• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Hisab Rukyat Indonesia 1. Sejarah Hisab dan Rukyat di Indonesia

BAB II HISAB RUKYATHISAB RUKYAT

C. Perkembangan Hisab Rukyat Indonesia 1. Sejarah Hisab dan Rukyat di Indonesia

ﺎﻧإ

َﻦﯿﺛﻼﺛ مﺎﻤﺗ ﻲﻨﻌﯾ اﺬﻜھ و اﺬﻜھو اﺬﻜھ ﺮﮭﺸﻟا ﺐﺴﺤﻧ ﻻو ﺐﺘﻜﻧﻻ ﺔﯿﻣأ ﺔﻣأ

)

ﻢﻠﺴﻣ هاور

(

Artinya: “Dari Ibnu Umar ra. Dari Nabi SAW bersabda kami adalah ummat yang buta huruf (ummi), tidak dapat menulis dan menghitung. Satu bulan adalah seperti ini, seperti ini, seperti ini. Ibnu Umar melipat satu jari jempol pada gerakan yang ketiga (29 hari). Satu bulan adalah seperti ini, seperti ini dan seperti ini yaitu genap 30 hari”.(Diriwayatkan oleh Imam Muslim).41

C. Perkembangan Hisab Rukyat Indonesia 1. Sejarah Hisab dan Rukyat di Indonesia

Selama pertengahan pertama abad kedua puluh, peringkat kajian Islam yang paling tinggi termasuk kajian hisab rukyat hanya dapat dicapai di Mekkah, yang kemudian diganti di Kairo. Karena di sana Islam berkembang dan banyaknya para alim ulama dan ilmuwan. Banyak orang yang ingin mengkaji Islam lebih dalam berbondong-bondong datang ke sana, tidak terkecuali para alim ulama atau ilmuwan Indonesia. Pantaslah kiranya pemikiran hisab rukyat di Jazirah Arab sangat berpengaruh dalam pemikiran hisab rukyat di Indonesia. Seperti Muhammad Manshur al-Batawi yang mengarang kitab Sullamun Nayyirain, ternyata secara historis

41

Muhammad Nashirudin Al-Albani, penerjemah Imror Rosadi, Mukhtashar Shahih Muslim, jil. 1, (Jakarta: Pustaka Azzam), h. 419.

merupakan hasil dari rihlah ilmiyyah yang beliau lakukan selama di Jazirah Arab. Sumber jadwal yang dipakai berasal dari Ulugh Beik, begitu pula beberapa kitab hisab rukyat yang berkembang di Indonesia. Dan banyak kitab di Indonesia merupakan hasil cangkokan kitab karya Ulama Mesir yakni Al-Mathla’ul Said fi Hisaabil Kawakib ala Rasdi Jadid.42

Sebelum kedatangan agama Islam, di Indonesia telah tumbuh perhitungan tahun menurut kalender Jawa Hindu atau tahun Saka yang dimulai pada hari Sabtu, 14 Maret 78 M. Namun sejak tahun 1043 H/1633 M yang ketepatan 1555 tahun Saka, tahun Saka diasimilasikan dengan Hijriyah, kalau mulanya tahun Saka berdasarkan peredaran matahari, oleh Sultan Agung diubah menjadi tahun Hijriyah, yakni berdasarkan peredaran bulan, sedangkan tahunnya tetap meneruskan tahun saka tersebut.43

Sehingga jelas bahwa sejak zaman berkuasanya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, umat Islam sudah terlibat dalam pemikiran hisab rukyat, hal ini ditandai dengan adanya pengunaan kalender Hijriyah sebagai kalender resmi.

Penanggalan Hijriyah atau penanggalan Islam digunakan di Indonesia sebagai penanggalan resmi semenjak berkuasanya kerajaan-kerajaan Islam. Hal ini menunjukan berkembangnya hisab dan rukyah sebagai metode penentuan awal bulan Qamariyah di Indonesia.

42

Ahmad Izzudin, Fiqih Hisab Rukyah: Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam

Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 47. 43

Dengan datangnya penjajahan Belanda penanggalan Masehi mulai diterapkan dalam kegiatan-kegiatan administrasi pemerintahan dan dijadikan sebagai penanggalan resmi. Namun umat Islam tetap mempergunakan penanggalan Hijriyah terutama di daerah-daerah kerajaan Islam.44 Belanda membiarkan pemakaian dan penanggalan. Adapun pengaturannya diserahkan kepada para penguasa kerajaan-kerajaan Islam dalam mengatur hari-hari yang berhubungan dengan peribadatan, seperti tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah.

Sejak abad pertengahan yang didasarkan pada sistem serta tabel matahari dan bulan yang disusun oleh astronom Sultan Ulugh Beik As-Samarkand. Ilmu Hisab ini berkembang dan tumbuh subur terutama di pondok-pondok pesantren di Jawa dan Sumatera. Kitab-kitab ilmu hisab yang dikembangkan para ahli hisab di Indonesia biasanya mabda’(epoch) dan markaznya disesuaikan dengan tempat tinggal pengarangnya. Seperti Nawawi Muhammad Yunus al-Kadiri dengan karya Risalatul Qamarain

dengan markaz Kediri. Walaupun ada juga yang tetap berpegang pada kitab asal (kitab induk) seperti al-Mathla’ul Said fi Hisaabil Kawakib ala Rasydil Jadid karya Syekh Hussain Zaid al-Misra dengan markaz Mesir. Dan sampai sekarang khazanah (kitab-kitab) hisab di Indonesia dapat dikatakan relatif banyak apalagi banyak pakar hisab sekarang yang menerbitkan kitab falak dengan cara menanamkan kitab-kitab yang sudah lama ada di masyarakat disamping adanya kecanggihan teknologi yang

44

dikembangkan oleh para pakar astronomi dalam mengolah data-data kontemporer berkaitan dengan hisab rukyat.45

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, maka berlakulah penanggalan Masehi di Indonesia. Setelah terbentuknya Departemen Agama pada tanggal 2 Januari 1946, maka diberikan tugas-tugas pengaturan hari libur, dan termasuk juga tentang pengaturan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah yang diberlakukan di seluruh Indonesia. Wewenang ini tercantum dalam Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 2/UM.7 UM.9/UM, dan dipertegas dengan Keputusan Presiden No. 25 tahun 1967 No. 148/1968 dan No. 10 tahun 1971. Dalam prakteknya penetapan hari libur terkadang belum seragam, sebagai dampak adanya perbedaan pemahaman antara beberapa pemahaman yang ada dalam wacana hisab rukyat.46

2. Penentuan Awal Bulan Qamariyah

Secara garis besar Penentuan Awal Bulan Qamariyah di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu rukyat dan hisab.

a. Rukyat

Rukyat adalah menentukan awal bulan dengan membuktikan keberadan hilal sesaat setelah matahari terbenam pada tanggal 29 bulan Hijriyah. Bila hilal terhalangi oleh awan karena cuaca yang

45

Ahmad Izzudin, Fiqih Hisab Rukyah: Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam

Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 49. 46

tidak memungkinkan, maka pada bulan tersebut digenapkan menjadi 30 hari (istikmal).47

b. Hisab

Sistem hisab yang dipergunakan dalam menentukan awal bulan Qamariyah di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu hisab urfi

dan hisab hakiki. 1) Hisab Urfi

Hisab Urfi adalah sistem perhitungan penanggalan yang didasarkan kepada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional.48 Hisab urfi yang berkaitan dengan Qamariyah yang terdapat di Indonesia yaitu: a) Hisab Hijriyah (Arab)

Lama peredaran satu bulan sinodis49 selalu berubah-ubah. Sebagai contoh dalam tahun 1978 M. Jarak ijtimak yang terpendek ialah 29 hari 10 jam 27 menit (Ijtimak Muharam 1398 H ke Shafar) sedang jarak ijtimak yang terpanjang ialah 29 hari 15 jam 11 menit (ijtimak Sya'ban ke Ramadhan). Oleh karena itu maka Dalam hisab urfi ini lama peredaran sinodis

bulan dirata-ratakan menjadi 29 hari 12 jam 44 menit atau 29,5306 hari. Lama satu tahun yaitu 12 x 29,5306 hari +

47

Kardiman dkk, Garis Tanggal Kalender Islam 1421, (Bogor: BAKOSURTANAL,

2001) h. 6. 48

Departemen Agama, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, (Jakarta: Dirjen

Pcmbinaan Kelembagaan Agama Islam, 1995), h. 7. 49

354,3672 hari atau 354 hari 8 jam 48 menit 36 detik atau 354 11/30 hari (dengan mengabaikan 36 detik pertahun). Untuk menghilangkan pecahan ini maka diadakan kebulatan masa selama 30 tahun. Jadi lama hari dalam 30 tahun yaitu 30 x 354 11/30 hari = 10631 hari.50

Hisab urfi ini mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:

 Permulaan perhitungan (1 Muharam tahun 1 H) ditetapkan pada hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M. Ketentuan ini menurut pendapat Jumhur Ulama ahli hisab, sebab kedudukan hilal pada hari Rabu petang sewaktu matahari terbenam sudah mencapai 5°57'.51

 Umur bulan Qamariyah adalah 29 dan 30 hari secara bergantian, kecuali pada bulan Dzulhijjah yang bertepatan dengan tahun kabisat, umur bulan ditambah 1 hari menjadi 30 hari.52

 Jumlah hari dalam satu tahun ditetapkan antara 354 dan 355 hari. Tahun basithah berjumlah 354 hari sedang tahun

50

Muhammad Syakur Chudlori, Perbandingan Tarikh,(Bandung: Institut Agama Islam

Negeri Sunan Gunung Djati, 1990), h. 11. 51

Muhammad Wardan, Hisab 'Urfi dan Hakiki, (Yogyakarta: Siaran, 1957), h. 11.

Dalam buku Perbandingan Tarikh, Muhammad Syakur Chudlori mengutip pendapat Muhammad Ma’shum bin Ali dalam Durusul Falakiah III bahwa tanggal 1 Muharam 1 H menurut rukyat jatuh pada hari Jumat, 16 Juli 622 M.

52

kabisat berjumlah 355 hari. Kelebihan satu hari dalam tahun

kabisatdimasukkan dalam bulan Dzulhijjah.

 Tahun-tahun kabisat terjadi 11 kali dalam siklus 30 tahun yaitu jatuh pada tahun ke 2,5,7,10,13,16,18,21,24,26 dan 29. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa tahun ke 16 bukan tahun kabisat, melainkan tahun ke 15. Pendapat ini merujuk pada rumus yang dikemas dalam syair berikut:

ُﮫَﻧ ﺎَﯾِد ُﮫﱠﻔَﻛ ُﻞْﯿِﻠَﺨْﻟا ﱠﻒَﻛ

.

ُﮫَﻧ ﺎَﺼَﻓ ُﮫﱠﺒُﺣ ﱠﻞَﺧ ﱠﻞُﻛ ْﻦَﻋ

29 26 24 21 18 15 13 10 7 5 2

 Pada syair diatas tiap huruf hijaiyah yang bertitik menunjukan tahun kabisat dan huruf yang tidak bertitik menunjukan tahun basithah. Sebagai contoh tahun 1420 H mempunyai bilangan 10 (1420:30= 47 daur sisa 10 tahun), jadi tahun 1420 H adalah tahun kabisat.

 Masa daur (satu siklus) pada tahun Hijriyah terdiri dari 30 tahun yang terdiri dari 11 tahun kabisat (tahun panjang), dan 19 tahun basithah (tahun pendek).53

b) Hisab Islam ala Jawa54

Hisab ini awalnya hitungan Hindu Jawa atau Saka. yang berdasarkan pada peredaran matahari.55 Kemudian

53

Muhammad Syakur Chudlori, Perbandingan Tarikh, h. 12. 54

Irfan Anshory, “Mengenal Kalender Hijriyah”, artikel diakses pada 15 Desember 2010 dari http:www.formasibumi.com/2010/05/ mengenal- kalender- hijriyah.html.

55

dikenal bernama kalender Saka. Kalender ini dipakai nenek moyang kita sewaktu masih memeluk agama Hindu. Kalender Saka dimulai tahun 78 Masehi, ketika kota Ujiayini (Malwa di India sekarang) direbut kaum Saka (Seythia) dibawah pimpinan Raja Kaniska dari tangan kaum Salavahan.

Tahun baru terjadi pada saat Minasamkranti (matahari pada rasi Pisces) awal musim semi. Nama-nama bulan adalah (Caitra, Waisaka, Jyestha, Asadha, Srawana, Bhadrawada, Aswina (Asuji), Kartika, Margasira, Posya, Magha, Palguna).

Agar kembali sesuai dengan matahari bulan Asadha dan

Srawanadiulang secara bergilir setiap tiga tahun dengan nama

Dwitiya Asadhadan Dwitiya Srawana. Satu bulan dibagi dua bagian: suklapaksa (paro terang, dari konjungsi sampai purnama) dan kresnapaksa (paro gelap, dari selepas purnama sampai menjelang konjungsi), masing-masing bagian 15 atau 14 hari (tithi). Jadi, kalender Saka tidak memiliki tanggal 16. Misalnya, tithi pancami sulakpaksa adalah tanggal lima, sedangkan tithi pancami kresnapaksa adalah tanggal dua puluh. Kalender Saka dipakai di Jawa sampai awal abad ke-17.56

Kesultanan Demak, Banten, dan Mataram menggunakan kalender Saka dan kalender Hijriah secara

56

bersama-sama. Pada tahun 1633 Masehi (1555 Saka atau 1043 Hijriah), Sultan Agung Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Molana Matarami (1613-1645) dari Mataram menghapuskan kalender lunisolar Saka dari Pulau Jawa, lalu menciptakan kalender Jawa yang mengikuti kalender lunar Hijriah. Namun, bilangan tahun 1555 tetap dilanjutkan. Jadi, 1 Muharram 1043 Hijriah adalah 1 Muharam 1555 Jawa, yang jatuh pada hari Jum’at Legi tanggal 8 Juli 1633 Masehi. Angka tahun Jawa selalu berselisih 512 dari angka tahun Hijriah. Keputusan Sultan Agung ini disetujui dan diikuti oleh Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651) dari Banten. Dengan demikian kalender Saka tamat riwayatnya di seluruh Jawa, dan digantikan oleh kalender Jawa yang bercorak Islam.57

Nama-nama bulan disesuaikan dengan lidah Jawa: Muharam, Sapar, Rabingulawal, Rabingulakir, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Saban, Ramadlan, Sawal, Dulkangidah, Dulkijah. Muharam juga disebut bulan Sura maksudnya adalah Hari Asyura 10 Muharram. Rabi’ul-Awwal dijuluki bulan Mulud, yaitu bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

57

Akhir adalah Bakdamulud atau Silihmulud, artinya “sesudah Mulud”.58

Sya’ban merupakan bulan Ruwah, waktunya mendoakan arwah keluarga yang telah wafat. dalam rangka menyambut bulan Pasa (puasa Ramadhan). Dzul-Qa'dah disebut Hapit atau Sela sebab terletak di antara dua hari raya. Dzul-Hijjah merupakan bulan Haji atau Besar (Rayagung), saat berlangsungnya ibadah haji dan Iedul Adha.59

Nama-nama hari dalam bahasa Sansekerta (Raditya, Soma, Anggara, Budha, Brehaspati, Sukra, Samaiscara) yang berbau Jahiliyah (penyembahan benda-benda langit) juga dihapuskan oleh Sultan Agung, lalu diganti dengan nama-nama hari dalam bahasa Arab yang disesuaikan dcngan lidah Jawa: Ahad, Senen, Seloso, Rebo, Kemis, Jumuwah, Saptu.60

Tetapi hari-hari pancawara (Pahing, Pon, Wage, Kaliwuan, Umanis atau Legi) tetap dilestarikan, sebab hal ini merupakan konsep asli masyarakat Jawa, bukan diambil dari kalender Saka atau budaya India.

Dalam setiap siklus satu windu (delapan tahun). Tanggal 1 Muharam (Sura) berturut-turut jatuh pada hari ke-1, ke-5, ke-3, ke-7, ke-4, ke-2, ke-6 dan ke-3. Itulah sebabnya tahun-tahun Jawa dalam satu windu dinamai berdasarkan

58

Muhammad Wardan, Hisab 'Urfi dan Hakiki, (Yogyakarta: Siaran, 1957), h. 14.

59

Muhammad Wardan, Hisab 'Urfi dan Hakiki, h. 15. 60

numerologi huruf Arab: Alif (1), Ha (5), Jim Awwal (3), Zai (7), Dal (4), Ba (2), Waw (6) dan Jim Akhir (3). Sudah tentu pengucapannya menurut lidah Jawa: Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Tahun-tahun Ehe, Dal, dan Jimakir ditetapkan sebagai kabisat. Jumlah hari dalam satu windu adalah [354 x 8] + 3 = 2835 hari. Itulah sebabnya tanggal 1 Muharam tahun Alip dalam setiap 8 tahun selalu jatuh pada hari dan pasaran yang sama.61

Oleh karena kabisat Jawa tiga dari delapan tahun (3/8=45/l20), sedangkan kabisat Hijriah 11 dari 30 tahun (11/30=44/120), maka dalam setiap 15 windu (120 tahun), yang disebut satu kurup, kalender Jawa harus maju satu hari maupun pasarannya (pancawara), agar kembali sesuai dengan kalender Hijriah.62

Awalnya penggabungan hisab Hindu Jawa atau Soko dengan Hisab Hijriah yaitu pada tahun 1633 M atau tahun 1043 H dan tahun Jawa 1555. Pada waktu itu tanggal 1 Suro tahun Alip jatuh pada hari Jumat Legi (8 Juli) dan selanjutnya sejak waktu itu sampai permulaan tahun 1627 atau tahun 1115 H (17 Mei tahun 1703 M) kurup Jamngiah, artinya selama itu tanggal 1 Suro tahun Alip jatuh pada hari Jumat legi (Awahgi= Alip mulai Jumuwah Legi), Kemudian sesudah itu diadakan

61

Muhammad Wardan, Hisab 'Urfi dan Hakiki, h. 16. 62

pergantian kurup menjadi Kamsiah artinya tanggal 1 Suro tahun Alip selama 120 tahun lagi jatuh pada hari Kamis Kliwon (Amiswon= Alip-Kemis Kliwon), berarti pengunduran satu hari beserta pancawaranya. Kemudian setelah Kamsiah berjalan 120 tahun, diadakan pergantian kurup lagi, yaitu diganti menjadi kurup Arbangiah, artinya tanggal 1 Suro tahun Alip selama 120 tahun jatuh pada hari Rabu Wage, (Aboge= Alip-Rebo-Wage). Adapun sekarang ini kurupnya sudah berganti menjadi kurup Tsalasiah artinya tanggal 1 Suro tahun Alip jatuh pada hari Selasa Pon (Asopon= Alip-Seloso-Pon).63

Pergantian kurup yang terjadi pada Hisab ini adalah sebagai berikut:

 Mulai 1 Suro Alip tahun 1555 atau tahun 1043 H (8 Juli 1633) sampai permulaan tahun 1627 atau 1115 H (17 Mei 1703 M) kurupnya jamngiah legi (Angahgi).

 Mulai permulaan tahun 1627 atau 1115 H (17 Mei 1703 M) sampai permulaan tahun 1747 atau 1235 (20 Oktober 1819 M) kurupnya kamsiah kliwon (Amiswon).

 Mulai permulaan tahun 1747 atau 1235 H (20 Oktober 1819 M) sampai permulaan tahun 1867 atau tahun 1355 H (24 Maret 1936 M) kurupnya arbangiah wage (Aboge).

63

 Mulai permulaan tahun 1867 atau 1355 H (24 Maret 1936 M) kurupnya tsalasiah pon (Asapon).64

Dan pergantian kurup diatas terlihat bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagaimana berikut:

 Pergantian dari kurup jamngiah ke kurup kamsiah baru diumumkan pada hari Kamis Kliwon tanggal 11 Desember 1749 M berarti sudah terlambat 46,5 tahun.65

 Pergantian dari kurup kamsiah ke kurup arba'iah baru diumumkan pada hari Jumat Pon tanggal 28 September tahun 1821 M, oleh Keraton Surakarta, berarti sudah terlambat 2 tahun, oleh Keraton Ngajogyakarto baru pada hari Senen Kliwon tanggal 1 Suro tahun 1793 atau 1281 H (6 Juni 1864).

 Pergantian dari kurup arba’iah ke kurup tsalasiah sudah diumumkan pada tanggal 1 Dulkangidah tahun Wawu 1865 atau 1353 H (5 Februari1933 M).66

Untuk itu hisab urfi digunakan sebatas membuat kalender yang bersifat jangka panjang. Kalender yang menentukan awal bulan secara taksiran agar mempermudah pencarian data dan kepentingan kehidupan pada masa

64

Muhammad Wardan, Hisab 'urfi dan Hakiki, h. 17. 65

Muhammad Wardan, Hisab 'urfi dan Hakiki, h. 17. 66

sekarang. Bukan kalender untuk menentukan waktu yang berkaitan dengan ibadah.

2) Hisab Hakiki

Hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan kepada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur tiap bulan tidaklah tetap dan juga tidak beraturan, melainkan kadang-kadang 2 bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari, atau kadang-kadang pula bergantian seperti menurut perhitungan

hisab urfi.67

Nurhayati Zen mengutip pemikiran Ahmad Dahlan bahwa hari raya akan jatuh pada tanggal 1 Syawal karena munculnya bulan di arah barat yang berdasarkan hisab. Dengan tanpa harus memandang hari ataupun dasar penghitungan lain, jika hari itu menurut perhitungan pada bulan telah tiba pada tanggal 1 Syawal maka hari raya Iedul fitri harus dirayakan.68

Dalam praktek perhitungannya, sistem ini mempergunakan data sebenarnya dari gerakan bulan dan bumi serta mempergunakan kaidah-kaidah ilmu ukur segitiga bola.

Terdapat beberapa aliran dalam menentukan masuknya bulan baru dengan mempergunakan sistem hisab hakiki ini. Pada garis besarnya ada dua golongan yaitu yang berpedoman kepada

67

Departemen Agama, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, h. 8-13. 68

Nurhayati Zen, “Komparasi Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari artikel diakses pada 23 Desember 2010 dari http//ppbi.fiba.blogspot.com/2010/03 /html.

ijtimak semata dan yang berpedoman kepada posisi bulan diatas ufuk pada saat matahari terbenam.

Jika diuraikan lagi, maka akan terdapat 6 golongan, yaitu:69 a) Golongan yang berpedoman kepada ijtimak qablal ghurub

Golongan ini menetapkan, bahwa jika ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, maka malam dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan yang baru.

Sistem ini sama sekali tidak mempersoalkan rukyat dan tidak memperhitungkan posisi hilal dan ufuk. Asal sebelum matahari terbenam sudah terjadi ijtimak. Meskipun hilal masih dibawah ufuk, maka malam hari itu berarti sudah termasuk bulan baru.

b) Golongan yang berpedoman kepada ijtimak qablal fajri

Beberapa ahli mensinyalir bahwa timbul suatu pendapat baru yang menghendaki permulaan bulan Qamariyah ditentukan oleh kejadian ijtimak sebelum terbit fajar. Maka malam itu sudah masuk awal bulan baru, walaupun pada saat matahari terbenam pada malam itu belum terjadi ijtimak.

Nampaknya sampai saat ini di Indonesia belum ada para ahli yang berpegang kepada ijtimak qablal fajri ini. Mereka baru mensinyalir adanya pendapat ini yang didasarkan

69

atas peristiwa-peristiwa yang sering terjadi akibat penentuan hari raya haji yang dilakukan oleh Pemerintah Saudi Arabia. c) Golongan yang berpedoman kepada posisi bulan diatas ufuk

hakiki

Menurut golongan ini untuk masuknya tanggal satu bulan Qamariyah, posisi hilal harus sudah berada diatas ufuk hakiki. Dimaksud dengan ufuk hakiki adalah bidang datar yang melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis vertikal dari si peninjau.

Sistem ini tidak memperhitungkan pengaruh tinggi tempat si peninjau. Dapat disimpulkan sistem ini berpendapat bahwa jika setelah terjadi ijtihad, maka hilal sudah wujud diatas ufuk hakiki pada saat terbenam matahari, maka malamnya sudah dianggap bulan baru, sebaliknya jika pada saat terbenam matahari hilal masih berada dibawah ufuk hakiki maka malam itu belum dianggap sebagai bulan baru. d) Golongan yang berpedoman kepada posisi diatas ufukhissi

Golongan ini berpendapat, jika pada pada saat matahari terbenam setelah terjadi ijtimak, hilal sudah wujud diatas ufuk hissi, maka malam itu sudah termasuk tanggal satu bulan baru. Dimaksud dengan ufuk hissi adalah bidang datar yang melalui mata si peninjau dan sejajar dengan ufuk hakiki.

Golongan yang berpegang pada ufuk hissi menentukan ketinggian hilal diukur dari atas permukaan bumi, sedangkan yang berpegang kepada ufuk hakiki mengukur ketinggian itu dari titik pusat bumi. Dan nampaknya sistem ini kurang populer, sehingga banyak para ahli yang mengabaikan eksistensi sistem ini.

e) Golongan yang berpedoman kepada posisi hilal diatas ufuk

mar’i

Sistem ini pada dasarnya sama seperti sistem hisab yang berpedoman kepada ufuk hakiki dan hissi, yaitu memperhitungkan posisi hilal pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimak. Hanya saja sistem ini tidak cukup sampai di sana. Setelah diperoleh nilai ketinggian hilal dari ufuk hakiki kemudian ditambahkan koreksi-koreksi terhadap nilai ketinggian itu.

Koreksi-koreksi tersebut adalah:

 Kerendahan ufuk

Pengaruh ketinggian tempat si peninjau. Semakin tinggi kedudukan si peninjau semakin besar nilai kerendahan ufuk ini, akibatnya semakin rendahlah ufuk mar’i tersebut.

Refraksi adalah perbedaan antara tinggi benda langit menurut penglihatan dengan tinggi benda langit menurut penglihatan dengan tinggi yang sebenarnya. Contohnya: bila sinar cahaya secara miring menembus lapisan udara yang mengelilingi bumi, cahaya itu membelok ke bawah. Akibatnya semua benda langit yang kita awasi terlihat seakan-akan berkedudukan di langit pada tempat yang lebih tinggi dari yang sebenarnya.70

 Semidiameter (jari-jari)

Yang diperhitungkan oleh sistem ini bukanlah titik pusat hilal, melainkan piringan atasnya. Oleh karena itu harus diadakan penambahan senilai semidiameter terhadap posisi titik pusat hilal.

 Parallaks (beda lihat)

Yang diperhitungkan dalam sistem ini adalah tinggi hilal dari mata si peninjau. Sedang menurut astronomi dari titik pusat bumi, maka ada perbedaan tinggi hilal jika dilihat dari mata si peninjau dan dari titik pusat bumi. Perbedaan ini dikenal dengan istilah “parallaks” (beda lihat).

70

f) Golongan yang berpedoman kepada posisi hilal yang mungkin dapat dirukyat (imkamur rukyat).

Golongan ini mengemukakan bahwa pada saat matahari terbenam setelah terjadi ijtimak hilal harus mempunyai posisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk dapat dilihat. Para ahli yang termasuk golongan ini tidak sependapat tentang berapa ukuran ketinggian hilal yang mungkin dapat dilakukan rukyat bilfi’li. Ada yang mengatakan 8°, 7°, 6°, 5°, dan lain sebagainya.

Dari kedua macam sistem hisab diatas, hisab hakiki dianggap lebih sesuai dengan syara’. Karena dalam prakteknya, hisab hakiki memperhitungkan kapan hilal akan muncul atau wujud. Hal itu sesuai dengan hilal sebagai dasar pergantian bulan. Dengan demikian sistem hisab hakiki adalah sistem yang dipergunakan oleh umat Islam untuk menentukan awal bulan yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah. Pada perkembangannya yang terakhir di Indonesia, aliran-aliran hisab rukyat terbagi menjadi empat aliran yaitu:

1) Rukyatul Hilal

Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal

(bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.71

2) Hisab Hakiki Wujudul Hilal