ketertarikan dan komitmennya pada Aristektur “Kerakyatan” yang cukup kuat. Para pengikut dan murid Romo Mangunijaya kemudian bergerak di bidang pendampingan, seperti bapak Darwis Khudori dan lainnya dengan mendirikan “Yayasan Pondok Rakyat” (YPR) yang masih eksis sampai saat ini. Selain itu juga terdapat nama-nama lain yang turut melestarikan dan mengembangkan aliran arsitektur kerakyatan yang “membumi” tersebut, di antaranya adalah Bapak Eko Prawoto, Bapak Effan, Bapak Pradipto, Bapak mok, dan lainnya.

Karena bangunan yang tidak formal, akrab, dan ruang-ruang terbuka di antara bangunan, maka banyak aktivitas mahasiswa dilakukan di tempat itu. Ruang-ruang terbuka dengan pohon kelengkeng besar tampak sangat berkesan bagi semua. Tidak saja digunakan untuk tempat berkumpul, namun digunakan untuk kuliah pula. Mata kuliah Studio seringkali dilangsungkan di bawah pohon klengkeng itu. Mahasiswa display hasil karya kuliah Studio di sana. Teduh. Kuliah menjadi menyenangkan.

Kampus Bata Merah ini memang sederhana, namun akrab dan menstimulasi interaksi kreatif antarmahasiswa dan dosen. Kampus ini rumah bagi warganya. Seperti itulah seharusnya sebuah kampus. Ide Ardi Pardiman pada Kampus Bata Merah itu mengajarkan kesementaraan, namun tak pernah menjadi sementara. Abadi.

Lembaga Bantuan Arsitektur

Lembaga Bantuan Arsitektur (LBA) adalah lembaga bentukan mahasiswa yang terinspirasi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adnan Buyung Nasution, yang

memang begitu populer kala itu. Tahun 1982, LBA di bawah naungan KMTA Wiswakharman ini dibentuk. Diawali dengan kasus bencana banjir di Lumajang, LBA membantu dalam rekonstruksi pascabencana kemudian berkembang menjadi klinik arsitektur yang diadakan setiap pameran arsitektur tahunan Wiswakharman. Mahasiswa memberikan pelayanan pada publik, dari sekedar konsultasi permasalahan rumah hingga membuatkan gambar desain arsitekturalnya.

(Sumber: Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, 2020)

Gambar 1.1 Kampus Mbarek Bata Merah

(Sumber: Arsip Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan)

Dalam pameran itu, stan unit klinik arsitektur biasanya berupa satu meja dengan beberapa mahasiswa yang piket bergiliran. Selain menjadi konsultan, ada pula mahasiswa yang bertugas sebagai drafter. Karena itu, setiap pameran meja gambar tak pernah lupa diangkut. Dulu belum ada komputer. Hasil desain atau gambar tak serta-merta diserahkan begitu saja kepada klien, namun harus diajukan ke senior terlebih dahulu untuk diperiksa. Setelah ditandatangani, barulah desain itu bisa diserahkan kepada klien. Meski on-off, on-off, LBA dengan klinik arsitekturnya menjadi bentuk pengabdian mahasiswa pada masyarakat.

Dalam pameran itu, stan unit klinik arsitektur biasanya berupa satu meja dengan beberapa mahasiswa yang piket bergiliran. Selain menjadi konsultan, ada pula mahasiswa yang bertugas sebagai drafter. Karena itu, setiap pameran meja gambar tak pernah lupa diangkut. Dulu belum ada komputer. Hasil desain atau gambar tak

serta-merta diserahkan begitu saja kepada klien, namun harus diajukan ke senior terlebih dahulu untuk diperiksa. Setelah ditandatangani, barulah desain itu bisa diserahkan kepada klien. Meski on-off, on-off, LBA dengan klinik arsitekturnya menjadi bentuk pengabdian mahasiswa pada masyarakat.

Bencana: Naluri untuk Membantu

Ketika perkuliahan masih di kampus Barek, tahun 1979, terjadi gempa di Garut. Mahasiswa arsitektur bekerja sama dengan Sipil untuk membantu korban bencana. Begitu pula ketika terjadi bencana banjir di Lumajang tahun 1981. Kali itu, mahasiswa bekerjasama dengan Koran Kedaulatan Rakyat membantu korban bencana dan tinggal di sana untuk sementara. Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan sudah ikut serta dalam kegiatan penanganan pasca bencana sejak lama. Salah satunya, ketika masih berada di kampus Barek yang pada saat itu masih bernama Jurusan Teknik Arsitektur pada tahun 1979 terjadi gempa di Garut. Mahasiswa arsitektur bekerjasama dengan Sipil untuk membantu korban bencana. Begitu juga ketika terjadi bencana banjir di Lumajang tahun 1981. Para mahasiswa Arsitektur yang dinaungi Keluarga Mahasiswa Teknik Arsitektur (KMTA) UGM beraksi membantu para korban bencana banjir. Saat itu mahasiswa tinggal di sana selama beberapa hari untuk memberi bantuan, di mana Koran Kedaulatan Rakyat dengan sumbangan KR ikut mensponsori kegiatan tersebut.

(Sumber: Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, 2020)

Gambar 1.2 Perumahan Bambu Korban Banjir Lahar Dingin

Dalam proses mengabdi untuk masyarakat dua belas rumah bambu hunian sementara yang ditempati oleh keluarga korban banjir lahar dingin Sungai Pabelan di Sudimoro, Muntilan, Magelang, telah mengantarkan Dr. Ing. Ir. Eugenius Pradipto (arsitek dan dosen Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada) meraih penghargaan Karya Konstruksi Indonesia (KKI) 2011 dari Kementerian Pekerjaan Umum. Karya ini berhasil menyabet penghargaan untuk kategori konstruksi teknologi tepat guna.

Ketika Orang Asing Jatuh Cinta

Tak dapat dipungkiri, kemajuan dan perkembangan JUTAP saat ini adalah hasil kerjasamanya dengan World Bank dan beberapa institusi pendidikan dari luar negeri. Kerjasama JUTAP yang pertama dalam bidang pendidikan adalah dengan UCLA, Universitas California, dikenal dengan program “Kentucky”. Dalam program ini, UCLA mengirimkan dosennya, Prof.Welter, untuk membina dan mengajar di JUTAP. Prof. Welter inilah yang mengajar saat jurusan ini masih berlokasi di Jetis (saat ini telah berubah menjadi SMK 3). Saat itu, dosen yang mengajar sebagian besar merupakan dosen dari Jurusan Teknik Sipil, Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), serta Fakultas Ilmu Budaya. Dosen yang berasal dari arsitektur hanya ada dua, yaitu Sampurno Sami’un dan Prof. Welter. Prof.Welter mengajar mulai dari angkatan pertama, kemudian pada angkatan kedua hadirlah Parmono Atmadi dan Bondan Hermani Slamet, serta Ardi Pardiman Parimin dan Susantiah Ardi pada angkatan ketiga saat perkuliahan JUTAP berlangsung di Sekip.

Tahun 1984, JUTAP mulai merintis kerjasama dengan The School of Architecture and Urban Planning, University of Wisconsin-Milwaukee (SARUP–UWM). Kerjasama yang direncanakan berjalan selama 2,5 tahun, sejak Agustus 1985 hingga Desember 1987 tersebut pada akhirnya terwujud melalui program “visiting professor”.

Bidang utama yang dikembangkan dalam program “visiting professor” adalah penelitian, pengembangan kurikulum, dan computer aided design/CAD. Kedatangan Profesor Douglas Ryhn mengawali kedatangan profesor-profesor lainnya.

Mereka yang terlibat dalam program “visiting professor” ini antara lain: a. Prof. Douglas Ryhn, di JUTAP pada 3 Agustus 1985–21 Januari 1986, b. Prof. David Stea, di JUTAP pada 7 Januari 1986–22 Juni 1986, c. Prof. Amos Rapoport, di JUTAP pada 15 Juni 1986–15 Agustus 1986, d. Prof. David E Glasser, mulai 8 Agustus 1986–10 Januari 1987,

e. Prof. Harry Van Oudanellen, di JUTAP pada 3 Januari 1987–22 Juni 1987, f. Prof. Garry Moore atau Prof Carl Patton, di JUTAP pada 15 Juni 1987–15

Agustus 1987

g. Prof. William Page, mulai 8 Agustus 1987 hingga 21 Desember 1987 Rupanya tokoh-tokoh tersebut, selain memiliki ketertarikan terhadap Indonesia, juga memiliki ikatan emosional kuat terhadap JUTAP. Proyek World Bank Bank 9, 15, dan 17 memungkinkan dosen JUTAP untuk studi ke luar negeri, baik yang melanjutkan studi di University of Winconsin - Milwaukee seperti Kawik Sugiana,

Haryadi (alm), Djoko Wijono, Imam Jokomono (alm), Bambang Hari Wibisono, Wiendu Nuryanti, Medy Krisnany dan Laretna maupun di beberapa universitas lainnya seperti Didik Kristiadi ke Colorado, Achmad Djunaedi ke Texas dan Haryana ke New Zealand. Sementara itu Nindyo Soewarno, Atyanto Dharoko dan Gunung Radjiman memanfaatkan proyek itu untuk melanjutkan studi ke Inggris. Selain terbangunnya budaya penelitian, di antara para pengajar itu mengakui bahwa studi para pengajar JUTAP di luar negeri berpengaruh terhadap sistem penilaian.

Internasionalisasi DTAP FAKULTAS TEKNIK UGM

Internasionalisasi DTAP UGM sebenarnya telah dimulai sejak awal pendirian departemen/jurusan ini, khususnya ketika beberpa founding fathers/pendiri/perintis departemen ini mengambil sekolah S2 di luar negeri, antara lain Pak Bondan Hermanislamet, Pak Soewandi Indanoe, yang kemudian diikuti oleh dosen-dosen muda lainnya yakni, Pak Cono, Pak Haryana, Pak Djunaedi, Pak Kawik, Pak Haryadi, dan Pak Roni. Semuanya memberikan nuansa internasionalisasi departemen ini dalam perspektif dan perkembangan ilmu pengetahuan bidang arsitektur dan perencanaan, sekaligus juga jaringan serta kerjasama dengan pihak luar negeri.

Selanjutnya, internasionalisasi departemen ini menjadi lebih kuat dan luas, khususnya dengan adanya program kerjasama antara departemen ini dengan School of Architecture and Urban Planning, The University of Wiscounsin, Amerika, yang dikenal dengan program “Jutap-Sarup” yang terjadi pada rentang waktu antara tahun 1984–1990 an. Melalui kerjasama yang sangat produktif meliputi baik pengembangan SDM serta kolaborasi penelitian dan publikasi ini, departemen arsitektur telah menempatkan posisinya sebagai departemen yang mempunyai kualitas dan jaringan internasional yang cukup terpandang di Indonesia.

(Sumber: Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, 2020)

Gambar 1.3 Visiting Profesor Jurusan Arsitektur

Melalui kolaborasi ini, departemen arsitektur UGM menjadi semacam perintis dan pusat pengembangan kajian bidang arsitektur dan perilaku di Indonesia. Dalam hal pengembangan SDM, melalui kerjasama ini pula, departemen ini meningkatkan SDMNya, di mana 7 (tujuh) staf dosen departemen ini mendapatkan kesempatan untuk mengambil program S2 dan S3 di Amerika, semakin memperkuat SDM departemen dalam mengembangkan kualitas dan kolaborasinya dengan dunia luar. Peningkatan kualitas SDM tersebut yang kemudian juga mengawali pendirian dan pengembangan program S2, dan akhirnya juga S3, pada awal tahun 1990-an.

Gelombang berikutnya internasionalisasi departemen ini adalah pada tengah tahun 1990-an, ketika staf dosen muda departemen ini menyelesaikan program S3 nya, khususnya mereka-mereka yang bersekolah ke Jepang. Paling tidak terdapat enam doktor baru lulusan berbagai universitas di Jepang pada tengah tahun 1990-an, yang semakin memperkuat SDM departemen. Para doktor lulusan Jepang ini, kemudian, mengawali babak baru internasionalisasi departemen dengan membangun berbagai jaringan dan kegiatan dengan mantan-mantan “sensei-nya” berupa baik berbagai kunjungan/pertukaran akademis, kolaborasi riset, joint studio, dan berbagai kegiatan lain yang semuanya menjadikan departemen ini mempunyai basis internasionalisasi yang luas dan terpandang.

(Sumber: Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, 2020)

Dalam dokumen MASA DEPAN ADALAH UJUNG SEJARAH (Halaman 83-89)