• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. ANALISIS EFISIENSI USAHATANI TEBU

7.4. Analisis Efisiensi Teknis

7.4.2. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi teknis diduga dengan menggunakan model efisiensi teknis dari fungsi produksi stochastic frontier. Hasil pendugaan model efek inefisiensi teknis baik pada pola non-keprasan dan keprasan dapat dilihat pada Tabel 34.

Tabel 34. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Variabel Non-Keprasan Keprasan

Parameter Dugaan T-ratio Parameter Dugaan T-ratio

Konstanta 0.487887 3.3576 1.412872 3.3056

Pendidikan (Z1) -0.009887 -1.1891c -0.111051 -3.4230a

Pengalaman (Z2) -0.013166 -2.7270a -0.477800 -1.3225c

Kemitraan (Z3) -0.037681 -0.6572c -0.632733 -0.5242b

Ukuran Usahatani (Z4) -0.066673 -1.7007b -0.705549 -1.9233b

Keterangan: a, b, c nyata pada α 0.05, 0.10, dan 0.15 Sumber: Analisis Data Primer, 2012

Pendidikan (Z1). Faktor pendidikan adalah jumlah tahun yang dihabiskan petani untuk menempuh masa pendidikan formalnya. Faktor pendidikan dimasukkan ke dalam efek inefisiensi dengan dugaan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis petani. Artinya semakin lama pendidikan petani diduga semakin mendorong petani untuk efisien dalam proses produksi dan penggunaan input produksinya. Hasil pendugaan pada Tabel 33 menunjukkan bahwa lama pendidikan beperngaruh negatif terhadap tingkat inefsiensi petani contoh dan. Hasil ini senada dengan hasil penelitian Kurniawan (2008) dan Kebede (2001). Menurut Kebede (2001), pendidikan meningkatkan kemampuan petani untuk mencari, memperoleh dan menginterpretasikan informasi yang berguna tentang input-input produksi.

Pengalaman (Z2). Faktor pengalaman dimasukkan ke dalam efek inefisiensi dengan dugaan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis petani. Artinya semakin berpengalaman petani semakin efisien dalam berproduksi dan menggunakan input produksinya. Akan tetapi, ada beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa pengalaman berpengaruh positif terhadap inefisiensi usahatani sebagaimana yang diungkapkan oleh Yusuf (2008), Mariyah (2008), Jasila (2009) dan Babalola et al (2009). Alasan yang diungkapkan adalah petani yang berpengalaman cenderung tidak efisien dalam menggunakan input karena mengikuti kebiasaan. Selain itu semakin lama mereka berusahatani tebu dan model terkumpul, semakin mereka berusaha untuk mengganti komoditas tebu dengan komoditas lain yang lebih cepat menghasilkan dan menguntungkan. Sedangkan tebu termasuk tanaman yang membutuhkan waktu lama dan proses

produksinya sekitar 8 sampai dengan 12 bulan sehingga harus menunggu lama untuk memperoleh hasil usahataninya.

Hasil pendugaan faktor pengalaman sebagaimana yang disajikan pada Tabel 34 menunjukkan bahwa pengalaman berpengaruh negatif dan nyata terhadap inefisiensi teknis usahatani tebu di daerah penelitian. Hasil ini senada dengan hasil penelitian Adhiana (2005) dan Msuya dan Ashimogo (2007). Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa semakin lama petani berusahatani tani tebu, maka akan sulit berpindah pada komoditas lain. Beberapa petani beranggapan bahwa bertani tebu memberikan lapangan pekerjaan yang lebih banyak dibandingkan dengan usahatani lain seperti singkong maupun kelapa sawit. Selain itu, ada “culture” dalam usahatani tebu, yaitu terbentuknya gotong-royong antar petani. Bahkan di beberapa afdeling, petani juga sudah mampu menghitung pendapatan usahataninya berdasarkan pada jumlah tebu yang dihasilkan. Kemampuan ini tidak lepas dari pembinaan-pembinaan yang dilakukan oleh para sinder PTPN VII Unit Usaha Bungamayang maupun dari koperasi.

Kemitraan (Z3). Kemitraan merupakan variabel yang digunakan untuk mewakili kemitraan petani TRK dan TRK. Hasil analisis menunjukkan bahwa kemitraan memberikan efek negatif terhadap inefisiensi teknis dan tidak nyata. Kemitraan yang dijalin antara petani dengan pabrik memberikan manfaat yang besar kepada para petani khususnya terkait dengan penyediaan input-input produksi. Tetapi ada kecenderungan terjadinya keterlambatan penyaluran input di beberapa afdeling sehingga proses produksi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Akan tetapi, kondisi ini seharusnya tidak menjadi masalah jika para petani mampu mengalokasikan sebagian hasil penjualan gulanya untuk dicadangkan guna mengantisipasi jika terjadi keterlambatan pasokan input dari pabrik. Selain itu, ada harapan dari petani kepada pabrik untuk memberikan jaminan harga yang lebih baik baik gula yang dihasilkan. Permasalahan ini sebenarnya sudah direspon oleh pabrik dengan mengadakan lelang gula yang dihasilkan petani. Pabrik menjadi fasilisator dalam lelang tersebut dengan mempertemukan petani dengan para pedagang (distributor). Dalam pelaksanaannya, proses lelang sering tidak sesuai dengan harapan karena jumlah

pedagang yang datang hanya sedikit sehingga harga yang terjadi tetap tidak sesuai dengan harapan petani.

Ukuran Usahatani (Z4). Ukuran usahatani adalah keseluruhan luasan lahan yang diusahakan oleh para petani contoh. Tabel 34 menunjukkan bahwa ukuran usahatani berpengaruh negatif dan nyata terhadap inefisiensi petani contoh. Tanda negatif pada variabel ukuran usahatani menunjukkan bahwa petani yang mempunyai lahan luas relatif lebih efisien dibandingkan dengan petani yang memiliki lahan sempit. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, ukuran luasan lahan ini terkait dengan modal usahatani. Petani yang mempunyai lahan luas akan memperoleh penghasilan yang lebih besar sehingga ketersediaan modal cukup untuk menggunakan input secara proporsional.

Berdasarkan pada Tabel 34 juga diketahui bahwa dari beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis usahatani tebu, ukuran usahatani merupakan faktor yang paling mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis. Hal ini dapat dilihat dari nilai parameter dugaannya dimana nilai parameter dugaan ukuran usahatani memiliki nilai paling besar diantara nilai parameter faktor-faktor yang lain. Artinya petani yang memiliki lahan yang luas cenderung lebih efisien karena mereka mampu mengalokasikan input mereka secara proporsional dan tepat waktu. Pada penelitian ini, para petani yang tergabung dalam TRB cenderung lebih efisien dibandingkan dengan petani TRK karena rata-rata lahan petani TRB juga lebih luas dibandingkan dengan rata-rata luas lahan petani TRK baik pada pola tanam non-keprasan maupun keprasan.

Faktor kedua adalah kemitraan. Akan tetapi meskipun nilai parameter ini negatif tetapi tidak signifikan. Hal ini berarti kemitraan telah mampu membantu petani dalam mencapai efisiensi teknis melalui penyediaan input-input produksi sehingga petani yang memiliki lahan yang lebih kecil mampu mencapai efisiensi teknis yang tinggi karena mampu mengalokasikan input secara proporsional. Selain itu, dengan menjalin kemitraan dengan pabrik gula khususya kemitraan TRK, para petani mendapatkan tambahan pendapatan dari tetes dan natura. Tetapi hal ini tidak menjadi efektif ketika harga gula yang diterima petani rendah karena pada gilirannya penerimaan petani juga menjadi rendah. Kondisi ini semakin berat ketika petani harus mengembalikan pinjamannya disertai dengan bunganya yang

berakibat pada rendahnya simpanan modal untuk musim tanam selanjutnya. Khusus pada pola tanam non-keprasan maka hal ini akan semakin dirasakan oleh para petani tebu dimana biaya yang dikeluarkan sangat besar tetapi hasil produksi yang dihasilkan belum optimal. Jamin harga gula saat musim panen sangat dibutuhkan untuk para petani tebu khususnya pada pola non-keprasan dengan kemitraan TRK dan memiliki luas lahan sempit. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah ketepatan dalam penyaluran saprodi khususnya pupuk. Banyaknya petani yang menjalin kemitraan dengan pabrik dengan wilayah yang tersebar bisa menjadi kendala dalam penyaluran pupuk sehingga ada dugaan penyaluran pupuk terkesan terlambat. Ketepatan pemberian pupuk juga menentukan tingkat produksi dari usahatani tebu. Artinya meskipun pemberian pupuk sudah dilakukan proporsional tetapi akan memberikan hasil yang beda antara pemupukan yang tepat waktu dengan yang tidak tepat waktu.

Faktor ketiga adalah pengalaman. Pengalaman tidak hanya terkait dengan kemampuan petani untuk mengalokasikan input secara proporsional, tetapi juga terkait dengan usahatani tebu secara luas. Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa petani yang berpengalaman dengan luas lahan yang besar cenderung tetap berusahatani tebu meskipun usahatani lain memiliki prospek yang lebih baik. Akan tetapi, para petani tersebut memilih untuk bertani tebu secara mandiri atau tidak menjalin kemitraan dengan pabrik. Jika dikaitkan dengan kemitraan, maka petani cenderung beralih dari petani TRK menjadi TRB karena petani TRB lebih bebas menjual hasil usahatani tebunya ke pabrik gula manapun, tidak hanya ke PTPN VII Unit Usaha Bungamayang meskipun konsekuensinya mereka tidak mendapatkan tambahan penghasilan dari tetes dan natura. Kebebasan menjual hasil yang dimiliki oleh para petani TRB karena petani TRB tidak terikat kredit seperti para petani TRK. Selain itu, pilihan menjadi TRB karena petani TRB lebih cepat mendapatkan hasil usahatani tebunya dibandingkan dengan petani TRK karena mereka menjual tebunya ke pabrik gula. Mengingat usahatani tebu termasuk usahatani periode panjang, maka kecepatan petani mendapatkan hasil usahataninya (pendapatan) seringkali menjadi pertimbangan tersendiri bagi para petani dalam memilih pola kemitraan.

Faktor terakhir adalah pendidikan. Pendidikan dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang signifikan tetapi nilai parameter dugaannya paling kecil diantara faktor yang lain. Artinya meskipun pendidikan meningkatkan kemampuan petani untuk mencari, memperoleh dan menginterpretasikan informasi yang berguna tentang input-input produksi tetapi pendidikan ini tidak dapat berdiri sendiri. Pengalaman yang baik dan dukungan modal yang kuat sangat mempengaruhi keberhasilan usahatani tebu di daerah penelitian. Apalagi usahatani tebu merupakan usahatani dengan periode panjang (antara 9 sampai dengan 12 bulan) sehingga dukungan modal sangat diperlukan. Dalam kasus ini, rata-rata pendidikan baik petani contoh dapat digolongkan rendah tetapi berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Fenomena ini menunjukkan Meskipun rata-rata pendidikan mereka rendah, tetapi para petani tersebut mampu meneriman informasi-informasi terkait dengan usahatani tebu khususnya dari para sinder pabrik yang aktif melakukan bimbingan pada mereka maupun dari koperasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin mudah mengolah informasi yang mereka dapatkan yang pada gilirannya semakin efisien pula usahatani mereka.