• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Tingkat Pendidikan dan Aktivitas Fisik dengan Fungsi Kognitif Pada Lansia Di Kelurahan Darat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Tingkat Pendidikan dan Aktivitas Fisik dengan Fungsi Kognitif Pada Lansia Di Kelurahan Darat"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN AKTIVITAS FISIK DENGAN

FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DI KELURAHAN DARAT

TESIS

MAULINA SRI RIZKY 087112006

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK–SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN AKTIVITAS FISIK DENGAN

FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DI KELURAHAN DARAT

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinis Spesialis Saraf Pada

Program Studi Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

MAULINA SRI RIZKY 087112006

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK–SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : Hubungan Tingkat Pendidikan dan Aktivitas Fisik dengan Fungsi Kognitif Pada Lansia Di Kelurahan Darat

Nama Mahasiswa : MAULINA SRI RIZKY Nomor Induk Mahasiswa : 087112006

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Ilmu Penyakit Saraf

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K) Ketua

Ketua Program Studi Ketua TKP PPDS I

Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K) dr. Zainuddin Amir, SpP(K)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K) ……… Anggota : 1. Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S (K) ……… 2. Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S ……… 3. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K) ……… 4. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K) ……… 5. Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S (K) ……… 6. Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S (K) ……… 7. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S ……… 8. Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S ……… 9. Dr. Cut Aria Arina, Sp.S ……… 10. Dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S ……… 11. Dr. Alfansuri Kadri, Sp.S ……… 12. Dr. Dina Listyaningrum, Sp.S, MSi,Med ……… 13. Dr. Aida Fitri, Sp. S ………

PERNYATAAN

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN AKTIVITAS FISIK

DENGAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA

(5)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 14 Juni 2011

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang

Maha Esa yang telah memberikan segala berkah, rahmat dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir

Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik – Spesialis Ilmu Penyakit Saraf

di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat

H. Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan

dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk

mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu

Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. DR. dr. H. Hasan Sjahrir, Sp.S (K), selaku Ketua Departemen

Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H.Adam

Malik Medan disaat penulis melakukan penelitian dan juga sebagai guru dan

pembimbing penulis dalam penyusunan tesis ini, yang dengan penuh

kesabaran dan ketelitian membimbing, mengoreksi, dan memberikan

masukan-masukan berharga kepada penulis sehingga tesis ini dapat

(7)

3. Dr. H. Rusli Dhanu, Sp.S (K), Ketua Program Studi PPDS-I Neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara disaat penulis melakukan

penelitian dan sebagai Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan saat tesis ini

selesai disusun yang banyak memberikan masukan-masukan berharga

kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K), Ketua Program Studi PPDS-I Neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat ini yang banyak

memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis dalam

menyelesaikan tesis ini.

5. Dr. Aldy S. Rambe, Sp. S (K) dan Prof. DR. dr. H. Hasan Sjahrir, Sp.S (K),

selaku pembimbing penulis yang dengan sepenuh hati telah mendorong,

membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari

perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

6. Guru-guru penulis: Prof. Dr. H. Darulkutni Nasution, Sp.S (K); Dr. Darlan

Djali Chan, Sp.S; Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S (K); Dr. Irsan NHN Lubis,

Sp.S; Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S; Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S; Dr. Cut

Aria Arina, Sp.S; Dr. S. Irwansyah, Sp.S; Dr. Kiki M.Iqbal, Sp.S; Dr. Alfansuri

Kadri, Sp.S; Dr. Dina Listyaningrum, Sp,S, Msi. Med; Dr. Aida Fitri,

Sp.S dan guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang

telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan

(8)

7. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah

memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga

penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.

8. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah

banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan

penulis dalam pembuatan tesis ini.

9. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS-I Departemen Neurologi

FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang banyak memberikan masukan

berharga kepada penulis melalui diskusi-diskusi kritis dalam berbagai

pertemuan formal maupun informal, serta selalu memberikan

dorongan-dorongan yang membangkitkan semangat kepada penulis menyelesaikan

Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Penyakit

Saraf.

10. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah

bertugas selama menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik

ini, serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,

yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani Program Pendidikan

Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.

11. Bapak Lurah Darat beserta stafnya yang telah memberikan izin kepada

peneliti untuk melakukan penelitian ini di wilayah kelurahannya

12. Semua subjek penelitian dan masyarakat di Kelurahan Darat yang telah

bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.

13. Kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi H. Ibrahim dan

(9)

memberikan rasa aman, cinta dan doa restu kepada penulis sejak lahir

hingga saat ini.

14. Kedua saudara kandung saya, Maulana Abdillah, SE.Ak,MM dan Winta

Mulyana, ST, yang banyak memberikan semangat dan doa kepada penulis

selama menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis

Ilmu Penyakit Saraf.

15. Teristimewa kepada suamiku tersayang Afriansyah, SE dan anakku tercinta

Hashshad Arzaq Majid yang telah menjadi motivasi dan dorongan dalam

penyelesaian tesis ini dan mendampingi penulis dengan penuh cinta dan

kasih sayang dalam suka dan duka selama penulis menjalani Program

Pendidikan Magister Kedokteran Klinik dan menyelesaikan tesis ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua jasa dan budi

baik mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan

cita-cita penulis.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat

bermanfaat bagi kita semua.

Amin.

Penulis

(10)

ABSTRAK

Latar belakang dan Tujuan : Beberapa studi telah menunjukkan bahwa pendidikan dan aktivitas fisik berhubungan dengan fungsi kognitif pada orang tua. Keduanya dapat mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif. Penurunan fungsi kognitif ini dapat menyebabkan demensia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif pada lansia.

Metode : Penelitian ini adalah penelitian cross-sectional dengan pengumpulan sampel dengan metode purposive sampling non probability di Kelurahan Darat Kota Medan. Fungsi kognitif dinilai dengan menggunakan MMSE (Mini Mental Stage Examination) dan ACE-R (Addenbrooke’s Cognitive Examination Revision). Sedangkan untuk aktivitas fisik dinilai dengan menggunakan GPPAQ (The General Practice Physical Activity Questionnaire) yang terdiri atas inactive,

moderately inactive, moderately active dan active.

Hasil : Penelitian ini terdiri dari 18 orang laki-laki (45%) dan 22 orang (55%) perempuan dengan 30 orang (75%) berusia 60-69 tahun. Berdasarkan hasil skor MMSE dijumpai hubungan yang singifikan dengan usia (p= 0.001), tingkat pendidikan (p= 0.0001) dan aktivitas fisik (p= 0.0001). Rata-rata probable gangguan kognitif dijumpai pada kelompok usia ≥ 80 (20.00±2.708), tidak sekolah (20.20±2.387), SD (22.56±1.878) dan aktivitas fisik inactive (21.00±3.464). Sedangkan untuk skor ACER dijumpai hubungan yang singifikan dengan usia (p= 0.0001), tingkat pendidikan (p= 0.0001) dan aktivitas fisik (p= 0.0001). Rata-rata skor ACER yang ≤ 82 dijumpai pada kelompok usia 70-79 (77.17±9.453), usia ≥ 80 (58.25±14.592), tidak sekolah (56.40±8.473), SD (69.89±3.100), aktivitas fisik inactive (64.14±13.910) dan moderately inactive (74.62±8.047) .

Kesimpulan : Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dan aktifitas fisik dengan fungsi kognitif.

(11)

ABSTRACT

Background and Purpose : Several studies have shown the association between educational level and physical activity with cognitive function in elderly. Both of these can prevent the cognitive decline. The decline in cognitive function may cause dementia. The purpose of this study was to invetstigate the association between educational level and physical activuiy with cognitive function in elderly.

Method : This was a cross-sectionl study with purposive sampling non probability method in Kelurahan Darat Kota Medan. Cognitive function was measured by using MMSE (Mini Mental Stage Examination) and ACE-R (Addenbrooke’s Cognitive Examination Revision). Physical activity was measured by using GPPAQ (The General Practice Physical Activity Questionnaire) which consisted of inactive, moderately inactive, moderately active and active.

Results : This study was consisted of 18 men (45%) and 22 women (55%) with 30 patients (75%) were at the age 60-69 years. Based on MMSE score, it was found significants association with age (p=0.001), educational level (p=0.0001) and physical activity (p=0.0001). The mean of probable cognitive impairment in the group of age ≥ 80 (20.00±2.708), not schooling (20.20±2.387), primary school (22.56±1.878), and inactive physical activity (21.00±3.464). While in the score of ACER, it was found significants association with age (p=0.0001), educational level (p= 0.0001), and physical activity (p= 0.0001). The mean of ACER score ≤ 82 was found in the group of age 70-79 (77.17±9.453), age ≥ 80 (58.25±14.592), not schooling (56.40±8.473), primary school (69.89±3.100), inactive physical activity (64.14±13.910), and moderately inactive (74.62±8.047).

Conclusion : This study showed a significant association between educational level and physical activity with cognitive function.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan Tesis... ii

Ucapan Terima Kasih……….. v

Abstrak... x

Daftar Isi... xii

Daftar Singkatan……….. xv

Daftar Lambang……… xvi

Daftar Gambar………... xvii

Daftar Tabel... xviii

II.2.3 Pengaruh Pendidikan Terhadap Fungsi Kognitif... 16

I.2.3 Pengaruh Aktivitas Fisik Terhadap Fungsi Kognitif... 18

II.3. LANJUT USIA... 22

16 II.3.1. Definisi... 22

II.4. INSTRUMENT... 23

II.4.1. Mini Mental Status Examination………. 23

II.4.2. Addenbrookes’sCognitiveExamination………. 24

(13)

III.2.2. Populasi Terjangkau... 29

III.2.3. Besar Sampel... 29

III.2.4. Kriteria Inklusi ... 30

III.2.5. Kriteria Eksklusi ... 31

III.3. BATASAN OPERASIONAL ... 31

III.4 RANCANGAN PENELITIAN... 35

III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN ... 36

III.5.1. Instrumen... 36

III.5.1.1. Mini Mental Status Examination... 36

III.5.1.2. Addenbrookes’s Cognitive Examination.. ... 36

III.5.1.3The General Practice Physical Activity Questionnaire... 37

III.5.2. Pengambilan Sampel... 38

III.5.3. Kerangka Operasional ... 38

III.5.4. Variabel yang Diamati... 38

III.5.5. Analisa Statistik... 39

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV.1. HASIL PENELITIAN IV.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian... 40

IV.1.2. Rerata Nilai Fungsi Kognitif... 42

IV.1.3. Distribusi Rerata Nilai Fungsi KognitifBerdasarkan Variabel... 42

IV.1.3.1.Rerata Nilai MMSE Berdasarkan Variabel... 42

IV.1.3.2.Rerata Nilai ACER Berdasarkan Variabel... 45

IV.1.4. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Aktivitas Fisik dengan Fungsi Kognitif...... 47

IV.1.4.1. HubunganTingkat Pendidikan dengan MMSE... 47

IV.1.4.2. Hubungan Aktivitas Fisik dengan MMSE... 48

IV.1.4.3. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan ACER... 50

IV.1.4.4.Hubungan Aktivitas Fisik dengan ACER... 52

IV.2. PEMBAHASAN IV.2.1.Karakteristik Subjek Penelitian………... 54

IV.2.2. Rerata Nilai Fungsi Kognitif………...…. 55

IV.2.3. Rerata Nilai Mini Mental Status Examination dan Distribusinya Berdasarkan Variabel... 56

IV.2.4. Rerata Nilai Addenbrookes’s Cognitive Examination dan Distribusinya Berdasarkan Variabel... 56

(14)

1. Lembar Penjelasan Kepada pasien 2. Surat Persetujuan Ikut Dalam Penelitian 3. Persetujuan Komite Etik

4. Lembar Pengumpulan Data Penelitian

5. Nilai Skor Mini Mental State Examination

6. Addenbrookes’s Cognitive Examination

7. Skala Depresi Geriatrik

8. The General Practice Physical Activity Questionnaire

9. Karakteristik data pasien berusia paruh baya 10. Riwayat Hidup Peneliti

   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(15)

DAFTAR SINGKATAN

ACE = Addebbrooke’s Cognitive Examination

ACE-R = Addebbrooke’s Cognitive Examination-Revision

AD = Alzheimer Disease

CR = cognitive reserve

DM = Diabetes Mellitus

FTD = Frontotemporal Demensia

GPPAQ = The General Practice Physical Activity Questionnaire Kkal = Kilokalori

MMSE = Mini Mental Status Examination

PAI = Physical Activity Idex

PPV = Positive Predictive Value

SPSS = Statistical Product and Science Service

UN = United Nation

(16)

DAFTAR LAMBANG

n : Besar sampel

p : Tingkat kemaknaan

Pa : proporsi yang mengalami gangguan fungsi kognitif pada saat ini

Po : proporsi yang mengalami gangguan fungsi kognitif

Pa-Po : beda proporsi yang bermakna = 20%

Qa : 1-Pa

Qo : 1-Po

Zα : Nilai baku normal berdasarkan nilai α (0,01) yang telah ditentukan  1,96

Zβ : Nilai baku berdasarkan nilai β (0,15) yang ditentukan oleh peneliti  1,036

: Mean

α : alfa

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Peranan BDNF dalam memediasi Exercise 20

Gambar 2. Mekanisme exercise mempengaruhi growth factor, klotho, myokines, dan pengaruhnya pada otak

22

Gambar 3. Grafik Hubungan Tingkat Pendidikan dengan MMSE

48

Gambar 4. Grafik Hubungan Aktivitas Fisik dengan MMSE 49

Gambar 5. Grafik Hubungan Tingkat Pendidikan dengan ACER 51

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian 41

Tabel 2. Rerata Nilai Fungsi Kognitif 42

Tabel 3. Distribusi rerata nilai MMSE berdasarkan variabel 44

Tabel 4. Distribusi rerata nilai ACER berdasarkan variabel 46

Tabel 5. Hubungan Tingkat Pendidikan dan MMSE 47

Tabel 6. Hubungan Aktivitas Fisik dengan MMSE 49

Tabel 7. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan ACER 50

Tabel 8. Hubungan Aktivitas Fisik dengan ACER 52

(19)

ABSTRAK

Latar belakang dan Tujuan : Beberapa studi telah menunjukkan bahwa pendidikan dan aktivitas fisik berhubungan dengan fungsi kognitif pada orang tua. Keduanya dapat mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif. Penurunan fungsi kognitif ini dapat menyebabkan demensia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif pada lansia.

Metode : Penelitian ini adalah penelitian cross-sectional dengan pengumpulan sampel dengan metode purposive sampling non probability di Kelurahan Darat Kota Medan. Fungsi kognitif dinilai dengan menggunakan MMSE (Mini Mental Stage Examination) dan ACE-R (Addenbrooke’s Cognitive Examination Revision). Sedangkan untuk aktivitas fisik dinilai dengan menggunakan GPPAQ (The General Practice Physical Activity Questionnaire) yang terdiri atas inactive,

moderately inactive, moderately active dan active.

Hasil : Penelitian ini terdiri dari 18 orang laki-laki (45%) dan 22 orang (55%) perempuan dengan 30 orang (75%) berusia 60-69 tahun. Berdasarkan hasil skor MMSE dijumpai hubungan yang singifikan dengan usia (p= 0.001), tingkat pendidikan (p= 0.0001) dan aktivitas fisik (p= 0.0001). Rata-rata probable gangguan kognitif dijumpai pada kelompok usia ≥ 80 (20.00±2.708), tidak sekolah (20.20±2.387), SD (22.56±1.878) dan aktivitas fisik inactive (21.00±3.464). Sedangkan untuk skor ACER dijumpai hubungan yang singifikan dengan usia (p= 0.0001), tingkat pendidikan (p= 0.0001) dan aktivitas fisik (p= 0.0001). Rata-rata skor ACER yang ≤ 82 dijumpai pada kelompok usia 70-79 (77.17±9.453), usia ≥ 80 (58.25±14.592), tidak sekolah (56.40±8.473), SD (69.89±3.100), aktivitas fisik inactive (64.14±13.910) dan moderately inactive (74.62±8.047) .

Kesimpulan : Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dan aktifitas fisik dengan fungsi kognitif.

(20)

ABSTRACT

Background and Purpose : Several studies have shown the association between educational level and physical activity with cognitive function in elderly. Both of these can prevent the cognitive decline. The decline in cognitive function may cause dementia. The purpose of this study was to invetstigate the association between educational level and physical activuiy with cognitive function in elderly.

Method : This was a cross-sectionl study with purposive sampling non probability method in Kelurahan Darat Kota Medan. Cognitive function was measured by using MMSE (Mini Mental Stage Examination) and ACE-R (Addenbrooke’s Cognitive Examination Revision). Physical activity was measured by using GPPAQ (The General Practice Physical Activity Questionnaire) which consisted of inactive, moderately inactive, moderately active and active.

Results : This study was consisted of 18 men (45%) and 22 women (55%) with 30 patients (75%) were at the age 60-69 years. Based on MMSE score, it was found significants association with age (p=0.001), educational level (p=0.0001) and physical activity (p=0.0001). The mean of probable cognitive impairment in the group of age ≥ 80 (20.00±2.708), not schooling (20.20±2.387), primary school (22.56±1.878), and inactive physical activity (21.00±3.464). While in the score of ACER, it was found significants association with age (p=0.0001), educational level (p= 0.0001), and physical activity (p= 0.0001). The mean of ACER score ≤ 82 was found in the group of age 70-79 (77.17±9.453), age ≥ 80 (58.25±14.592), not schooling (56.40±8.473), primary school (69.89±3.100), inactive physical activity (64.14±13.910), and moderately inactive (74.62±8.047).

Conclusion : This study showed a significant association between educational level and physical activity with cognitive function.

(21)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Sekitar 10% orang tua yang berusia lebih dari 65 tahun dan 50% pada

usia yang lebih dari 85 tahun akan mengalami gangguan kognitif, dimana akan

dijumpai gangguan yang ringan sampai terjadinya demensia (Yaffe dkk, 2001).

Pada populasi penduduk terutama jumlah orang tua yang menderita penyakit

Alzheimer (AD) diperkirakan akan meningkat dari 26,6 juta menjadi 106,2 juta

pada tahun 2050 (Lautenschlager dkk, 2008).

Faktor-faktor lifestyle seperti stimulasi intelektual, berkaitan dengan kognitf dan sosial, dan beberapa tipe exercixe dapat menurunkan resiko untuk terjadinya gangguan yang berhubungan dengan usia seperti Alzheimer’s disease (AD) dan demensia vaskular. Kenyataannya banyak studi yang menjelaskan bahwa aktivitas fisik dapat mencegah kemunduran fungsi kognitif

yang lambat (Foster dkk, 2011).

Fungsi kognitif yang buruk juga merupakan suatu prediktor kematian

pada semua usia dan juga dapat dilihat sebagai penanda status kesehatan

secara umum. Aktivitas fisik mempunyai pengaruh yang bermanfaat pada

fungsi kognitif usia paruh baya. Dan juga merupakan sebagai pencegahan

terhadap gangguan fungsi kognitif dan demensia (Singh-Manoux dkk, 2005).

Tingkat pendidikan yang rendah menjadi faktor resiko untuk terjadinya

(22)

kurang maka pertumbuhan dendrit pun menjadi kurang (Sjahrir,1999; Bayer

dkk, 2004). Data pada suatu penelitian memberikan bukti yang kuat bahwa

hubungan antara senile plaques dan tingkat fungsi kognitif berbeda dengan tingkat pendidikan (Bennet dkk, 2004).

Pendidikan sejak dini memiliki efek langsung pada struktur otak melalui

peningkatan jumlah synaps atau vaskularisasi dan membentuk cognitive reserve, serta efek stimulasi mental pada usia tua dimana dapat mempengaruhi neurokemikal ataupun struktur otak (Lee dkk, 2003).

Koepsell dkk (2008), melakukan suatu studi untuk melihat hubungan

tingkat pendidikan mempunyai peranan dalam neuropatologi pada AD dimana

dijumpai adanya gangguan kognitif. Mereka menyimpulkan bahwa tidak

menemukan bukti yang cukup antara hubungan tingkat pendidikan dengan

penyakit Alzheimer. Tetapi nilai mini mental status examination (MMSE) yang tinggi antara orang-orang yang berpendidikan tinggi menggambarkan mereka

lebih ringan atau tidak menderita AD.

Suatu studi mengatakan bahwa cognitive reserve pada tingkat

pendidikan yang tinggi berhubungan dengan skor/ nilai yang tinggi pada tes

fungsi kognitif dan begitu juga sebaliknya (Bellen, 2009).

Hernandez dkk (2010) melakukan suatu studi, untuk menganalisa pengaruh

aktivitas secara regular dan sistematis terhadap fungsi kognitif, serta secara

seimbang dan resiko terhadap pasien usia tua dengan AD. Mereka menyimpulkan

bahwa olahraga mungkin suatu non farmakologis yang penting dapat dilakukan yang

bermanfaat untuk fungsi kognitif dan menurunkan resiko terjadinya gangguan kognitif.

Terkadang ketangkasan/kecekatan dalam berolahraga dan keseimbangan dapat juga

(23)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa frekuensi dan latihan fisik yang

dilakukan pada usia paruh baya atau usia lanjut dapat menurunkan resiko

terjadinya gangguan kognitif (Geda dkk, 2010; Abbott dkk, 2004; Laurin dkk,

2001; Andel dkk, 2008, Baker dkk, 2010; Etgen dkk, 2010 ).

Larson dkk (2006) melakukan suatu studi prospektif untuk mengetahui

hubungan antara exercise regular dan penurunan resiko demensia dan AD. Subjek

penelitian sebanyak 1740 orang dengan usia 65 tahun atau lebih tanpa gangguan

kognitif. Mereka menyimpulkan bahwa exercise regular berhubungan dengan resiko

terjadinya demensia dan penyakit Alzheimer pada usia paruh baya dimana

orang-orang yang melakukan 3 kali atau lebih perminggu resiko menderita

demensia menurun dibandingkan orang yang melakukan exercise regular kurang

3 kali perminggu.

Level aktivitas fisik yang tinggi dan dilakukan secara rutin dan terus

menerus mempunyai hubungan dengan tingginya fungsi kognitif dan penurunan

fungsi kognitif. Manfaat aktivitas fisik akan tampak nyata dimana akan

kelihatan 3 tahun lebih muda dari usianya dan 20% dapat menurunkan resiko

gangguan fungsi kognitif (Weuve dkk, 2004).

Suatu studi menyimpulkan bahwa stimulasi fisik dan kognitif pada pasien

usia lanjut dengan AD dapat berkontribusi pada pengurangan dari penurunan

fungsi kognitif (Arcoverde dkk, 2008).

Mathuranath dkk (2007) melakukan suatu studi kohort di India dengan

melakukan suatu pemeriksaan kognitif dengan menggunakan mini mental state

examination dan addenbrokes’s cognitive examination (ACE) pada suatu populasi di

India berdasarkan tingkat pendidikan dan kebudayaan yang ada dimasyarakat

(24)

dalam dalam pengisian mini mental state examination dan addenbrokes’s cognitive

examination yang akhinya akan mengetahui rata-rata fungsi kognitif pasien tersebut.

Mathuranath dkk (2000) melakukan suatu studi untuk memvalidasi suatu

tes yang sederhana yang dirancang untuk mendeteksi demensia dan

membedakan demensia alzheimer (AD) dari demensia frontotemporal (FTD).

Mereka menyimpulkan bahwa Addenbrookes’s cognitive examination (ACE) adalah suatu instrument yang dapat mendeteksi demensia secara dini, dan juga

untuk membedakan antara AD dan FTD. Beberapa studi juga menjelaskan

bahwa Addenbrookes’s cognitive examination revised (ACER) merupakan suatu alat diagnostik yang akurat untuk mendiagnosa suatu demensia

(Carvalho dkk, 2010; Poeretemad dkk, 2009).

MMSE adalah suatu alat screening yang digunakan pada individu untuk mengetahui gangguan kognitif, tapi tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa

demensia ( Kochhann dkk, 2009).

The General Practice Physical Activity Questionnaire (GPPAQ) adalah suatu instrument screening yang telah divalidasi yang dapat digunakan untuk menilai pencegahan primer. Instrument ini digunakan pada orang dewasa untuk

melihat level aktivitas fisik, yang terdiri dari pertanyaan yang simpel yang berisi

(25)

I.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, maka

dirumuskanlah masalah sebagai berikut:

Apakah terdapat hubungan tingkat pendidikan dan aktivitas fisik dengan

fungsi kognitif pada lansia ?

I.3. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan :

I.3.1. Tujuan umum:

Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan aktivitas fisik

dengan fungsi kognitif pada lansia .

I.3.2. Tujuan Khusus :

1. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif

pada Lansia di Kelurahan Darat

2. Untuk megetahui hubungan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif pada

Lansia di Kelurahan Darat

3. Untuk megetahui distribusi rerata nilai fungsi kognitif terhadap kelompok

usia, jenis kelamin, pekerjaan, suku bangsa

4. Untuk mengetahui gambaran karakteristik demografi pada lansia di

Kelurahan Darat

I.4. HIPOTESIS

Terdapat hubungan tingkat pendidikan dan aktivitas fisik dengan fungsi

(26)

I.5. MANFAAT PENELITIAN

Dengan mengetahui adanya hubungan tingkat pendidikan dan aktivitas

fisik dengan fungsi kognitif pada lansia maka dengan sedini mungkin kita dapat

melakukan usaha pencegahan salah satunya dengan melakukan aktivitas fisik

seperti berjalan kaki > 1,5 jam/minggu dan juga dapat melakukan aktivitas fisik

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. AKTIVITAS FISIK II.1.1. Definisi

Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot

rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik yang tidak ada

(kurangnya aktivitas fisik) merupakan faktor risiko independen untuk penyakit

kronis, dan secara keseluruhan diperkirakan menyebabkan kematian secara

global ( WHO, 2010; Physical Activity. In Guide to Community Preventive

Services Web site, 2008).

II.1.2. Manfaat Aktivitas Fisik terhadap Kesehatan

Aktivitas fisik secara teratur memiliki efek yang menguntungkan terhadap

kesehatan yaitu :

 Terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker, tekanan

darah tinggi, kencing manis, dan lain-lain

 Berat badan terkendali

 Otot lebih lentur dan tulang lebih kuat

 Bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional

 Lebih percaya diri

(28)

 Secara keseluruhan keadaan kesehatan menjadi lebih baik (Pusat

Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2006 )

II.1.3. Tipe-tipe Aktivitas Fisik

Ada 3 tipe/macam/sifat aktivitas fisik yang dapat kita lakukan untuk

mempertahankan kesehatan tubuh yaitu:

1. Ketahanan (endurance)

Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan, dapat membantu jantung,

paru-paru, otot, dan sistem sirkulasi darah tetap sehat dan membuat kita lebih

bertenaga. Untuk mendapatkan ketahanan maka aktivitas fisik yang dilakukan

selama 30 menit (4-7 hari per minggu).

Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti:

 Berjalan kaki, misalnya turunlah dari bus lebih awal menuju tempat kerja

kira-kira menghabiskan 20 menit berjalan kaki dan saat pulang berhenti

di halte yang menghabiskan 10 menit berjalan kaki menuju rumah

 Lari ringan

 Berenang, senam

 Bermain tenis

 Berkebun dan kerja di taman.

2. Kelenturan (flexibility)

Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membantu pergerakan lebih

mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur) dan sendi berfungsi

dengan baik. Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang

dilakukan selama 30 menit (4-7 hari per minggu).

(29)

 Peregangan, mulai dengan perlahan-lahan tanpa kekuatan atau

sentakan, lakukan secara teratur untuk 10-30 detik, bisa mulai dari

tangan dan kaki

 Senam taichi, yoga

 Mencuci pakaian, mobil

 Mengepel lantai.

3. Kekuatan (strength)

Aktifitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja otot tubuh

dalam menahan sesuatu beban yang diterima, tulang tetap kuat, dan

mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan

terhadap penyakit seperti osteoporosis. Untuk mendapatkan kelenturan maka

aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (2-4 hari per minggu).

Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih eperti:

 Push-up, pelajari teknik yang benar untuk mencegah otot dan sendi dari

kecelakaan

 Naik turun tangga

 Angkat berat/beban

 Membawa belanjaan

 Mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur (fitness)

Aktivitas fisik tersebut akan meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi

(pembakaran kalori), misalnya:

 Berjalan kaki (5,6-7 kkal/menit)

 Berkebun (5,6 kkal/menit)

(30)

 Menyapu rumah (3,9 kkal/menit)

 Membersihkan jendela (3,7 kkal/menit)

 Mencuci baju (3,56 kkal/menit)

 Mengemudi mobil (2,8 kkal/menit)

Aktivitas yang dapat dilakukan antara lain:

 Menyapu

 Mengepel

 Mencuci baju

 Menimba air

 Berkebun/bercocok tanam

 Membersihkan kamar mandi

 Mengangkat kayu atau memikul beban

 Mencangkul

 Dan kegiatan lain dalam kehidupan sehari-hari.

Aktivitas fisik berupa olahraga yang dapat dilakukan antara lain:

 Jalan sehat dan jogging

 Bermain tenis

 Bermain bulu tangkis

 Sepakbola

 Senam aerobik

 Senam pernapasan

 Berenang

 Bermain bola basket

(31)

 Bersepeda

 Latihan beban: dumble dan modifikasi lain

 Mendaki gunung, dll (Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan

RI 2006).

II.2. FUNGSI KOGNITIF II.2.1. Definisi

Kognitif berasal dari bahasa Latin, yaitu cognitio yang artinya adalah berpikir. Hal ini merujuk kepada kemampuan seseorang dan mengerti

dunianya, yang dicapai dari sejumlah fungsi yang kompleks termasuk orientasi

terhadap waktu, tempat dan individu; kemampuan aritmatika; pikiran abstrak;

kemampuan fokus untuk berpikir logis (Pincus dkk, 203).

Fungsi kognitif terdiri dari :

1. Atensi

Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu

stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik

internal maupun eksternal yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan.

Setelah menentukan kesadaran, pemeriksaan atensi harus dilakukan

saat awal pemeriksaan neurobehavior karena pemeriksaan modalitas kognitif

lainnya sangat dipengaruhi oleh atensi yang cukup terjaga.

Atensi dan konsentrasi sangat penting dalam mempertahankan fungsi

kognitif, terutama dalam proses belajar. Gangguan atensi dan konsentrasi akan

(32)

Gangguan atensi dapat berupa dua kondisi klinik berbeda. Pertama

ketidakmampuan mempertahankan atensi maupun atensi yang terpecah atau

tidak atensi sama sekali, dan kedua inatensi spesifik unilateral terhadap

stimulus pada sisi tubuh kontralateral lesi otak.

2. Bahasa

Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar

yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu pemeriksaan

bahasa harus dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehavior. Jika terdapat

gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif

akan mengalami kesulitan atau tidak mungkin dilakukan.

Gangguan bahasa (afasia) sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi

klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik

anatara sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi. Kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa penting, sehingga setiap gangguan

berbahasa akan menyebabkan hendaya fungsional. Setiap kerusakan otak

yang disebabkan oleh stroke, tumor, trauma, demensia dan infeksi dapat

menyebabkan gangguan berbahasa.

3. Memori

Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus

dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui system limbik

untuk terjadinya pembelajaran baru.

Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate, recent,

(33)

a. Immediate memory merupakan kemampuan untuk merecall stimulus dalam interval waktu beberapa detik.

b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian sehari-hari (misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau

kejadian-kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi

tersebut dalam rentang waktu menit, jam, hari, bulan, tahun.

c. Remote memory merupakan rekoleksi kejadian yang terjadi bertahun tahun yang lalu (misalnya tanggal lahir, sejarah, nama teman).

Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan

pasien. Amnesia secara umum mmerupakan efek fungsi memori. Ketidak

mampuan untuk mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia

anterograd. Amnesia anterograd merujuk pada amnesia kejadian yang terjadi

sebelum brain insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori

merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami

kesulitan memori. Amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode

tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek pada recent memory.

4. Visuospasial

Kemampuan visuospasial dapat dievaluasi melalui kemampuan

kontruksional seperti menggambar atau meniiru berbagai macam gambar

(misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan

dalam kemampuan konstruksi ini tetapi lobus parietal terutama hemisfer kanan

(34)

untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan

dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.

Pasien diminta untuk menggambar jam berbentuk lingkaran kemudian

dengan angkanya yang lengkap, jika gambar jam digambar terlalu kecil

sehingga angka-angkanya tidak muat, hal ini mencermikan gangguan pada

perencanaan. Jika terdapat neglek unilateral pasien menempatkan angka

hanya pada satu sisi. Selanjutnya pasien diminta untuk menggambar jarum

pada pukul 11:10. Pasien dengan gangguan fungsi eksekutif akan menunjuk

jarum pada angka 10 dan 11.

5.Fungsi Eksekutif

Fungsi eksekutif adalah keampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir

dan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekusi diperankan oleh

lobus frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang

terkait dengan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal.

Diperlukan atensi, bahasa, memori dan visuospasial sebagai dasar untuk

menyusun kemampuan kognitif (Modul Neurobehavior, 2008).

Istilah penurunan kognitif sebenarnya menggambarkan perubahan

kognitif yang berkelanjutan; beberapa dianggap masih dalam spektrum

penuaan normal, sementara yang lainnya dimasukkan dalam ketegori

gangguan ringan. Untuk menentukan gangguan fungsi kognitif, biasanya

dilakukan penilaian terhadap satu domain atau lebih seperti memori, orientasi,

bahasa, fungsi eksekutif dan praksis. Temuan dari berbagai peneltian klinis dan

(35)

lingkungan dapat berkontribusi terhadap esiko penurunan fungsi kognitif

(Plassman dkk, 2010).

II.2.2. Pengaruh Pendidikan Terhadap Fungsi Kognitif

Tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan penurunan fungsi

kognitif yang dapat terjadi lebih cepat dibandingkan dengan tingkat pendidikan

yang tinggi. Diduga ada beberapa mekanisme yang mendasari proses ini yaitu :

a. Hipotesis brain reverse, teori ini mengatakan bahwasannya tingkat pendidikan dan penurunan fungsi kognitif karena usia saling berhubungan

karena keduanya didasarkan pada potensi kognitif yang didapat sejak

lahir.

b. Teori “use it or lose it”, teori mengatakan stimulus mental selama dewasa merupakan proteksi dalam melawan penurunan fungsi kognitif yang

prematur. Pendidikan pada awal kehidupan mempunyai pengaruh pada kehidupan selanjutnya jika seseorang tersebut terus melanjutkan

pendidikan untuk menstimulasi mental yang diduga bermanfaat untuk

neurokimia dan pengaruh struktur otak(Bosma Lee dkk 2003, Seeman

dkk,2005)

(36)

pada otak dan mampu melakukan mengkompensasi dengan baik terhadap

hilangnya suatu kemampuan dengan menggunakan strategi alternative pada

tes yang didapati selama pelatihan selama pendidikan, dengan demikian dapat

diasumsikan orang yang berpendidikan tinggi menurun fleksibilitas ini dalam

test-taking strategy (Dash dkk, 2005).

Suatu studi yang dilakukan oleh Bennett dkk (2003) untuk mengetahui

hubungan antara tingkat edukasi formal dan patologi AD. Ternyata dijumpai

adanya bukti yang kuat antara senile plaque dan level fungsi kognitif yang berbeda berdasarkan tingkat edukasi formal.

Studi yang dilakukan oleh Seeman dkk (2005) menyimpulkan

bahwasannya semakin tinggi pendidikan penderita Alzheimer maka semakin

cepat penurunan fungsi kognitif. Hipotesis cognitive reserve (CR) dapat menjelaskan hal ini. Hipotesis ini menjelaskan bahwa ada perbedaan individu

dalam kemampuan mengatasi patologis penyakit Alzheimer. Substrat neural

dari CR dapat mengambil bentuk dari jumlah yang besar dari sinaps atau

neuron yang sehat saat yang lainnya dipengaruhi proses patologis Alzheimer.

Sehingga penyakit Alzheimer pada tingkat pendidikan tinggi baru

bermanifestasi secara klinis setelah kelainan patologi otak cukup parah

(patologis di otak yang berpendidikan tinggi lebih berat dari yang berpendidikan

rendah saat penyakit Alzheimer terdeteksi). Dan pada saat patologis otak

sudah berat dan meluas, substrat neural yang mengkompensasi tersebut tidak

(37)

II.2.3. Pengaruh Aktivitas Fisik Terhadap Fungsi Kognitif

Beberapa hipotesis yang menjelaskan tentang mekanisme yang

mendasari hubungan antara aktivitas fisik dan fungsi kognitif masih belum

dapat dipahami. Aktivitas fisik memperlihatkan dapat mempertahankan aliran

darah otak dan mungkin juga meningkatkan persediaan nutrisi otak. Selain itu

kegiatan aktivitas fisik juga diyakini untuk memfasilitasi metabolisme

neurotransmiter, dapat juga memicu perubahan aktivitas molekuler dan seluler

yang mendukung dan menjaga plastisitas otak. Bukti dari suatu studi hewan

telah menunjukkan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan seluler, molekul

dan perubahan neurokimia. Pengaruh yang diamati berhubungan dengan

peningkatan vaskularisasi di otak, peningkatan level dopamin, dan perubahan

molekuler pada faktor neutropik yang bermanfaat sebagai fungsi

neuroprotective (Singh-Manoux dkk.2005; Hernandez dkk, 2010). Selain itu aktivitas fisik juga diduga menstimulasi faktor tropik dan neuronal growth yang kemungkinan faktor-faktor ini yang menghambat penurunan fungsi kognitif dan

demensia (Yaffe dkk,2001).

Pada exercise beberapa sistem molekul yang dapat berperan dalam hal yang bermanfaat pada otak. Faktor-faktor neurotrofik kebanyakan yang berperan dalam efek yang bermanfaat tersebut. Faktor neurotrofik itu terutama

BDNF, karena dapat meningkatkan ketahanan dan pertumbuhan beberapa tipe

dari neuron, meliputi neuron glutamanergik. BDNF berperan sebagai mediator

utama dari efikasi sinaptik, penghubungan sel saraf dan plastisitas sel saraf

(38)

Diduga bahwa response neurotorphin yang diperantarai exercise

mungkin terbatas pada sistem motorik, sensorik, dari otak, seperti serebellum,

area korteks primer antara lain basal ganglia. Hasil yang dijumpai pada suatu

penelitian beberapa hari setelah voluntany tral-runing dilakukan, mengingatkan kadar dari BDNF mRNA di hipokampus, struktur higly plastic yang secara normal berkaitan dengan fungsi kognitif dibandingkan aktifitas motorik.

Perubahan kadar mRNA dijumpai di neuron, terutama di girus dentatus, hilus, dan regio CA3. Peningkatan terjadi dalam beberapa hari pada tikus jantan dan

betina, menetap sampai beberapa minggu selama latihan dan bersamaan

dengan peningkatan jumlah protein BDNF(Cotman dkk, 2002) .

Meskipun faktor-faktor neurotrofik lain seperti NGF & FGF-2 juga

diindukasi di hipokampus sebagai respon pada latihan, peningkatannya hanya

sesaat dan kurang jelas/nyata dibanding BDNF, ini menunjukkan bahwa BDNF

merupakan kandidat yang lebih baik dalam memediasi manfaat jangka panjang

(39)

Gambar 1. Peranan BDNF dalam memediasi Exercise

Dikutip dari : Cotman C. W, Berchtold N. C. 2002. Exercise: A Behavior Intervention To

Enhance Brain Health and Plasticity. TRENDS in Neurosciences. 25(6):295-300

Aktivitas fisik kemungkinan menpertahankan kesehatan vaskular otak

dengan menurunkan tekanan darah, meningkatkan profil lipoprotein,

mendukung produksi endotel nitrat oksidasi dan memastikan perfusi otak

cukup.Demikian pula, muncul bukti hubungan antara insulin dan amiloid

menunjukkan bahwa manfaat aktivitas aerobik pada resistensi insulin dan

glukosa intolerance, mungkin ini merupakan mekanisme yang lain dimana aktivitas fisik dapat mencegah atau menunda penurunan fungsi kognitif (Weuve

dkk, 2004).

Power, 2006 menjelaskan bahwa ada 3 mekanisme yang dapat

(40)

angiogenesesis pada otak, perubahan synaptic reverse dan menghilangkan penumpukan amiloid.

Suatu studi menjelaskan bahwasannya ada beberapa faktor yang

mempengaruhi exercise terhadap fungsi kognitif : exercise menyebabkan hipertrofi hipokampus yang nantinya akan memiliki fungsi preventif terhadap

degenerasi neuronal; exercise juga dapat menyebabkan produksi faktor pertumbuhan seperti BDNF yang telah diketahui untuk memperbesar

neurogenesis dan efek positif terhadap kognitif; exercise juga dapat menyebabkan respon terhadap BDNF, neurogenesis dan fungsi kognitif melalui

IGF-1; exercise tersebut juga berhubungan dengan inflamasi dimana kontraksi otak memproduksi IL6, IL8, IL15, TNF α yang selanjutnya mempengaruhi fungsi kognitif. Klotho protein/gen dapat dipengaruhi aktivitas fisik melalui faktor

pertumbuhan seperti IGF-1 dimana efek klotho pada otak tampak seperti

neuroprotektif dan mencegah kehilangan neuron dopaminergik dalam

(41)

Gambar 2. Mekanisme Exercise mempengaruhi growth factor, klotho,

myokines dan pengaruhnya pada otak

Dikuti dari : Foster P. P, Rosenblatt K. P, Kuljiš R. O. 2011 . Exercise Induced Cognitive

Plasticity, Implications For Mild Cognitive Impairment And Alzheimer’s Disease. Frontiers In

Neurology Dementia:2:(28):1-10

II.3. LANJUT USIA II.3.1. Definisi

Lanjut usia adalah dimana individu yang berusia di atas 60 tahun yang pada

umumnya memiliki tanda-tanda terjadinya penurunan fungsi-fungsi biologis,

psikologis, sosial, ekonomi. Sedangkan menurut United National (UN)

(42)

(WHO,2010;Definition of an older or elderly person: Assosiasi Alzheimer

Indonesia).

Undang-undang Depkes RI , No. 4 tahun 1965 menjelaskan bahwa

seseorang dikatakan sebagai lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai

umur 55 tahun ke atas, tidak mampu mencari nafkah sendiri dan memenuhi

kebutuhan hidup sendiri dan juga menerima nafkah. Sedangkan WHO dalam

depkes RI mempunyai batasan usia lanjut sebagai berikut: middle / young elderly usia antara 45-59 tahun, elderly usia antara 60-74 tahun, old usia antara 75-90 tahun dan dikatakan very old berusia di atas 90 tahun (Aging process 2010).

II.4. INSTRUMENT

II.4.1. Mini Mental State Examination (MMSE)

Pemeriksaan status mental mini Folstein (Mini Mental State Examination: MMSE) adalah test yang paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai

maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan

data dasar dan memantau penurunan kognisi. Nilai di bawah 27 dianggap

abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada

penderita berpendidikan tinggi. Penyandang d engan pendidikan yang rendah

dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang

rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia (Asosiasi Alzheimer

Indonesia 2003).

Pada penelitian Crum R.M (1993) diperoleh median skor MMSE 29 pada

(43)

serta diperoleh data median skor 29 untuk kelompok dengan lama masa

pendidikan >9 tahun, median skor 26 untuk kelompok dengan lama masa

pendidikan 5-8 tahun dan median 22 untuk kelompok dengan lama masa

pendidikan 0-4 tahun.

II.4.2. Addenbrookes’s Cognitive Examination (ACE)

Addenbrookes’s Cognitive Examination adalah suatu instrument yang digunakan untuk mendeteksi demensia yang sensitif dan spesifik, dimana

menggabungkan antara MMSE ,memperluas memori, bahasa, dan komponen

visuospatial dan menambahkan tes kefasihan lisan (Bayer dkk, 2004).

ACE ini mampu membedakan demensia termasuk penyakit Alzheimer

dan frontotemporal demensia (FTD). ACER membutuhkan waktu antara 12

dan 20 menit (rata-rata 16 menit) untuk mengelola dan skor dalam setting klinis.

ACER ini berisi 5 sub-skor, masing-masing mewakili satu kognitif/domain yaitu

perhatian /orientasi (18 poin), memori (26 poin), kelancaran (14 poin), bahasa

(26 poin)dan visuospatial (poin 16). ACER skor maksimum adalah 100. Untuk

penilaian ACER mempunyai cut-off 88 dan 82 diidentifikasi berdasarkan

perhitungan sensitivitas,spesifisitas dan nilai prediksi positif (PPV) ditingkat

prevalensi yang berbeda. Jika nilai verbal+language/orientasi+memori (VLOM

ratio) < 2,2 menunjukan frontotemporal demensia (FTD) dan VLOM ratio > 3,2 menunjukan suatu demensia Alzheimer (Mioshi dkk, 2006; Bier dkk, 2004).

(44)

The General Practice Physical Activity Questionnaire (GPPAQ) adalah suatu instrument screening yang telah divalidasi yang dapat digunakan untuk menilai pencegahan primer. Instrument ini digunakan pada orang dewasa untuk

melihat level aktivitas fisik, yang terdiri dari pertanyaan yang simpel yang berisi

tentang 4 level Physical Activity Index (PAI) dengan kategori Active, Moderately Active, Moderately Inactive, dan Inactive. Instrument ini juga memberikan informasi kepada dokter ketika ada peningkatan aktivitas fisik yang tidak sesuai.

Jika semua pasien mempunyai score dibawah active maka perlu diberi dukungan untuk merubah kebiasaan agar lebih meningkatkan aktivitas fisik

(The General Practice Physical Activity Questionnaire (GPPAQ), 2009).

Level Physical Activity Index (PAI) yang terdiri dari :

1. In Active : Pekerjaan yang harus duduk terus, tanpa gerak badan atau bersepeda

2. Moderately Active : Pekerjaan yang harus duduk terus, tetapi kurang dari 1 jam; badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU pekerjaan yang

harus berdiri terus tanpa gerak badan atau bersepeda

3. Moderately Inactive : Pekerjaan yang harus duduk terus dan 1 sampai 2,9 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan

yang harus berdiri terus tetapi kurang dari 1 jam gerak badan dan/atau

bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang membutuhkan fisik tanpa

gerak badan atau bersepeda

4. Active : Pekerjaan yang harus duduk terus dan lebih dari 3 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang harus

(45)

minggu ATAU Pekerjaan yang membutuhkan fisik, sedikit tetapi lebih

dari 1 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan

(46)

2.5. KERANGKA TEORI

Aktivitas Fisik

Wueve dkk, 2004: hubungan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif diduga melaui pemeliharaan vaskularisasi otak melalui penurunan tekanan darah, memperbaiki lipoprotein, menghasilkan

endothelial nitric oxide dan perfusi serebral yang adekuat  

synaptic reserve hypothesis

Bennett dkk, 2003: dijumpai adanya bukti yang kuat antara senile plaque dan level fungssi kognitif yang berbeda berdasarkan tingkat edukasi formal

Mental stimulation 

Dash dkk, 2005: orang yang beredukasi memiliki lebih banyak sinaps pada otak dan mampu untuk mengkompensasi dengan baik terhadap hilanganya suatu kemampuan dengan strategi alternative pada test-taking srategy 

Powers, R.E., 2006: Aktivitas fisik diduga meningkatkan produksi neural, proliferasi glial, produksi faktot tropik dan meningkatkan neurotransmitter serta dapat menurunkan atau menghilangkan penumpukan amiloid pada otak

synaptic reserve 

Vaskularisasi

FUNGSI KOGNITIF

Yaffe dkk, 2001: aktivitas fisik menstimulasi faktor tropik dan neuronal growth yang diduga dapat mencegah penurunan kognitif dan demensia

Penumpukan amiloid otak  

Lambourne, K., 2006: exercise memiliki hubungan dengan kapasitas working memory pada dewasa muda

Lee dkk, 2003: pendidikan sejak dini memiliki efek langsung pada struktur otak melalui peningkatan jumlah sinaps atau vaskularisasi dan membentuk cognitive reserve, serta efek stimulasi mental pada usia tua dimana dapat mempengaruhi neurokemikal

Angiogenesis 

(47)

2.6. KERANGKA KONSEPSIONAL

AKTIVITAS FISIK

TINGKAT PENDIDIKAN

FUNGSI KOGNITIF

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(48)

 

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. TEMPAT DAN WAKTU

Penelitian dilakukan di Kelurahan Darat Kecamatan Medan Baru dari

tanggal Agustus 2010 s/d 28 Februari 2011.

III.2. SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian diambil dari populasi usia tua di Kelurahan Darat

Kecamatan Medan Baru dengan penentuan subjek penelitian dilakukan

menurut metode purposive non probability.

III.2.1. Populasi Sasaran

Semua populasi yang tinggal di Kelurahan Darat Kecamatan Medan

Baru.

III.2.2. Populasi Terjangkau

Semua populasi yang tinggal di Kelurahan Darat Kecamatan Medan

Baru yang berusia lanjut.

III.2.3. Besar Sampel

Ukuran sampel dihitung menurut rumus (Sastroasmoro, 2007)

n = ( Zα√PoQo + Zβ √PaQa )2

(Pa-Po)2

(49)

Dimana :

Zα = nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung nilai yang telah ditentukan (α = 0,05  Zα = 1.96)

Zβ = nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung nilai β yang telah ditentukan (β = 0,05  Zβ = 1.96)

Po = proporsi yang mengalami gangguan fungsi kognitif = 0,156 (Yaffe dkk ,

2001)

Qo = 1-Po = 0,844

Pa = proporsi yang mengalami gangguan fungsi kognitif pada saat ini =

0,256 (Laurin dkk, 2001)

Qa = 1-Pa = 0,744

Pa-Po = beda proporsi yang bermakna = 20%

n = ( 1,96 √0,156.0,844 + 1,96 √0,256.0,744 )2

(0,256-0,156)2 n = 40 orang

Dibutuhkan sampel minimal sebesar 40 orang

III.2.4. Kriteria Inklusi

1. Subjek yang berusia lanjut

2. Subjek yang bisa membaca dan menulis

3. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian ini

III.2.5 Kriteria Eksklusi

(50)

2. Subjek dengan lesi otak (stroke, tumor, infeksi, trauma, demensia,

parkinson)

3. Subjek peminum alkohol kronis

4. Subjek penderita depresi

5. Subjek penderita epilepsi

6. Subjek dengan riwayat hipertensi

7. Subjek dengan riwayat diabetes melitus

8. Subjek dengan riwayat kolesterol

9. Subjek dengan retardasi mental

III. 3. BATASAN OPERASIONAL

III.3.1. Lanjut usia adalah individu yang berusia di atas 60 tahun yang pada umumnya memiliki tanda-tanda terjadinya penurunan fungsi-fungsi

biologis, psikologis, sosial, ekonomi dan UN menyetujui bahwa lanjut

usia dengan cuttof 60 tahun. (WHO,2010;Definition of an older or elderly

person: Assosiasi Alzheimer Indonesia)

III.3.2. Fungsi Kognitif . Kognitif berasal dari bahasa Latin, yaitu cognitio yang artinya adalah berpikir. Hal ini merujuk kepada kemampuan seseorang

dan mengerti dunianya, yang dicapai dari sejumlah fungsi yang kompleks

termasuk orientasi terhadap waktu, tempat dan individu; kemampuan

aritmatika; pikiran abstrak; kemampuan fokus untuk berpikir logis (Pincus

dkk, 2004)

(51)

dibagi atas 3 yaitu pendidikan dasar (selama 9 tahun), pendidikan

menengah,pendidikan tinggi (misal program sarjana, magister, doktor,

spesialis yang diselanggarakan oleh perguruan tinggi). (Sistem

Pendidikan Nasional)

III.3.4. Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktifitas fisik yang tidak

ada (kurangnya aktivitas fisik) merupakan faktor risiko independen untuk

penyakit kronis, dan secara keseluruhan diperkirakan menyebabkan

kematian secara global. ( WHO, 2010; Physical Activity. In Guide to

Community Preventive Services Web site, 2008).

III.3.5. Gangguan kesadaran adalah kehilangan kemampuan untuk merasakan dan membalas stimulus yang berasal dari lingkungan luar. (Thefree

dictionary, 2011)

III.3.6. Lesi otak adalah kerusakan otak yang disebabkan oleh trauma atau penyakit (trauma kapitis, stroke, infeksi, tumor, demensia, parkinson)

(Web MD,2011)

III.3.7. Penderita Hipertensi adalah penderita dengan tekanan darah sistol

≥140 mmHg dan tekanan darah diastol ≥ 90 mmHg (National High Blood Pressure Education Program, 2003).

III.3.8. Penderita Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI,

(52)

III.3.9. Pengguna alkohol kronis adalah seseorang yang memiliki kebiasaan dan ketergantungan meminum zat alkohol (The free dictionary, 2011).

III.3.10. Retardasi mental adalah seseorang yang memiliki keterbatasan dalam fungsi mental, dan juga keterbatasan keterampilan

berkomunikasi, mengurus diri sendiri dan bersosialisasi (Medicine Net,

2011).

III.3.11. Penderita depresi adalah penderita dengan gangguan mood, hilangnya rasa ketertarikan atau perasaan senang, adanya perasaan

bersalah, atau rasa tidak berharga, gangguan tidur, tidak bersemangat

dan sulit berkosentrasi (World Health Organization (WHO), 2011)

III.3.12. Mini Mental State Examination adalah test yang paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam

mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau

penurunan kognisi. Untuk MMSE nilai 24-30 adalah normal, nilai 17-23

adalah probable gangguan kognitif dan nilai 0-16 adalah definite

gangguan kognitif. (Asosiasi Alzheimer Indonesia.2003)

III.3.13. Addenbrookes’s Cognitive Examination (ACE) adalah suatu instrument yang digunakan untuk mendeteksi demensia yang

sensitive dan spesifik, dimana menggabungkan antara MMSE,

memperluas memori, bahasa, dan komponen visuospatial dan

menambahkan tes kefasihan lisan. Penilaian pada ACER digunakan

cuttoff 82 (Bayer dkk, 2004).

III.3.14. The General Practice Physical Activity Questionnaire (GPPAQ)

(53)

level aktivitas fisik, yang terdiri dari pertanyaan yang simpel yang

berisi tentang 4 level Physical Activity Index (PAI) dengan kategori

Level Physical Activity Index (PAI) yang terdiri dari : Inactive

(Pekerjaan yang harus duduk terus, tanpa gerak badan atau

bersepeda); Moderately Inactive (Pekerjaan yang harus duduk terus, tetapi kurang dari 1 jam; badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU

pekerjaan yang harus berdiri terus tanpa gerak badan atau

bersepeda); Moderately Active (Pekerjaan yang harus duduk terus dan 1 sampai 2,9 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu

ATAU Pekerjaan yang harus berdiri terus tetapi kurang dari 1 jam

badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang

membutuhkan fisik tanpa gerak badan atau bersepeda); Active

(Pekerjaan yang harus duduk terus dan lebih dari 3 jam gerak badan

dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang harus berdiri

terus dan 1 sampai 2,9 jam gerak badan dan/atau bersepeda per

minggu ATAU Pekerjaan yang membutuhkan fisik, sedikit tetapi lebih

dari 1 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU

Pekerjaan yang memerlukan tenaga berat). (The General Practice

Physical ActivityQuestionnaire (GPPAQ). 2009)

III.4. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode

(54)

a. Studi observasional dilakukan untuk memperoleh gambaran karakteristik

subjek penelitian (demografi, tingkat pendidikan,aktivitas fisik, nilai MMSE

dan nilai ACER)

b. Studi korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara MMSE dan

ACER pada populasi usia tua dengan tingkat pendidikan dan aktivitas fisik

III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN III.5.1. Instrumen

III.5.1.1. Mini Mental State Examination:

Digunakan untuk menyingkirkan adanya gangguan kognitif. Tes ini terdiri

dari 11 pertanyaan yang bertujuan untuk menilai fungsi kognitif pada orang

dewasa. Skor mulai dari 0 sampai dengan 30. Skor dibawah 24 menunjukkan

gangguan fungsi kognitif. Tes ini merupakan indikator yang sangat kuat untuk

demensia (Encyclopedia of mental disorders, 2011).

III.5.1.2. Addenbrookes’s Cognitive Examination

Suatu instrument yang digunakan untuk mendeteksi demensia yang

sensitive dan spesifik, dimana menggabungkan antara MMSE, memperluas

memori, bahasa, dan komponen visuospatial dan menambahkan tes kefasihan

lisan.Kuisioner ACER merupakan pertanyaan yang mempunyai 5 sub-skor,

masing-masing mewakili satu kognitif/domain perhatian /orientasi (18 poin),

memori (26 poin), kelancaran (14 poin), bahasa (26 poin)dan visuospatial (poin

16). ACE-R skor maksimum adalah 100. Untuk penilaian ACE-R mempunyai

(55)

dan nilai prediksi positif (PPV) ditingkat prevalensi yang berbeda (Mioshi dkk,

2006, Bier dkk, 2004).

III.5.1.3. The General Practice Physical Activity Questionnaire (GPPAQ)

Instrument yang digunakan pada orang dewasa untuk melihat level

aktivitas fisik, yang terdiri dari pertanyaan yang simpel yang berisi tentang 4

level Physical Activity Index (PAI) dengan kategori Level Physical Activity Index

(PAI) yang terdiri dari : Inactive (Pekerjaan yang harus duduk terus, tanpa gerak badan atau bersepeda); Moderately Inactive (Pekerjaan yang harus duduk terus, tetapi kurang dari 1 jam; badan dan/atau bersepeda per minggu

ATAU pekerjaan yang harus berdiri terus tanpa gerak badan atau bersepeda);

Moderately Active (Pekerjaan yang harus duduk terus dan 1 sampai 2,9 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang harus

berdiri terus tetapi kurang dari 1 jam badan dan/atau bersepeda per minggu

ATAU Pekerjaan yang membutuhkan fisik tanpa gerak badan atau bersepeda);

Active (Pekerjaan yang harus duduk terus dan lebih dari 3 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang harus berdiri terus dan

1 sampai 2,9 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU

Pekerjaan yang membutuhkan fisik, sedikit tetapi lebih dari 1 jam gerak badan

dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang memerlukan tenaga

(56)

III.5.2 Pengambilan Sampel

Semua populasi usia tua di Kelurahan Darat Medan Baru yang memenuhi

kriteria inklusi dan dan tidak ada kriteria eksklusi dan dilakukan pemeriksaan

fungsi kognitif dan aktivitas fisik dengan mengisi kuisoner yang diberikan oleh

pemeriksa.

III.5.3. Kerangka Operasional

a.

b. Variabel yang diamati

Variabel bebas : pendidikan, aktivitas fisik, usia lanjut

Variabel terikat :

Surat persetujuan ikut penelitian

Pemeriksaan :

1. Level pendidikan

2. Aktivitas fisik The General Practice Physical Activity

Questionnaire (GPPAQ)

3. Fungsi kognitif :

- Mini Mental State Examination

- Addenbrookes’s Cognitive Examination

Analisa

Hasil

III.5.4. Variabel yang diamati

Variabel bebas : tingkat pendidikan, aktivitas fisik

(57)

III.5.5. Analisa Statistik

Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan

program komputer Windows SPSS-15.

Analisa dan penyajian data dilakukan sebagai berikut :

1. Analisi deskriptik digunakan untuk melihat karakteristik demografi, tingkat

pendidikan, aktivitas fisik dan nilai fungsi kognitif (MMSE dan ACER)

2. Untuk melihat hubungan tingkat pendidikan terhadap fungsi kognitif

digunakan uji ANOVA

3. Untuk melihat hubungan aktivtias fisik terhadap fungsi kognitif

menggunakan uji ANOVA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(58)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL PENELITIAN

IV.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Darat Kota Medan pada periode

Agustu 2010 sampai dengan Januari 2011 dengan jumlah sampel sebanyak 40

orang dari populasi lanjut usia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

sehingga dapat diikutkan dalam penelitian.

Dari 40 orang populasi lanjut usia yang dianalisa, terdiri dari 18 pria

(45%) dan 22 (55 %) wanita. Dari rentang usia, kelompok usia terbanyak

adalah kelompok antara 60-69 tahun sebanyak 30 orang (75%). Sedangkan

yang paling sedikit adalah kelompok usia ≥ 80 tahun (10%).

Dari 40 orang subjek penelitian, suku terbanyak adalah suku Jawa yaitu

19 orang (47,5%) dan yang paling sedikit adalah Nias yaitu 2 orang (5%). Dari

status pekerjaan, pensiunan pns merupakan pekerjaan terbanyak dari sampel

penelitian ini yaitu sebanyak 14 orang (35%).

Berdasarkan tingkat pendidikan, yang terbanyak adalah kelompok SLTP

sebanyak 10 orang (25%) dan yang paling sedikit adalah kelompok tidak

sekolah sebanyak 5 orang (12,5%).

Dari seluruh subjek penelitian, sebanyak 7 orang (17,5%) memiliki

(59)

6 orang (15%) memiliki aktivitas fisik active). Data lengkap karakteristik subjek penelitian ini disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik Sampel N (40) %

IV.1.2. Rerata Nilai Fungsi Kognitif

Dari hasil pemeriksaan fungsi kognitif, didapat nilai rerata dan standard

deviation (SD) pada seluruh subjek adalah untuk nilai MMSE 24,80 ± 2,963 dan

(60)

Tabel 2. Rerata Nilai Fungsi Kognitif

Nilai Mean ± SD Rentang

Fungsi Kognitif MMSE ACER

24.80±2.963 77.50±10.950

18-29 49-93

IV.1.3. Distribusi Rerata Nilai Fungsi Kognitif Berdasarkan Variabel

IV.1.3.1. Rerata Nilai MMSE berdasarkan Variabel

Berdasarkan jenis kelamin sampel penelitian, nilai rerata MMSE yang

tertinggi terdapat pada jenis kelamin laki-laki yaitu 25,50 ± 2,175. Hasil analisa

ini menggunakan uji ANOVA yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang

signifikan rerata nilai MMSE berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian

(p=0,147). Berdasarkan umur sampel penelitian, nilai rerata MMSE yang

tertinggi dijumpai pada kelompok usia 60-69 tahun yaitu 25,40±2,634. Hasil

analisa ini menggunakan uji ANOVA yang menunjukkan terdapat perbedaan

yang signifikan rerata nilai MMSE berdasarkan kelompok usia subjek penelitian

(p=0,001). Berdasarkan suku, nilai rerata MMSE tertinggi dijumpai pada suku

Nias yaitu 27,00 ± 2,828 dan terendah pada suku Jawa yaitu 23,95 ± 3,100.

Analisa statistik dengan menggunakan uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat

perbedaan yang signifikan rerata nilai MMSE berdasarkan suku subjek

penelitian (p=0,351). Berdasarkan pekerjaan, nilai rerata MMSE yang tertinggi

dijumpai pada pegawai swasta yaitu 27,00±2,828 dan terendah pada pekerjaan

Gambar

Gambar 1. Peranan BDNF dalam memediasi Exercise
Gambar 2. Mekanisme Exercise mempengaruhi growth factor, klotho,
Tabel 3. Distribusi rerata nilai MMSE berdasarkan variabel
Tabel 4. Distribusi rerata nilai ACER berdasarkan variabel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melihat perbezaan faktor yang mempengaruhi penggunaan ABM dalam proses pengajaran dan pembelajaran di antara guru teknikal lelaki dan guru teknikal perempuan di sekolah

Adapun proses kegiatan yang dilakukan sebagai bentuk pembinaan dan pendampingan pada kedua Sekolah Menengah tersebut yaitu, (1) Memberikan wawasan pentingnya

cerita tidak sama persis dengan yang ada dalam kenyataan karena pengarang telah.. memperkaya cerita itu

Dengan Probabilitas 0,000 atau lebih kecil dari 0,05 (p&lt;0,05) maka model regresi dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh variabel bebas terhadap

Perkembangan suatu ilmu akan kian berkembang dengan seiringinnya perkembangan zaman, termasuk ilmu keagamaan. Studi Islam merupakan bagian dari ilmu pengetahuan

Penyakit anemia dengan masalah perfusi jaringan dapat diatasi dengan berbagai cara untuk mengatasinya antara lain dengan cara pemberian diit yang banyak

asuhan kebidanan secara komperhensif pada ibu hamil, bersalin, bayi baru. lahir, nifas dan keluarga berencana terutama pada

ikatan yang dilakukan oleh bank juga mempengaruhi kekuatan suatu. kerelaian antara nasabah dengan