• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROSES PEN YELESAIAN PEMBUATAN PERIKATAN

A. Perikatan Secara Umum

6. Perjanjian Perikatan Jual Beli

Perjanjian perikatan jual beli merupakan perjanjian yang lahir dari adanya sifat terbuka yang ada pada Buku III KUHPerdata. Sifat terbuka di sini memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang dalam para pihak, isi dan bentuk perjanjian tersebut, akan tetapi tidak diperkenankan untuk melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian perikatan jual beli timbul karena terhambatnya atau terdapatnya beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah yang akhirnya agak menghambat penyelesaian dalam jual beli hak atas tanah.

Perjanjian perikatan jual beli ini timbul karena adanya hal-hal (persyaratan) yang belum terpenuhi atau adanya hal-hal (persyaratan) disepakati para pihak harus dipenuhi. Hal-hal (persyaratan) tersebut dapat menjadi

penghambat terselesaikannya perjanjian jual beli, yang dapat dibedakan menjadi 2 yakni karena faktor belum terpenuhinya persyaratan yang disyaratkan dalam peraturan perundangan seperti halnya yang ditentukan dalam Pasal 39 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah atau pun dari faktor kesepakatan penjual/pembeli itu sendiri, misalkan tentang mekanisme pembayarannya.

Dengan keadaan di atas tentunya akan menghambat untuk pembuatan akta jual belinya, karena pejabat pembuat akta tanah akan menolak untuk membuatkan akta jual belinya karena belum selesainya semua persyaratan tersebut, untuk tetap dapat melakukan jual beli maka para pihak sepakat bahwa jual beli akan dilakukan setelah sertifikat selesai diurus, atau setelah harga dibayar lunas dan sebagainya.105 Untuk menjaga agar kesepakatan itu terlaksana dengan baik sementara persyaratan yang diminta bisa diurus maka biasanya pihak yang akan melakukan jual-beli menuangkan kesepakatan awal tersebut dalam bentuk perjanjian yang kemudian dikenal dengan nama perjanjian perikatan jual beli.

Perjanjian perikatan jual beli dapat dikatakan sebagai awalan agar terlaksananya perjanjian jual beli hak atas tanah. Berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Pengertian perikatan jual-beli menurut R. Subekti adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli

105 R. Subekti, Op., Cit, hlm 75.

sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga. Sedang menurut Herlien Budiono, perjanjian perikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas. Dari pengertian yang diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian perjanjian perikatan jual beli merupakan sebuah penjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokoknya.

Berdasarkan pengertiannya maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan perjanjian perikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan, berfungsi untuk mempersiapkan atau bahkan memperkuat perjanjian utama/pokok yang akan dilakukan, karena perjanjian perikatan jual beli merupakan awal untuk lahirnya perjanjian pokoknya. Dengan demikian jelas bahwa perjanjian perikatan jual beli berfungsi sebagai perjanjian awal atau perjanjian pendahuluan yang memberikan penegasan untuk melakukan perjanjian utamanya, serta menyelesaikan suatu hubungan hukum apabila hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian perikatan jual beli telah dilaksanakan seutuhnya.106

106 Herlien Budiono, artikel “Pengikatan Jual Beli Dan Kuasa Mutlak” Majalah Renvoi, edis i tahun I, No 10, Bulan Maret 2004, hal 57.

B. Proses Penyelesaian Terhadap Pembuatan Perikatan Jual Beli Yang Terindikasi Wanprestasi Dikabupaten Deli Serdang

Disposisi Kasus

Terjadi peristiwa di daerah Kabupaten Deli Serdang yang melibatkan seorang Notaris bernama X. Kasus ini bermula pada tahun 2005. PT. Y dan Notaris X melakukan suatu kesepakatan kerjasama kemudian dituangkan kedalam sebuah perjanjian kerjasama. Didalam perjanjian kerjasama tersebut berisi kesepakatan dimana Notaris X menerima pekerjaan yang diberikan oleh PT Y yaitu berupa penyelesaian pengurusan pemecahan tanah sampai proses balik nama sertipikat perumahan N yang berlokasi di kabupaten Deli Serdang sebanyak 1000 unit/kavling.

Didalam salah satu kesepakatan mereka yaitu Notaris X menyanggupi untuk menyelesaikan pekerjaannya dalam kurun waktu 1 tahun. Akan tetapi selang 5 tahun yaitu pada Tahun 2010 pekerjaan Notaris X tidak kunjung selesai. Akhirnya PT Y mengirim surat kepada Notaris X untuk mengetahui sejauh mana telah diselesaikannya pekerjaan tersebut. Dan Notaris X membalas dan menjelaskan yang telah dipecah sebanyak 142 (seratus empat puluh dua) sertipikat, proses NIB sudah diselesaikan sebanyak 262 (dua ratus enam puluh dua) sertipikat, dan sisanya 442 (empat ratus empat puluh dua) sertipikat yang akan diselesaikan selambat-lambatnya bulan Maret 2010.

Menurut pengakuan dari PT.Y, pihak mereka telah membayarkan lunas semua biaya proses pengurusan pemecahan sampai proses balik nama kepada Notaris X

sebesar Rp. 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah). akan tetapi, sebelum Notaris X menyelesaikan semua pekerjaannya, ia mengalami keadaan sakit yang tidak memungkinkan Notaris X untuk menjalankan tugas dan jabatannya sehingga pekerjaan dari PT.Y tersebut tertunda dalam proses penyelesaiannya. PT.Y telah melakukan berbagai cara untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Akan tetapi, sampai saat ini keberadaan dari yang bersangkutan yaitu Notaris X tidak diketahui sehingga menyulitkan dalam proses penyelesaian ini.

Proses penyelesaiannya :

Secara normatif ini adalah prosedur-prosedur proses penyelesaian terhadap pemberhentian notaris terhadap yang tidak memenuhi kewajibannya.

Pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan anggota, Pemberhentian anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas, pengertian pengawasan adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap notaris.

Pasal 67 UUJN menyebutkan dalam hal pengawasan terhadap Notaris, disebutkan bahwa pengawasan terhadap notaris dilakukan oleh Menteri, di mana dalam melaksanakan pengawasan tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas, yang terdiri atas 3 (tiga) Majelis Pengawas terdiri dari unsur Departemen, Organisasi Profesi Notaris dan Para ahli/ akademisi. Majelis

Pengawas ini juga terdiri dari: Majelis Pengawas pusat, Majelis Pengawas Daerah dan Majelis Pengawas Wilayah. Pengawasan terhadap notaris meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan notaris.

Substansi pengawasan terhadap notaris tidak hanya dalam pelaksanaan jabatan notaris, akan tetapi perilaku notaris juga harus diawasi majelis pengawas, misalnya melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat dan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat Notaris. Apabila notaris terbukti melakukan hal-hal tersebut maka dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan Notaris dari jabatannya oleh Menteri berdasarkan laporan dari Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah dan Pusat).107

Notaris dalam menjalankan dan melaksanakan tugasnya sebagai pejabat umum untuk membuat akta otentik diawasi oleh Majelis Pengawas, dengan tujuan agar Peraturan Jabatan Notaris dan Kode etik Notaris dapat dilaksanakan dengan baik dan notaris dalam menjalankan tugasnya selalu memperhatikan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang, notaris merupakan pejabat yang memberikan jasanya kepada masyarakat dan memberikan penjelasan mengenai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pengawasan terhadap notaris yang dilakukan oleh yang Majelis Pengawas, tidak hanya ditujukan bagi penataan kode etik notaris akan tetapi juga untuk

107Habib Adjie, Jurnal Renvoi, Nomor 10.22.II, Tanggal 3 Maret 2005, hlm 36

tujuan lebih luas, yaitu agar para Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang, demi pengamanan atas kepentingan masyarakat yang dilayaninya.

Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menegaskan apa saja yang dimaksud dengan pengawasan terhadap notaris adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap notaris.

Ada 3 (tiga) tugas yang dilakukan oleh Majelis Pengawas yaitu:108 1. Pengawasan Preventif

2. Pengawasan Kuratif 3. Pembinaan

Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.01. Ht.03.01 Tahun 2006 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, Dan Pemberhentian Notaris mengatur Pemberhentian terhadap Notaris yang diatur dalam Pasal 20 yaitu :

Notaris berhenti atau diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, apabila:

a. Meninggal dunia;

b. Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun;

c. Atas permintaan sendiri;

108 Habib Adjie, Op., Cit., hlm 144

d. Tidak mampu secara jasmani dan/atau rohani menjalankan tugas jabatan Notaris secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) tahun;

e. Berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Swasta, atau sedang memangku jabatan lain yang oleh peraturan perundang-undangan dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

Dari kasus Notaris X, Notaris X dikategorikan tidak mampu secara jasmani dan/atau rohani menjalankan tugas jabatan Notaris secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) tahun;

Notaris yang bersangkutan, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan/atau ke bawah tanpa pembatasan derajat atau dalam garis ke samping sampai derajat ketiga atau keluarga semenda sampai derajat ketiga, atau jika tidak ada, pegawai notaris wajib memberitahukan secara tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah mengenai ketidakmampuan notaris yang bersangkutan dan mengusulkan notaris lain sebagai pemegang protokol.

Apabila dalam hal tidak ada pemberitahuan maka, Majelis Pengawas Daerah, dapat melakukan pemeriksaan, dan setelah mendapatkan fakta-fakta dilapangan bahwa yang bersangkutan tidak cakap secara jasmani dan rohani maka Majelis Pengawas Daerah dapat menyatakan notaris tidak mampu secara jasmani dan/atau rohani menjalankan jabatannya. Pemeriksaan terhadap notaris dapat dilakukan apabila adanya pengaduan dan informasi dari masyarakat.

Kemudian setelah meyakinkan bahwa notaris tersebut tidak cakap hukum secara jasmani dan rohani, Maka Majelis Pengawas Daerah mengusulkan secara tertulis kepada Menteri mengenai notaris lain sebagai pemegang protokol dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat.

Menteri memberhentikan notaris yang bersangkutan terhitung sejak tanggal surat keputusan pemberhentian dan menetapkan notaris lain sebagai pemegang protokol dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak surat diterima secara lengkap.

Notaris yang diberhentikan dan Notaris lain sebagai pemegang protokol wajib melakukan serah terima protokol di hadapan Majelis Pengawas Daerah dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak surat keputusan diterima.

Ibu Sri Rejeki selaku Direktur dari PT.Y adalah salah satu klien dari Notaris X yang juga merasa dirugikan karena proses pemecahan hingga penyelesaian perikatan jual beli yang tidak selesai-selesai dengan jangka waktu yang cukup lama yaitu 5 tahun. Padahal biaya-biaya yang di perlukan oleh Notaris X sudah dibayarkan dimuka begitu pula dengan pembayaran Honorarium kepada Notaris X. Pada saat itu PT.Y ini adalah PT yang mengalami kerugian paling besar diantara PT-PT lainnya.

Pihak developer akhirnya menggunakan dana retensi dari Notaris X untuk mengcover sebagian dari kerugian yang dialami oleh PT Y dan PT-PT lainnya. Pihak developer juga merasa terbantu dengan adanya dana retensi. Pihak developer juga mengatakan seharusnya adanya sanksi yang tegas sehingga bisa menimbulkan efek jera terhadap

Notaris yang memang tidak dapat mempertanggungjawabkan dan melalaikan kewajibannya.109

MPD Notaris Kabupaten Deli Serdang yaitu Bapak Irwansyah Nasution (selanjutnya disebut MPD DS), menjelaskan mengenai permasalahan kasus Notaris X dan kendala-kendala yang dihadapi oleh MPD DS dalam melakukan upaya penyelesaian kasus Notaris X. Awalnya MPD DS mendapat pengaduan dari masyarakat terkait dengan Notaris X yang melakukan suatu tindakan yang merugikan pihak-pihak yang terkait. MPD DS kemudian melakukan peninjauan dan menyelidiki pengaduan tersebut, ketika MPD DS mendatangi tempat kediaman dari Notaris X tersebut, kediaman Notaris X tutup dan tidak ada keluarga atau kerabat dari Notaris X yang bisa dihubungi. Menurut keterangan dari MPD DS Notaris X sempat menunjuk anaknya menjadi notaris pengganti. Akan tetapi MPD DS tidak mendapatkan kabar dari notaris pengganti yang akan mengurus mengenai penyerahan protokol notaris.

MPD DS menilai tidak ada itikad baik dan sikap yang koorporatif dari notaris pengganti tersebut Karena sampai batas waktu Notaris Pengganti sudah berakhir tidak adanya surat yang diberikan kepada MPD DS mengenai penyerahkan protokol dan laporan. Seperti yang diketahui penyerahan protokol adalah salah satu hal yang wajib dilakukan oleh notaris maupun notaris pengganti.

109 Wawancara dengan Sri Rejeki, Direktur PT.YY, tanggal 3 Mei 2015.

Apabila Notaris memenuhi ketentuan dalam Pasal 62 UUJN yaitu : a. Meninggal dunia;

b. Telah berakhir masa jabatannya;

c. Minta sendiri;

d. Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;

e. Diangkat menjadi pejabat negara;

f. Pindah wilayah jabatan;

g. Diberhentikan sementara; atau h. Diberhentikan dengan tidak hormat.

Terkait dengan keberadaan Notaris X, sampai saat ini tidak diketahui dan masih simpang siur sehingga sangat sulit untuk MPD DS menindaklanjuti lebih jauh mengenai kasus ini.110

Disamping itu yang menjadi kendala dalam proses penyelesaian Notaris X adalah MPD setelah mendapat pengaduan dari masyarakat juga tidak dapat berbuat banyak karena MPD hanya memberikan rekomendasi kepada MPW dan MPD hanya memiliki kewenangan yang terbatas untuk memberikan sanksi yang tegas kepada Notaris. MPD hanya diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi lisan dan tertulis. Sanksi lisan dan tertulis tidak dapat memberikan efek jera bagi notaris yang melakukan pelanggaran yang merugikan pihak secara materil dan immaterial. Bahkan banyak terjadi kasus yang serupa dengan kasus Notaris X akan tetapi undang-undang belum mampu memberikan sanksi yang berat terhadap Notaris. seharusnya UUJN dapat melakukan perubahan-perubahan dengan memberatkan sanksi terhadap notaris dan mengatur secara tegas mengenai sanksi pidana terhadap notaris. Dalam UUJN

110 Wawancara dengan Irwansyah Nasution, Majelis Pengawas Deli Serdang, tanggal 20 Mei 2015.

tidak memberikan kewenangan terhadap MPD untuk menjatuhkan sanksi apapun terhadap notaris, hanya MPW dan MPP yang berwenang memberikan sanksi teguran lisan dan tertulis serta putusan tersebut bersifat final.

MPD tidak mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi apapun.

Meskipun MPD mempunyai wewenang untuk menerima laporan dari masyarakat dan dari notaris lainnya dan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran pelaksanaan tugas jabatan notaris, tapi tidak diberikan kewenangannya untuk menjatuhkan sanksi apapun. MPD dalam hal ini hanya berwenang untuk melaporkan hasil sidang dan pemeriksaannya kepada Majelis Pengawas Wilayah dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris

MPW dapat menjatuhkan sanksi berupa sanksi teguran lisan atau tertulis, dan sanksi seperti ini bersifat final. Di samping itu mengusulkan pemberian sanksi terhadap notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara dari jabatan notaris selama 3 (tiga) sampai 6 (enam) bulan atau pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan notaris. menurut Pasal 77 huruf c UUJN, Majelis Pengawas Pusat berwenang menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara. Sanksi seperti ini merupakan masa menunggu dalam jangka waktu tertentu sebelum dijatuhkan sanksi lain, seperti sanksi pemberhentian tidak hormat dari jabatan notaris atau pemberhentian dengan hormat dari jabatan notaris.

MPP hanya berwenang untuk mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya dan pemberhentian tidak hormat dari jabatannya dengan alasan tertentu berdasarkan ketentuan Pasal 12 UUJN kepada Menteri.

Sanksi teguran lisan sampai pemberhentian tidak hormat adalah kewenangan dari MPW dan MPP. Lemahnya pengaturan hukum dan terbatasnya pemberian kewenangan terhadap MPD menjadi salah satu hal yang menyulitkan proses penyelesaian terhadap kasus Notaris X dan kasus yang sama lainnya. MPD DS menyarankan :

1. Adanya penguatan dasar hukum terhadap kewenangan terhadap MPD yang bisa memberikan sanksi yang tegas terhadap notaris yang melakukan pelanggaran.

2. Setiap bank menerapkan sistem menahan dana dari notaris yaitu dana retensi.

3. Diberlakukan secara efektif BPN Online sehingga memudahkan MPD maupun para pihak untuk memonitor pekerjaan dari notaris.

Keberadaan yang simpang siur dari Notaris X juga mengakibatkan lambatnya proses penyelesaian kasus Notaris X. MPD terus berupaya untuk menyelesaikan kasus ini sehingga kewajiban-kewajiban dari Notaris X dapat dipenuhi dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kabar terakhir yang diketahui oleh MPD, status dari Notaris X adalah cuti sementara. Untuk itu perlu didalami lagi proses penyelesaian kasus Notaris X dan status dari Notaris X tersebut.

94

BELI YANG BERINDIKASI WANPRESTASI DI KABUPATEN DELI SERDANG

Dokumen terkait