• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. METODE PENELITIAN

5.1. Perkembangan Kondisi Pergulaan Nasional

Produksi gula nasional pada tahun 2000 sebesar 1 690 004 ton gula hablur dan menjadi 2 517 374 ton pada tahun 2009 atau dengan laju peningkatan rata-rata 4.94 persen pertahun. Peningkatan produksi gula terbesar terjadi pada tahun 2004 dimana produksi gula nasional meningkat 419 726 ton dibandingkan dengan dengan tahun sebelumnya. Pulau Jawa masih merupakan daerah penghasil gula terbesar dengan rata-rata produksi pertahun mencapai 1 249 237 ton pertahun (2000-2009). Sedangkan Luar Jawa pada kurun waktu yang sama sebesar 872 038 ton pertahun. Informasi selengkapnya berkaitan dengan produksi gula di Jawa, Luar Jawa dan Nasional dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Produksi Gula di Jawa, Luar Jawa dan Nasional Periode 2000-2009

Tahun Jawa (Ton) Luar Jawa (Ton) Total (Ton)

2000 946 000 744 004 1 690 004 2001 955 467 770 000 1 725 467 2002 941 354 814 000 1 755 354 2003 1 024 918 607 000 1 631 918 2004 1 206 644 845 000 2 051 644 2005 1 386 742 855 000 2 241 742 2006 1 431 027 876 000 2 307 027 2007 1 586 786 1 037 000 2 623 786 2008 1 584 428 1 084 000 2 668 428 2009 1 429 000 1 088 374 2 517 374

Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010 (data diolah)

Perkembangan produksi gula nasional tidak bisa lepas dari perkembangan produksi tebu karena tebu merupakan bahan baku utama gula di Indonesia. Dalam kurun waktu 2000-2009, produksi tebu nasional cenderung mengalami peningkatan dengan laju peningkatan rata-rata yaitu 4.23 persen pertahun. Pada tahun 2009, produksi tebu mencapai 32 398 636 ton.

Tabel 15. Perkembangan Produksi Tebu di Jawa, Luar Jawa dan Nasional Periode 2000-2009

Tahun Jawa (Ton) Luar Jawa (Ton) Nasional (Ton)

2000 14 221 524 9 448 000 23 669 524 2001 16 216 872 9 730 000 25 946 872 2002 15 030 117 9 486 000 24 516 117 2003 17 418 889 7 843 000 25 261 889 2004 19 587 130 9 764 000 29 351 130 2005 26 316 916 10 075 000 36 391 916 2006 19 023 360 11 737 000 30 760 360 2007 21 337 000 13 646 813 34 983 813 2008 22 488 000 11 854 703 34 342 703 2009 20 038 636 12 360 000 32 398 636

Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010; Metadata, 2009 (data diolah)

Perkebunan tebu di Pulau Jawa masih memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan perkebunan tebu di Luar Pulau Jawa dengan laju peningkatan rata-rata 5 persen pertahun.

Produksi tebu yang lebih besar di Pulau Jawa ini salah satunya akibat lebih luasnya lahan pengusahaan tebu di Jawa dibandingkan dengan di luar Pulau Jawa. Tabel 16. Perkembangan Luas Lahan Tebu di Jawa, Luar Jawa dan Nasional

Periode 2000-2009

Tahun Jawa Luar Jawa Nasional

2000 209 450 131 210 340 660 2001 212 750 131 691 344 441 2002 227 402 123 320 350 722 2003 208 566 127 159 335 725 2004 212 160 132 633 344 793 2005 239 313 142 473 381 786 2006 247 592 148 849 396 441 2007 275 976 151 823 427 799 2008 279 328 157 177 436 505 2009 269 706 153 247 422 953

Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010; Metadata, 2009 (data diolah)

Berdasarkan Tabel 16 diatas diketahui luas areal tebu di Jawa pada tahun 2000 adalah 209 450 ha dan menjadi 269 706 pada tahun 2009 atau dengan laju peningkatan rata-rata 3.04 persen pertahun. Sedangkan luas lahan pengusahaan tebu di Luar Jawa pada tahun 2000 sebesar 131 210 ha dan berkembang menjadi 153 247 ha pada tahun 2009 atau dengan laju peningkatan rata-rata 1.82 persen

pertahun. Faktor lain yang membuat produksi gula di Jawa lebih besar dibandingkan dengan di Luar Jawa adalah jumlah pabrik gula. Informasi berkaitan dengan jumlah pabrik gula dan kapasitas gilingnya dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Jumlah Pabrik Gula dan Kapasitas Gilingnya

Pemilik PG Jumlah Pabrik Kapasitas/

Ton Cane Day (TCD)

Jawa PTPN IX 8 19 970 PTPN X 11 34 550 PTPN XI 16 38 550 PT Kebonagung 2 5 800 PT PG Rajawali I 3 12 600 PT Madu Baru 1 3 200 PT Candi Baru 1 2 000 PT PG Rajawali II 5 11 502 Jumlah 47 128 172 Luar Jawa PTPN II 2 8 000 PTPN VII 2 10 500 PTPN XIV 3 8 000 PT PG Gorontalo 1 8 000

PT Gunung Madu Plantation 1 12 000

Sugar Group 3 31 300

Jumlah 12 77 800

Total Jawa dan Laur Jawa 59 205 972

Sumber: Metadata, 2009

Jumlah pabrik gula yang beroperasi di Jawa adalah 47 pabrik dengan kapasitas terpasangnya 128 172 TCD. Sedangkan di Luar Jawa, jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 59 pabrik dengan kapasitas terpasang sebesar 77 800 TCD. 5.1.2. Konsumsi Gula

Laju peningkatan konsumsi di Indonesia rata-rata pertahun untuk kurun 2000-2009 sebesar 4.84 persen. Peningkatan konsumsi yang signifikan terjadi pada konsumsi gula untuk industri dimana pada tahun 2000, kebutuhan gula industri sebesar 690 ribu ton menjadi 2.15 juta ton pada tahun 2009 atau dengan laju kenaikan sebesar 14.3 persen pertahun. Berdasarkan data Pusdatin Kementan (2010), industri minuman merupakan konsumen terbesar diantara industri pengguna gula yaitu sebesar 5 persen, diikuti oleh industri pengolah susu (4

persen), industri roti dan biskuit (2 persen), industri kembang gula (1 persen) dan terakhir adalah industri kecap dan sirup (1 persen).

Berbeda dengan peningkatan laju peningkatan konsumsi gula untuk industri, laju peningkatan gula untuk konsumsi rumah tangga relatif stabil yaitu 0.92 persen pertahun yaitu dari 2.5 juta ton pada tahun 2000 menjadi 2.7 ton pada tahun 2009. Meskipun begitu, rumah tangga masih merupakan konsumen gula terbesar yaitu sebesar 87 persen dari total konsumsi gula nasional (Pusdatin Kementan, 2010).

Konsumsi gula diperkirakan akan terus naik kedepannya sering dengan dan pendapatan serta pertumbuhan industri makanan dan minuman (Malian et al, 2006). Berdasarkan hasil peramalan terhadap produksi dan konsumsi gula nasional yang dilakukan oleh Hernanda (2011) diketahui bahwa jumlah konsumsi gula tahun 2014 mencapai 5 530 562 ton dengan rata-rata kenaikan konsumsi sekitar 7 persen pertahun. Sedangkan produksi gula nasional pada tahun 2014 diperkirakan hanya 2 458 594 ton. Secara implisit, hal ini menunjukkan bahwa swasembada gula nasional tahun 2014 tidak akan tercapai jika tidak ada loncatan dalam produksi gula dan kecenderungan untuk impor masih akan terus berlanjut. 5.1.3. Impor Gula

Ketidakseimbangan antara konsumi dan produksi gula (defisit) dipenuhi pemerintah dengan jalan melakukan impor. Gula diimpor ke Indonesia dalam tiga bentuk yaitu, raw sugar, gula kristal putih (GKP), dan gula kristal rafinasi (GKR). Payung hukum yang menaunginya adalah Peraturan Menteri Perdagangan No. 19/M-DAG/PER/4/2006 tentang Ketentuan Impor Gula, Peraturan Menteri Perdagangan No. 256/M-DAG/3/2008 tentang Impor GKP, dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 19/M-DAG/PER/5/2008 tentang Impor Gula. Impor GKP hanya dapat dilakukan oleh Importir Terdaftar (IT) yang telah ditunjuk pemerintah. Importir-importir ini adalah PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, dan PT RNI. Sedangkan GKR boleh diimpor oleh industri pengguna gula berdasarkan ijin pemerintah untuk bahan baku. Volume impor gula Indonesia selalu berfluktuasi dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan fluktuasi permintaan pasar dan juga fluktuasi produksi gula yang dihasilkan pabrik-pabrik gula. Dalam rentang 2001 – 2009, impor gula tertinggi terjadi pada tahun 2007 dengan total jumlah impor 2

972 788 ton dengan proporsi impor terbesar adalah raw sugar yaitu sebesar 1.89 juta ton. Perkembangan impor berbagai jenis gula tahun 2001 – 2009 dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Perkembangan Impor Berbagai Jenis Gula di Indonesia Tahun 2001-2009

Tahun Jenis Gula

GKP (Ton) GKR (Ton) Raw Sugar (Ton) Total (Ton)

2001 18 688 239 801 1 026 301 1 284 790 2002 47 408 304 560 619 010 970 978 2003 125 882 466 914 896 829 1 489 625 2004 87 291 576 484 466 516 1 130 291 2005 402 648 702 412 893 307 1 998 367 2006 129 278 565 377 811 347 1 506 002 2007 375 603 710 025 1 887 160 2 972 788 2008 44 659 593 710 380 225 1 018 594 2009 13 000 149 838 1 210 708 1 373 546

Sumber: BPS, 2010 (data diolah)

5.1.4. Kebijakan Terkait Dengan Gula

Berbagai kebijakan yang pernah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan gula, baik dalam bidang budidaya tebu (sebagai bahan baku utama gula), tatanaiga gula maupun dalam industri gula adalah sebagai berikut:

a. Kebijakan yang terkait dengan on farm meliputi: bongkar ratoon, yaitu pergantian tanaman keprasan dengan tanaman baru (plant cane) yang ditargetkan 70 ribu hektar setiap tahun, sedangkan untuk tanaman keprasan maksimal tiga kali kepras; (b) penyediaan bibit, dilakukan dengan membangun kebun bibit dasar (KBD) seluas 9.000 ha, kebun bibit induk (KBI) seluas 1 100 ha, kebun bibit nenek (KBN) seluas 200 ha dan kebun bibit pokok (KBP) seluas 35 ha setiap tahun; (c) penyediaan pengairan, khusus untuk lahan kering (seluas 250 ribu ha) dilakukan dengan pembangunan sumur bor, embung dan pompanisasi. Sedangkan untuk lahan irigasi (seluas 100 ribu ha) dilakukan pengaturan yang seimbang dengan tanaman lainnya, khususnya padi; (d) penyediaan pendanaan, untuk tanaman tebu secara efisien, tepat waktu dan tepat jumlah, baik dari sumber APBN, APBD dan lembaga perbankan. Dana tersebut dimanfaatkan untuk bongkar

ratoon dan pemeliharaan tanaman serta pengadaan alat pengolahan tanah (Metadata, 2009).

b. Keppres No. 19/1/1998 yang menghapus peran BULOG dalam tataniaga gula. Keppres tersebut ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 25/1/1998 dan No. 505/10/1998 yang mengatur tataniaga gula impor menurut mekanisme pasar oleh importer umum. Pemerintah juga mengeluarkan Inpres No. 5/1/1998 yang menghentikan progam pengembangan tebu rakyat dengan alasan untuk membebaskan petani dalam memilih komoditi usaha. Pada saat itu, tarif impor gula ditetapkan sebesar 0 persen. Penetapan tarif impor nol persen tersebut merupakan salah satu persyaratan dalam Letter of Intent (LoI) dengan IMF yaitu membebaskan perdagangan pangan yang selama ini dipegang oleh BULOG.

c. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 643/MPP/Kep/9/9/2002 membatasi pelaku importir hanya importir produsen (IP) dan importer terdaftar (IT). IP melakukan impor hanya untuk memenuhi kebutuhan industry dari IP tersebut. Sementara untuk IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75 persen berasal dari petani. Persyaratan lainnya impor gula dapat diijinkan jika harga ditingkat petani minimal Rp. 3 100/Kg.

d. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 57 Tahun 2004 tentang Penetapan Gula Sebagai Barang Dalam Pengawasan, tanggal 26 Juli 2004 (Keppres No. 57/2004). Tujuan pengaturan penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Salah satunya dengan cara memberikan pengawasan terhadap perdagangan gula di dalam negeri, karena perdagangan gula merupakan salah satu kegiatan penting dan gula merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis bagi ketahanan pangan. Pengaturan tersebut mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-barang dalam Pengawasan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2004, yang menetapkan beberapa hal, yaitu: (1) Gula ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Prp Tahun 1962 tentang Pengawasan Barang-barang Dalam

Pengawasan. (2) Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan pengawasan tersebut diatur oleh Menteri Perinustrian dan Perdagangan.

d. Keputusan Presiden No. 58 Tahun 2004 tentang Penanganan Gula yang Diimpor Secara Tidak Sah tanggal 26 Juli 2004 (Keppres No. 58/2004) Keputusan Presiden yang dikeluarkan pada 26 Juli 2004 ini bertujuan memberikan pengaturan terhadap gula ilegal yang sangat marak waktu itu. Diharapkan melalui pengaturan ini tidak ada lagi kontroversi soal penanganan gula ilegal.

e. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/2004 jo Kep Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 08/M-DAG/Per/4/2005 mengatur impor gula berdasarkan kuota pemerintah setelah melihat kondisi produksi dan persediaan dalam negeri. Kebijakan ini merupakan ketentuan International Commision for Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) yang membedakan gula kristal putih, gula rafinasi dan raw sugar; kejelasan waktu dan pelabuhan impor, serta kenaikan harga referensi ditingkat petani menjadi Rp3 800/kg.

f. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 594/MPP/Kep/9/ 2004 tanggal 23 September 2004 tentang Penunjukan Surveyor Sebagai Pelaksana Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor Gula. Menindaklanjuti Kepmenperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 yang antara lain menetapkan Surveyor sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis impor gula, maka dikeluarkan Kepmenperindag No. 594/MPP/Kep/9/ 2004.

g. Peraturan Menteri Perdagangan No. 256/M-DAG/3/2008 tentang Impor GKP, dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 19/M-DAG/PER/5/2008 tentang Impor Gula.