• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.2. Perumusan Masalah

Lampung merupakan salah satu propinsi yang menjadi sentra produksi tebu nasional.

Tabel 6. Perkembangan Produksi Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009

Propinsi Produksi (Juta Ton)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Timur 10.93 11.67 11.93 12.89 17.02 14.23 17.88 16.77 14.18 Lampung 9.53 7.34 7.33 10.16 11.27 9.25 9.53 10.43 11.63 Jawa Tengah 1.89 2.38 2.18 2.51 2.78 3.92 3.75 4.01 3.34 Jawa Barat 1.26 1.13 1.28 1.72 1.85 1.71 1.91 1.68 1.33 Sumatera Selatan 0.53 0.60 0.65 0.84 0.84 0.89 0.85 0.89 1.33 Sumatera Utara 0.69 0.45 0.40 0.20 0.61 0.76 0.73 0.61 0.57 Gorontalo 0.36 0.41 0.53 0.57 0.58 0.46 0.77 0.39 0.53 Sulawesi Selatan 0.32 0.51 0.44 0.42 0.39 0.27 0.29 0.53 0.34 Yogyakarta 0.30 0.36 0.37 0.36 0.46 0.20 0.24 0.24 0.26

¥ : Data produksi tebu merupakan hasil konversi dari data produksi gula Ditjenbun Kementan 2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010

Tabel 6 menunjukkan produksi tebu di Lampung pada tahun 2001 sebesar 9 528 285 ton menjadi 11 625 740 ton pada tahun 2009 dengan jumlah gula yang dihasilkan mencapai 903 320 ton. Angka ini menjadikan Lampung sebagai penghasil tebu terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur dengan proporsi sebesar 36 persen dari total produksi tebu nasional. Jawa Timur menjadi propinsi penghasil tebu terbesar pada tahun 2009 dengan produksi mencapai 1 101 538 ton atau 44 persen dari total produksi tebu nasional. Besarnya produksi tebu di Jawa Timur dibandingkan dengan Lampung karena Jawa Timur memiliki luas lahan lebih besar dibandingkan dengan Lampung. Luas lahan tebu di Jawa Timur pada tahun 2009 mencapai 198 944 hektar sedangkan luas lahan di Lampung mencapai 114 255 hektar pada tahun yang sama sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Perkembangan Luas Lahan Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu

Nasional Tahun 2001-2009

Propinsi Luas Lahan (Ribu Hektar)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Timur 150.00 159.44 148.92 150.11 169.34 171.40 204.13 198.60 198.94 Lampung 86.92 80.73 88.47 96.26 102.85 105.92 103.06 116.36 114.26 Jawa Tengah 34.16 40.60 34.65 37.11 41.78 50.96 46.49 52.06 55.89 Jawa Barat 22.23 21.50 20.20 21.14 22.73 21.96 23.60 23.26 23.09 Sumatera Selatan 12.32 12.09 12.28 11.66 12.30 12.48 12.41 12.50 18.14 Sumatera Utara 9.97 10.24 10.45 10.07 10.19 9.40 10.89 12.76 11.12 Gorontalo 13.88 13.08 9.38 5.99 9.36 12.84 13.38 12.37 9.67 Sulawesi Selatan 6.85 6.26 6.58 8.16 7.78 8.22 10.02 5.08 6.56 Yogyakarta 4.61 4.87 4.80 4.30 5.47 3.28 3.82 3.53 3.78

Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010

Luas lahan di Jawa Timur lebih tinggi jika dibandingkan dengan Lampung, tetapi lebih rendah dalam produktivitasnya yaitu berturut-turut 82.09 dan 97.72 ton per hektar. Informasi selengkapnya berkaitan dengan tingkat produktivitas tebu di sentra produksi tebu nasional dapat dilihat pada Tabel 8. Akan tetapi jika dilihat dari produktivitas berdasarkan pengusahaan, maka besarnya produktivitas tebu di Lampung lebih dikarenakan produktivitas tebu yang dihasilkan oleh perkebunan swasta dibandingkan dengan perkebunan rakyat. Bahkan produktivitas tebu rakyat paling rendah dibandingakan dengan yang lain.

Tabel 8. Produktivitas Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009

Propinsi Produktivitas (Ton/Ha)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Timur 72.85 73.20 80.08 85.89 100.54 83.03 87.58 84.42 71.26 Lampung 109.62 90.90 82.80 105.56 109.58 87.31 92.46 89.67 101.75 Jawa Tengah 55.35 58.66 62.86 67.70 66.51 76.96 80.72 77.09 59.71 Jawa Barat 56.54 52.45 63.17 81.25 81.46 77.66 81.13 72.28 57.68 Sumatera Selatan 43.35 49.86 52.73 72.46 68.04 71.07 68.27 70.80 59.43 Sulawesi Selatan 32.10 49.46 41.98 41.24 37.87 29.19 26.43 41.86 30.92 Sumatera Utara 49.39 34.45 42.95 33.80 65.61 59.28 54.72 49.35 58.92 Gorontalo 52.64 65.53 79.84 69.96 74.23 56.24 77.22 76.26 81.05 Yogyakarta 64.27 73.95 77.32 82.94 83.61 61.50 62.11 66.70 69.73 Sumber: Ditjenbun Kementan, 2010

Pada kurun waktu 2004-2009, rata-rata produktivitas tebu rakyat hanya 67.81 ton perhektar, lebih kecil dibandingkan dengan produktivitas tebu perkebunan negara yang mencapai 78.75 ton perhektar, dan tebu perkebunan swasta yang mencapai 102.91 ton perhektar. Informasi selengkapnya berkaitan dengan produktivitas tebu di Lampung berdasarkan pengusahaannya disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Produktivitas Tebu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Negara 2004-2009 di Propinsi Lampung

Jenis Pengusahaan Produktivitas (Ton/Ha)

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Perkebunan Rakyat 68.55 72.96 69.42 60.19 70.23 65.52

Perkebunan Negara 73.66 88.17 81.13 68.40 79.15 81.97

Perkebunan Swasta 111.20 115.28 89.33 97.41 92.84 111.40

¥ : Data produksi gula dan luas lahan bersumber dari BPS Propinsi Lampung 2005-2010 dengan penyesuaian menurut data produksi nasional Ditjenbun Kementan 2010. Data produksi tebu merupakan konversi dengan menggunakan nilai rendemen FAO 2010.

Sumber: Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2010

Produktivitas tebu perkebunan rakyat yang sebagian besar masih rendah berkaitan dengan berbagai faktor antara lain: (1) sebagian besar lahan tebu adalah lahan tegalan atau lahan kering karena konversi lahan tebu untuk industri atau perumahan, (2) sekitar 60 – 70 persen merupakan tanaman keprasan, (3) varietas yang digunakan merupakan varietas lama, (4) teknik budidaya yang belum optimal, (5) keterbatasan modal, dan 6) sistem bagi hasil yang kurang memotivasi

petani.1 Produktivitas yang rendah juga mencerminkan tingkat efisiensi yang rendah. Hal ini berpangkal pada budidaya yang tidak optimal akibat dari: (1) kualitas bahan tanaman yang kurang baik, (2) harga gula yang rendah, dan (3) kebijakan pemerintah yang kurang mendukung (Susila dan Sinaga, 2005b).

Rendahnya produksi dan produktivitas tebu rakyat membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meningkatkankannya. Salah satu program yang dikeluarkan pemerintah adalah Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula (APPG). Program ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas gula nasional demi tercapainya swasembada gula tahun 2014. Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang menjadi sasaran dari program tersebut karena Lampung termasuk sentra produksi tebu nasional dengan Kabupaten Lampung Utara sebagai daerah pelaksanaan program tersebut. Pemilihan perkebunan rakyat karena tebu rakyat sering menghadapi masalah, yaitu: (1) lemahnya modal usahatani, (2) lemahnya penguasaan teknologi, (3) lemahnya lembaga penyedia sarana produksi, dan (4) teknologi pascapanen (Sriati et al, 2008). Berbagai kelemahan tersebut dinilai menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas tebu rakyat. Akan tetapi kebijakan tersebut gagal karena tidak mencapi target yang ditetapkan2.

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mencapai swasembada gula melalui peningkatan produksi gula nasional sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, ternyata masih menghadapi berbagai kendala. Kondisi ini juga terlihat pada usahatani tebu rakyat di Lampung. Rata-rata tingkat produktivitas tebu rakyat kurun waktu 2004-2009 masih sangat rendah yaitu sebesar 67.51 ton perhektar. Kondisi ini masih jauh jika dibandingkan dengan produktivitas di Brazil dan Australia dengan nilai rata-rata 75.12 ton perhektar dan 83.27 ton perhektar pada kurun waktu yang sama sebagaimana ditunjukkan Tabel 10.

1

Wayan R. Susila. 2005. Peningkatan Efisiensi Industri Gula Nasional melalui Perbaikan Sistem Bagi Hasil antara Petani dan PG.http://www.ipard.com[Diakses tanggal 14 Oktober 2014]

2

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Produksi Dinas Perkebunan Propinsi Lampung 13 Juni 2011.

Tabel 10. Produktivitas Tebu Rakyat Lampung, Tebu Nasional, Jawa Timur, Brazil dan Australia Periode 2004-2009

Propinsi/Negara Produktivitas (Ton/Ha)

2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-Rata Lampung (a) 64.92 66.95 67.02 67.85 70.81 67.47 67.51 Jawa Timur (b) 85.89 100.54 83.03 87.58 84.42 71.26 85.45 Nasional (b) 66.95 76.68 73.65 62.52 62.56 63.09 67.58 Brazil (c) 67.02 72.85 75.11 77.63 79.27 78.85 75.12 Australia(c) 67.85 87.15 89.46 89.07 85.72 80.39 83.27

Sumber: (a) PTPN VII, 2011; (b) Ditjenbun Kementan, 2010; (c) FAO, 2010

Produktivitas rendah ini juga diakibatkan adanya sistem bagi hasil antara petani dengan pabrik gula yang kurang memotivasi petani untuk meningkatkan produksinya. Sistem bagi hasil yang berlaku saat ini adalah 66 persen dari total produksi gula untuk petani dan 34 persen untuk pabrik gula sebagai upah pengolahan. Sistem ini masih sering menimbulkan perdebatan. Bagi petani, bagian mereka seharusnya bisa lebih tinggi bila pengolahan di pabrik gula berjalan efisien dan kapasitas giling cukup memadai (Susila dan Sinaga, 2005a). Rendahnya produktivitas tebu rakyat ini semakin diperburuk dengan rendemen yang rendah pula sebagaimana disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat (TR), Nasional, Brazil, Australia, PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dan Gunung Madu Plantations (GMP) Periode 2001-2009 Tahun PTPN VII UU Bunga Mayang (a) TR

(TRK dan TRB)(a) Nasional (b) Brazil(b) Australia(b) Gunung Madu Plantation (GMP)(c) 2001 5.55 5.80 7.14 9.88 14.80 6.91 2002 6.18 6.58 6.65 11.16 14.67 7.52 2003 7.02 7.20 7.16 12.02 14.76 9.71 2004 7.67 7.49 6.46 12.71 13.99 9.82 2005 7.54 7.36 6.99 13.32 14.24 9.71 2006 8.23 7.53 6.16 12.02 14.00 9.32 2007 7.58 7.18 7.50 11.44 14.31 9.43 2008 7.79 7.27 7.50 9.94 15.11 9.14 2009 8.18 7.48 7.77 9.96 15.57 9.13 Rata-rata 7.30 7.10 7.04 11.38 14.61 8.97

Sumber: (a) PTPN VII, 2010; (b) FA0, 2010; (c) DPR RI, 2010

Rata-rata rendemen tebu rakyat dalam kurun waktu 2001-2009 adalah sebesar 7.10. Angka ini memang diatas rendemen nasional yaitu 7.04, akan tetapi

masih dibawah rendemen tebu PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, tebu swasta (Gunung Madu Plantations). Angka ini akan semakin jauh jika dibandingkan dengan Brazil dan Australia yang mempunyai rendemen rata-rata berturut-turut 11.38 dan 14.61.

Kebijakan lain untuk meningkatkan produktivitas tebu adalah dengan memberikan bantuan kredit bagi petani tebu rakyat melalui hubungan kemitraan dengan pabrik gula dimana pabrik gula bertindak sebagai avalis antara petani dan pihak perbankan. Kebijakan ini dinilai penting untuk mengatasi permasalahan permodalan yang sering menjadi kendala para petani tebu rakyat (Retna, 1999; Sriati et al, 2008). Lebih lanjut Fadjar (2006) menyatakan meskipun pelaksanaan kemitraan usaha perkebunan belum dapat mengatasi ketimpangan antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat, namun kelemahan tersebut dapat diperbaiki melalui pemberdayaan masyarakat perkebunan yang komunikatif. Sikap komunikatif diharapkan menciptakan kemitraan yang mampu mendistribusikan peluang dan manfaat usaha serta aset produksi kepada petani.

Di Kabupaten Lampung Utara terdapat satu perusahaan persero yang mengolah tebu menjadi gula dalam skala yang besar untuk memenuhi permintaan gula di pasaran yaitu PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. PTPN VII Unit Usaha Bungamayang melakukan hubungan kemitraan dengan petani tebu melalui Program Tebu Rakyat Kredit (TRK) untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. TRK memiliki arti penting sebab melalui program ini peserta akan diberikan kemudahan kredit dan sarana produksi dalam rangka peningkatan pendapatan.

Pada pelaksaannya kemitraan antara PG dan petani ini bukanlah tanpa kendala. Salah satu contohnya adalah penyaluran kredit penyediaan pupuk yang disaat para petani sudah melewati masa pemupukan. Bunga kredit yang harus dibayarkan petani juga cukup besar yaitu 6 - 7 persen pertahun. Besaran ini sangatlah jauh dibandingkan dengan kredit bagi petani tebu di Vietnam, Thailand, dan Brazil yang besarnya berturut-turut 1.5 persen, 1.3 persen dan 1.1 persen.3 Selain pemberian kredit yang terlambat dan besarnya bunga yang harus dibayarkan, masalah lain yang muncul adalah besarnya kredit yang tidak sesuai

3

Soemitro Samadikoen (Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat

Indonesia) dalam Rendemen Gula 10 Agar Indonesia Swasembada.

dengan kebutuhan. Salah satu contoh adalah dengan pemberian kredit tebang muat dan angkut yang besarnya jauh dibawah kebutuhan para petani akibat mahalnya biaya tenaga kerja dalam proses tebang muat dan angkut yang hampir mencakup 50 persen dari biaya usahatani tebu. Kurang maksimalnya penggunaan input sebagai akibat dari berbagai masalah diatas, akan sangat berpengaruh terhadap tingkat efisiensi usahatani tebu rakyat khususnya tebu rakyat kredit karena budidaya yang dilakukan pada gilirannya juga tidak maksimal.

Selain para petani tebu rakyat yang tergabung dalam TRK, berkembang pula pola kemitraan bebas atau Tebu Rakyat Bebas (TRB) dimana kemitraan terjalin antara perusahaan dan petani tanpa sarana kredit. Rata-rata tingkat rendemen untuk TRB tahu 2001-2009 sebesar 7.31, lebih tinggi dibandingkan dengan TRK yang hanya sekitar 6.80 sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 12. Tabel 12. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat

Bebas (TRB) Periode 2001-2009

Tahun Tebu Rakyat Kredit Tebu Rakyat Bebas

2001 5.17 6.43 2002 6.06 7.09 2003 6.73 7.66 2004 7.21 7.76 2005 7.17 7.55 2006 7.46 7.59 2007 7.01 7.35 2008 7.01 7.52 2009 7.46 7.49 Rata-rata 6.80 7.31 Sumber: PTPN VII, 2010

Tinggi rendahnya tingkat rendemen salah satunya tergantung dari proses produksi (on farm) yang dilakukan oleh petani. Peningkatan rendemen dari tingkat usahatani dapat dilakukan dengan: (1) penataan varietas, (2) pengunaan bibit unggul, (3) pengaturan kebutuhan air, (4) pemupukan berimbang, dan (5) pengendalian organisme pengganggu (P3GI, 2008).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sistem usahatani tebu rakyat (non-keprasan dan keprasan) pada pola kemitraan TRK dan TRB di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha

Bungamayang? Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap tingkat pendapatan para petani tebu rakyat ?

2. Bagaiamana tingkat efisiensi dan faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi inefisiensi tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang? Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap tingkat efisiensi tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang?