HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN AKTIVITAS FISIK DENGAN
FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DI KELURAHAN DARAT
TESIS
MAULINA SRI RIZKY 087112006
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK–SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN AKTIVITAS FISIK DENGAN
FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DI KELURAHAN DARAT
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinis Spesialis Saraf Pada
Program Studi Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh
MAULINA SRI RIZKY 087112006
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK–SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : Hubungan Tingkat Pendidikan dan Aktivitas Fisik dengan Fungsi Kognitif Pada Lansia Di Kelurahan Darat
Nama Mahasiswa : MAULINA SRI RIZKY Nomor Induk Mahasiswa : 087112006
Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Ilmu Penyakit Saraf
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K) Ketua
Ketua Program Studi Ketua TKP PPDS I
Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K) dr. Zainuddin Amir, SpP(K)
Telah diuji pada
Tanggal: 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K) ……… Anggota : 1. Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S (K) ……… 2. Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S ……… 3. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K) ……… 4. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K) ……… 5. Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S (K) ……… 6. Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S (K) ……… 7. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S ……… 8. Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S ……… 9. Dr. Cut Aria Arina, Sp.S ……… 10. Dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S ……… 11. Dr. Alfansuri Kadri, Sp.S ……… 12. Dr. Dina Listyaningrum, Sp.S, MSi,Med ……… 13. Dr. Aida Fitri, Sp. S ………
PERNYATAAN
HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN AKTIVITAS FISIK
DENGAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 14 Juni 2011
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa yang telah memberikan segala berkah, rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir
Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik – Spesialis Ilmu Penyakit Saraf
di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat
H. Adam Malik Medan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan
dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk
mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu
Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. DR. dr. H. Hasan Sjahrir, Sp.S (K), selaku Ketua Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H.Adam
Malik Medan disaat penulis melakukan penelitian dan juga sebagai guru dan
pembimbing penulis dalam penyusunan tesis ini, yang dengan penuh
kesabaran dan ketelitian membimbing, mengoreksi, dan memberikan
masukan-masukan berharga kepada penulis sehingga tesis ini dapat
3. Dr. H. Rusli Dhanu, Sp.S (K), Ketua Program Studi PPDS-I Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara disaat penulis melakukan
penelitian dan sebagai Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan saat tesis ini
selesai disusun yang banyak memberikan masukan-masukan berharga
kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
4. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K), Ketua Program Studi PPDS-I Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat ini yang banyak
memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
5. Dr. Aldy S. Rambe, Sp. S (K) dan Prof. DR. dr. H. Hasan Sjahrir, Sp.S (K),
selaku pembimbing penulis yang dengan sepenuh hati telah mendorong,
membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari
perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.
6. Guru-guru penulis: Prof. Dr. H. Darulkutni Nasution, Sp.S (K); Dr. Darlan
Djali Chan, Sp.S; Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S (K); Dr. Irsan NHN Lubis,
Sp.S; Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S; Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S; Dr. Cut
Aria Arina, Sp.S; Dr. S. Irwansyah, Sp.S; Dr. Kiki M.Iqbal, Sp.S; Dr. Alfansuri
Kadri, Sp.S; Dr. Dina Listyaningrum, Sp,S, Msi. Med; Dr. Aida Fitri,
Sp.S dan guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang
telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan
7. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah
memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga
penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.
8. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah
banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan
penulis dalam pembuatan tesis ini.
9. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS-I Departemen Neurologi
FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang banyak memberikan masukan
berharga kepada penulis melalui diskusi-diskusi kritis dalam berbagai
pertemuan formal maupun informal, serta selalu memberikan
dorongan-dorongan yang membangkitkan semangat kepada penulis menyelesaikan
Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Penyakit
Saraf.
10. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah
bertugas selama menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik
ini, serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani Program Pendidikan
Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.
11. Bapak Lurah Darat beserta stafnya yang telah memberikan izin kepada
peneliti untuk melakukan penelitian ini di wilayah kelurahannya
12. Semua subjek penelitian dan masyarakat di Kelurahan Darat yang telah
bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.
13. Kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi H. Ibrahim dan
memberikan rasa aman, cinta dan doa restu kepada penulis sejak lahir
hingga saat ini.
14. Kedua saudara kandung saya, Maulana Abdillah, SE.Ak,MM dan Winta
Mulyana, ST, yang banyak memberikan semangat dan doa kepada penulis
selama menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis
Ilmu Penyakit Saraf.
15. Teristimewa kepada suamiku tersayang Afriansyah, SE dan anakku tercinta
Hashshad Arzaq Majid yang telah menjadi motivasi dan dorongan dalam
penyelesaian tesis ini dan mendampingi penulis dengan penuh cinta dan
kasih sayang dalam suka dan duka selama penulis menjalani Program
Pendidikan Magister Kedokteran Klinik dan menyelesaikan tesis ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua jasa dan budi
baik mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan
cita-cita penulis.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
Penulis
ABSTRAK
Latar belakang dan Tujuan : Beberapa studi telah menunjukkan bahwa pendidikan dan aktivitas fisik berhubungan dengan fungsi kognitif pada orang tua. Keduanya dapat mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif. Penurunan fungsi kognitif ini dapat menyebabkan demensia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif pada lansia.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian cross-sectional dengan pengumpulan sampel dengan metode purposive sampling non probability di Kelurahan Darat Kota Medan. Fungsi kognitif dinilai dengan menggunakan MMSE (Mini Mental Stage Examination) dan ACE-R (Addenbrooke’s Cognitive Examination Revision). Sedangkan untuk aktivitas fisik dinilai dengan menggunakan GPPAQ (The General Practice Physical Activity Questionnaire) yang terdiri atas inactive,
moderately inactive, moderately active dan active.
Hasil : Penelitian ini terdiri dari 18 orang laki-laki (45%) dan 22 orang (55%) perempuan dengan 30 orang (75%) berusia 60-69 tahun. Berdasarkan hasil skor MMSE dijumpai hubungan yang singifikan dengan usia (p= 0.001), tingkat pendidikan (p= 0.0001) dan aktivitas fisik (p= 0.0001). Rata-rata probable gangguan kognitif dijumpai pada kelompok usia ≥ 80 (20.00±2.708), tidak sekolah (20.20±2.387), SD (22.56±1.878) dan aktivitas fisik inactive (21.00±3.464). Sedangkan untuk skor ACER dijumpai hubungan yang singifikan dengan usia (p= 0.0001), tingkat pendidikan (p= 0.0001) dan aktivitas fisik (p= 0.0001). Rata-rata skor ACER yang ≤ 82 dijumpai pada kelompok usia 70-79 (77.17±9.453), usia ≥ 80 (58.25±14.592), tidak sekolah (56.40±8.473), SD (69.89±3.100), aktivitas fisik inactive (64.14±13.910) dan moderately inactive (74.62±8.047) .
Kesimpulan : Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dan aktifitas fisik dengan fungsi kognitif.
ABSTRACT
Background and Purpose : Several studies have shown the association between educational level and physical activity with cognitive function in elderly. Both of these can prevent the cognitive decline. The decline in cognitive function may cause dementia. The purpose of this study was to invetstigate the association between educational level and physical activuiy with cognitive function in elderly.
Method : This was a cross-sectionl study with purposive sampling non probability method in Kelurahan Darat Kota Medan. Cognitive function was measured by using MMSE (Mini Mental Stage Examination) and ACE-R (Addenbrooke’s Cognitive Examination Revision). Physical activity was measured by using GPPAQ (The General Practice Physical Activity Questionnaire) which consisted of inactive, moderately inactive, moderately active and active.
Results : This study was consisted of 18 men (45%) and 22 women (55%) with 30 patients (75%) were at the age 60-69 years. Based on MMSE score, it was found significants association with age (p=0.001), educational level (p=0.0001) and physical activity (p=0.0001). The mean of probable cognitive impairment in the group of age ≥ 80 (20.00±2.708), not schooling (20.20±2.387), primary school (22.56±1.878), and inactive physical activity (21.00±3.464). While in the score of ACER, it was found significants association with age (p=0.0001), educational level (p= 0.0001), and physical activity (p= 0.0001). The mean of ACER score ≤ 82 was found in the group of age 70-79 (77.17±9.453), age ≥ 80 (58.25±14.592), not schooling (56.40±8.473), primary school (69.89±3.100), inactive physical activity (64.14±13.910), and moderately inactive (74.62±8.047).
Conclusion : This study showed a significant association between educational level and physical activity with cognitive function.
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan Tesis... ii
Ucapan Terima Kasih……….. v
Abstrak... x
Daftar Isi... xii
Daftar Singkatan……….. xv
Daftar Lambang……… xvi
Daftar Gambar………... xvii
Daftar Tabel... xviii
II.2.3 Pengaruh Pendidikan Terhadap Fungsi Kognitif... 16
I.2.3 Pengaruh Aktivitas Fisik Terhadap Fungsi Kognitif... 18
II.3. LANJUT USIA... 22
16 II.3.1. Definisi... 22
II.4. INSTRUMENT... 23
II.4.1. Mini Mental Status Examination………. 23
II.4.2. Addenbrookes’sCognitiveExamination………. 24
III.2.2. Populasi Terjangkau... 29
III.2.3. Besar Sampel... 29
III.2.4. Kriteria Inklusi ... 30
III.2.5. Kriteria Eksklusi ... 31
III.3. BATASAN OPERASIONAL ... 31
III.4 RANCANGAN PENELITIAN... 35
III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN ... 36
III.5.1. Instrumen... 36
III.5.1.1. Mini Mental Status Examination... 36
III.5.1.2. Addenbrookes’s Cognitive Examination.. ... 36
III.5.1.3The General Practice Physical Activity Questionnaire... 37
III.5.2. Pengambilan Sampel... 38
III.5.3. Kerangka Operasional ... 38
III.5.4. Variabel yang Diamati... 38
III.5.5. Analisa Statistik... 39
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV.1. HASIL PENELITIAN IV.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian... 40
IV.1.2. Rerata Nilai Fungsi Kognitif... 42
IV.1.3. Distribusi Rerata Nilai Fungsi KognitifBerdasarkan Variabel... 42
IV.1.3.1.Rerata Nilai MMSE Berdasarkan Variabel... 42
IV.1.3.2.Rerata Nilai ACER Berdasarkan Variabel... 45
IV.1.4. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Aktivitas Fisik dengan Fungsi Kognitif...... 47
IV.1.4.1. HubunganTingkat Pendidikan dengan MMSE... 47
IV.1.4.2. Hubungan Aktivitas Fisik dengan MMSE... 48
IV.1.4.3. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan ACER... 50
IV.1.4.4.Hubungan Aktivitas Fisik dengan ACER... 52
IV.2. PEMBAHASAN IV.2.1.Karakteristik Subjek Penelitian………... 54
IV.2.2. Rerata Nilai Fungsi Kognitif………...…. 55
IV.2.3. Rerata Nilai Mini Mental Status Examination dan Distribusinya Berdasarkan Variabel... 56
IV.2.4. Rerata Nilai Addenbrookes’s Cognitive Examination dan Distribusinya Berdasarkan Variabel... 56
1. Lembar Penjelasan Kepada pasien 2. Surat Persetujuan Ikut Dalam Penelitian 3. Persetujuan Komite Etik
4. Lembar Pengumpulan Data Penelitian
5. Nilai Skor Mini Mental State Examination
6. Addenbrookes’s Cognitive Examination
7. Skala Depresi Geriatrik
8. The General Practice Physical Activity Questionnaire
9. Karakteristik data pasien berusia paruh baya 10. Riwayat Hidup Peneliti
DAFTAR SINGKATAN
ACE = Addebbrooke’s Cognitive Examination
ACE-R = Addebbrooke’s Cognitive Examination-Revision
AD = Alzheimer Disease
CR = cognitive reserve
DM = Diabetes Mellitus
FTD = Frontotemporal Demensia
GPPAQ = The General Practice Physical Activity Questionnaire Kkal = Kilokalori
MMSE = Mini Mental Status Examination
PAI = Physical Activity Idex
PPV = Positive Predictive Value
SPSS = Statistical Product and Science Service
UN = United Nation
DAFTAR LAMBANG
n : Besar sampel
p : Tingkat kemaknaan
Pa : proporsi yang mengalami gangguan fungsi kognitif pada saat ini
Po : proporsi yang mengalami gangguan fungsi kognitif
Pa-Po : beda proporsi yang bermakna = 20%
Qa : 1-Pa
Qo : 1-Po
Zα : Nilai baku normal berdasarkan nilai α (0,01) yang telah ditentukan 1,96
Zβ : Nilai baku berdasarkan nilai β (0,15) yang ditentukan oleh peneliti 1,036
: Mean
α : alfa
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Peranan BDNF dalam memediasi Exercise 20
Gambar 2. Mekanisme exercise mempengaruhi growth factor, klotho, myokines, dan pengaruhnya pada otak
22
Gambar 3. Grafik Hubungan Tingkat Pendidikan dengan MMSE
48
Gambar 4. Grafik Hubungan Aktivitas Fisik dengan MMSE 49
Gambar 5. Grafik Hubungan Tingkat Pendidikan dengan ACER 51
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian 41
Tabel 2. Rerata Nilai Fungsi Kognitif 42
Tabel 3. Distribusi rerata nilai MMSE berdasarkan variabel 44
Tabel 4. Distribusi rerata nilai ACER berdasarkan variabel 46
Tabel 5. Hubungan Tingkat Pendidikan dan MMSE 47
Tabel 6. Hubungan Aktivitas Fisik dengan MMSE 49
Tabel 7. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan ACER 50
Tabel 8. Hubungan Aktivitas Fisik dengan ACER 52
ABSTRAK
Latar belakang dan Tujuan : Beberapa studi telah menunjukkan bahwa pendidikan dan aktivitas fisik berhubungan dengan fungsi kognitif pada orang tua. Keduanya dapat mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif. Penurunan fungsi kognitif ini dapat menyebabkan demensia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif pada lansia.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian cross-sectional dengan pengumpulan sampel dengan metode purposive sampling non probability di Kelurahan Darat Kota Medan. Fungsi kognitif dinilai dengan menggunakan MMSE (Mini Mental Stage Examination) dan ACE-R (Addenbrooke’s Cognitive Examination Revision). Sedangkan untuk aktivitas fisik dinilai dengan menggunakan GPPAQ (The General Practice Physical Activity Questionnaire) yang terdiri atas inactive,
moderately inactive, moderately active dan active.
Hasil : Penelitian ini terdiri dari 18 orang laki-laki (45%) dan 22 orang (55%) perempuan dengan 30 orang (75%) berusia 60-69 tahun. Berdasarkan hasil skor MMSE dijumpai hubungan yang singifikan dengan usia (p= 0.001), tingkat pendidikan (p= 0.0001) dan aktivitas fisik (p= 0.0001). Rata-rata probable gangguan kognitif dijumpai pada kelompok usia ≥ 80 (20.00±2.708), tidak sekolah (20.20±2.387), SD (22.56±1.878) dan aktivitas fisik inactive (21.00±3.464). Sedangkan untuk skor ACER dijumpai hubungan yang singifikan dengan usia (p= 0.0001), tingkat pendidikan (p= 0.0001) dan aktivitas fisik (p= 0.0001). Rata-rata skor ACER yang ≤ 82 dijumpai pada kelompok usia 70-79 (77.17±9.453), usia ≥ 80 (58.25±14.592), tidak sekolah (56.40±8.473), SD (69.89±3.100), aktivitas fisik inactive (64.14±13.910) dan moderately inactive (74.62±8.047) .
Kesimpulan : Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dan aktifitas fisik dengan fungsi kognitif.
ABSTRACT
Background and Purpose : Several studies have shown the association between educational level and physical activity with cognitive function in elderly. Both of these can prevent the cognitive decline. The decline in cognitive function may cause dementia. The purpose of this study was to invetstigate the association between educational level and physical activuiy with cognitive function in elderly.
Method : This was a cross-sectionl study with purposive sampling non probability method in Kelurahan Darat Kota Medan. Cognitive function was measured by using MMSE (Mini Mental Stage Examination) and ACE-R (Addenbrooke’s Cognitive Examination Revision). Physical activity was measured by using GPPAQ (The General Practice Physical Activity Questionnaire) which consisted of inactive, moderately inactive, moderately active and active.
Results : This study was consisted of 18 men (45%) and 22 women (55%) with 30 patients (75%) were at the age 60-69 years. Based on MMSE score, it was found significants association with age (p=0.001), educational level (p=0.0001) and physical activity (p=0.0001). The mean of probable cognitive impairment in the group of age ≥ 80 (20.00±2.708), not schooling (20.20±2.387), primary school (22.56±1.878), and inactive physical activity (21.00±3.464). While in the score of ACER, it was found significants association with age (p=0.0001), educational level (p= 0.0001), and physical activity (p= 0.0001). The mean of ACER score ≤ 82 was found in the group of age 70-79 (77.17±9.453), age ≥ 80 (58.25±14.592), not schooling (56.40±8.473), primary school (69.89±3.100), inactive physical activity (64.14±13.910), and moderately inactive (74.62±8.047).
Conclusion : This study showed a significant association between educational level and physical activity with cognitive function.
BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Sekitar 10% orang tua yang berusia lebih dari 65 tahun dan 50% pada
usia yang lebih dari 85 tahun akan mengalami gangguan kognitif, dimana akan
dijumpai gangguan yang ringan sampai terjadinya demensia (Yaffe dkk, 2001).
Pada populasi penduduk terutama jumlah orang tua yang menderita penyakit
Alzheimer (AD) diperkirakan akan meningkat dari 26,6 juta menjadi 106,2 juta
pada tahun 2050 (Lautenschlager dkk, 2008).
Faktor-faktor lifestyle seperti stimulasi intelektual, berkaitan dengan kognitf dan sosial, dan beberapa tipe exercixe dapat menurunkan resiko untuk terjadinya gangguan yang berhubungan dengan usia seperti Alzheimer’s disease (AD) dan demensia vaskular. Kenyataannya banyak studi yang menjelaskan bahwa aktivitas fisik dapat mencegah kemunduran fungsi kognitif
yang lambat (Foster dkk, 2011).
Fungsi kognitif yang buruk juga merupakan suatu prediktor kematian
pada semua usia dan juga dapat dilihat sebagai penanda status kesehatan
secara umum. Aktivitas fisik mempunyai pengaruh yang bermanfaat pada
fungsi kognitif usia paruh baya. Dan juga merupakan sebagai pencegahan
terhadap gangguan fungsi kognitif dan demensia (Singh-Manoux dkk, 2005).
Tingkat pendidikan yang rendah menjadi faktor resiko untuk terjadinya
kurang maka pertumbuhan dendrit pun menjadi kurang (Sjahrir,1999; Bayer
dkk, 2004). Data pada suatu penelitian memberikan bukti yang kuat bahwa
hubungan antara senile plaques dan tingkat fungsi kognitif berbeda dengan tingkat pendidikan (Bennet dkk, 2004).
Pendidikan sejak dini memiliki efek langsung pada struktur otak melalui
peningkatan jumlah synaps atau vaskularisasi dan membentuk cognitive reserve, serta efek stimulasi mental pada usia tua dimana dapat mempengaruhi neurokemikal ataupun struktur otak (Lee dkk, 2003).
Koepsell dkk (2008), melakukan suatu studi untuk melihat hubungan
tingkat pendidikan mempunyai peranan dalam neuropatologi pada AD dimana
dijumpai adanya gangguan kognitif. Mereka menyimpulkan bahwa tidak
menemukan bukti yang cukup antara hubungan tingkat pendidikan dengan
penyakit Alzheimer. Tetapi nilai mini mental status examination (MMSE) yang tinggi antara orang-orang yang berpendidikan tinggi menggambarkan mereka
lebih ringan atau tidak menderita AD.
Suatu studi mengatakan bahwa cognitive reserve pada tingkat
pendidikan yang tinggi berhubungan dengan skor/ nilai yang tinggi pada tes
fungsi kognitif dan begitu juga sebaliknya (Bellen, 2009).
Hernandez dkk (2010) melakukan suatu studi, untuk menganalisa pengaruh
aktivitas secara regular dan sistematis terhadap fungsi kognitif, serta secara
seimbang dan resiko terhadap pasien usia tua dengan AD. Mereka menyimpulkan
bahwa olahraga mungkin suatu non farmakologis yang penting dapat dilakukan yang
bermanfaat untuk fungsi kognitif dan menurunkan resiko terjadinya gangguan kognitif.
Terkadang ketangkasan/kecekatan dalam berolahraga dan keseimbangan dapat juga
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa frekuensi dan latihan fisik yang
dilakukan pada usia paruh baya atau usia lanjut dapat menurunkan resiko
terjadinya gangguan kognitif (Geda dkk, 2010; Abbott dkk, 2004; Laurin dkk,
2001; Andel dkk, 2008, Baker dkk, 2010; Etgen dkk, 2010 ).
Larson dkk (2006) melakukan suatu studi prospektif untuk mengetahui
hubungan antara exercise regular dan penurunan resiko demensia dan AD. Subjek
penelitian sebanyak 1740 orang dengan usia 65 tahun atau lebih tanpa gangguan
kognitif. Mereka menyimpulkan bahwa exercise regular berhubungan dengan resiko
terjadinya demensia dan penyakit Alzheimer pada usia paruh baya dimana
orang-orang yang melakukan 3 kali atau lebih perminggu resiko menderita
demensia menurun dibandingkan orang yang melakukan exercise regular kurang
3 kali perminggu.
Level aktivitas fisik yang tinggi dan dilakukan secara rutin dan terus
menerus mempunyai hubungan dengan tingginya fungsi kognitif dan penurunan
fungsi kognitif. Manfaat aktivitas fisik akan tampak nyata dimana akan
kelihatan 3 tahun lebih muda dari usianya dan 20% dapat menurunkan resiko
gangguan fungsi kognitif (Weuve dkk, 2004).
Suatu studi menyimpulkan bahwa stimulasi fisik dan kognitif pada pasien
usia lanjut dengan AD dapat berkontribusi pada pengurangan dari penurunan
fungsi kognitif (Arcoverde dkk, 2008).
Mathuranath dkk (2007) melakukan suatu studi kohort di India dengan
melakukan suatu pemeriksaan kognitif dengan menggunakan mini mental state
examination dan addenbrokes’s cognitive examination (ACE) pada suatu populasi di
India berdasarkan tingkat pendidikan dan kebudayaan yang ada dimasyarakat
dalam dalam pengisian mini mental state examination dan addenbrokes’s cognitive
examination yang akhinya akan mengetahui rata-rata fungsi kognitif pasien tersebut.
Mathuranath dkk (2000) melakukan suatu studi untuk memvalidasi suatu
tes yang sederhana yang dirancang untuk mendeteksi demensia dan
membedakan demensia alzheimer (AD) dari demensia frontotemporal (FTD).
Mereka menyimpulkan bahwa Addenbrookes’s cognitive examination (ACE) adalah suatu instrument yang dapat mendeteksi demensia secara dini, dan juga
untuk membedakan antara AD dan FTD. Beberapa studi juga menjelaskan
bahwa Addenbrookes’s cognitive examination revised (ACER) merupakan suatu alat diagnostik yang akurat untuk mendiagnosa suatu demensia
(Carvalho dkk, 2010; Poeretemad dkk, 2009).
MMSE adalah suatu alat screening yang digunakan pada individu untuk mengetahui gangguan kognitif, tapi tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa
demensia ( Kochhann dkk, 2009).
The General Practice Physical Activity Questionnaire (GPPAQ) adalah suatu instrument screening yang telah divalidasi yang dapat digunakan untuk menilai pencegahan primer. Instrument ini digunakan pada orang dewasa untuk
melihat level aktivitas fisik, yang terdiri dari pertanyaan yang simpel yang berisi
I.2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, maka
dirumuskanlah masalah sebagai berikut:
Apakah terdapat hubungan tingkat pendidikan dan aktivitas fisik dengan
fungsi kognitif pada lansia ?
I.3. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan :
I.3.1. Tujuan umum:
Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan aktivitas fisik
dengan fungsi kognitif pada lansia .
I.3.2. Tujuan Khusus :
1. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif
pada Lansia di Kelurahan Darat
2. Untuk megetahui hubungan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif pada
Lansia di Kelurahan Darat
3. Untuk megetahui distribusi rerata nilai fungsi kognitif terhadap kelompok
usia, jenis kelamin, pekerjaan, suku bangsa
4. Untuk mengetahui gambaran karakteristik demografi pada lansia di
Kelurahan Darat
I.4. HIPOTESIS
Terdapat hubungan tingkat pendidikan dan aktivitas fisik dengan fungsi
I.5. MANFAAT PENELITIAN
Dengan mengetahui adanya hubungan tingkat pendidikan dan aktivitas
fisik dengan fungsi kognitif pada lansia maka dengan sedini mungkin kita dapat
melakukan usaha pencegahan salah satunya dengan melakukan aktivitas fisik
seperti berjalan kaki > 1,5 jam/minggu dan juga dapat melakukan aktivitas fisik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. AKTIVITAS FISIK II.1.1. Definisi
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot
rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik yang tidak ada
(kurangnya aktivitas fisik) merupakan faktor risiko independen untuk penyakit
kronis, dan secara keseluruhan diperkirakan menyebabkan kematian secara
global ( WHO, 2010; Physical Activity. In Guide to Community Preventive
Services Web site, 2008).
II.1.2. Manfaat Aktivitas Fisik terhadap Kesehatan
Aktivitas fisik secara teratur memiliki efek yang menguntungkan terhadap
kesehatan yaitu :
Terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker, tekanan
darah tinggi, kencing manis, dan lain-lain
Berat badan terkendali
Otot lebih lentur dan tulang lebih kuat
Bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional
Lebih percaya diri
Secara keseluruhan keadaan kesehatan menjadi lebih baik (Pusat
Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2006 )
II.1.3. Tipe-tipe Aktivitas Fisik
Ada 3 tipe/macam/sifat aktivitas fisik yang dapat kita lakukan untuk
mempertahankan kesehatan tubuh yaitu:
1. Ketahanan (endurance)
Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan, dapat membantu jantung,
paru-paru, otot, dan sistem sirkulasi darah tetap sehat dan membuat kita lebih
bertenaga. Untuk mendapatkan ketahanan maka aktivitas fisik yang dilakukan
selama 30 menit (4-7 hari per minggu).
Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti:
Berjalan kaki, misalnya turunlah dari bus lebih awal menuju tempat kerja
kira-kira menghabiskan 20 menit berjalan kaki dan saat pulang berhenti
di halte yang menghabiskan 10 menit berjalan kaki menuju rumah
Lari ringan
Berenang, senam
Bermain tenis
Berkebun dan kerja di taman.
2. Kelenturan (flexibility)
Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membantu pergerakan lebih
mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur) dan sendi berfungsi
dengan baik. Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang
dilakukan selama 30 menit (4-7 hari per minggu).
Peregangan, mulai dengan perlahan-lahan tanpa kekuatan atau
sentakan, lakukan secara teratur untuk 10-30 detik, bisa mulai dari
tangan dan kaki
Senam taichi, yoga
Mencuci pakaian, mobil
Mengepel lantai.
3. Kekuatan (strength)
Aktifitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja otot tubuh
dalam menahan sesuatu beban yang diterima, tulang tetap kuat, dan
mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan
terhadap penyakit seperti osteoporosis. Untuk mendapatkan kelenturan maka
aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (2-4 hari per minggu).
Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih eperti:
Push-up, pelajari teknik yang benar untuk mencegah otot dan sendi dari
kecelakaan
Naik turun tangga
Angkat berat/beban
Membawa belanjaan
Mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur (fitness)
Aktivitas fisik tersebut akan meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi
(pembakaran kalori), misalnya:
Berjalan kaki (5,6-7 kkal/menit)
Berkebun (5,6 kkal/menit)
Menyapu rumah (3,9 kkal/menit)
Membersihkan jendela (3,7 kkal/menit)
Mencuci baju (3,56 kkal/menit)
Mengemudi mobil (2,8 kkal/menit)
Aktivitas yang dapat dilakukan antara lain:
Menyapu
Mengepel
Mencuci baju
Menimba air
Berkebun/bercocok tanam
Membersihkan kamar mandi
Mengangkat kayu atau memikul beban
Mencangkul
Dan kegiatan lain dalam kehidupan sehari-hari.
Aktivitas fisik berupa olahraga yang dapat dilakukan antara lain:
Jalan sehat dan jogging
Bermain tenis
Bermain bulu tangkis
Sepakbola
Senam aerobik
Senam pernapasan
Berenang
Bermain bola basket
Bersepeda
Latihan beban: dumble dan modifikasi lain
Mendaki gunung, dll (Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan
RI 2006).
II.2. FUNGSI KOGNITIF II.2.1. Definisi
Kognitif berasal dari bahasa Latin, yaitu cognitio yang artinya adalah berpikir. Hal ini merujuk kepada kemampuan seseorang dan mengerti
dunianya, yang dicapai dari sejumlah fungsi yang kompleks termasuk orientasi
terhadap waktu, tempat dan individu; kemampuan aritmatika; pikiran abstrak;
kemampuan fokus untuk berpikir logis (Pincus dkk, 203).
Fungsi kognitif terdiri dari :
1. Atensi
Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu
stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik
internal maupun eksternal yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan.
Setelah menentukan kesadaran, pemeriksaan atensi harus dilakukan
saat awal pemeriksaan neurobehavior karena pemeriksaan modalitas kognitif
lainnya sangat dipengaruhi oleh atensi yang cukup terjaga.
Atensi dan konsentrasi sangat penting dalam mempertahankan fungsi
kognitif, terutama dalam proses belajar. Gangguan atensi dan konsentrasi akan
Gangguan atensi dapat berupa dua kondisi klinik berbeda. Pertama
ketidakmampuan mempertahankan atensi maupun atensi yang terpecah atau
tidak atensi sama sekali, dan kedua inatensi spesifik unilateral terhadap
stimulus pada sisi tubuh kontralateral lesi otak.
2. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar
yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu pemeriksaan
bahasa harus dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehavior. Jika terdapat
gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif
akan mengalami kesulitan atau tidak mungkin dilakukan.
Gangguan bahasa (afasia) sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi
klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik
anatara sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi. Kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa penting, sehingga setiap gangguan
berbahasa akan menyebabkan hendaya fungsional. Setiap kerusakan otak
yang disebabkan oleh stroke, tumor, trauma, demensia dan infeksi dapat
menyebabkan gangguan berbahasa.
3. Memori
Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus
dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui system limbik
untuk terjadinya pembelajaran baru.
Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate, recent,
a. Immediate memory merupakan kemampuan untuk merecall stimulus dalam interval waktu beberapa detik.
b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian sehari-hari (misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau
kejadian-kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi
tersebut dalam rentang waktu menit, jam, hari, bulan, tahun.
c. Remote memory merupakan rekoleksi kejadian yang terjadi bertahun tahun yang lalu (misalnya tanggal lahir, sejarah, nama teman).
Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan
pasien. Amnesia secara umum mmerupakan efek fungsi memori. Ketidak
mampuan untuk mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia
anterograd. Amnesia anterograd merujuk pada amnesia kejadian yang terjadi
sebelum brain insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori
merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami
kesulitan memori. Amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode
tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek pada recent memory.
4. Visuospasial
Kemampuan visuospasial dapat dievaluasi melalui kemampuan
kontruksional seperti menggambar atau meniiru berbagai macam gambar
(misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan
dalam kemampuan konstruksi ini tetapi lobus parietal terutama hemisfer kanan
untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan
dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.
Pasien diminta untuk menggambar jam berbentuk lingkaran kemudian
dengan angkanya yang lengkap, jika gambar jam digambar terlalu kecil
sehingga angka-angkanya tidak muat, hal ini mencermikan gangguan pada
perencanaan. Jika terdapat neglek unilateral pasien menempatkan angka
hanya pada satu sisi. Selanjutnya pasien diminta untuk menggambar jarum
pada pukul 11:10. Pasien dengan gangguan fungsi eksekutif akan menunjuk
jarum pada angka 10 dan 11.
5.Fungsi Eksekutif
Fungsi eksekutif adalah keampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir
dan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekusi diperankan oleh
lobus frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang
terkait dengan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal.
Diperlukan atensi, bahasa, memori dan visuospasial sebagai dasar untuk
menyusun kemampuan kognitif (Modul Neurobehavior, 2008).
Istilah penurunan kognitif sebenarnya menggambarkan perubahan
kognitif yang berkelanjutan; beberapa dianggap masih dalam spektrum
penuaan normal, sementara yang lainnya dimasukkan dalam ketegori
gangguan ringan. Untuk menentukan gangguan fungsi kognitif, biasanya
dilakukan penilaian terhadap satu domain atau lebih seperti memori, orientasi,
bahasa, fungsi eksekutif dan praksis. Temuan dari berbagai peneltian klinis dan
lingkungan dapat berkontribusi terhadap esiko penurunan fungsi kognitif
(Plassman dkk, 2010).
II.2.2. Pengaruh Pendidikan Terhadap Fungsi Kognitif
Tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan penurunan fungsi
kognitif yang dapat terjadi lebih cepat dibandingkan dengan tingkat pendidikan
yang tinggi. Diduga ada beberapa mekanisme yang mendasari proses ini yaitu :
a. Hipotesis brain reverse, teori ini mengatakan bahwasannya tingkat pendidikan dan penurunan fungsi kognitif karena usia saling berhubungan
karena keduanya didasarkan pada potensi kognitif yang didapat sejak
lahir.
b. Teori “use it or lose it”, teori mengatakan stimulus mental selama dewasa merupakan proteksi dalam melawan penurunan fungsi kognitif yang
prematur. Pendidikan pada awal kehidupan mempunyai pengaruh pada kehidupan selanjutnya jika seseorang tersebut terus melanjutkan
pendidikan untuk menstimulasi mental yang diduga bermanfaat untuk
neurokimia dan pengaruh struktur otak(Bosma Lee dkk 2003, Seeman
dkk,2005)
pada otak dan mampu melakukan mengkompensasi dengan baik terhadap
hilangnya suatu kemampuan dengan menggunakan strategi alternative pada
tes yang didapati selama pelatihan selama pendidikan, dengan demikian dapat
diasumsikan orang yang berpendidikan tinggi menurun fleksibilitas ini dalam
test-taking strategy (Dash dkk, 2005).
Suatu studi yang dilakukan oleh Bennett dkk (2003) untuk mengetahui
hubungan antara tingkat edukasi formal dan patologi AD. Ternyata dijumpai
adanya bukti yang kuat antara senile plaque dan level fungsi kognitif yang berbeda berdasarkan tingkat edukasi formal.
Studi yang dilakukan oleh Seeman dkk (2005) menyimpulkan
bahwasannya semakin tinggi pendidikan penderita Alzheimer maka semakin
cepat penurunan fungsi kognitif. Hipotesis cognitive reserve (CR) dapat menjelaskan hal ini. Hipotesis ini menjelaskan bahwa ada perbedaan individu
dalam kemampuan mengatasi patologis penyakit Alzheimer. Substrat neural
dari CR dapat mengambil bentuk dari jumlah yang besar dari sinaps atau
neuron yang sehat saat yang lainnya dipengaruhi proses patologis Alzheimer.
Sehingga penyakit Alzheimer pada tingkat pendidikan tinggi baru
bermanifestasi secara klinis setelah kelainan patologi otak cukup parah
(patologis di otak yang berpendidikan tinggi lebih berat dari yang berpendidikan
rendah saat penyakit Alzheimer terdeteksi). Dan pada saat patologis otak
sudah berat dan meluas, substrat neural yang mengkompensasi tersebut tidak
II.2.3. Pengaruh Aktivitas Fisik Terhadap Fungsi Kognitif
Beberapa hipotesis yang menjelaskan tentang mekanisme yang
mendasari hubungan antara aktivitas fisik dan fungsi kognitif masih belum
dapat dipahami. Aktivitas fisik memperlihatkan dapat mempertahankan aliran
darah otak dan mungkin juga meningkatkan persediaan nutrisi otak. Selain itu
kegiatan aktivitas fisik juga diyakini untuk memfasilitasi metabolisme
neurotransmiter, dapat juga memicu perubahan aktivitas molekuler dan seluler
yang mendukung dan menjaga plastisitas otak. Bukti dari suatu studi hewan
telah menunjukkan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan seluler, molekul
dan perubahan neurokimia. Pengaruh yang diamati berhubungan dengan
peningkatan vaskularisasi di otak, peningkatan level dopamin, dan perubahan
molekuler pada faktor neutropik yang bermanfaat sebagai fungsi
neuroprotective (Singh-Manoux dkk.2005; Hernandez dkk, 2010). Selain itu aktivitas fisik juga diduga menstimulasi faktor tropik dan neuronal growth yang kemungkinan faktor-faktor ini yang menghambat penurunan fungsi kognitif dan
demensia (Yaffe dkk,2001).
Pada exercise beberapa sistem molekul yang dapat berperan dalam hal yang bermanfaat pada otak. Faktor-faktor neurotrofik kebanyakan yang berperan dalam efek yang bermanfaat tersebut. Faktor neurotrofik itu terutama
BDNF, karena dapat meningkatkan ketahanan dan pertumbuhan beberapa tipe
dari neuron, meliputi neuron glutamanergik. BDNF berperan sebagai mediator
utama dari efikasi sinaptik, penghubungan sel saraf dan plastisitas sel saraf
Diduga bahwa response neurotorphin yang diperantarai exercise
mungkin terbatas pada sistem motorik, sensorik, dari otak, seperti serebellum,
area korteks primer antara lain basal ganglia. Hasil yang dijumpai pada suatu
penelitian beberapa hari setelah voluntany tral-runing dilakukan, mengingatkan kadar dari BDNF mRNA di hipokampus, struktur higly plastic yang secara normal berkaitan dengan fungsi kognitif dibandingkan aktifitas motorik.
Perubahan kadar mRNA dijumpai di neuron, terutama di girus dentatus, hilus, dan regio CA3. Peningkatan terjadi dalam beberapa hari pada tikus jantan dan
betina, menetap sampai beberapa minggu selama latihan dan bersamaan
dengan peningkatan jumlah protein BDNF(Cotman dkk, 2002) .
Meskipun faktor-faktor neurotrofik lain seperti NGF & FGF-2 juga
diindukasi di hipokampus sebagai respon pada latihan, peningkatannya hanya
sesaat dan kurang jelas/nyata dibanding BDNF, ini menunjukkan bahwa BDNF
merupakan kandidat yang lebih baik dalam memediasi manfaat jangka panjang
Gambar 1. Peranan BDNF dalam memediasi Exercise
Dikutip dari : Cotman C. W, Berchtold N. C. 2002. Exercise: A Behavior Intervention To
Enhance Brain Health and Plasticity. TRENDS in Neurosciences. 25(6):295-300
Aktivitas fisik kemungkinan menpertahankan kesehatan vaskular otak
dengan menurunkan tekanan darah, meningkatkan profil lipoprotein,
mendukung produksi endotel nitrat oksidasi dan memastikan perfusi otak
cukup.Demikian pula, muncul bukti hubungan antara insulin dan amiloid
menunjukkan bahwa manfaat aktivitas aerobik pada resistensi insulin dan
glukosa intolerance, mungkin ini merupakan mekanisme yang lain dimana aktivitas fisik dapat mencegah atau menunda penurunan fungsi kognitif (Weuve
dkk, 2004).
Power, 2006 menjelaskan bahwa ada 3 mekanisme yang dapat
angiogenesesis pada otak, perubahan synaptic reverse dan menghilangkan penumpukan amiloid.
Suatu studi menjelaskan bahwasannya ada beberapa faktor yang
mempengaruhi exercise terhadap fungsi kognitif : exercise menyebabkan hipertrofi hipokampus yang nantinya akan memiliki fungsi preventif terhadap
degenerasi neuronal; exercise juga dapat menyebabkan produksi faktor pertumbuhan seperti BDNF yang telah diketahui untuk memperbesar
neurogenesis dan efek positif terhadap kognitif; exercise juga dapat menyebabkan respon terhadap BDNF, neurogenesis dan fungsi kognitif melalui
IGF-1; exercise tersebut juga berhubungan dengan inflamasi dimana kontraksi otak memproduksi IL6, IL8, IL15, TNF α yang selanjutnya mempengaruhi fungsi kognitif. Klotho protein/gen dapat dipengaruhi aktivitas fisik melalui faktor
pertumbuhan seperti IGF-1 dimana efek klotho pada otak tampak seperti
neuroprotektif dan mencegah kehilangan neuron dopaminergik dalam
Gambar 2. Mekanisme Exercise mempengaruhi growth factor, klotho,
myokines dan pengaruhnya pada otak
Dikuti dari : Foster P. P, Rosenblatt K. P, Kuljiš R. O. 2011 . Exercise Induced Cognitive
Plasticity, Implications For Mild Cognitive Impairment And Alzheimer’s Disease. Frontiers In
Neurology Dementia:2:(28):1-10
II.3. LANJUT USIA II.3.1. Definisi
Lanjut usia adalah dimana individu yang berusia di atas 60 tahun yang pada
umumnya memiliki tanda-tanda terjadinya penurunan fungsi-fungsi biologis,
psikologis, sosial, ekonomi. Sedangkan menurut United National (UN)
(WHO,2010;Definition of an older or elderly person: Assosiasi Alzheimer
Indonesia).
Undang-undang Depkes RI , No. 4 tahun 1965 menjelaskan bahwa
seseorang dikatakan sebagai lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai
umur 55 tahun ke atas, tidak mampu mencari nafkah sendiri dan memenuhi
kebutuhan hidup sendiri dan juga menerima nafkah. Sedangkan WHO dalam
depkes RI mempunyai batasan usia lanjut sebagai berikut: middle / young elderly usia antara 45-59 tahun, elderly usia antara 60-74 tahun, old usia antara 75-90 tahun dan dikatakan very old berusia di atas 90 tahun (Aging process 2010).
II.4. INSTRUMENT
II.4.1. Mini Mental State Examination (MMSE)
Pemeriksaan status mental mini Folstein (Mini Mental State Examination: MMSE) adalah test yang paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai
maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan
data dasar dan memantau penurunan kognisi. Nilai di bawah 27 dianggap
abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada
penderita berpendidikan tinggi. Penyandang d engan pendidikan yang rendah
dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang
rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia (Asosiasi Alzheimer
Indonesia 2003).
Pada penelitian Crum R.M (1993) diperoleh median skor MMSE 29 pada
serta diperoleh data median skor 29 untuk kelompok dengan lama masa
pendidikan >9 tahun, median skor 26 untuk kelompok dengan lama masa
pendidikan 5-8 tahun dan median 22 untuk kelompok dengan lama masa
pendidikan 0-4 tahun.
II.4.2. Addenbrookes’s Cognitive Examination (ACE)
Addenbrookes’s Cognitive Examination adalah suatu instrument yang digunakan untuk mendeteksi demensia yang sensitif dan spesifik, dimana
menggabungkan antara MMSE ,memperluas memori, bahasa, dan komponen
visuospatial dan menambahkan tes kefasihan lisan (Bayer dkk, 2004).
ACE ini mampu membedakan demensia termasuk penyakit Alzheimer
dan frontotemporal demensia (FTD). ACER membutuhkan waktu antara 12
dan 20 menit (rata-rata 16 menit) untuk mengelola dan skor dalam setting klinis.
ACER ini berisi 5 sub-skor, masing-masing mewakili satu kognitif/domain yaitu
perhatian /orientasi (18 poin), memori (26 poin), kelancaran (14 poin), bahasa
(26 poin)dan visuospatial (poin 16). ACER skor maksimum adalah 100. Untuk
penilaian ACER mempunyai cut-off 88 dan 82 diidentifikasi berdasarkan
perhitungan sensitivitas,spesifisitas dan nilai prediksi positif (PPV) ditingkat
prevalensi yang berbeda. Jika nilai verbal+language/orientasi+memori (VLOM
ratio) < 2,2 menunjukan frontotemporal demensia (FTD) dan VLOM ratio > 3,2 menunjukan suatu demensia Alzheimer (Mioshi dkk, 2006; Bier dkk, 2004).
The General Practice Physical Activity Questionnaire (GPPAQ) adalah suatu instrument screening yang telah divalidasi yang dapat digunakan untuk menilai pencegahan primer. Instrument ini digunakan pada orang dewasa untuk
melihat level aktivitas fisik, yang terdiri dari pertanyaan yang simpel yang berisi
tentang 4 level Physical Activity Index (PAI) dengan kategori Active, Moderately Active, Moderately Inactive, dan Inactive. Instrument ini juga memberikan informasi kepada dokter ketika ada peningkatan aktivitas fisik yang tidak sesuai.
Jika semua pasien mempunyai score dibawah active maka perlu diberi dukungan untuk merubah kebiasaan agar lebih meningkatkan aktivitas fisik
(The General Practice Physical Activity Questionnaire (GPPAQ), 2009).
Level Physical Activity Index (PAI) yang terdiri dari :
1. In Active : Pekerjaan yang harus duduk terus, tanpa gerak badan atau bersepeda
2. Moderately Active : Pekerjaan yang harus duduk terus, tetapi kurang dari 1 jam; badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU pekerjaan yang
harus berdiri terus tanpa gerak badan atau bersepeda
3. Moderately Inactive : Pekerjaan yang harus duduk terus dan 1 sampai 2,9 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan
yang harus berdiri terus tetapi kurang dari 1 jam gerak badan dan/atau
bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang membutuhkan fisik tanpa
gerak badan atau bersepeda
4. Active : Pekerjaan yang harus duduk terus dan lebih dari 3 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang harus
minggu ATAU Pekerjaan yang membutuhkan fisik, sedikit tetapi lebih
dari 1 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan
2.5. KERANGKA TEORI
Aktivitas Fisik
Wueve dkk, 2004: hubungan aktivitas fisik dengan fungsi kognitif diduga melaui pemeliharaan vaskularisasi otak melalui penurunan tekanan darah, memperbaiki lipoprotein, menghasilkan
endothelial nitric oxide dan perfusi serebral yang adekuat
synaptic reserve hypothesis
Bennett dkk, 2003: dijumpai adanya bukti yang kuat antara senile plaque dan level fungssi kognitif yang berbeda berdasarkan tingkat edukasi formal
Mental stimulation
Dash dkk, 2005: orang yang beredukasi memiliki lebih banyak sinaps pada otak dan mampu untuk mengkompensasi dengan baik terhadap hilanganya suatu kemampuan dengan strategi alternative pada test-taking srategy
Powers, R.E., 2006: Aktivitas fisik diduga meningkatkan produksi neural, proliferasi glial, produksi faktot tropik dan meningkatkan neurotransmitter serta dapat menurunkan atau menghilangkan penumpukan amiloid pada otak
synaptic reserve
Vaskularisasi
FUNGSI KOGNITIF
Yaffe dkk, 2001: aktivitas fisik menstimulasi faktor tropik dan neuronal growth yang diduga dapat mencegah penurunan kognitif dan demensia
Penumpukan amiloid otak
Lambourne, K., 2006: exercise memiliki hubungan dengan kapasitas working memory pada dewasa muda
Lee dkk, 2003: pendidikan sejak dini memiliki efek langsung pada struktur otak melalui peningkatan jumlah sinaps atau vaskularisasi dan membentuk cognitive reserve, serta efek stimulasi mental pada usia tua dimana dapat mempengaruhi neurokemikal
Angiogenesis
2.6. KERANGKA KONSEPSIONAL
AKTIVITAS FISIK
TINGKAT PENDIDIKAN
FUNGSI KOGNITIF
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian dilakukan di Kelurahan Darat Kecamatan Medan Baru dari
tanggal Agustus 2010 s/d 28 Februari 2011.
III.2. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian diambil dari populasi usia tua di Kelurahan Darat
Kecamatan Medan Baru dengan penentuan subjek penelitian dilakukan
menurut metode purposive non probability.
III.2.1. Populasi Sasaran
Semua populasi yang tinggal di Kelurahan Darat Kecamatan Medan
Baru.
III.2.2. Populasi Terjangkau
Semua populasi yang tinggal di Kelurahan Darat Kecamatan Medan
Baru yang berusia lanjut.
III.2.3. Besar Sampel
Ukuran sampel dihitung menurut rumus (Sastroasmoro, 2007)
n = ( Zα√PoQo + Zβ √PaQa )2
(Pa-Po)2
Dimana :
Zα = nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung nilai yang telah ditentukan (α = 0,05 Zα = 1.96)
Zβ = nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung nilai β yang telah ditentukan (β = 0,05 Zβ = 1.96)
Po = proporsi yang mengalami gangguan fungsi kognitif = 0,156 (Yaffe dkk ,
2001)
Qo = 1-Po = 0,844
Pa = proporsi yang mengalami gangguan fungsi kognitif pada saat ini =
0,256 (Laurin dkk, 2001)
Qa = 1-Pa = 0,744
Pa-Po = beda proporsi yang bermakna = 20%
n = ( 1,96 √0,156.0,844 + 1,96 √0,256.0,744 )2
(0,256-0,156)2 n = 40 orang
Dibutuhkan sampel minimal sebesar 40 orang
III.2.4. Kriteria Inklusi
1. Subjek yang berusia lanjut
2. Subjek yang bisa membaca dan menulis
3. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian ini
III.2.5 Kriteria Eksklusi
2. Subjek dengan lesi otak (stroke, tumor, infeksi, trauma, demensia,
parkinson)
3. Subjek peminum alkohol kronis
4. Subjek penderita depresi
5. Subjek penderita epilepsi
6. Subjek dengan riwayat hipertensi
7. Subjek dengan riwayat diabetes melitus
8. Subjek dengan riwayat kolesterol
9. Subjek dengan retardasi mental
III. 3. BATASAN OPERASIONAL
III.3.1. Lanjut usia adalah individu yang berusia di atas 60 tahun yang pada umumnya memiliki tanda-tanda terjadinya penurunan fungsi-fungsi
biologis, psikologis, sosial, ekonomi dan UN menyetujui bahwa lanjut
usia dengan cuttof 60 tahun. (WHO,2010;Definition of an older or elderly
person: Assosiasi Alzheimer Indonesia)
III.3.2. Fungsi Kognitif . Kognitif berasal dari bahasa Latin, yaitu cognitio yang artinya adalah berpikir. Hal ini merujuk kepada kemampuan seseorang
dan mengerti dunianya, yang dicapai dari sejumlah fungsi yang kompleks
termasuk orientasi terhadap waktu, tempat dan individu; kemampuan
aritmatika; pikiran abstrak; kemampuan fokus untuk berpikir logis (Pincus
dkk, 2004)
dibagi atas 3 yaitu pendidikan dasar (selama 9 tahun), pendidikan
menengah,pendidikan tinggi (misal program sarjana, magister, doktor,
spesialis yang diselanggarakan oleh perguruan tinggi). (Sistem
Pendidikan Nasional)
III.3.4. Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktifitas fisik yang tidak
ada (kurangnya aktivitas fisik) merupakan faktor risiko independen untuk
penyakit kronis, dan secara keseluruhan diperkirakan menyebabkan
kematian secara global. ( WHO, 2010; Physical Activity. In Guide to
Community Preventive Services Web site, 2008).
III.3.5. Gangguan kesadaran adalah kehilangan kemampuan untuk merasakan dan membalas stimulus yang berasal dari lingkungan luar. (Thefree
dictionary, 2011)
III.3.6. Lesi otak adalah kerusakan otak yang disebabkan oleh trauma atau penyakit (trauma kapitis, stroke, infeksi, tumor, demensia, parkinson)
(Web MD,2011)
III.3.7. Penderita Hipertensi adalah penderita dengan tekanan darah sistol
≥140 mmHg dan tekanan darah diastol ≥ 90 mmHg (National High Blood Pressure Education Program, 2003).
III.3.8. Penderita Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI,
III.3.9. Pengguna alkohol kronis adalah seseorang yang memiliki kebiasaan dan ketergantungan meminum zat alkohol (The free dictionary, 2011).
III.3.10. Retardasi mental adalah seseorang yang memiliki keterbatasan dalam fungsi mental, dan juga keterbatasan keterampilan
berkomunikasi, mengurus diri sendiri dan bersosialisasi (Medicine Net,
2011).
III.3.11. Penderita depresi adalah penderita dengan gangguan mood, hilangnya rasa ketertarikan atau perasaan senang, adanya perasaan
bersalah, atau rasa tidak berharga, gangguan tidur, tidak bersemangat
dan sulit berkosentrasi (World Health Organization (WHO), 2011)
III.3.12. Mini Mental State Examination adalah test yang paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam
mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau
penurunan kognisi. Untuk MMSE nilai 24-30 adalah normal, nilai 17-23
adalah probable gangguan kognitif dan nilai 0-16 adalah definite
gangguan kognitif. (Asosiasi Alzheimer Indonesia.2003)
III.3.13. Addenbrookes’s Cognitive Examination (ACE) adalah suatu instrument yang digunakan untuk mendeteksi demensia yang
sensitive dan spesifik, dimana menggabungkan antara MMSE,
memperluas memori, bahasa, dan komponen visuospatial dan
menambahkan tes kefasihan lisan. Penilaian pada ACER digunakan
cuttoff 82 (Bayer dkk, 2004).
III.3.14. The General Practice Physical Activity Questionnaire (GPPAQ)
level aktivitas fisik, yang terdiri dari pertanyaan yang simpel yang
berisi tentang 4 level Physical Activity Index (PAI) dengan kategori
Level Physical Activity Index (PAI) yang terdiri dari : Inactive
(Pekerjaan yang harus duduk terus, tanpa gerak badan atau
bersepeda); Moderately Inactive (Pekerjaan yang harus duduk terus, tetapi kurang dari 1 jam; badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU
pekerjaan yang harus berdiri terus tanpa gerak badan atau
bersepeda); Moderately Active (Pekerjaan yang harus duduk terus dan 1 sampai 2,9 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu
ATAU Pekerjaan yang harus berdiri terus tetapi kurang dari 1 jam
badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang
membutuhkan fisik tanpa gerak badan atau bersepeda); Active
(Pekerjaan yang harus duduk terus dan lebih dari 3 jam gerak badan
dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang harus berdiri
terus dan 1 sampai 2,9 jam gerak badan dan/atau bersepeda per
minggu ATAU Pekerjaan yang membutuhkan fisik, sedikit tetapi lebih
dari 1 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU
Pekerjaan yang memerlukan tenaga berat). (The General Practice
Physical ActivityQuestionnaire (GPPAQ). 2009)
III.4. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode
a. Studi observasional dilakukan untuk memperoleh gambaran karakteristik
subjek penelitian (demografi, tingkat pendidikan,aktivitas fisik, nilai MMSE
dan nilai ACER)
b. Studi korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara MMSE dan
ACER pada populasi usia tua dengan tingkat pendidikan dan aktivitas fisik
III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN III.5.1. Instrumen
III.5.1.1. Mini Mental State Examination:
Digunakan untuk menyingkirkan adanya gangguan kognitif. Tes ini terdiri
dari 11 pertanyaan yang bertujuan untuk menilai fungsi kognitif pada orang
dewasa. Skor mulai dari 0 sampai dengan 30. Skor dibawah 24 menunjukkan
gangguan fungsi kognitif. Tes ini merupakan indikator yang sangat kuat untuk
demensia (Encyclopedia of mental disorders, 2011).
III.5.1.2. Addenbrookes’s Cognitive Examination
Suatu instrument yang digunakan untuk mendeteksi demensia yang
sensitive dan spesifik, dimana menggabungkan antara MMSE, memperluas
memori, bahasa, dan komponen visuospatial dan menambahkan tes kefasihan
lisan.Kuisioner ACER merupakan pertanyaan yang mempunyai 5 sub-skor,
masing-masing mewakili satu kognitif/domain perhatian /orientasi (18 poin),
memori (26 poin), kelancaran (14 poin), bahasa (26 poin)dan visuospatial (poin
16). ACE-R skor maksimum adalah 100. Untuk penilaian ACE-R mempunyai
dan nilai prediksi positif (PPV) ditingkat prevalensi yang berbeda (Mioshi dkk,
2006, Bier dkk, 2004).
III.5.1.3. The General Practice Physical Activity Questionnaire (GPPAQ)
Instrument yang digunakan pada orang dewasa untuk melihat level
aktivitas fisik, yang terdiri dari pertanyaan yang simpel yang berisi tentang 4
level Physical Activity Index (PAI) dengan kategori Level Physical Activity Index
(PAI) yang terdiri dari : Inactive (Pekerjaan yang harus duduk terus, tanpa gerak badan atau bersepeda); Moderately Inactive (Pekerjaan yang harus duduk terus, tetapi kurang dari 1 jam; badan dan/atau bersepeda per minggu
ATAU pekerjaan yang harus berdiri terus tanpa gerak badan atau bersepeda);
Moderately Active (Pekerjaan yang harus duduk terus dan 1 sampai 2,9 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang harus
berdiri terus tetapi kurang dari 1 jam badan dan/atau bersepeda per minggu
ATAU Pekerjaan yang membutuhkan fisik tanpa gerak badan atau bersepeda);
Active (Pekerjaan yang harus duduk terus dan lebih dari 3 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang harus berdiri terus dan
1 sampai 2,9 jam gerak badan dan/atau bersepeda per minggu ATAU
Pekerjaan yang membutuhkan fisik, sedikit tetapi lebih dari 1 jam gerak badan
dan/atau bersepeda per minggu ATAU Pekerjaan yang memerlukan tenaga
III.5.2 Pengambilan Sampel
Semua populasi usia tua di Kelurahan Darat Medan Baru yang memenuhi
kriteria inklusi dan dan tidak ada kriteria eksklusi dan dilakukan pemeriksaan
fungsi kognitif dan aktivitas fisik dengan mengisi kuisoner yang diberikan oleh
pemeriksa.
III.5.3. Kerangka Operasional
a.
b. Variabel yang diamati
Variabel bebas : pendidikan, aktivitas fisik, usia lanjut
Variabel terikat :
Surat persetujuan ikut penelitian
Pemeriksaan :
1. Level pendidikan
2. Aktivitas fisik The General Practice Physical Activity
Questionnaire (GPPAQ)
3. Fungsi kognitif :
- Mini Mental State Examination
- Addenbrookes’s Cognitive Examination
Analisa
Hasil
III.5.4. Variabel yang diamati
Variabel bebas : tingkat pendidikan, aktivitas fisik
III.5.5. Analisa Statistik
Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan
program komputer Windows SPSS-15.
Analisa dan penyajian data dilakukan sebagai berikut :
1. Analisi deskriptik digunakan untuk melihat karakteristik demografi, tingkat
pendidikan, aktivitas fisik dan nilai fungsi kognitif (MMSE dan ACER)
2. Untuk melihat hubungan tingkat pendidikan terhadap fungsi kognitif
digunakan uji ANOVA
3. Untuk melihat hubungan aktivtias fisik terhadap fungsi kognitif
menggunakan uji ANOVA
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.1. HASIL PENELITIAN
IV.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Darat Kota Medan pada periode
Agustu 2010 sampai dengan Januari 2011 dengan jumlah sampel sebanyak 40
orang dari populasi lanjut usia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
sehingga dapat diikutkan dalam penelitian.
Dari 40 orang populasi lanjut usia yang dianalisa, terdiri dari 18 pria
(45%) dan 22 (55 %) wanita. Dari rentang usia, kelompok usia terbanyak
adalah kelompok antara 60-69 tahun sebanyak 30 orang (75%). Sedangkan
yang paling sedikit adalah kelompok usia ≥ 80 tahun (10%).
Dari 40 orang subjek penelitian, suku terbanyak adalah suku Jawa yaitu
19 orang (47,5%) dan yang paling sedikit adalah Nias yaitu 2 orang (5%). Dari
status pekerjaan, pensiunan pns merupakan pekerjaan terbanyak dari sampel
penelitian ini yaitu sebanyak 14 orang (35%).
Berdasarkan tingkat pendidikan, yang terbanyak adalah kelompok SLTP
sebanyak 10 orang (25%) dan yang paling sedikit adalah kelompok tidak
sekolah sebanyak 5 orang (12,5%).
Dari seluruh subjek penelitian, sebanyak 7 orang (17,5%) memiliki
6 orang (15%) memiliki aktivitas fisik active). Data lengkap karakteristik subjek penelitian ini disajikan dalam tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik Sampel N (40) %
IV.1.2. Rerata Nilai Fungsi Kognitif
Dari hasil pemeriksaan fungsi kognitif, didapat nilai rerata dan standard
deviation (SD) pada seluruh subjek adalah untuk nilai MMSE 24,80 ± 2,963 dan
Tabel 2. Rerata Nilai Fungsi Kognitif
Nilai Mean ± SD Rentang
Fungsi Kognitif MMSE ACER
24.80±2.963 77.50±10.950
18-29 49-93
IV.1.3. Distribusi Rerata Nilai Fungsi Kognitif Berdasarkan Variabel
IV.1.3.1. Rerata Nilai MMSE berdasarkan Variabel
Berdasarkan jenis kelamin sampel penelitian, nilai rerata MMSE yang
tertinggi terdapat pada jenis kelamin laki-laki yaitu 25,50 ± 2,175. Hasil analisa
ini menggunakan uji ANOVA yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan rerata nilai MMSE berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian
(p=0,147). Berdasarkan umur sampel penelitian, nilai rerata MMSE yang
tertinggi dijumpai pada kelompok usia 60-69 tahun yaitu 25,40±2,634. Hasil
analisa ini menggunakan uji ANOVA yang menunjukkan terdapat perbedaan
yang signifikan rerata nilai MMSE berdasarkan kelompok usia subjek penelitian
(p=0,001). Berdasarkan suku, nilai rerata MMSE tertinggi dijumpai pada suku
Nias yaitu 27,00 ± 2,828 dan terendah pada suku Jawa yaitu 23,95 ± 3,100.
Analisa statistik dengan menggunakan uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan rerata nilai MMSE berdasarkan suku subjek
penelitian (p=0,351). Berdasarkan pekerjaan, nilai rerata MMSE yang tertinggi
dijumpai pada pegawai swasta yaitu 27,00±2,828 dan terendah pada pekerjaan