• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Pola Kemitraan Dalam Produksi Tebu

Kemitraan dalam produksi tebu sering dilakukan antara petani dengan pabrik gula. Kemitraan memberikan kemudahan bagi petani untuk mengakses kredit, pupuk, dan bibit unggul. Hal ini mempengaruhi input usahatani sehingga dengan input yang lebih baik kuantitas dan kualitasnya ini petani berkesempatan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Dengan kemitraan petani juga bisa mendapatkan bimbingan teknis budidaya sehingga memperbaiki proses produksinya. Kemitraan juga akan memperbaiki manajemen tebang angkut sehingga risiko kehilangan kadar gula dan risiko tebu tidak terpanen lebih kecil.

Dwijayanti (2011) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk, (1) mendeskripsikan prosedur pelaksanaan kemitraan antara Pabrik Gula Candi Baru dengan petani tebu, (2) mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan kemitraan di Pabrik Gula Candi Baru, dan (3) mengetahui harmonisasi kemitraan yang terjadi antara Pabrik Gula Candi Baru dengan petani tebu mitra, dalam kaitannya dengan perjanjian kemitraan dan menganalisa perbedaan biaya usahatani,

penerimaan dan pendapatan antara petani Tebu Rakyat Kerjasama Usahatani (TRKSU) dan petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) Pabrik Gula Candi Baru menyimpulkan bahwa prosedur pelaksanaan yang ditetapkan oleh PG Candi Baru sebagai persyaratan bagi petani dalam bermitra dirasakan tidak memberatkan pihak petani. Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi Pabrik Gula Candi dalam pola kemitraan dengan para petani anatar lain adalah tebang-angkut yang terkadang tidak tepat waktu, masalah penyediaan bahan baku dalam memenuhi kapasitas giling PG serta masalah dalam perkreditan dimana terdapat petani yang terlambat dalam melakukan pembayaran apabila mengalami gagal panen.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa biaya produksi rata-rata petani TRKSU lebih besar dibandingkan biaya produksi rata-rata petani TRM yaitu sebesar Rp. 31 111 488,5 dan sebesar Rp. 28 457 398. Hal ini dikarenakan adanya beban bunga sebesar 12 persen yang dibebankan kepada petani TRKSU atas pinjaman modal yang diberikan oleh Pabrik Gula. Akan tetapi, penerimaan rata-rata petani TRKSU lebih besar bila dibandingkan dengan penerimaan rata-rata-rata-rata petani TRM yaitu berturut-turut Rp. 57 766 309.25 dan Rp. 49 340 676.67. Hal ini dikarenakan produksi rata-rata dan tingkat rendemen petani TRKSU lebih tinggi dibanding petani TRM. Pendapatan petani TRKSU pun lebih besar dibandingkan petani TRM yaitu berturut-turut Rp. 26 654 820.74 dan Rp. 20 883 278.28 per hektarnya.

Peningkatan pendapatan akibat adanya kemitraan petani juga dapat dilihat pada penelitian Najmudirohman (2011) dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh kemitraan terhadap pendapatan usahatani tebu di Kecamatan Trangkil, Pati Jawa Tengah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kemitraan membuat pendapatan petani mitra lebih tinggi daripada non-mitra, yang ditunjukkan dengan nilai R/C yang lebih tinggi. Nilai R/C atas biaya tunai petani mitra adalah 1.42, dan petani yang tidak bermitra adalah 1.20. Sedangkan R/C atas biaya total untuk petani mitra adalah 1.37 sedangkan untuk petani non mitra adalah 1.16. Kedua penelitian diatas memberikan kesimpulan yang sama yaitu pola kemitraan cenderung menguntungkan petani.

Kemitraan juga diharapkan mampu meningkatkan efisiensi para petani tebu melalui pembinaan atau penyuluhan maupun dengan bantuan saprodi sesuai

dengan petunjuk dari pabrik gula. Akan tetapi, hasilnya sering tidak sesuai harapan sebagaimana yang terdapat dalam penelitian Msuya dan Ashimogo. Msuya dan Ashimogo (2007) melakukan analisis efisiensi produksi terhadap petani tebu plasma (bermitra dengan pabrik) dan non-plasma (tidak bermitra dengan pabrik) di Mtibwa di Tanzania dengan menggunakan fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglass. Variabel bebas yang digunakan adalah luas lahan, tenaga kerja dalam keluarga, tenaga kerja luar keluarga, total input (bibit, pupuk, pestisida dan keranjang panen) dan peralatan. Sedangkan variabel yang digunakan untuk melakukan pendugaan terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya efek inefisiensi teknis antara lain usia, pendidikan, dummy daerah Mtibwa, dummy daerah Diongoya, dummy daerah Kangga, dummy keaslian penduduk, pengalaman dan ukuran usahatani. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata efisiensi teknis untuk plasma adalah 76.43 persen, dan 80.65 persen untuk non plasma. Variabel bebas pada petani plasma yang berpengaruh nyata adalah luas lahan, tenaga kerja luar keluarga dan total input (α 1 persen dan α 10 persen). Sedangkan pada petani non-plasma, variabel luas lahan dan total input yang berpengaruh nyata (α 1 persen dan α 5 persen). Faktor yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis pada petani plasma adalah umur (α 10 persen). Sedangkan untuk petani non plasma tidak ada variabel yang berpengaruh nyata.

Skema kemitraan yang dilakukan antara petani dengan pabrik gula dapat berbeda antara satu tempat lain. Govereh et al. (1999) dalam penelitiannya terhadap usahatani tebu rakyat di Kenya menemukan bahwa selama proses persiapan lahan, input, pemanenan dan pengangkutan dilakukan oleh pabrik, sedangkan petani hanya bertanggungjawab dalam penanaman dan perawatan. Unggul (2009) menjabarkan bentuk kemitraan yang terjadi antara petani tebu dengan pihak PG Madukismo. Kerjasama antara PG dengan petani dalam menjalankan usahatani tebu dilakukan dengan memberikan jaminan pendapatan minimum (JPM). Petani yang memperoleh JPM adalah petani yang melakukan adopsi inovasi kelembagaan dengan menjalankan usahatani Tebu Rakyat Kemitraan (TR Kemitraan) dan usahatani Tebu Kerjasama usaha (TRKSU). Besaran JPM yang diterima petani disesuaikan dengan potensi lahan. Pada pelaksanaan usahtani TR KSU yang harus dilaksanakan pada lahan sawah kelas I,

JPM yang diterima lebih besar daripada pelaksanaan usahatani yang tidak pada lahan kelas I. Sementara petani yang menjalankan usahatani Tebu Rakyat Mandiri (TR Mandiri) tidak memperoleh JPM.

Kemitraan antara petani tebu dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang berupa program Tebu Rakyat (TR) terdiri atas dua macam yaitu Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat Bebas (TRB). Program TRK merupakan program dimana bank melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang (avalis) memberikan kredit modal kerja. Sementara Tebu Rakyat Bebas (TRB) adalah suatu program dimana petani bermitra dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang tanpa kredit. Kemitraan petani TRK diawali dengan pengajuan permohonan bermitra dengan program kredit bank melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang selaku pabrik gula. Pabrik gula akan memeriksa dan melihat keberadaan lahan garapan apakah sesuai atau tidak mendapatkan kredit. Petani anggota TRK harus memenuhi syarat-syarat mendapatkan kredit, yaitu: lahan bebas sengketa dan hak milik serta akses ke lahan lancar dapat dilalui truk. Petani mendapatkan kredit modal kerja berupa bibit, pupuk, herbisida/pestisida, dan biaya tenaga kerja dari bank melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dengan kewajiban membayar bunga kredit per tahun pada saat bagi hasil.

Pada kemitraan TRB, hubungan kemitraan diawali dengan pengajuan permohonan bermitra dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang selaku pabrik gula tanpa kredit. Pabrik gula akan melakukan melihat keberadaan lahan garapan apakah sesuai atau tidak untuk mengadakan kemitraan. Petani anggota TRB boleh melakukan sewa lahan dengan pihak lain dan apabila akses ke lahan sulit dijangkau petani masih boleh mengikuti program TRB. Petani tebu anggota TRB mengusahakan sendiri segala keperluan usahataninya mulai dari bibit, pupuk, herbisida/pestisida, dan tenaga kerja.

Sriati et al. (2008) dalam penelitiannya memberikan perbandingan antara petani TRK dan TRB sebagai berikut:

a. Hak dan Kewajiban Petani Tebu Rakyat Kredit dan Bebas

Hak yang diperoleh sebagai petani TRK yaitu: (1) mendapatkan paket kredit bank melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang sesuai luas garapan yang telah disetujui, (2) memperoleh 66 persen gula hasil tebu yang diolah, tetes

2.5 persen dan natura 10 persen, (3) memperoleh bimbingan dan pengarahan dari mandor PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dalam berusahatani tebu, (4) dijamin dalam pengembalian kredit oleh PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, dan (5) mengetahui jadwal penebangan, jumlah tebu yang dihasilkan, dan rendemen tebu. Hak yang diperoleh sebagai petani TRB yaitu: (1) memperoleh 65 persen gula hasil tebu yang diolah, (2) memperoleh bimbingan dan pengarahan dari mandor terutama pada masalah dalam usahataninya, dan (3) mengetahui jadwal penebangan, jumlah tebu yang dihasilkan, serta rendemen tebu.

Kewajiban yang harus dipenuhi para petani Tebu Rakyat Kredit (TRK), yaitu: (1) mengelola usahatani tebu sebaik-baiknya dan mematuhi bimbingan yang dilakukan oleh PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, (2) menyerahkan semua hasil usahatani tebunya kepada PTPN VII Unit Usaha Bungamayang selaku pabrik gula, (3) mengembalikan bunga kredit setelah selesai giling dan membayar biaya tebang angkut, (4) menyarahkan fotokopi bukti kepemilikan lahan. Kewajiban yang harus dipenuhi petani tebu rakyat bebas (TRB), yaitu : (1) mengelola usahatani dengan baik, tidak harus mengikuti bimbingan yang dilakukan oleh PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, (2) diperbolehkan untuk menyerahkan sebagian atau seluruh hasil usahatani tebunya kepada PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. TRB juga hanya membayar biaya tebang angkut setelah selesai giling.

b. Hak dan Kewajiban PTPN VII Unit Usaha Bungamayang

PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dalam kemitraannya dengan petani tebu anggota TRK dan TRB selaku pabrik gula juga memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban ini digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan hubungan kemitraan ini sehingga berjalan dengan lancar. Pada hubungan kemitraan, hak petani tebu anggota TRK dan TRB merupakan kewajiban PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, sedangkan kewajiban petani TRK dan petani TRB merupakan hak dari PTPN VII Unit Usaha Bungamayang.

c. Kemitraan dalam Hal Pengolahan

Proses pengolahan tebu menjadi gula pasir merupakan rangkaian proses sejak diterimanya bahan baku dari kebun sampai menjadi produk gula. Penentuan waktu tebang dan pengangkutan hasil sampai ke tempat timbangan pabrik gula

dilakukan dengan musyawarah oleh pabrik gula dengan petani tebu anggota TRK dan TRB. Hasil penelitian menunjukkan, dalam hal penebangan dan pengangkutan sampai pengolahan terdapat perbedaan antara petani tebu anggota TRK dan petani tebu anggota TRB

Tebu hasil usahatani TRK ditimbang di penimbangan pabrik gula dan petani ikut menyaksikan proses penimbangan, lalu dilakukan penetapan rendemen yang dilakukan oleh laboraturium pabrik (rendemen sementara), disaksikan oleh wakil petani. Rendemen tebu ditentukan untuk setiap lahan garapan. Petani TRK wajib menyerahkan seluruh hasil tebunya ke pabrik gula dan pabrik gula wajib menerima dan mengolah tebu tersebut. Petani anggota TRK tidak diperkenankan menyerahkan tebunya ke pabrik gula lain yang bukan mitranya

Tebu hasil usahatani TRB ditimbang di penimbangan PG dan petani menyaksikan proses penimbangan, lalu dilakukan penetapan rendemen yang dilakukan oleh laboraturium pabrik gula, disaksikan oleh wakil petani. Rendemen tebu ditentukan dengan menggunakan sistem rendemen rata-rata. Petani TRB menyerahkan tebu sesuai dengan yang mereka inginkan untuk diolah menjadi gula. Namun dalam hal ini pabrik gula akan lebih mengutamakan mengolah tebu TRK terlebih dahulu baru TRB.

Hasil analisis chi-square untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keputusan petani menjadi anggota TRK dalam penelitian ini menunjukkan bahwa modal, akses ke lahan, dan pengalaman merupakan faktor yang mempengaruhi petani untuk menjalin kemitraan dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. Sedangkan dari hasil analisis pendapatan tani menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata petani TRK lebih besar dari pendapatan rata-rata petani TRB yaitu Rp 15 969 443.23 untuk petani TRK dan Rp 13 591 636.84 untuk petani TRB. Demikian pula dengan nilai imbangan penerimaan dan biaya (R/C) usahatani tebu yang menunjukkan nilai yang lebih besar dari satu yang berarti usahatani menguntungkan. Penelitian yang dilakukan oleh Sriati et al. (2008) tidak menganalisis sampai tahap tingkat efisiensi baik efisiensi petani Tebu Rakyat Kredit (TRK) maupun Tebu Rakyat Bebas (TRB).