1
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Hak milik atas tanah sangat penting bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat yang sedang membangun ke arah perkembangan industri. Tanah yang merupakan kebutuhan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal seperti keterbatasan tanah baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Tanah disatu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting serta telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi, di lain pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat.1
Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menentukan bahwa:
1. Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosial;
2. Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain;
Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan hak milik atas tanah saat ini yaitu dengan melakukan transaksi jual beli. Transaksi jual beli adalah salah satu cara untuk memperoleh dan memiliki hak milik atas tanah. Dalam melakukan proses transaksi jual beli hak milik atas tanah, sebelum terpenuhinya syarat terang dan
1
Andrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, h. 1
lunasnya suatu pembayaran terhadap pembelian suatu objek hak milik atas tanah, maka para pihak dalam hal ini pihak penjual dan pihak pembeli melakukan suatu perbuatan hukum dengan membuat suatu perjanjian jual beli hak milik atas tanah dihadapan Notaris. Dengan dibuat dihadapan Notaris, maka para pihak dalam membuat perjanjian jual beli akan mendapatkan bantuan dalam merumuskan hal-hal yang akan diperjanjikan.
Perbuatan hukum jual beli hak milik atas tanah yang dilakukan dengan perjanjian jual beli di hadapan Notaris yang kemudian apabila syarat terang dan tunainya terpenuhi maka dilanjutkan dengan penandatanganan akta jual beli yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) sekaligus juga merupakan penyerahan hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli. Dalam kaitannya dengan ketentuan yang mengatur tentang peralihan hak milik atas tanah, jual beli hak milik atas tanah dan penyerahan hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Nomor 59 Tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696), yang menyatakan bahwa:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumh susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan harta ke perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa, peralihan hak milik atas tanah tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan hukum jual beli selesai atau tuntas pada saat penjual menerima pembayaran dan bersamaan dengan itu menyerahkan suatu barang yang dijualnya kepada pembeli. Jual beli yang dilakukan dengan nyata atau konkret dikenal dengan istilah “terang dan tunai”, namun apabila diperhatikan dalam Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), jual beli diartikan sebagai berikut: “Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan.”2
Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka.3
Dalam hukum pertanahan Indonesia dikenal bahwa jual beli tanah dilakukan secara terang dan tunai dalam artian penyerahan dan pembayaran jual beli hak milik
atas tanah dilakukan pada saat bersamaan (tunai) dihadapan seorang PPAT (terang).4
Penambahan terang dan tunai dalam jual beli hak milik atas tanah disebabkan karena hukum tanah Indonesia mengadopsi aturan-aturan hukum adat. Pandangan hukum adat menyatakan bahwa jual beli atas bidang tanah telah terjadi antara penjual dan pembeli bila diketahui oleh kepala kampung yang bersangkutan dan dihadiri oleh dua
2
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2004, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 366
3
Florianus SP Sangsun, 1998, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visi Media, Jakarta, h. 18
4
Gunawan Widjaya dan Kartini Mulyadi, 2003, Jual Beli, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 87
orang saksi.5 Dengan membuat suatu perjanjian jual beli, para pihak bermaksud untuk membuat suatu perjanjian pendahuluan dalam rangka proses peralihan hak milik atas tanah. Dalam perjanjian jual beli para pihak mengutarakan keinginannya serta memuat janji-janji untuk melakukan transaksi jual beli hak milik atas tanah.
Dalam suatu perjanjian pada umumnya salah satu asas yang dikenal adalah asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan sendiri hal-hal yang disepakati dalam perjanjian namun tetap tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan norma-norma yang berlaku. Dalam perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut didasarkan pada suatu perjanjian dimana untuk sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata mengandung empat syarat yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; 3. Suatu hal tertentu ;
4. Suatu sebab yang halal ;
Kesepakatan yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, yaitu dengan cara tertulis maupun tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena perjanjian dapat saja terjadi dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi bahkan hanya dengan
5
Sahat Sinaga, 2007, Jual Beli Tanah dan Pencatatan Peralihan, Pustaka Sutra, Jakarta, h. 17-21
menggunakan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang tidak secara lisan. Sementara itu, kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum (dalam hal ini perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21 tahun dan/atau telah menikah dengan usianya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga untuk sahnya perjanjian ini menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas, misalnya dalam suatu perjanjian jual beli hak milik atas tanah, maka obyek atas tanah dan harga harus dimasukkan ke dalam perjanjian jual beli tersebut dengan jelas. Jika tidak jelas, maka perjanjian tidak sah. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek yang tertentu. Jadi tidak bisa seseorang menjual “sesuatu (tidak tertentu) dengan harga seribu rupiah misalnya karena kata sesuatu tidak menunjukkan hal tertentu, tetapi hal yang tidak tentu. Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga merupakan syarat tentang isi perjanjian. Isi perjanjian yang dimaksudkan disini adalah bahwa tersebut tidak dapat bertentangan dengan Undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata.
Apabila keempat syarat berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut telah terpenuhi maka perjanjian yang telah dibuat secara sah akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (asas pacta
mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya sebagai undang-undang.
Suatu perjanjian tidak selamanya dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan yang diinginkan oleh para pihak. Dalam kondisi-kondisi tertentu dapat ditemukan terjadinya berbagai hal yang berakibat suatu perjanjian mengalami pembatalan, baik dibatalkan oleh para pihak maupun berdasarkan putusan pengadilan. Dari sisi ini pelaksanaan perjanjian jual beli hak milik atas tanah untuk dapat dikaji lebih lanjut mengingat perjanjian jual beli merupakan suatu perbuatan hukum yang mendahului proses peralihan hak milik atas tanah.
Terdapat dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian yaitu yang pertama, pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat membuat gugatan perdata wanprestasi ke Pengadilan Negeri setempat dan memohon kepada hakim agar perjanjian jual beli tersebut dibatalkan. Kedua adalah dengan menunggu sampai ia digugat atau sebagai tergugat melalui gugatan Pengadilan Negeri setempat, berdasarkan bukti-bukti surat maupun kwitansi, fakta-fakta persidangan dan keterangan-keterangan saksi selama menjalani proses persidangan maka hakim membuat dasar pertimbangan untuk dapat memutus perkara perdata terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut. Dalam rumusan Pasal 1266 KUHPerdata ditentukan tiga hal yang harus diperhatikan sebagai syarat pembatalan suatu perjanjian, yaitu :
a. Perjanjian harus bersifat timbal balik, dimana para pihak saling memperjanjikan memberikan prestasi yang terkait satu sama lain, tidak terpenuhinya prestasi oleh salah satu pihak akan berhubungan langsung dengan pemenuhan prestasi oleh pihak lainnya. Dasar pembenaran dari syarat batal adalah kepatutan karena terutama dalam perjanjian timbal balik adanya prestasi yang satu dikaitkan dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain. Oleh karena itu, jika salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, pihak lawan mempunyai hak untuk minta agar perjanjian dibatalkan. Namun, pihak lawan tersebut tidak berhak mengajukan pembatalan jika ia sendiri telah wanprestasi. b. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lawan, syarat batal dicantumkan dalam
perjanjian yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya (Pasal 1266 KUHPerdata).
c. Pembatalan harus dilakukan melalui putusan Pengadilan Negeri, gugatan
perdata wanprestasi terhadap salah satu pihak harus dituntutkan
pembatalannya. Kata harus dalam ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata ditafsirkan sebagai aturan yang memaksa dan karenanya tidak boleh disimpangi para pihak melalui perjanjian yang melalui perjanjian mereka. Hakim juga memiliki kewenangan lain, seperti menolak tuntutan pembatalan apabila wanprestasi yang dilakukan relatif kecil dibandingkan dengan prestasi
yang sesungguhnya.6
Oleh karena terdapat kekosongan norma terkait dengan perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, maka Jika dikemudian hari timbul gugatan atau ada pihak yang menyangkal isi perjanjian yang telah dibuat, diharapkan bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, namun apabila tidak mencapai kesepakatan demi keadilan dapat mengajukan gugatan perdata wanprestasi ke Pengadilan Negeri setempat.
Sesuai ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata, dengan dipenuhinya syarat batal, maka perjanjian jual beli tanah dapat dibatalkan dan keadaan harus dikembalikan pada kondisi semula pada saat timbulnya perjanjian tersebut. Setelah perjanjian dibatalkan, maka para pihak mengembalikan segala sesuatunya pada keadaan semula,
6
pihak yang telah melakukan prestasi dianggap telah terjadi pembayaran yang tidak diwajibkan, dan harus dikembalikan.
Dapat dikemukakan bahwa akibat hukum terhadap terjadinya pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut menyebabkan para pihak harus memenuhi kewajibannya terlebih dahulu seperti apa yang telah diperjanjikan sebelumnya, seperti yang telah disebutkan diatas dengan mengembalikan pembayaran yang telah diterima, denda dan ketentuan lainnya yang telah diperjanjikan. Perjanjian jual beli yang merupakan suatu akta otentik akan dapat memberikan suatu perlindungan serta adanya kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Seperti kasus yang diangkat dalam pembahasan tesis ini yaitu dengan dimohonkannya pembatalan atas Perjanjian Jual Beli (PJB) No. 5 tertanggal 2 Mei 2005 yang dibuat dihadapan Notaris T. Fransisca Teresa Panjaitan., SH., dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht) dan kepastian hukum melalui putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 138/Pdt.2010/PT.Dps tertanggal 6 Januari 2011. Dibatalkannya perjanjian ini dikarenakan ketidakmampuan dari pihak pembeli dalam hal ini yaitu Rizaldy Deciderus Watruty untuk melunasi harga jual beli atas 9 (sembilan) bidang tanah yang telah disepakati sebelumnya dengan pihak penjual yaitu Reinta Sortaria Situmorang. Ketidakmampuan pelunasan inilah yang kemudian dijadikan dasar atau alasan bagi pihak pembeli untuk membatalkan jual beli 9 (sembilan) bidang tanah yang tercatat atas nama dari Penjual. Pembatalan jual beli hak milik atas tanah tersebut didaftarkan pada Notaris T. Fransisca Teresa Panjaitan, SH dengan Akta No. 24 tanggal 13 Pebruari 2008.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, hal ini menarik untuk diteliti dan diangkat sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis yang berjudul: “Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik Atas Tanah Di Denpasar (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps).” Untuk menunjukkan kebaharuan penelitian ini, akan dipaparkan beberapa tesis yang berkaitan dengan masalah perjanjian jual beli. Beberapa tesis yang dimaksudkan diteliti oleh Lubnah Aljufri dan Setu Santoso.
Pertama, tesis dari Lubnah Aljufri, NIM 0906652785, alumni Program Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Indonesia Depok Tahun 2012 dengan judul tesis adalah Kekuatan Hukum Pembuktian Perjanjian Pengikatan Jual beli (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 120/Pdt.G/2009/PN.Dpk). Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu yang pertama mengenai bagaimanakah kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli dan yang kedua yaitu mengenai bagaimanakah kekuatan hukum Akta Jual beli yang telah dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat II dan mengapa Pengadilan Negeri Depok menyatakan bahwa Perjanjian Pengikatan Jual beli antara Tergugat II dengan
Tergugat I adalah sah (Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor
120/Pdt.G/2009/PN.Dpk).
Kedua, Tesis dari Setu Santoso, NIM B4B 001 189, alumni Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang Tahun 2008 dengan judul tesis adalah Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Pengikatan Jual beli Hak Atas Tanah Dan Bangunan Objek Jaminan Kredit Pemilikan Rumah Di PT.
Bank Tabungan Negara (Persero) Kantor Cabang Ciputat Tangerang. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu yang pertama mengenai bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak terhadap jual beli objek jaminan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) tanpa sepengetahuan bank, dan yang kedua yaitu bagaimana akibat hukum dari peralihan jual beli objek jaminan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) tanpa sepengetahuan bank dengan dibuat akta pengikatan jual beli dan kuasa serta akta surat kuasa.
Dari kedua tesis yang telah diuraikan diatas, maka terdapat perbedaan yang spesifik yaitu tentang pembatalan terhadap perjanjian jual beli serta perlindungan hukumnya, sedangkan kedua judul tesis pembanding lebih menekankan pada kekuatan hukum pembuktian perjanjian jual beli dan perlindungan hukum para pihak dalam pengikatan jual beli atas tanah dan bangunan objek jaminan kredit pemilikan rumah. Berdasarkan penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang dijelaskan tersebut diatas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik Atas Tanah (Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps) dan permasalahan yang hendak diteliti dalam penelitian ini belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah keorisinalannya atau keasliannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah unsur-unsur yang berpotensi menyebabkan pembatalan terhadap perjanjian jual beli hak milik atas tanah?
2. Apakah dengan dibatalkannya perjanjian jual beli hak milik atas tanah para pihak mendapatkan perlindungan hukum?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya mengenai hukum perjanjian yang dapat dirinci sebagai berikut:
a. Tujuan Umum
Secara umum, penulisan tesis ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang Hukum Perjanjian dengan keterkaitannya dengan Hukum Kenotariatan mengenai perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah.
b. Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam penyusunan tesis ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisa ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak yang timbul dari adanya pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik atas tanah.
2. Untuk mengetahui dan menganalisa perlindungan hukum bagi para pihak dalam pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik atas tanah.
1.4 Manfaat penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai hukum perjanjian. Demikian juga hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan di bidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum Perjanjian dan Hukum Kenotariatan, memberikan sumbangan yang berarti dalam bentuk kajian kritis, asas-asas, teori-teori serta kajian teoritis berkaitan dengan perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik hak atas tanah, yang ternyata dalam KUHPerdata tidak diatur secara jelas mengenai perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif kepada para pihak yang akan melakukan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, baik itu pihak penjual, pembeli, Notaris/PPAT maupun bagi penulis sendiri, serta bagi pembuat kebijakan.
1.5 Landasan Teoritis
Dalam menganalisis data untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini akan digunakan beberapa teori. “Kata teoritik atau teoritis atau
theoretical berarti berdasarkan pada teori, mengenai atau menurut teori7.”Oleh
Soetandyo Wignjosoebroto, teori dikatakan ”Sebagai suatu konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif
fenomena yang dijumpai di alam pengalaman8.”
Berdasarkan uraian konsep diatas, adapun teori-teori yang dapat dipergunakan untuk membahas permasalahan dalam tesis ini yaitu:
1. Teori Tujuan Hukum
Kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum seperti apa yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch dalam teori gabungan etis dan utility yang konsep hukumnya adalah hukum bertujuan untuk keadilan, kegunaan dan
kepastian.9 Teori tujuan hukum menurut Radbruch dalam Theo Huijbers adalah
Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh sebab kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian, yakni bilamana pertentangan
7
Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum - Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 156.
8
Soetandyo Wignyosoebroto, 2006, Hukum-Paradigma, Metode dan
Dinamika Masalahnya, Eksam dan Huma, Jakarta, h. 179. 9
antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga tata hukum itu
nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu boleh dilepaskan10
Dengan adanya suatu kepastian hukum, maka tujuan dari hukum yaitu keadilan akan dapat dicapai. Yang utama dari nilai kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. ”Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai
kegunaan bagi masyarakat, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum11.”
Dalam kaitannya dengan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, peran Notaris yang independen dan tidak memihak sangat diperlukan dalam membuat perjanjian jual beli untuk dapat tercapainya tujuan hukum hukum yaitu keadilan di dalam perjanjian tersebut, bermanfaat pula bagi pihak pembeli dalam hal pelunasan jual beli hak milik atas tanah kepada pihak penjual serta adanya kepastian hukum agar para pihak terlindungi secara hukum sebagai akibat dari perjanjian jual beli, maka di dalam perjanjian jual beli harus memperhatikan ketiga tujuan hukum menurut skala prioritas agar dikemudian hari tidak menimbulkan keberatan maupun gugatan dari para pihak atas perjanjian jual beli tersebut. Teori tujuan hukum dalam penelitian tesis ini digunakan untuk menganalisis Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik atas Tanah (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri
10
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, h. 163
11
Gustav Radbruch dalam Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 19.
Denpasar No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps). Teori ini sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan pertama.
2. Teori Perjanjian
Mengenai perjanjian dalam bahasa Belandanya diistilahkan dengan
“overeenkomst dan dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan contract diatur
dalam Pasal 1313 KUHPerdata”12. Pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313
KUHPerdata adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Pendapat lain dikemukakan oleh Schoordijk bahwa kekuatan mengikat perjanjian harus dicari dalam kepercayaan yang dimunculkan atau dibangkitkan pada pihak lawan.
Kepercayaan tersebut tertuju pada suatu perilaku faktual tertentu.13 Dalam
Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio menjadi KUHPerdata menentukan mengenai hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, yang mengatur dan memuat hak dan
kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak tertentu.14 Pengertian
perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata memiliki beberapa kelemahan, maka beberapa ahli hukum mencoba merumuskan defenisi perjanjian salah satunya Handri Raharjo yang menyatakan terdapat kata sepakat antara subjek
12
Tan Tong Kie, 2000, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, h. 402.
13
Elly Erawati dan Herlien Budiono, 2010, Penjelasan Hukum Tentang
Kebatalan Perjanjian, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, h. 68
14
Subekti dan Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
hukum, dan saling mengikatkan diri sehingga subjek yang satu berhak atas prestasi dan subjek hukum yang satu berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai “kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta
menimbulkan akibat hukum.”15 Van Dunne sebagai pencetus teori baru
mengartikan perjanjian sebagai berikut:
Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum‟. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori hukum baru, yaitu:
1. tahap pracontraktual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan,
2. tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak,
3. dan tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian16
Menurut Salim H.S. unsur-unsur perjanjian menurut teori lama adalah sebagai berikut:
1. Adanya perbuatan hukum,
2. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang, 3. Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan,
4. Perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih, 5. Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung
satu sama lain,
6. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum,
7. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik, dan
8. persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan
perundang-undangan.17
15
Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 42.
16
Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak, Cet. VIII, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Salim H.S. I) h. 26.
17
Syarat sahnya perjanjian salah satunya adalah sepakat untuk mengikatkan diri, seperti tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.18 Namun tidak setiap pernyataan dapat
menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar
dikehendaki19.
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan, para pihak mengikatkan dirinya dan perjanjian tersebut mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, berlaku asas
Pacta Sunt servanda yang menyebutkan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”. Sehingga jelas bahwa dapat dibuat perjanjian yang berisikan apa saja asalkan tidak melanggar ketentuan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan atau lebih dikenal dengan
18
R. Subekti I, Op.Cit, h. 1. 19
Salim, HS., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disebut Salim H.S. II) h. 168
asas kebebasan berkontrak. Dilihat dari syarat sahnya perjanjian dan asas kebebasan berkontrak, Asser membedakan bagian isi perjanjian, bagian inti (wesenlijk oordeel) yaitu unsur essensialia dan bagian yang bukan inti (non wezenlijk oordeel) yaitu
unsur naturalia dan unsur aksidentalia.20
Unsur essensialia merupakan unsur-unsur yang biasanya dijumpai dalam perjanjian tertentu, namun tanpa pencantuman syarat yang dimaksud itu pun, suatu perjanjian tetap sah dan mengikat para pihak yang membuatnya, kecuali dinyatakan sebaliknya, sebagai contoh dalam jual beli tidak diperjanjikan mengenai siapa yang berkewajiban membayar biaya balik nama, maka ketentuan undang-undang yang berlaku yaitu Pasal 1466 KUHPerdata. Unsur aksidentalia merupakan suatu syarat yang tidak harus ada, tetapi dicantumkan juga oleh para pihak untuk keperluan tertentu dengan maksud khusus sebagai penegasan dan sebagai suatu kepastian. Suatu
perjanjian hendaklah memenuhi rasa kepercayaan dan keadilan yang
berkeseimbangan bagi para pihak, dimana perjanjian tersebut memenuhi asas persamaan hukum dan asas keseimbangan.
Teori Perjanjian dalam penelitian tesis ini digunakan untuk menganalisis Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik
atas Tanah (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.
05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps). Teori ini sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan kedua.
20
Mariam Darus Badrulzaman, 1993, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan
3. Konsep Perlindungan Hukum
Philipus M. Hadjon mengemukakan perlindungan hukum dalam kepustakaan hukum bahasa Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescherming van de
burgers”21
. Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yakni “rechsbescherming”. Pengertian kata perlindungan tersebut, terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Jika dikaitkan dengan perjanjian wujud perlindungan para pihak dalam hal ini pihak penjual maupun pembeli tertuang dalam perjanjian jual beli. Perjanjian yang dibuat antara penjual dengan pembeli berisi hak dan kewajiban masing-masing para pihak, dimana para pihak harus menjalankan atau mentaati isi perjanjian yang sudah disepakati. Perjanjian jual beli merupakan salah satu cara yang paling umum dilakukan dalam memperoleh atau mengalihkan hak atas tanah ataupun rumah, baik yang dimiliki oleh subyek hukum orang maupun yang berupa badan hukum. Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk
mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki-nya.22 Namun
tidak jarang terjadi pada masyarakat sebelum dilakukan jual beli tersebut, terlebih dahulu dilakukan suatu perjanjian yang mengikat antara para pihak yang membuatnya atau sering disebut Perjanjian Jual beli. Hal tersebut dilakukan oleh karena adanya
21
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, h. 1.
22
Urip Santoso, 2007, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media, Jakarta, h. 10
satu dan lain hal yang menyebabkan jual beli atas tanah tidak dapat dilakukan pada saat itu juga.
Suatu perjanjian dapat dikatakan sah menurut hukum apabila memenuhi syarat sah perjanjian, yaitu adanya itikad baik, sepakat, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang halal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dua syarat pertama merupakan syarat subyektif, yaitu dengan melihat subyek dari para pihak pembuat perjanjian, sedangkan dua syarat berikutnya merupakan syarat obyektif yaitu dengan melihat obyek yang diperjanjikan oleh para pihak. Dalam hal tidak dipenuhinya syarat subyektif maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya pada Hakim (voidalble), sedangkan dengan tidak terpenuhinya syarat obyektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void) atau perjanjian
tersebut selalu diancam bahaya pembatalan.23
Perlindungan hukum merupakan konsep yang universal dari Negara hukum. Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang bertentangan dengan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, baik perbuatan penguasa yang melanggar undang-undang maupun peraturan formal yang berlaku telah melanggar kepentingan dalam masyarakat yang harus diperhatikannya.
Ada dua macam perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon yaitu perlindungan yang bersifat preventif dan represif. Preventif artinya perlindungan yang diberikan sebelum terjadinya sengketa, artinya perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan
23
hukum represif bertugas untuk menyelesaikan sengketa yang muncul apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Terhadap perlindungan hukum represif disebutkan dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2007 tentang petunjuk teknis penanganan dan penyelesaian masalah pertanahan.
Konsep Perlidungan Hukum dalam penelitian tesis ini digunakan untuk melengkapi teori dalam menganalisis Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik atas Tanah. Konsep ini sebagai bahan yang melengkapi dalam menganalisis untuk menjawab permasalahan kedua.
Dalam rumusan Pasal 1457 KUHPerdata yang dimaksud dengan jual beli adalah “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Berdasarkan rumusan yang diberikan tersebut dapat dilihat bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu (perjanjian timbal balik), yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Teori dari perjanjian timbal balik seringkali juga disebut perjanjian bilateral. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban (dan karenanya hak juga) kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan yang satu dengan yang lainnya. Pengertian yang dimaksud dengan “mempunyai antara yang satu dengan yang lainnya” adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain sebagai pihak
yang memikul tanggung jawab. Pembagian di sini berdasarkan atas perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, apakah mengikat satu pihak saja ataukah mengikat
kedua belah pihak.24 Jadi dalam perjanjian jual beli, yang dijanjikan oleh pihak yang
satu (pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas suatu barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak lain, membayar harga yang
telah disetujuinya.25
Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya perjanjian tersebut sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuatan hukum) pada saat tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok (essentialia) yang barang dan harga, walaupun jual beli itu mengenai barang yang tak bergerak. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi: “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.”
Jadi jual beli melibatkan eksistensi dan sekurang-kurangnya dua perikatan (untuk memberikan sesuatu) secara timbal balik. Ini berarti dalam jual beli secara tidak langsung juga, jika memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata menimbulkan prestasi dan pertanggungjawaban secara bertimbal balik pada kedua belah pihak yang ada dalam jual beli tersebut, yaitu
24
J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan: Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cet. 2. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 43-44
25
R. Subekti 2002, Hukum Perjanjian, Cet. XVI., PT. Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disebut R.Subekti I),h. 79
penjual dan pembeli. Barang yang menjadi objek perjanjian jual beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan
diserahkan miliknya kepada si pembeli.26
Salah satu sifat yang penting dari jual beli menurut KUHPerdata, adalah perjanjian jual beli itu hanya obligatoir saja, artinya menurut KUHPerdata, jual beli itu belum memindahkan hak milik, perjanjian jual beli baru memberikan hak dan meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli
untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual.27Apa yang
dikemukakan mengenai sifat jual beli diatas, Nampak jelas diterangkan dalam Pasal 1459 KUHPerdata, yang menyatakan: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah tangan kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616.”
Berhubung dengan sifat jual beli tersebut, maka tidak mudah untuk dapat dimengerti yang dimaksud dalam Pasal 1471 KUHPerdata yang menyatakan: “Jual beli barang orang lain adalah batal, dan dapat memberikan dasar untuk ganti rugi, jika si pembeli tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.” Apabila jual beli itu hanya bersifat obligatoir saja, yang berarti belum memindahkan hak milik, tentulah tidak keberatan apabila seorang menjual sesuatu barang belum kepunyaannya, asal nanti pada waktu diserahkan barang tersebut, benar-benar menjadi hak milik si pembeli. Pasal 1460 KUHPerdata sebagaimana dengan Pasal
26
R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, cet. X, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,(selanjutnya disebut R.Subekti II), h. 2
27
1471, tanpa disadari bahwa pasal tersebut dalam KUHPerdata yang menentukan saat pemindahan hak milik pada saat dilakukannya penyerahan, tidaklah tepat. Dalam Pasal 1460 KUHPerdata terdapat keganjilan, dan tepat sekali oleh para sarjana dan yuriprudensi dibatasi keberlakuannya, hingga hanya mengenai barang tertentu saja. Artinya barang tertentu adalah, suatu barang yang sudah ditunjuk dan ditentukan oleh
kedua belah pihak.28
Si penjual mempunyai dua kewajiban utama yaitu, menyerahkan barangnya dan menanggungnya. Menyerahkan adalah memindahkan barang yang telah dijual itu menjadi milik si pembeli. Jadi penyerahan itu suatu perbuatan hukum yang harus dilakukan untuk memindahkan hak milik dari satu orang ke orang lain, dari si penjual kepada si pembeli. Biaya penyerahan harus dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan harus dipikul oleh oleh si pembeli, jika tidak diperjanjikan sebaliknya (Pasal 1476 KUHPerdata).
Dari ketentuan umum mengenai perikatan untuk menyerahkan sesuatu (Pasal 1235 KUHPerdata), dan ketentuan jual beli terhadap penjual memiliki 2 (dua) kewajiban pokok, mulai dari sejak jual beli terjadi menurut ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata, kewajiban tersebut adalah:
1) Kewajiban menyerahkan hak milik
Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada si pembeli. Oleh karena KUHPerdata
28
mengenal tiga macam barang yaitu, barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh, maka menurut KUHPerdata juga ada 3 (tiga) macam penyerahan hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing barang itu, yaitu:
a. Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan barang tersebut, seperti yang disebutkan dalam Pasal 612 KUHPerdata yang menyatakan:
Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada.
Penyerahan tidak perlu dilakukan apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya.
Dari ketentuan tersebut dapat kita lihat adanya kemungkinan menyerahkan kunci saja kalau yang dijual adalah barang-barang yang berada dalam suatu gudang, hal mana merupakan suatu penyerahan kekuasaan secara simbolis, sedangkan apabila barangnya sudah berada dalam kekuasaan si pembeli, penyerahan cukup dilakukan dengan suatu pernyataan saja. Cara yang terakhir ini dikenal dengan nama“tradition
brevi manu”, yang berarti “penyerahan dengan tangan pendek”.
b. Untuk barang tetap (tidak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan balik nama dimuka Pegawai Kadaster yang juga dinamakan Pegawai Balik Nama atau Pegawai Penyimpan Hipotik, yaitu menurut Pasal 616 KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 620 KUHPerdata. Dalam pada
itu segala sesuatu yang mengenai Tanah, dengan mencabut semua ketentuan yang termuat dalam Buku II KUHPerdata tersebut, sudah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara RI Nomor 1960-104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043, selanjutnya disebut UUPA). Selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961, yang merupakan peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut, dalam Pasal 19 menentukan bahwa jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sedangkan menurut maksud peraturan tersebut hak milik atas tanah juga berpindah pada saat dibuatnya akta di hadapan pejabat tersebut.
c. Untuk barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan “cessie”, sebagaimana diatur dalam Pasal 613 KUHPerdata. Sebagaimana diketahui KUHPerdata menganut sistem bahwa perjanjian jual beli itu hanya obligatoir saja, artinya bahwa perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak, yaitu meletakkan kepada si penjual untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan hak kepadanya untuk menuntut pembayaran harga yang telah disepakati dan di sisi lain meletakkan kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Dengan perkataan lain, perjanjian jual beli menurut
KUHPerdata itu belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik baru berpindah dengan dilakukan penyerahan, yang caranya ada tiga macam tergantung dari macamnya barang.
2) Kewajiban menanggung tenteram atas barang tersebut dan menanggung
terhadap cacad-cacad yang tersembunyi.
3) Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuensi
daripada jaminan oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang akan dijual dan deliver itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari suatu beban atau tuntutan dari suatu pihak. Kewajiban tersebut menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan dari pihak ketiga, dengan putusan Hakim dihukum untuk menyerahkan barang telah dibelinya kepada pihak ketiga tersebut. Atau juga si pembeli, sewaktu digugat di muka Pengadilan oleh pihak ketiga dapatlah ia meminta kepada Hakim agar supaya si penjual diikutsertakan di dalam proses yang akan datang atau sedang berjalan. Hukum perjanjian adalah hukum pelengkap, kedua belah pihak diperbolehkan dengan janji-janji khusus memperluas atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh Undang-undang, bahkan mereka diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung suatu apapun, tetapi ada batasannya. Jika dijanjikan penanggungan, atau jika tentang itu tidak ada suatu perjanjian, si pembeli
berhak, dalam halnya suatu penghukuman untuk menyerahkan barang yang akan dibelinya kepada orang lain, menuntut kembali kepada si penjual:
1. Pengembalian uang harga pembelian;
2. Pengembalian hasil-hasil jika ia diwajibkan menyerahkan hasil-hasil itu kepada si pemilik sejati yang melakukan tuntutan penyerahan;
3. Biaya yang dikeluarkan berhubung dengan gugatan si pembeli untuk ditanggung, begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh si penggugat asal.
4. Penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai pembelian dan penyerahannya, sekedar itu telah dibayar oleh si pembeli.
Jika pada waktu dijatuhkannya hukuman untuk menyerahkan barangnya kepada seorang lain, barang itu telah merosot harganya, maka si penjual tetap diwajibkan mengembalikan harga seutuhnya. Sebaliknya jika barangnya pada waktu dijatuhkan putusan untuk menyerahkan kepada orang lain, telah bertambah harganya meskipun tanpa suatu perbuatan dari si pembeli, si penjual diwajibkan membayar kepada si pembeli apa yang melebihi harga pembelian itu juga. Selanjutnya si penjual diwajibkan mengembalikan kepada si pembeli segala biaya yang telah dikeluarkan untuk pembetulan dan perbaikan yang perlu pada barangnya.
Kewajiban utama pihak pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Harga tersebut berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam suatu pasal undang-undang, namun sudah dengan sendirinya terdapat dalam pengertian jual beli,
karena jika tidak, maka itu akan merubah perjanjiannya menjadi “tukar menukar”, atau kalau harga itu sudah berupa jasa, perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjian kerja. Dalam pengertian jual beli sudah terdapat pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang. Harga itu harus ditetapkan oleh kedua pihak, namun adalah diperkenankan untuk memperkirakan atau penentuan orang pihak ketiga. Dalam hal yang demikian, maka jika pihak ketiga ini tidak suka atau tidak mampu membuat perkiraan tersebut atau menentukannya, maka tidaklah terjadi suatu pembelian (Pasal 1465 KUHPerdata). Hal ini berarti bahwa perjanjian jual beli yang harganya harus ditetapkan oleh pihak ketiga itu pada hakekatnya adalah suatu perjanjian dengan suatu „syarat tangguh‟, karena perjanjiannya baru akan jadi kalau harga itu sudah ditetapkan oleh orang ketiga tersebut. Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli harus membayar di tempat dan pada waktu dimana penyerahan barangnya harus dilakukan (Pasal 1514 KUHPerdata).
Ini berarti dalam suatu perjanjian, baik yang melahirkan perikatan untuk memberikan sesuatu, perikatan untuk berbuat sesuatu atau perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, senantiasa haruslah ditentukan terlebih dahulu kebendaan yang akan menjadi objek dalam perikatan yang lahir (baik secara bertimbal balik maupun tidak) diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa tanpa adanya kebendaan tertentu yang menjadi obyek perjanjian, prestasi, atau kewajiban maupun utang tidak pernah ada.
Dalam rumusan Pasal 1446 KUHPerdata, menyatakan bahwa selama dan sepanjang ketidakcakapan tidak dikuatkan, maka perjanjian yang dibuat oleh mereka yang cakap tersebut tidak memiliki tanggung jawab sama sekali, dan karenanya pula tidak memberikan hak menuntut harta kekayaan pada salah satu pihak terhadap siapa mereka telah membuat perjanjian. Bunyi Pasal 1446 KUHPerdata tersebut adalah:
Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang, anak yang belum dewasa, atau orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum dan atas tuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harusnya dinyatakan batal semata-mata atas dasar kebelum dewasaan dan pengampuannya.
Perikatan-perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan dan orang-orang belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah batal demi hukum, sekedar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka.
Dengan demikian berarti, setiap pihak yang cakap bertindak dalam hukum, yang membuat perjanjian jual beli dengan orang yang tidak cakap yang telah melaksanakan kewajibannya menurut jual beli yang telah disepakati, atas tuntutannya terhadap salah satu pihak yang tidak cakap tersebut, senantiasa diancam dengan pembatalan perjanjian menurut ketentuan Pasal 1454 ayat (2) KUHPerdata dengan konsekuensi bahwa menurut ketentuan Pasal 1451 KUHPerdata bahwa pembatalan sebagai akibat ketidakcakapan membawa akibat bahwa segala apa yang telah diberikan atau dibayarkan kepada orang-orang yang tidak berkuasa, sebagai akibat pelaksanaan jual beli tersebut, hanya dapat dituntut kembali sekedar barang yang bersangkutan masih berada di tangan orang tak berkuasa tersebut, atau sekedar ternyata bahwa orang ini telah mendapat manfaat dari apa yang telah diberikan atau
dibayarkan itu atau bahwa apa yang dinikmati telah dipakai atau berguna bagi
kepentingannya.29 Dalam konteks demikian, tidaklah berarti kebendaan yang
diserahkan kepada seorang yang tidak cakap untuk bertindak dalam hukum tidak memperoleh penggantian.
Sifat konsensual dari jual beli adalah terjadinya kesepakatan dari para pihak. Dengan demikian dimaksudkan bahwa kedua belah pihak yang bersangkutan tercapai suatu kesesuaian kehendak artinya, apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah juga dikehendaki pihak lain. Dalam perjanjian jual beli, asas konsensualisme tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari Pasal 1338 KUHPerdata, yang dalam pasal tersebut dinyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada “semua perjanjian dibuat secara sah”, yang artinya dalam Pasal 1320 KUHPerdata telah
disebutkan satu persatu syarat-syarat untuk perjanjian yang sah itu.30
Hukum perjanjian pada asasnya merupakan hukum pelengkap, kedua belah pihak diperbolehkan dengan janji khusus, memperluas atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang, bahkan kedua belah pihak diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan diwajibkan
menanggung suatu apapun. Namun hal ini ada batasannya, yaitu sebagai berikut:31
Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung sesuatu
29
Gunawan Widjaja dan Kartini Mulyadi, Op.cit. H. 36 30
R.Subekti II, Op.cit. h. 4 31
apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentang suatu akibat dari suatu perbuatan yang telah dilakukan olehnya. Segala persetujuan yang bertentangan dengan hal ini adalah batal seperti yang disebutkan dalam Pasal 1494 KUHPerdata.
Si penjual, dalam hal adanya janji sama, jika terjadi suatu penghukuman terhadap si pembeli untuk menyerahkan barangnya kepada seorang lain, diwajibkan mengembalikan harga pembelian, kecuali apabila si pembeli pada waktu dilakukan, mengetahui adanya putusan Hakim untuk menyerahkan barang yang dibelinya itu atau jika ia telah membeli barang tadi dengan pernyataan akan memikul sendiri untung ruginya (Pasal 1495 KUHPerdata).
Dengan demikian maka yang menjadi alat ukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak dalam perjanjian jual beli. Pernyataan timbal balik dalam perjanjian jual beli oleh kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak
dan kewajiban diantara mereka. Undang-undang berpangkal pada asas
konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapainya konsensus harus mengacu pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak, dan ini merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Kemudian, jika terjadi perselisihan tentang apakah terjadi konsensus atau tidak, apakah telah dilahirkan suatu perjanjian atau tidak, maka Pengadilan melalui putusan Majelis Hakim lah yang akan menetapkannya.
Dalam perjanjian jual beli atau yang disebut juga dengan perjanjian timbal balik, hanya berlaku Pasal 1266 KUHPerdata, yang berbunyi: “Syarat batal selalu
dipersangkakan ada dalam perjanjian timbal balik, dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.” Berdasarkan ketentuan pasal ini maka perjanjian yang ditutup adalah perjanjian timbal balik, dan salah satu pihaknya tidak memenuhi kewajiban perikatan sebagaimana mestinya, maka pihak yang lawan janjinya berhak menuntut pembatalan perjanjian yang mereka tutup, seakan-akan para pihak memang menutup perjanjian tersebut dengan syarat seperti itu. Masalah ini juga sehubungan dengan adanya tangkisan, bahwa pihak lawan janjipun tidak memenuhi kewajiban
perikatan (exception adempleti contractus).32
Para pihak bersikap rasional dalam menyelesaikan permasalahan dalam perjanjian jual beli merupakan anggapan dari resiko para pihak.Persoalan terpenting bagi para pihak adalah bagaimana upaya mereka dalam mengantisipasi maupun mencegah kemungkinan terjadinya pembatalan terhadap perjanjian jual beli. Oleh karena itu para pihak mencantumkan klausul penyelesaian sengketa (“dispute
settlement clause” atau “midnight clause”) dalam perjanjian perjanjian jual beli. Jika
pada akhirnya permasalahan berkembang menjadi lebih rumit, maka upaya penyelesaian yang umumnya dilakukan atau dipilih oleh para pihak adalah pada dua opsi, yaitu:
a. Penyelesaian melalui jalur litigasi
b. Penyelesaian melalui jalur nonlitigasi
Menurut Fisher dan Ury, terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu: kepentingan, hak, dan status kekuasaan. Para
32
pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan
status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan, serta dipertahankan33.
1.6. Metode Penelitian
Metode penulisan hukum adalah sebagai cara kerja keilmuan yang salah satunya ditandai dengan penggunaan metode. Jenis-jenis penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah penulisan hukum, penulisan hukum yang memiliki sifat akademis berkaitan dengan upaya untuk memberikan masukan yang berharga bagi perkembangan ilmu hukum khususnya bidang hukum Perjanjian jual beli hak milik atas tanah. Sebagai penulisan hukum dalam bidang akademis, dimaksudkan untuk membedakan dengan penulisan hukum dalam kaitannya dengan kegiatan yang bersifat praktis, apabila dicermati substansi penulisannya, menurut Rony Hanitjo Soemitro penulisan hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni ”penulisan yang
bersifat normatif dan doktrinal.34”
1.6.1 Jenis Penelitian
Ada dua jenis penelitian hukum yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Peter Mahmud Marzuki mengemukakan:
... penelitian hukum digunakan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, sehingga jawaban yang diharapkan di dalam penelitian hukum adalah right,
appropriate, inappropriate, atau wrong. Dengan demikian dapat dikatakan
33
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas
Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 307-308
34
bahwa hasil yang diperoleh di dalam penelitian hukum sudah mengandung nilai35.
Menurut Bagir Manan dalam bukunya penelitian bidang hukum, jenis penelitian hukum normatif yaitu “penelitian terhadap peraturan yang berlaku serta kaedah hukum itu sendiri (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, hukum adat
atau hukum tidak tertulis lainnya) dan asas-asas hukum36.” Dengan kata lain
penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka yang ada, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier untuk selanjutnya “bahan-bahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu
kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti37.” Menurut
Abdulkadir Muhammad "penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang
dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat38.”
Dalam kaitannya dengan lingkupan dari penelitian hukum normatif, dikatakan penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal,
35
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.33.
36
Bagir Manan, 1999, Penelitian Bidang Hukum, Jurnal hukum, Puslitbangkum Unpad, Perdana, Januari, Bandung, h. 4
37
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI. Press, Jakarta, h. 52.
38
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 51.
formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang serta bahasa hukum yang
digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya39.
Jenis penelitian dalam penelitian ini sebagai penelitian hukum normatif, yaitu “penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka.40” Adapun penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap
sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah
hukum dan penelitian perbandingan hukum.41 Hal ini senada dengan pendapat Morris
L. Cohen and Kent C. Olson dalam bukunya yang berjudul Legal Research menyatakan bahwa:“legal research is an essential component of legal practice. It is
the process of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law”42
yang artinya bahwa penelitian hukum yang berdasarkan kaidah perundang-undangan sebagai suatu hal yang penting dalam penerapan hukum secara praktek. Penelitian hukum normatif yang mengkaji hukum kemudian dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu dapat berupa norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (Undang-Undang Dasar, Kodifikasi, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan seterusnya), dan norma hukum tertulis bentukan lembaga peradilan (judge made law), serta norma hukum
39
Ibid, h. 101-102.
40
Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13.
41
Soerjono Soekanto, Op.cit. h. 51 42
Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, ST. Paul Minn, Printed in the United States of America, page 1
tertulis buatan pihak-pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, dan
rancangannya).43 Penelitian hukum normatif dalam tesis ini berangkat dari
kekosongan norma yang mengatur mengenai perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah.
1.6.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan adalah bahan untuk mengawali sebagai dasar sudut pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti untuk melakukan analisis. Dalam penulisan tesis ini, agar mendapatkan hasil yang ilmiah, serta dapat dipertahankan secara ilmiah, maka masalah dalam penelitian ini dibahas dengan menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan (statute approach) dalam KUHPerdata terkait perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah serta menggunakan produk legislatif dan regulasi, yang merupakan beschikking/decree, yaitu suatu putusan yang diterbitkan
oleh pejabat administrasi yang bersifat konkrit dan khusus 44. Pendekatan konsep
(conseptual approach) dalam ilmu hukum khususnya terkait dengan perjanjian jual beli digunakan sebagai titik tolak bagi analisis penelitian hukum sehingga akan muncul konsep sebagai suatu akibat hukum terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah. Pendekatan kasus (case approach) dipergunakan untuk dapat mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum
43
Abdulkadir Muhammad, Op.cit, h.52. 44
Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenata Media Group, Jakarta, h. 97.
terkait dengan perlindungan para pihak terhadap pembatalan jual beli hak milik atas tanah.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Di dalam metode penelitian hukum normatif, terdapat 3 (tiga) macam sumber bahan hukum (bahan pustaka) yang dipergunakan, yaitu terdiri dari:
bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Sumber bahan hukum ketiga yaitu bahan hukum tersier, adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder45.
Mengenai sumber bahan hukum dari penelitian hukum normatif ini diperoleh dari
hasil penelitian melalui penelitian kepustakaan (Library Research).46 Adapun bahan
hukum yang dimaksudkan terdiri dari: 1). Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas tertentu. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai bahan hukum dalam penulisan tesis ini antara lain adalah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
45
Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, Loc.cit. 46
Ronny Hanitijo Soemitro, 2000, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 24.
3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 1997 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696.
6. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
2). Bahan Hukum sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan. Bahan-bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku hukum ini harus relevan dengan topik penelitian. Dalam kaitan itu, maka bahan hukum sekunder dari penelitian ini bersumber dari literatur di bidang Hukum Perdata, Hukum Agraia beserta berbagai artikel terkait.
3). Bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier merupakan bahan yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,
ensiklopedi dan seterusnya.47 Adapun kamus yang dimaksudkan seperti Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, serta ensiklopedi bidang hukum terkait.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan. Bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan pertama-tama dilakukan pemahaman dan mengkaji isinya secara mendalam untuk selanjutnya dibuat catatan sesuai permasalahan yang dikaji baik
langsung maupun tidak langsung.48 Bahan hukum yang relevan dikumpulkan
menggunakan teknik sistim kartu (card system),49 yaitu menelaah peraturan-peraturan
yang relevan, buku-buku atau bahan-bahan bacaan atau, karya ilmiah para sarjana dan hasilnya dicatat dengan sistem kartu. Kartu yang disusun berdasarkan topik, bukan berdasarkan nama pengarang, hal ini dilakukan agar lebih memudahkan dalam penguraian, menganalisa, dan membuat kesimpulan dari konsep yang ada. Studi kepustakaan bertujuan untuk mencapai konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan.
47
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23
48
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian
Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 58.
49
Winarno Surakhmad, 1973, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar-Dasar
1.6.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah dikumpulkan diklasifikasikan secara kualitatif, kemudian dianalisa dengan teori-teori yang relevan, disimpulkan untuk menjawab permasalahan dan disajikan secara deskriptif analistis yaitu terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis. Deskripsi meliputi "isi maupun
struktur hukum positif50”. Maksud dan tujuannya adalah melakukan pemahaman untuk
menentukan makna aturan hukum.
Mengenai tehnik analisis bahan hukum yang diterapkan dalam penelitian ini diawali dengan pengumpulan dan sistematisir bahan-bahan hukum yang diperoleh untuk kemudian dianalisis. Analisis dilakukan dalam rangka untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan menggambarkan apa yang menjadi masalah (deskripsi), menjelaskan masalah (eksplanasi), mengkaji permasalahan dari bahan-bahan hukum yang terkait (evaluasi) dan memberikan argumentasi dari hasil evaluasi tersebut, sehingga didapat kesimpulan mengenai persoalan yang dibahas pada penelitian ini.
50
Philipus M. Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (normatif), dalam Yuridika,Nomor 6, tahun IX, Nopember-Desember. Tanpa halaman.
BAB II
KONSEP TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI
Dalam Bab II ini akan diuraikan mengenai teori dan konsep tentang perjanjian jual beli. Adapun yang akan dibahas pada sub bab nya yaitu tentang, konsep mengenai perjanjian yang pada sub sub babnya membahas mengenai syarat lahirnya suatu perjanjian, kemudian perjanjian menurut KUHPerdata dan penyebab hapusnya suatu perjanjian. Pada sub bab kedua dibahas mengenai konsep mengenai perjanjian jual beli yang pada sub sub bab nya membahas mengenai perjanjian jual beli dalam KUHPerdata, hal-hal yang perlu dicantumkan dalam perjanjian jual beli dan bentuk perjanjian jual beli, yang diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:
2.1 Konsep Mengenai Perjanjian
Istilah perjanjian atau kontrak di dalam praktiknya terkadang masih dipahami secara rancu. Sebagian masyarakat dan pelaku bisnis mencampur adukkan kedua istilah tersebut seolah-olah merupakan pengertian yang berbeda. Untuk pengertian yang sama Burgerlijk Wetboek (BW) menggunakan istilah overeenkomst dan contract. “Hal tersebut secara jelas dapat disimak dari judul buku III titel kedua tentang perikatan-perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian yang dapat kita baca dalam bahasa Belandanya, yaitu: Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst
geboren worden51.” Pengertian tersebut juga banyak didukung oleh pendapat di
kalangan sarjana, yang juga menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam
51