• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI

2.1 Konsep Mengenai Perjanjian

2.1.2 Perjanjian Menurut KUHPerdata

Perjanjian adalah sebagai perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal atau tidak

melakukan sesuatu hal dengan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.72

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu perjanjian terjadi hubungan hukum antara dua pihak yang berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Mengenai dasar hukum dari perjanjian di Indonesia diatur dalam buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Menurut ketentuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa : “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Berdasarkan definisi pasal ini diketahui bahwa dalam perjanjian ada pihak yang mengikatkan dirinya terhadap pihak lain. Definisi perjanjian tersebut sudah otentik namun rumusannya disatu sisi adalah tidak lengkap karena hanya menekankan pada perjanjian sepihak saja dan disisi lain terlalu luas karena dapat mengenai hal-hal yang berhubungan

72

Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale Bandung, Bandung, h. 19

dengan janji kawin yaitu sebagai perbuatan yang terdapat dalam bidang hukum

keluarga.73

Pengertian perjanjian yang termuat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata masih terdapat beberapa kelemahan yang harus dikoreksi, diantaranya yaitu:

a. Hanya menyangkut sepihak saja

b. Tidak mengandung suatu konsensus

c. Pengertian perjanjian terlalu luas

d. Tanpa menyebut tujuan.

Pengertian perjanjian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata menurut para sarjana kurang lengkap karena banyak mengandung kelemahan-kelemahan dan terlalu luas pengertiannya karena istilah perbuatan yang dipakai dapat mencakup juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang

dimaksud adalah perbuatan melawan hukum.74 Pengertian perjanjian dalam Pasal

1313 KUHPerdata hanya menyangkut sepihak saja. Hal tersebut dapat diketahui dari rumusan kata kerja ”mengikatkan diri“, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian : ”suatu perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwarneming) dan tindakan melawan hukum (onrectitmatigedaad) tidak mengandung suatu konsensus. Perbuatan yang dimaksud diatas adalah

73

R.Subekti I, Op.cit, h. 1 74

R. Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, h. 49.

perbuatan yang timbul dari penjanjian saja, seharusnya dipakai istilah “persetujuan”. Pengertian Perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas, karena mencakup juga kelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dengan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki buku ke III KUHPerdata sebenarnya hanyalah meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal). Dalam rumusan pasal ini tidak disebutkan tujuan mengadakan

perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.75

Untuk melengkapi kekurangan mengenai rumusan perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1313 KUHPerdata, Subekti memberikan pendapat mengenai pengertian perjanjian yaitu “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan

perikatan.”76 Rutten sebagaimana dikutip oleh Purwahid Patrik yang menyatakan

bahwa perjanjian adalah perbuatan yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dan peraturan hukum yang ada tergantung dari persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah

75

Abdulkadir Muhamad, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 80

76

satu pihak atas beban lain atau demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal

balik.77

Berdasarkan definisi yang telah diberikan diatas mengenai perjanjian maka dapat diketahui bahwa perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji atau kesanggupan oleh para pihak, baik secara lisan maupun tertulis untuk melakukan sesuatu yang menimbulkan akibat hukum.

Perjanjian dalam lingkup hubungan bisnis lazimnya disebut dengan kontrak. Menurut pendapat Robert Duxbury memberikan pengertian mengenai kontrak sebagai berikut : “a contracts may be defined as an agreement between two or more

parties that is binding in law.”78

Kemudian pendapat lain mengenai kontrak sebagaimana diungkapkan oleh Gordon W. Brown and Paula A. Sukys menyatakan bahwa : “ a contracts is an agreement between two or more competent parties, based

on mutual poses, to do or to refrain from doing some particular thing that is reither illegal not impossible, the agreement result in abligation or a duty that can be enforead in accourt law.”79

Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa kontrak disamakan dengan perjanjian dimana keduanya dilakukan diantara dua orang atau lebih dan mereka yang mengadakan perjanjian tersebut terikat pada hukum, artinya apabila ada

77

Purwahid Patrik, 1998, Hukum Perdata II, Jilid I, Mandar Maju, Bandung, h. 1-3.

78

Robert Duxbury, 2006, Contract Law, Seventeen edition, Thomson Sweet & Maxweel, London, England, p. 1

79

Gordon W. Brown and Paula A. Sukys, 2001, Business Law With UCC

pihak yang melanggar isi perjanjian yang telah disepakati itu maka terhadap pihak yang melanggar tersebut dapat dituntut secara hukum dimuka pengadilan. Secara yuridis, pengadilan dapat memaksakan untuk berlakunya suatu perjanjian dan pengadilan juga dapat menjatuhkan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar apa yang telah disepakati dalam kontrak tersebut.

Dalam suatu perjanjian haruslah dipastikan bahwa perbuatan hukum tersebut memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Sah atau tidaknya suatu perjanjian dapat dipastikan dengan mengujikannya terhadap empat syarat untuk sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Mengenai syarat sahnya suatu Perjanjian tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa : “untuk sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.

Ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata ini menurut penulis berlaku untuk setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang tunduk sesuai dengan hukum di Indonesia. Sehingga setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak baik secara otentik maupun dibawah tangan harus memenuhi semua ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata ini.

Selain mengeni syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat juga syarat sah nya perjanjian diluar ketentuan dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut diantaranya yaitu:

- Harus dilakukan dengan iktikad baik - Harus tidak bertentangan dengan kebiasaan

- Harus berdasarkan atas asas kepatutan atau kepantasan

- Harus tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan ketertiban umum.80

Terdapat juga perjanjian-perjanjian tertentu yang untuk sahnya perjanjian tersebut harus memenuhi ketentuan tertentu, misalnya harus dibuat secara notariil (dibuat oleh atau dihadapan Notaris), contohnya perjanjian fidusia, perjanjian dalam pendirian Perseroan Terbatas, perjanjian dalam pendirian Yayasan, perjanjian dalam pendirian Koperasi, dan lain sebagainya. Perjanjian tersebut harus hanya dilakukan dihadapan pejabat tertentu saja, misalnya : perbuatan hukum “hibah atas obyek bidang tanah tertentu,” harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang. Pendirian Koperasi harus dilakukan dihadapan Notaris yang berwenang membuat Akta Koperasi. Demikian juga ada perjanjian atau kontrak-kontrak tertentu

yang harus mendapat ijin dari Pejabat yang berwenang.81

Menurut hemat penulis syarat sahnya perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri yang merupakan syarat mutlak adanya sebuah perjanjian, dimana kedua pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai

80

Mulyoto, 2012, Perjanjian (Tehnik, Cara Membuat dan Hukum Perjanjian

Yang Harus Dikuasai), Cakrawala Media, Yogjakarta, h. 34-35

81

hal-hal yang menjadi pokok dari perjanjian yang dilakukan/ diadakan itu, dan apabila mereka tidak sepakat maka tidak ada perjanjian. Kesepakatan yang dibuat menunjukkan bahwa mereka (orang-orang) yang melakukan perjanjian, sebagai subyek hukum tersebut mempunyai kesepakatan (kebebasan) yang bebas dalam membuat isi perjanjian serta tidak boleh adanya unsur paksaan. Sepakat tersebut tidak saja mencakup pengertian “sepakat” untuk mengikatkan diri tetapi juga “sepakat‟ untuk mendapatkan prestasi.

Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak tidak saja mempunyai kewajiban, tetapi juga berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Suatu perjanjian sepihak yang memuat hak atau kewajiban satu pihak untuk mendapatkan atau memberikan prestasi, tetap mensyaratkan adanya kata sepakat dari kedua belah

pihak.82 Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian menjadi batal jika terdapat

paksaan tercantum dalam Pasal 1323 KUHPerdata yang menyatakan : “paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian, merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut telah tidak dibuat. ”Batalnya perjanjian juga tercantum dalam Pasal 1325 KUHPerdata yang menyatakan : “paksaan mengakibatkan batalnya suatu perjanjian tidak saja apabila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat perjanjian, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan terhadap suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis keatas maupun kebawah.”

82

Mengenai syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan mengandung makna bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian/ perikatan tersebut merupakan orang yang sudah memenuhi syarat sebagai pihak yang dianggap cakap oleh atau menurut hukum, sehingga perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan sesuai hukum pula. Dalam KUHPerdata hanya diterangkan tentang mereka/ pihak-pihak yang oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sehingga pihak di luar yang tidak cakap tersebut dianggap cakap untuk melakukan perbutan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata yang berbunyi : setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.

Mengenai syarat selanjutnya yaitu suatu hal tertentu pada persyaratan sahnya suatu perjanjian adalah obyek dari pada perjanjian. Dalam KUHPerdata ditentukan bahwa objek perjanjian tersebut haruslah merupakan barang-barang yang dapat ditentukan nilainya atau dapat diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1333 KUHPerdata yang berbunyi : "Suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah itu barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.

Syarat terakhir untuk sahnya perjanjian yaitu suatu sebab yang halal. Menurut ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa : "Suatu perjanjian tanpa sebab (causal), atau telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan." Sedangkan Pasal 1336 KUHPerdata menegaskan bahwa: “jika

tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal ataupun ada sesuatu sebab lain dari pada yang dinyatakan perjanjiannya namun demikian adalah sah. ”Pengertian dari suatu sebab yang halal yaitu bahwa isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, norma-norma, kesusilaan, dan ketertiban umum. Misalnya seseorang mengadakan transaksi jual beli senjata api tanpa dilindungi oleh surat-surat yang sah dalam hal pemilikan senjata api, maka perjanjian yang dilakukan adalah batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat mengenai suatu sebab yang halal yaitu prestasi yang dilakukan telah melanggar undang-undang tentang pemilikan senjata api.

Keempat syarat tersebut merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap tidak pernah ada. Kedua syarat yang pertama yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal, dinamakan syarat obyektif dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi salah satu atau keduanya, maka perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan dalam hal apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas-asas yang berlaku yaitu sebagai berikut:

a. Asas konsensualisme

b. Asas kebebasan berkontrak

c. Asas Pacta Sunt Servanda

d. Asas Iktikad Baik

Menurut hemat penulis, asas konsensualisme tercermin dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa salah satu syarat sah nya perjanjian yaitu dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak. Maksudnya adalah bahwa perikatan pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut dapat dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis sebagai alat bukti. Asas konsensualisme disini maksudnya adalah bahwa suatu perikatan itu terjadi (ada) sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak. Dengan kata lain bahwa perikatan sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perikatan. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan dari para pihak, yang dengan demikian otomatis tidak adanya unsur penipuan, kekhilafan maupun unsur paksaan.

Mengenai asas kebebasan berkontrak dalam artian bahwa setiap orang bebas untuk melaksanakan perjanjian. Asas kebebasan berkontrak ini tercermin dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Kebebasan berkontrakpun menurut hemat penulis dibatasi oleh beberapa hal yaitu tidak dilarang oleh undang-undang; tidak bertentangan dengan kesusilaan; dan tidak bertentangan dengan

ketertiban umum. Selain itu asas kebebasan berkontrak juga terkait dengan kebebasan dari para pihak untuk : membuat atau tidak membuat perjanjian; mengadakan perjanjian dengan siapapun; menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya; menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa maksud dari asas ini adalah setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang berupa apa saja, baik itu bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Dengan demikian pada prinsipnya suatu perjanjian dapat dibuat secara bebas dari segi bentuk, isi, sepanjang perjanjian yang telah dibuat tersebut mengikat bagi mereka yang membuatnya seperti halnya undang-undang. Meskipun setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, namun bukan berarti tidak ada batasannya. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Asas lain yang berlaku dalam perjanjian yaitu dikenal dengan asas Pacta Sunt

Servanda, asas ini juga tercermin dalam ketentuan yang tercantum pada Pasal 1338

KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Maksud dari asas ini dalam suatu perjanjian tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi mereka yang membuatnya dan tidak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga kecuali yang diatur dalam undang-undang.

Selain ketiga asas yang telah diuraikan diatas, dikenal juga asas iktikad baik. Asas ini termuat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Pemahaman substansi iktikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) tidak harus diinterpretasikan secara gramatikal, bahwa iktikad baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak. Iktikad baik harus dimaknai dalam keseluruhan proses kontraktual, artinya iktikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap pra kontraktual, kontraktual dan pelaksanaan kontraktual. Dengan demikian, fungsi iktikad baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata mempunyai sifat dinamis melingkupi keseluruhan proses

kontrak tersebut.83

Terdapat juga asas-asas lain yang harus diperhatikan dalam suatu perjanjian yaitu asas nemoplus yuris yang artinya bahwa orang atau badan hukum hanya dibenarkan menjalankan hak nya sebatas hak yang orang atau badan hukum tersebut miliki. Asas personalitas atau yang biasa disebut asas kepribadian yang artinya bahwa pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri dan suatu perjanjian yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Di dalam suatu perjanjian pada hakekatnya adalah pertukaran antara hak dan kewajiban secara adil atau secara seimbang yang biasa disebut dengan asas proporsionalitas. Dalam suatu perjanjian menganut juga asas yang dikenal dengan asas force majeure yang artinya debitur dibebaskan dari kewajiban untuk membayar

83

Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjan Asas Proporsionalitas

ganti rugi, akibat tidak terlaksananya perjanjian karena sesuatu sebab yang memaksa. Keadaan memaksa yang dimaksud adalah keadaan dimana debitur memang tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan

tersebut.84

Berdasarkan uraian mengenai asas-asas dalam suatu perjanjian sebagaimana disebutkan diatas maka dapat diketahui bahwa suatu perjanjian terjadi dengan adanya kata sepakat antara kedua belah pihak untuk saling mengikatkan dirinya, setiap orang bebas untuk membuat perjanjian atas apa yang telah disepakati sebelumnya asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan peraturan yang berlaku umum. Perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sehingga perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan iktikad baik oleh kedua belah pihak.

Asas-asas hukum perjanjian sebagaimana diuraikan diatas juga berkaitan dengan berbagai segi hukum yang ada. Dalam kaitannya dengan hukum dagang, asas-asas perjanjian berlaku dalam kaitannya dengan proses jual beli, sehingga dalam suatu proses jual beli terjadi kesepakatan perjanjian. Dalam kaitannya dengan hukum pemerintahan, dalam hal pengadaan barang dan jasa misalnya pemerintah mengadakan perjanjian dengan pihak swasta dimana kesepakatan tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis. Asas-asas dari perjanjian bersentuhan dengan segala jenis hukum yang ada. Karena dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa terlepas dari

84

adanya suatu perjanjian. Asas-asas dalam perjanjian juga memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang terikat didalamnya.

Selain mengenai asas-asas dalam hukum perjanjian, dikenal juga unsur-unsur yang tercantum dalam suatu perjanjian adapun unsur-unsur tersebut yaitu:

a. Unsur esensialia b. Unsur naturalia c. Unsur aksidentalia

Mengenai unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensialia ini maka tidak akan ada perjanjian. Sebagai contoh yaitu dalam perjanjian jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga yang disepakati, karena tanpa adanya kesepakatan barang dan harga dalam perjanjian jual beli, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan karena tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan.

Mengenai unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam suatu perjanjian, undang-undang yang mengaturnya, sehingga dapat diketahui bahwa unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam perjanjian. Sebagai contohnya yaitu, jika daam suatu perjanjian tidak diatur secara tegas mengenai cacat yang tersembunyi, maka secara otomatis berlaku ketentuan dalam KUHPerdata yang harus menanggung cacat tersembunyi tersebut.

Unsur terakhir yaitu unsur aksidentalia adalah unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak apabila para pihak memperjanjikan. Sebagai contohnya yaitu

dalam perjanjian jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar utangnya, dikenakan denda sebesar 2% (dua persen) perbulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditur tanpa melalui pengadilan. Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu perjanjian yang bukan merupakan unsur esensialia dalam perjanjian.