• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SEBAGAI

B. Perlindungan Negara yang Diberikan Kepada Pemegang

Kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain (droit de preference) untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut. Kemudian Hak Tanggungan juga tetap membebani obyek hak tanggungan ditangan siapapun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditur pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (droit de suite). Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizin pihak kreditur, maka kreditur dapat mengajukan action pauliana, yakni hak dari kreditur untuk membatalkan seluruh tindakan kreditur yang dianggap merugikan.

B. Perlindungan Negara Yang Diberikan Kepada Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah Sebagai Debitur

Sistem hukum Indonesia telah memberikan pengaturan berkenaan dengan hubungan-hubungan hukum terutama dalam pemberian atau penetapan hak-hak atas tanah yang merupakan wewenang negara yang diselenggarakan oleh pemerintah yang saat ini diemban oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan prosedur yang ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan. Terhadap pemberian atau penetapan hak-hak atas tanah termasuk dalam setiap penyelesaian masalah pertanahan tersebut, dimaksudkan sebagai upaya untuk pemberian jaminan kepastian

hukum bagi pemegang haknya. Untuk dapat diberikan jaminan kepastian hukum dan legitimasi dari negara, maka setiap penguasaan dan pemanfaatan atas tanah termasuk dalam penanganan masalah pertanahan harus didasarkan pada hukum dan diselesaikan secara hukum (yuris-teknis).

Secara yuridis formal, pengaturan lebih konkrit mengenai pendaftaran tanah dapat ditemukan pada Pasal 19 UUPA yang mengamanatkan kepada pemerintah agar di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pendaftaran tanah, dengan tujuan mencapai kepastian hukum. Sebagai penjabaran lebih lanjut ketentuan ini, diterbitkan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan kemudian diperbarui dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dengan pertimbangan penyesuaian dengan tuntutan dan perkembangan akan kepastian hukum hak atas tanah.

Berdasarkan pengertian pada Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Adapun yang dimaksud Pasal 19 ayat (2) huruf c pada Undang-Undang Pokok Agraria dalam pengertian sertipikat, yaitu pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan, dikatakan demikian karena selama tidak ada bukti lain yang membuktikan ketidakbenarannya, kecuali dibuktikan

sebaliknya oleh Pengadilan, maka keterangan yang ada dalam sertipikat harus dianggap benar, dengan tidak perlu bukti tambahan sedangkan alat bukti lain tersebut hanya dianggap sebagai alat bukti permulaan dan harus dikuatkan oleh alat bukti yang lainnya.

Dengan demikian, sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai macam hak, subyek hak maupun tanahnya. Penerbitan sertipikat dan diberikan kepada yang berhak dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya. Sedangkan fungsi sertipikat adalah sebagai alat pembuktian kepemilikan hak atas tanah.

Hal ini lebih diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dalam ketentuan Pasal 32 yang menyebutkan bahwa:

a. Ayat (1) :

Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam Surat Ukur dan Buku Tanah hak yang bersangkutan;

b. Ayat (2) :

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Ketentuan Pasal 32 tersebut adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya

sungguhpun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif bertendensi positif.54 Khususnya pada ayat (2) Pasal 32 tersebut bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama seseorang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertipikat itu dia tidak menuntut/mengajukan gugatan pada pengadilan mengenai penguasaan hak atas atau penerbitan sertipikat tersebut. Jadi, sertipikat hak atas tanah adalah salinan buku tanah dan surat ukur tersebut kemudian dijilid menjadi satu dengan sampul yang telah ditetapkan bentuknya, sehingga terciptalah sertipikat hak atas tanah.

Hal-hal yang dapat dibuktikan dalam sertipikat hak atas tanah tersebut adalah: 1. Jenis hak atas tanah;

2. Pemegang hak;

3. Keterangan fisik tentang tanah; 4. Beban di atas tanah;

Jelaslah apabila seseorang memiliki sertipikat hak atas tanah akan merasa terjamin akan kepastian hak atas tanah yang dimiliknya, sebab apabila terjadi pelanggaran atas tanah hak miliknya maka pemilik tanah dapat menuntut haknya kembali.

Di dalam sistem kegiatan perbankan antara debitur dengan kreditur, maka terdapat suatu aliran kas yang disebut dengan cash flow. Dimana cash flow tersebut adalah merupakan arus kas atau aliran kas yang ada di perusahaan dalam suatu periode tertentu. Cash flow menggambarkan berapa uang yang masuk (cash in) ke

54

perusahaan dan jenis-jenis pemasukan tersebut. Cash flow juga menggambarkan berapa uang yang keluar (cash out) serta jenis-jenis biaya yang dikeluarkan. Di dalam

cash flow semua data pendapatan yang akan diterima dan biaya yang akan

dikeluarkan baik jenis maupun jumlahnya diestimasi sedemikian rupa, sehingga menggambarkan kondisi pemasukan dan pengeluaran di masa yang akan datang.55

Sehingga dengan demikian, arus kas yang dimaksud adalah merupakan jumlah uang yang masuk dan keluar dalam suatu perusahaan, mulai dari investasi dilakukan sampai dengan berakhirnya investasi tersebut. Dalam hal ini bagi investor yang terpenting adalah berapa kas bersih yang diterima dari uang yang diinvestasikan di suatu usaha. Pentingnya kas akhir bagi investor jika dibandingkan dengan laba yang diterima perusahaan, dikarenakan:56

1. Kas diperlukan untuk memenuhi kebutuhan uang tunai sehari-hari; 2. Kas digunakan untuk membayar semua kewajiban yang jatuh tempo; 3. Kas juga digunakan untuk melakukan investasi kembali.

Adapun jenis-jenis cash flow yang dikaitkan dengan suatu usaha, terdiri dari:57

a. Initial cash flow atau lebih dikenal dengan kas awal yang merupakan

pengeluaran-pengeluaran pada awal periode untuk investasi;

b. Operasional cash flow merupakan kas yang diterima atau dikeluarkan pada saat

operasi usaha, seperti penghasilan yang diterima dan pengeluaran yang dikeluarkan pada suatu periode;

55 Kasmir dan Jakfar, Studi Kelayakan Bisnis, Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), hlm. 92.

56Ibid. 57Ibid.

c. Terminal cash flow merupakan uang kas yang diterima pada saat usaha tersebut berakhir.

Berkenaan dengan perlindungan hukum, maka adapun perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) kepada debitur adalah sebagai berikut:

1. Roya Partial (Pasal 2 Ayat (2) UUHT)

Menurut Pasal 2 Ayat (2) UUHT, apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka dalam APHT yang bersangkutan dapat diperjanjikan bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi. Penghapusan atau roya Hak Tanggungan secara sebagian-sebagian tersebut disebut Roya Partial. Untuk berlakunya ketentuan mengenai Roya Partial ini, harus diperjanjikan didalam APHT yang bersangkutan.58

2. Asas Spesialitas (Pasal 11 Ayat (1) UUHT)

Adapun yang dimaksud dengan Asas Spesialitas adalah bahwa dalam APHT harus disebutkan secara jelas mengenai pencantuman nama dan identitas para pihak, domisili para pihak, penunjukan secara jelas utang-utang yang dijamin, nilai

tanggungan dan uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan ( Pasal 11 Ayat (1) UUHT ).

Asas Spesialitas ini untuk menjamin kepastian jumlah utang, kepastian nilai tanggungan dan kepastian mengenai obyek yang dijadikan jaminan. Kepastian mengenai jumlah utang ini akan terkait dengan nilai tanggungan. Nilai tanggungan pada hakekatnya merupakan kesepakatan mengenai sampai sejumlah berapa pagu atau batas jumlah utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu. Utang tersebut bisa kurang, bisa juga lebih besar dari nilai tanggungan yang disepakati. Kalau utang yang sebenarnya lebih besar, maka yang dijamin secara khusus dengan Hak Tanggungan terbatas sebesar nilai tanggungan yang dicantumkan di dalam APHT. Untuk utang selebihnya, pelunasan piutangnya dijamin dengan jaminan umum menurut Pasal 1131 KUHPerdata yang berarti tidak memberikan kedudukan diutamakan (Droit de Preference) kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan tersebut.59

3. Janji yang dilarang/Vervalbeding (Pasal 12 UUHT)

Maksud dari ketentuan tersebut adalah bahwa kreditur dalam APHT tidak diperkenankan untuk memperjanjikan, bahwa kalau debitur wanprestasi, benda jaminan otomatis (tanpa melalui pelelangan umum) menjadi milik kreditur.60 Larangan pencantuman janji yang demikian, dimaksudkan untuk melindungi debitur,

59Ibid.

agar dalam kedudukan yang lemah dalam menghadapi kreditur karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugikan baginya.

Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan dilarang melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis dari pemegang Hak Tanggungan. Janji ini memberikan perlindungan kepada kreditur yaitu adanya jaminan debitur tidak akan melepaskan haknya begitu saja atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan kreditur, sehingga debitur tetap berkewajiban melunasi hutangnya kepada kreditur.

Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT. Janji-janji tersebut dicantumkan dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan. Objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang hak tanggungan bila debitur cidera janji. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki objek hak tanggungan apabila debitur cidera janji, batal demi hukum, sebagaimana ketentuan yang tercantum pada Pasal 12 UUHT. Hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada debitur yang berada dalam posisi yang lemah dalam menghadapi pihak kreditur.

4. Penjualan di bawah tangan (Pasal 20 Ayat (2) UUHT)

Penjualan obyek Hak Tanggungan “di bawah tangan“ artinya penjualan yang tidak melalui pelelangan umum. Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan melalui pelelangan umum, karena dengan cara demikian diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek Hak Tanggungan yang dijual. Dalam keadaan

tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, atas kesepakatan pemberi dan penerima Hak Tanggungan serta dengan dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang disebut dalam Pasal 20 Ayat (3) UUHT, dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan, jika dengan cara demikian akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.61

Penjualan di bawah tangan dari obyek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan apabila debitur menyetujuinya. Dengan persetujuan dari debitur tersebut, berarti debitur telah memperkirakan bahwa penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan akan diperoleh harga yang lebih tinggi daripada obyek Hak Tanggungan tersebut dijual melalui pelelangan umum, sehingga hal ini akan menguntungkan debitur dan akan lebih menjamin pelunasan piutangnya kreditur.

5. Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 UUHT)

Apabila Hak Tanggungan hapus (Pasal 18 Ayat (1) UUHT), maka perlu dilakukan pencoretan (roya), artinya pencoretan adanya beban Hak Tanggungan tersebut pada Buku Tanah hak atas tanah dan sertipikatnya. Jika tidak demikian, maka masyarakat umum tidak akan mengetahui posisi hapusnya Hak Tanggungan, sehingga akan terdapat kesulitan untuk mengalihkan atau membebani kembali tanah tersebut.62

61 Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 444-445.

62Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT, (Semarang: FH UNDIP, 2001), hlm. 83.

Pencoretan Hak Tanggungan atau biasa disebut roya, merupakan tindakan administratif yang perlu dilakukan agar data mengenai tanah selalu sesuai dengan kenyataan yang ada. Hak Tanggungan hapus bukan karena ada roya, tetapi justru karena Hak Tanggungan sudah hapus, maka ia perlu diikuti dengan pengroyaan, yaitu pencoretan catatan beban Hak Tanggungan pada Buku Tanah dan serpifikat hak atas tanah yang bersangkutan.63

Dengan dilakukannya pencoretan catatan Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan sehubungan dengan hapusnya Hak Tanggungan tersebut, maka pihak ketiga yang berkepentingan akan mengetahui bahwa Hak Tanggungan itu telah hapus, sehingga debitur atau pemberi Hak Tanggungan dapat dengan mudah untuk mengalihkan atau membebani kembali tanah tersebut.