• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Pembangkitan Tenaga Listrik

Sejarah Ketenagalistrikan di Indonesia dimulai pada akhir abad ke-19, ketika beberapa perusahaan Belanda yaitu NV.NIGM sebuah perusahaan gas yang memperluas usahanya ke bidang tenaga listrik. Perusahaan ini mendirikan pembangkit tenaga listrik untuk keperluan sendiri, yang berkembang menjadi kepentingan umum.

Ditinjau dari segi konsumsi listrik Indonesia, rata-rata konsumsi listrik Indonesia adalah sebesar 473 kwh/kapita pada 2003, masih tergolong rendah dibandingkan rata-rata konsumsi listrik dunia yang pada tahun 2005 mencapai 2215 kwh/kapita. Pada tahun 1998, Indonesia mengalami lonjakan besar dalam konsumsi energi. Dari tahun 2000 sampai tahun 2004 konsumsi energi primer Indonesia meningkat sebesar 5.2 % per tahunnya. Peningkatan ini cukup signifikan apabila dibandingkan dengan peningkatan kebutuhan energi pada tahun 1995 hingga tahun 2000, yakni sebesar 2.9 % pertahun. Dengan keadaan yang seperti ini, diperkirakan kebutuhan listrik indonesia akan terus bertambah sebesar 4.6 % setiap tahunnya, hingga diperkirakan mencapai tiga kali lipat pada tahun 2030 (BPPT, 2016).

Dengan peningkatan konsumsi energi ini, pemerintah membuat blueprint pengelolaan energi nasional 2006 – 2025. Secara garis besar, dalam blueprint tersebut ada dua macam solusi yang dilakukan secara bertahap hingga tahun 2025, yaitu ditinjau dari segi penghematan dengan melakukan peningkatan efisiensi penggunaan energi dan dari segi diversifikasi energi dengan melakukan

pemanfaatan sumber-sumber energi baru. Pada tahun 2005, rasio elektrifikasi Indonesia sebesar 63 %, dan pada tahun 2025, Indonesia mentargetkan rasio elektrifikasi sebesar 95 %.

Dalam bidang penyediaan tenaga listrik terdapat dua bagian yang mengalami perubahan, yaitu bidang teknologi pembangkitan dan bidang otomatisasi. Era perubahan atau era of change menggambarkan perubahan penyedia energi yang terjadi sesuai dengan perkembangan deregulasi yang terjadi. Perubahan paradigma pengelolaan energi tersebut menekankan pada orientasi untuk mencapai penyediaan dan pemanfaatan energi terbarukan yang maksimal menjadi model diversifikasi energi. Sekitar 74 % dari total kapasitas pembangkit terletak di Wilayah Jawa dan Bali, 16 % di Wilayah Sumatera, 3 % di Wilayah kalimantan dan sisanya di Wilayah Pulau lainnya( BPPT, 2016)

Upaya konservasi dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi pada sektor industri, transportasi, rumah tangga, dan komersial. Dari aspek pemanfaatan energi mewajibkan pengguna energi >

Suatu Negara, pada awalnya memiliki hanya satu jenis energi dari bahan bakar yaitu minyak untuk pembangkitan tenaga listrik. Pada tahun 1990 an

6.000 toe per tahun untuk menerapkan manajemen energi. Pengelolaan energi memerlukan manajemen energi yang merupakan kegiatan terpadu untuk mengendalikan konsumsi energi agar tercapai pemanfaatan energi yang efektif dan efisien untuk menghasilkan output yang maksimal melalui tindakan teknis secara terstruktur dan ekonomis untuk meminimasi pemanfaatan energi termasuk energi untuk proses produksi dan meminimasi konsumsi bahan bakar dan bahan pendukung (Permen ESDM no.14, 2012).

teknologi turbin gas dimulai. Dengan menggunakan gas bumi sebagai bahan bakar terjadi peningkatan efisiensi pusat pembangkit tenaga listrik sebesar 60 % . Berturut-turut pembangkitan dilakukan dengan siklus kombinasi dengan bahan bakar gas dan uap disebut pusat listtik tenaga gas uap (PLTGU) yang relatif murah dan menimbulkan pencemaran minimal dibanding pembangkit listrik tenaga uap batubara (PLTU batubara) yang secara global banyak dipakai karena cadangan batubara besar.

Kemudian berkembang tuntutan-tuntutan lain, yaitu keperluan peningkatan efisiensi pembangkitan dan perlunya teknologi berbasis lingkungan. Teknologi kogenarsi, yang membangkitkan energi listrik dan panas dapat menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi hingga 90 %.

2.1.1 Teknologi Gasifikasi

Teknologi gasifikasi merupakan pemecahan yang kini mulai dipandang sebagai teknologi batubara yang dapat memenuhi keperluan akan pembangkitan tenaga listrik yang bersih dan efisien. Diperkirakan, bahwa pada awal abad ke-21, PLTU batubara dengan teknologi gasifikasi akan mengeluarkan 99 % sulfur dioksida (SO2) dan abu terbang, serta 90% nitrogen oksida (NOx) dari PLTU batubara. PLTU batubara gasifikasi juga diperkirakan akan menurunkan emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 35-40 %, menurunkan buangan padat sebesar 40-50 % dan menghasilkan penghematan biaya daya 10-20 %. Teknologi gasifikasi digabung dengan teknologi turbin gas akan berperan dalam pusat-pusat pembangkit gasifikasi terpadu.

2.1.2. Magneto hidrodinamika

Teknologi pembangkit tenaga listrik magneto hidrodinamika (MHD) pada saat ini masih berada pada taraf pengembangan. Pembangkit listrik tenaga hidrodinamika (PLT-MHD) sistem terbuka dikembangkan dengan mempergunakan batubara sebagai bahan bakar. Dalam ruang pembakaran dimasukkan bahan bakar. Dalam ruang pembakaran juga diinjeksikan udara panas yang ditekan. Bahan bakar dan udara panas bertekanan bercampur dan dibakar. Untuk meningkatkan daya hantar gas yang dihasilkan, dimasukkan partikel kecil dari logam cesium atau potassium.

Pembakaran dalam ruang mengakibatkan suhu yang tinggi, yang dialirkan melalui suatu kanal. Pada sekeliling kanal dipasang magnet yang kuat yang terdiri atas bahan superkonduktifitas. Gas panas dilewatkan dengan kecepatan yang tinggi bersifat sebagai konduktor dan bertindak sebagai armatur melintasi medan magnet yang kuat tersebut akan menghasilkan menghasilkan energi listrik arus searah, yang dengan sebuah inventer dijadikan arus bolak-balik. Setelah gas panas melewati medan magnet, gas tersebut masih mengandung partikel logam untuk dapat dipakai kembali sebelum gas dibuang ke udara. Sistem ini dinamakan siklus tertutup. Pada sistem tertutup ini gas mulia seperti neon, argon, atau helium yang diberi partikel logam sebagai bahan untuk bekerja.

Efisiensi thermal pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) adalah 32 %, dan efisiensi PLTU batubara adalah 40 %, suatu PTL-MHD dapat mencapai efisiensi 60 % (Abdul Kadir, 1995).

2.1.3. Sel bahan bakar

Pembakaran pada dasarnya adalah proses oksidasi. Pada proses oksidasi air (H20) dapat dipisah menjadi hidrogen (H2) dan oksigen (O2). Dan sebaliknya,

bila unsur hidrogen (H2) bersenyawa dengan unsur oksigen O2, akan terbentuk air (H2O) dengan membebaskan energi. Pada Teknologi sel bahan bakar sebagai pembangkit tenaga listrik mempergunakan gas hidrogen sebagai bahan bakar.

Pembakaran 1 Kg minyak bumi akan menghasilkan 10.000 kcal., pembakaran 1 kg metan akan menghasilkan energi 12.000 kcal., dan pembakaran 1 kg hydrogen akan melepaskan energi sebesar 28.000 kcal (Abdul Kadir, 1995).

2.1.4. Pembangkit listrik tenaga surya

Tenaga listrik berasal dari cahaya matahari pertama kali ditemukan oleh seorang ahli fisika Perancis pada tahun 1839 yaitu Alexandre – Edmund Becquerel. Percobaan dilakukannya dengan menyinari 2 elektrode yang dibalut dengan bahan yang sensitif terhadap cahaya, yaitu AgCl dan AgBr dengan berbagai macam cahaya dalam kotak hitam yang dikelilingi dengan campuran asam. Dalam percobaanya ternyata tenaga listrik meningkat manakala intensitas cahaya meningkat. Tahun 1873 seorang insinyur Inggris Willoughby Smith menemukan Selenium sebagai suatu elemen photo conductivity. Tahun 1876, William Grylls dan Richard Evans Day membuktikan bahwa Selenium menghasilkan arus listrik apabila disinari dengan cahaya matahari. Tahun 1894 Charles Fritts membuat sel surya pertama dari suatu bahan semi conductor (selenium) dibalut dengan lapisan tipis emas. Tingkat efisiensi yang dicapai baru 1% dan hanya dapat dipakai sebagai sensor cahaya. Tahun 1905 Albert Einstein mengungkapkan photoelectric effect yaitu cahaya terdiri dari paket-paket atau

“quanta of energi” yang sekarang ini lazim disebut “photon.” Tahun 1916, Einstein menemukan photoelectric effect dibuktikan oleh percobaan Robert Andrew Millikan seorang ahli fisika berkebangsaan Amerika. Tahun 1982, Hans

Tholstrup seorang Australia mengendarai mobil bertenaga surya pertama untuk jarak 4000 km dalam waktu 20 hari dengan kecepatan maksimum 72 km/jam.

University of South Wales Australia memperoleh efisiensi solar cell mencapai 20% dibawah kondisi satu cahaya matahari. Dengan perkembangan teknologi bahan dan peningkatan efisiensi panel sel surya, peningkatan dalam riset sel surya telah mendorong komersialisasi dan produksi sel surya untuk penggunaannya sebagai sumber daya listrik yang berbasis lingkungan (West, 2003).

Dokumen terkait