• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

B. Pengetahuan Nilai Moral

2. Perkembangan Nilai Moral pada Anak

Kohlberg (dalam Asri Budiningsih 2013: 5) menyatakan bahwa pertimbangan moral merupakan faktor yang menentukan lahirnya perilaku moral.Oleh karena itu, menentukan perilaku moral dapat dilakukan dengan menelusuri pertimbanganya. Itu berarti mengukur moralitas seseorang tidak cukup hanya mengamati perilaku yang tampak, melainkan juga harus melihat pertimbangan moral yang melandasi keputusan perilaku moral tersebut. Menurut pendapat Beaar dan Richards (dalam Sutarjo Adisusilo, 2013: 3) Anak-anak yang memiliki tingkat pengetahuan moral yang rendah, secara signifikan menunjukkan lebih banyak menghadapi masalah perilaku moral daripada anak-anak yang memiliki tingkat pertimbangan moral lebih tinggi.

Dari berbagai pendapat mengenai pengetahuan nilai moral tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat pengetahuan moral dengan perilaku moral anak. Anak yang tingkat pengetahuan moralnya rendah menunjukkan perilaku moral negatif lebih tinggi daripada anak dengan pengetahuan moral yang tinggi, sehingga tinggi rendahnya tingkat pengetahuan moral seseorang, sangat menentukan baik dan tidaknya moralitasnya.

2. Perkembangan Nilai Moral pada Anak

Perkembangan nilai moral pada dasarnya merupakan interaksi, suatu hubungan timbal balik antara anak dengan anak, antara anak dengan orangtua, antara peserta didik dengan pendidik. Dengan interaksi, maka kesejajaran antara perkembangan moral, kognitif, dan intelegensi akan terjadi secara harmonis (Sutarjo Adisusilo, 2013:4). Hurlock (1978:75) menyatakan bahwa sebelum anak masuk sekolah dasar, mereka diharapkan mampu membedakan yang benar dan

21

salah dalam situasi sederhana dan meletakkan dasar bagi perkembangan hati nurani.Maria J Wantah (2005: 75) menyatakan bahwa pada anak usia 0 – 2 tahun pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan aktivitas motorik dan pemenuhan kebutuhan anak secara proporsional. Pada anak usia antara 2 – 4 tahun pembelajaran moral lebih diarahkan pada pembentukan rasa kemandirian anak dalam memasuki dan menghadapi lingkungan. Sedangkan untuk anak usia 4 – 6 tahun pembelajaran moral diarahkan pada pembentukan inisiatif anak untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan perilaku baik dan buruk.

Piaget (dalam Maria J Wantah, 2006: 76) menyebutkan perkembangan moral terjadi dalam tiga fase yaitu fase absolut, fase realistis, dan fase subjektif. a. Fase Absolut

Anak menghayati peraturan sebagai suatu hal yang tak dapat diubah, karena berasal dari otoritas yang dihormatinya. Otoritas yang dimaksud adalah guru, orang tua, aparat pemerintah, pemimpin agama, dan masyarakat. Anak menaati aturan otoritas untuk menghindari penghukuman otoritas yang ada di luar dirinya. Di sini peraturan sebagai moral adalah obyek eksternal yang tidak boleh diubah.

b. Fase Realistik

Anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang lain. Hal ini dapat diilustrasikan sebagai tinta yang terbuang. Pertama, tinta terbuang banyak di meja kerja sewaktu anak hendak menolong pekerjaann ayah. Yang kedua, dokumen penting yang sedikit tergores tinta akibat dari sang anak bermain-main dengan pena. Yang pertama dinilai lebih besar kesalahanya daripada yang kedua

22

berdasarkan dari kenyataan volume tinta terbuang dan kuantitas kerusakan.Disini hal yang dipandang seseorang untuk menentukan kesalahan bukan motif, maksud atau kesengajaan. Respons demikian disebut Piaget sebagai realisme moral (moral realism). Piaget berteori bahwa pengaruh utama bukanlah praktek orang tua melainkan interaksi timbal balik antara individu dengan sesamanya.

c. Fase Subjektif

Dalam fase subjektif anak memperhatikan motif atau kesengajaan dalam penilaian perilaku. Perkembangan moralanak dipengaruhi oleh upaya membebaskan diri dari ketergantungan pada orangtua, meningkatkan interaksi dengan sesama, dan berkontak dengan pandangan lain. Anak merasa bersalah atau tidak karena motif yang mendasari perilakunya. Dengan moral subjektif yang diterima diri (self accepted), anak menaati aturan untuk menghindari penghukuman kata hatinya.

Selanjutnya adalah tahap perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam Ronald Duska, 1982: 59):

1) Tingkatan Pra-konvensional

Pada tingkatan Pra-konvensiolah ini anak peka terhadap peraturan-peraturan yang berlatar belakang budaya dan terhadap penilaian baik-buruk, benar-salah dalam lingkungan sehari-hari. Tetapi anak mengartikannya dari sudut akibat-akibat fisik suatu tindakan atau dari sudut enak-tidaknya akibat-akibat itu (hukuman, ganjaran, disenangi orang) atau dari sudut ada-tidaknya kekuasaan fisik dari yang memberikan peraturan-peraturan maupun memberi penilaian baik-buruk itu.

23 Tingkatan ini dibagi menjadi dua tahap:

a. Tahap 1. Orientasi hukuman dan kepatuhan.

Akibat-akibat fisik dari tindakan menentukan baik buruknya tindakan itu, entah apapun arti atau nilai akibat-akibat itu bagi manusia. Menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan (tanpa mempersoalkannya) mempunyai nilai pada dirinya bukan atas dasar hormat pada peraturan moral yang mendasarinya, yang didukung oleh hukuman dan otoritas.

b. Tahap 2. Orientasi relativis instrumental

Tindakan benar adalah tindakan yang ibarat alat dapat memenuhi kebutuhan sendiri atau kadang-kadang juga memenuhi kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dianggap sebagaimana hubungan orang di pasar. Unsur-unsur sikap adil, hubungan timbal balik, kesamaan dalam ambil bagian sudah ada dan semuanya dimengerti secara fisis dan pragmatis. Hubungan timbal balik

manusia adalah soal “kalau kamu menggarukkan punggungku, saya akan

garukkan punggungmu”, bukanya soal loyalitas (kesetiaan) rasa terimakasih atau

keadilan.

2) Tingkatan Konvensional

Pada tingkatan ini, seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Pada tingkatan ini, memenuhi harapan-harapan keluarga, kelompok atau bangsa dianggap sebagai sesuatu yang berharga pada dirinya sendiri tidak peduli apapun akibat-akibat yang langsung dan kelihatan. Sikap ini bukan hanya mau menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang tertentu atau dengan ketertiban sosial, tetapi sikap ingin

24

loyal, sikap ingin menjaga, serta sikap ingin mengidentifikasikan diri dengan orang-orang atau kelompok yang ada di dalamnya. Terdapat dua tahap:

c. Tahap 3: Orientasi masuk kelompok “anak baik” dan “anak manis”. Tingkah

laku yang baik adalah tingkah laku yang menyenangkan atau membantu orang-orang lain dan yang mendapat persetujuan mereka.Ada banyak usaha menyesuaikan diri dengan gambaran-gambaran yang ada pada mayoritas atau dengan tingkah laku yang dianggap umum.

Selanjutnya Abu Ahmadi (dalam M. Fadlilillah, 2013: 70) menyatakan perkembangan moral anak adalah:

a. Usia 1-4 tahun.

Pada tahap iniukuran baik dan buruk bagi seorang ank tergantung dari apa yang dikatakan oleh orangtua. Walaupun anak saat itu belum tahu benar hakikat atau perbedaan antara yang baik dan yang buruk itu. Sebab, saat itu anak belum mampu menguasai dirinya sendiri.

b. Usia 4-8 tahun

Pada tahap ini ukuran tata nilai bagi seorang anak adalah dari yang akhir atau realitas.Anak belum dapat menafsirkan hal-hal yang tersirat dari sebuah perbuatan, antara perbuatan disengaja dan yang tidak. Seorang anak hanya menilai sesuai dengan kenyataannya, tanpa melihat sebab atau alasannya.

c. Usia 8-13 tahun

Anak sudah dapat mengenal ukuran baik, buruk secara batin, meskipun masih terbatas. Yaitu, anak sudah dapat menghargai pendapat atau alasan dari

25

perbuatan orang lain. Anak mulai dapat menghormati orang lain yang patuh, taat atau sebaliknya.

d. Usia 13-19 tahun

Seorang anak sudah mulai sadar betul tentang tata nilai kesusilaan. Anak akan patuh atau melanggar berdasarkan kepahamannya terhadap konsep tata nilai yang diterima. Pada tahap ini anak benar-benar berada pada kondisi dapat mengendalikan dirinya sendiri.

Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa anak usia4 – 6 tahun dalam pembelajaran moral diarahkan pada pembentukan inisiatif anak untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan perilaku baik dan buruk. Anak diharapkan mampu membedakan yang benar dan salah dalam situasi sederhana. Pembelajaran moral ditekankan pada persiapan anak dalam menghadapi lingkungan. Anak usia dini termasuk pada tingkatan Pra-konvensional yang mana pada tingkatan ini anak mengetahui bahwa terdapat peraturan serta penilaian baik-buruk, benar-salahdan mengartikannya sebagai sesuatu yang harus ditaati untuk menghindari hukuman.

Dokumen terkait