• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

C. Permasalahan Pemenuhan Kebutuhan Gizi

Dari hasil wawancara diketahui bahwa anak-anak kurang menyukai buah dan sayur yang disediakan, walaupun biasanya mereka tetap dipaksa dengan berbagai macam cara, misalkan dengan menjus

buah-buahan dan menyaringnya, mencontohkannya, merayunya, memberinya uang dan mengurangi kemudian menambahkan porsinya sedikit demi sedikit sampai akhirnya buah atau sayur tersebut dimakan, seperti kutipan di bawah ini:

“Untuk sayur dan buah, anak-anak sih ga pada suka kalo kita ga paksa, anak-anak sih sukanya buah yang mahal-mahal kaya anggur atau buah yang kecil-kecil tapi kita jarang beli, yang sering kita beli memang mereka ga suka tapi kalo di depan saya ya suka ga suka mereka pasti mau... kadang kita rayu ntar dapet duit sambil kita tutup hidungnya, kalo ga kita contohin nih.. mama juga minum.. ga ada yang muntah sih.. paling porsi kita kurangin

separo, tapi lama-lama kita tambahin, lama-lama habis”

(Pengasuh)

Akan tetapi permasalahan selanjutnya adalah ketika tidak ada yang memaksanya, misalkan ketika pengasuh sedang sibuk, tidak ada di rumah, dan tidak ada yang mengingatkan dan merayunya, biasanya anak-anak tidak mau makan sayur. Seperti kutipan wawancara berikut ini:

“permasalahannya ya… itu….klo ga diperhatiin sama

kita ya gitu seenaknya, klo udah laper baru makan, kalo ga

disuapin makannya ya… sayurnya disingkirin, dan kalo kita pergi

semua ya.. sayur ga ada yang sentuh. Jadi ya… itu sih

kesulitannya” (Pengasuh)

kemudian ibu atau pengasuh juga mendapatkan masalah yang lebih sulit dalam pemenuhan kebutuhan gizi anak dengan inisial N. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara mendalam diketahui bahwa sangat sulit bagi pengasuh untuk memberikan makanan pada N yang tidak lain adalah anak kandungnya sendiri. Walaupun usianya lebih tua dari yang lain, tapi ia lebih manja. Biasanya ia makan harus dengan makanan

yang ia sukai saja, dan biasanya makannya pun harus disuapi berbarengan dengan anak yang diasuh lainnya yang masih balita. Pengasuh mengatakan bahwa anaknya maunya makannya yang enak-enak saja seperti ayam goreng, akan tetapi ia tidak bisa menyanggupi karena ia harus adil dengan anak yang lainnya.

3. Asupan Gizi Anak Terinfeksi HIV a. Asupan Energi

Untuk menghitung kebutuhan energi anak terinfeksi HIV, peneliti menggunakan penentuan kebutuhan energi dengan menghitung Angka Metabolisme Basal (AMB) berdasarkan rumus Harris Benedict sebagai berikut:

1) Laki-laki = 66 + (13,7 x BB) + (5 x TB)- (6,8 x U) 2) Perempuan = 65,5 + ( 9,6 x BB) + (1,8 x TB) – (4,7 x U)

Sehingga Kebutuhan energi bagi anak terinfeksi HIV yang tinggal di Yayasan Tegak Tegar Tahun 2013 adalah sebagai berikut:

1) Informan K: 65,5 + (9,6 x 26,4) + (1,8 x 125,2) – (4,7 x 10) = 497 kkal 2) Informan D: 66 + (13,7 x 29,9) + (5 x 140,2) – (6,8 x 11) = 1102 kkal 3) Informan N: 66 + (13,7 x 26,25) + (5 x 132,2) – (6,8 x 13) = 998 kkal

Berdasarkan pedoman Almatsier (2005), kebutuhan gizi dalam keadaan sakit, selain tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi dalam keadaan sehat juga dipengaruhi oleh jenis dan berat ringannya penyakit. Oleh karena itu bagi anak terinfeksi HIV yang tinggal di Yayasan Tegak Tegar yang tidak terikat di tempat tidur dan tidak ada stres serta dalam keadaan gizi baik maka Angka Metabolisme Basal (AMB) selanjutnya dikalikan dengan 1,3 (faktor aktivitas) dan 1,3 (faktor trauma/stress). Sehingga kebutuhan energinya menjadi:

1) Informan K : 497 x 1,3 x 1,3 = 840 kkal 2) Informan D : 1102 x 1,3 x 1,3 = 1862 kkal 3) Informan N : 998 x 1,3 x 1,3 = 1687 kkal

Lain halnya jika menggunakan acuan dari WHO (2003) yang menyatakan bahwa kebutuhan energi bagi anak terinfeksi HIV pada periode tanpa gejala mengalami kenaikan sebesar 10% untuk menunjang pertumbuhan. Jika mengacu pada WHO tersebut maka kebutuhan energi bagi informan K adalah sebesar 546 kkal, informan D sebesar 1212 kkal, dan informan N sebesar 1098 kkal.

Sementara itu berdasarkan hasil food recall 24 jam selama 3 hari diketahui bahwa asupan energi informan K pada hari pertama sebesar 909,5 kkal, hari ke-2 835,2 kkal dan hari ke-3 1134,3 kkal. Jika kebutuhan energi mengacu pada WHO (2003) yaitu sebesar 546 kkal maupun Almatsier (2005) yaitu 840 kkal, dapat dikatakan bahwa kebutuhan energi informan K sudah terpenuhi.

Lain halnya dengan informan D, asupan energi yang ia dapatkan sebesar 840,5 kkal pada hari pertama penelitian, 1184,9 kkal pada hari ke-2, dan 1254,9 kkal pada hari ke-3. Jika dibandingkan dengan kebutuhan energinya berdasarkan WHO (2003) yaitu sebesar 1212 kkal maka dapat dikatakan bahwa kebutuhan energi informan D belum terpenuhi saat penilaian konsumsi makanan hari pertama, di hari pertama tersebut porsi makan informan D memang lebih sedikit dibanding hari-hari lainya yaitu hanya dengan 1 centong nasi putih dan 1 potong tempe yang kecil dan tipis.

Sementara itu jika kebutuhan energi mengacu pada Almatsier (2005) yaitu sebesar 1862 kkal dapat dikatakan bahwa kebutuhan energinya belum mencukupi. Walaupun asupan makanan informan D lebih banyak dari informan-informan lainnya, akan tetapi kebutuhan energinya belum tercukupi. Hal ini dikarenakan kebutuhannya yang lebih tinggi juga dibanding informan-informan lainya.

Sementara itu asupan energi yang didapat pada informan N diketahui sebesar 452,9 kkal pada hari pertama penelitian, 326,3 kkal di hari ke-2 dan 584,5 kkal di hari ke-3. Jika mengacu pada angka kebutuhan energinya baik berdasarkan Almatsier (2005) yaitu sebesar 1687 kkal maupun WHO (2003) yaitu sebesar 1098 kkal, maka dapat dikatakan bahwa kebutuhan energi informan N sangat jauh dari kata tercukupi.

b. Pemenuhan Kebutuhan Protein

Berdasarkan acuan dari WHO (2003), asupan protein pada anak terinfeksi HIV yaitu 12%-15% dari asupan energi total. Akan tetapi jika mengacu pada Almatsier (2005) aspan protein yang dibutuhkan adalah 1,1-1,5 g/kg. sehingga berdasarkan acuan tersebut maka dapat diketahui kebutuhan protein anak terinfeksi HIV yang tinggal di Yayasan Tegak Tegar adalah sebagai berikut:

1) Informan K

Jika mengacu pada WHO (2003), dengan kebutuhan energi sebesar 546 kkal, maka kebutuhan energi yang berasal dari protein adalah sebesar 66-82 kkal atau 16-20 gram protein. Jika mengacu pada Almatsier (2005) dengan berat badan sebesar 26,4 kg maka kebutuhan proteinnya adalah 29-39 gram protein

2) Informan D

Jika mengacu pada WHO (2003), dengan kebutuhan energi sebesar 1212 kkal, maka kebutuhan energi yang berasal dari protein adalah sebesar 145-182 kkal atau 36-45 gram protein. Jika mengacu pada Almatsier (2005) dengan berat badan sebesar 29,9 kg maka kebutuhan proteinnya adalah 33-45 gram protein

3) Informan N

Jika mengacu pada WHO (2003), dengan kebutuhan energi sebesar 1098 kkal kkal, maka kebutuhan energi yang berasal dari protein adalah sebesar 132-165 kkal atau 33-41 gram protein. Jika

mengacu pada Almatsier (2005) dengan berat badan sebesar 26,25 kg maka kebutuhan proteinnya adalah 29-39 gram protein

Berdasarkan hasil food recall 24 jam selama 3 kali didapati bahwa asupan protein informan K pada hari pertama, kedua dan ketiga berturut-turut adalah 23 gram, 25 gram dan 35 gram. Jika dibandingkan dengan acuan WHO (2003), yaitu 16-20 gram protein, maka dapat dikatakan bahwa kebutuhan protein informan K sudah terpenuhi. Akan tetapi iika mengacu pada Almatsier (2005) dengan dengan kebutuhan protein sebesar 29-39 gram, maka dapat dikatakan bahwa rata-rata kebutuhan protein belum terpenuhi.

Sementara itu, bagi informan D, asupan protein yang ia dapat selama 3 kali penelitian yaitu 27 gram, 43 gram dan 50 gram. Jika dibandingkan dengan acuan baik WHO (2003) maupun Almatsier (2005) yaitu 36-45 dan 33-45 gram protein. Maka dapat dikatakan bahwa kebutuhan protein informan D rata-rata sudah tercukupi, walaupun pada hari pertama penelitian asupan proteinnya memang lebih rendah dari 2 hari lainnya.

Lain halnya dengan informan N, selama 3 hari penelitian asupan protein yang ia dapat berturut-turut adalah 18 gram, 14 gram dan 22 gram. Jika dibandingkan dengan rekomendasi kebutuhan protein baik menurut WHO (2003) yaitu 33-41 gram, maupun rekomendasi Almatsier (2005) sebesar 29-39 gram. Maka dapat kita katakan bahwa kebutuhan protein informan D belum tercukupi.

c. Pemenuhan Kebutuhan Lemak

Menurut WHO (2003), kebutuhan lemak bagi anak terinfeksi HIV tidak berbeda dengan anak-anak biasanya. Syarat diet bagi penderita HIV untuk konsumsi lemak yaitu sebesar 10-25% dari kebutuhan energi total (Almatsier, 2005).

Oleh karena itu maka dapat diketahui bahwa kebutuhan lemak dari setiap informan adalah sebagai berikut:

1) Informan K

840 x 10% = 84 : 9 = 9 gram lemak 840 x 25% = 210 : 9 = 23 gram lemak

Jadi kebutuhan lemak informan K adalah 9-23 gram lemak 2) Informan D

1862 x 10% = 186 :9 = 20 gram lemak 1862 x 25% = 465,5 : 9 = 52 gram lemak

Jadi kebutuhan lemak informan D adalah 20-52 gram lemak 3) Informan N

1687 x 10 % = 168,7 : 9 = 19 gram lemak 1687 x 25 % = 421,7: 9 = 47 gram lemak

Jadi kebutuhan lemak informan N adalah 19-47 gram lemak

Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa aupan lemak informan K pada hari pertama, ke-2 dan ke-3 adalah 20 gram, 16 gram dan 22 gram. Oleh karena jika dibandingkan dengan kebutuhan

lemaknya sebesar 9-23 gram, maka dapat dikatakan bahwa kebutuhan lemak informan K sudah terpenuhi.

Selanjutnya, asupan lemak yang dikonsumsi oleh informan D adalah sebesar 29 gram, 26 gram, dan 28 gram. Jika dibandingkan dengan kebutuhan lemaknya sebesar 20-52 gram, maka dapat dikatakan bahwa kebutuhan lemaknya sudah terpenuhi.

Lain halnya dengan informan N, asupan lemak rata-rata yang ia konsumsi selama 3 kali penelitian yaitu sebesar 9 gram. Jika dibandingkan dengan kebutuhan lemaknya sebesar 19-47 gram, maka bisa dikatakan bahwa pemenuhan kebutuhan lemak informan N masih jauh dari yang direkomendasikan.

d. Pemenuhan Kebutuhan Vitamin dan Mineral

Menurut Almatsier (2005), anak terinfeksi HIV membutuhkan asupan vitamin dan mineral yang tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG), terutama vitamin A, B12, C, E,

folat, kalsium, magnesium, seng dan selenium. Jika mengacu pada rekomendasi tersebut maka dapat diketahui kebutuhan gizi mikro bagi informan K, D dan N menjadi sebagai berikut:

Tabel 5.2

Angka Kecukupan Gizi Mikro Anak Terinfeksi HIV

(diadaptasi dari Almatsier, 2005)

Akan tetapi, pada penelitian ini asupan selenium tidak diikutsertakan, karena untuk menganalisis besarnya zat gizi yang dikonsumsi anak, peneliti menggunakan software nutrisurvey, namun nutrisurvey tersebut belum bisa menganalisis besarnya asupan selenium yang dikonsumsi seseorang.

Berdasarkan hasil food recall 24 jam selama 3 hari pada anak terinfeksi HIV di Yayasan Tegak Tegar dapat diketahui bahwa konsumsi vitamin dan mineralnya adalah sebagai berikut:

Informan Vit A (RE) Vit B12 (µg) Vit C (mg) Vit E (mg) Fol-at (µg) Kal-sium (mg) Magne sium (mg) Seng (mg) Sele-nium (µg) Besi (mg) K 900 2,7 217 16,5 450 1500 270 18,9 30 30 D 900 2,7 207 16,5 450 1500 255 21 30 19,5 N 900 3,6 225 22,5 600 1500 330 26 45 28,5

Tabel 5.3

Asupan Vitamin dan Mineral Informan K selama 3 hari

Zat gizi Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Rata-rata Rekomendasi

Vit. A (µg) 842.1 233.9 372.3 482.7 900 Vit. B12 (µg) 0.3 0.7 1.1 0.7 2,7 Vit. C (mg) 14.7 13.2 9.2 12.3 217 Vit. E (eq.) (mg) 2.5 2.3 2.3 2.4 16,5 Asam folat (µg) 91.7 73.5 82.0 82.4 450 Kalsium (mg) 252.2 206.4 226.4 228.3 1500 Magnesium (mg) 119.5 274.5 351.8 248.6 270 Zinc (mg) 3.7 4.4 6.2 4.7 18,9 Besi (mg) 4.9 4.9 6.1 5.3 30 Tabel 5.4

Asupan Vitamin dan Mineral Informan D selama 3 hari

Zat gizi Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Rata-rata Rekomendasi

Vit. A (µg) 271.9 317.3 317.3 302.2 900 Vit. B12 (µg) 0.5 1.7 1.7 1.3 2,7 Vit. C (mg) 10.5 11.9 11.9 11.4 207 Vit. E (eq.) (mg) 2.9 4.0 4.0 3.6 16,5 Asam folat (µg) 64.1 99.8 99.8 87.9 450 Kalsium (mg) 283.3 256.8 256.8 265.6 1500 Magnesium (mg) 114.8 383.1 383.1 293.7 255 Zinc (mg) 3.5 6.6 6.6 5.6 21 Besi (mg) 4.7 7.2 5.3 5.7 19,5

Tabel 5.5

Asupan Vitamin dan Mineral Informan N selama 3 hari Zat gizi Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3

Rata-rata Rekomendasi Vit. A (µg) 99.4 66.1 64.6 76.7 900 Vit. B12 (µg) 0.5 0.4 0.1 0.3 3,6 Vit. C (mg) 4.8 4.8 4.8 4.8 225 Vit. E (eq.) (mg) 0.9 0.5 0.5 0.6 22,5 Asam folat (µg) 26.2 13.2 20.6 20 600 Kalsium (mg) 137.5 114.6 136.3 129.5 1500 Magnesium (mg) 124.8 68.9 167.4 120.4 330 Zinc (mg) 2.3 1.9 2.6 2.3 26 Besi (mg) 2.6 2.0 2.9 2.5 28,5

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa semua asupan vitamin dan mineral pada anak terinfeksi HIV yang tinggal di Yayasan Tegak Tegar tahun 2013 belum sesuai dengan yang direkomendasikan.

63

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Pengetahuan Gizi

Untuk memenuhi kebutuhan gizi anak, dibutuhkan pengetahuan gizi yang baik oleh ibu. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dapat diketahui bahwa informan utama atau pengasuh dari anak terinfeksi HIV yang tinggal di Yayasan Tegak Tegar mempunyai pengetahuan gizi yang cukup baik, karena sebagian besar pertanyaan tentang gizi dapat ia jelaskan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari pengetahuan ia tentang gizi seimbang, pemaparannya tentang contoh makanan sumber energi, protein, vitamin dan serat. Ia dapat menjelaskan bahwa makanan yang sebaiknya diberikan pada anak adalah makanan yang terbuat dari bahan-bahan yang baik, bersih serta mempunyai kandungan gizi yang seimbang.

Informan juga mengetahui bahwa pemenuhan kebutuhan gizi pada anak terinfeksi HIV cukup penting, karena menjadikan anak tidak mudah terserang penyakit. Seperti yang dijelaskan oleh FANTA dan AED (2008) bahwa pemenuhan kebutuhan gizi pada anak terinfeksi HIV sangat penting, karena jika kebutuhan gizi yang meningkat tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan gizi buruk yang akan menyebabkan perkembangan HIV ke AIDS jadi lebih cepat sehingga anak sering mengalami infeksi oportunistik.

Dari beberapa pertanyaan tentang gizi, pengasuh hanya tidak tahu jika terdapat peningkatan kebutuhan gizi pada anak terinfeksi HIV. Seperti yang dijelaskan oleh WHO (2003) bahwa terjadi peningkatan kebutuhan gizi pada anak terinfeksi HIV baik pada fase asimtomatik (tanpa gejala), maupun pada fase simptomatik (terdapat gejala), dan pada fase terjadi penurunan berat badan. Pengetahuan gizi yang baik ini bisa terjadi karena pengasuh mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi yaitu strata 1 (S1) dan pekerjaan yang mempermudahnya untuk mengakses informasi lebih banyak. Menurut Mirsanjari, dkk (2012) tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi pengetahuan gizinya, karena ibu yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi dan bekerja akan lebih mudah untuk mengakses internet, buku, majalah sebagai sumber informasi di tempat kerjanya, salah satunya informasi tentang gizi. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Winkel (1984) dalam Khomsan dkk (2007) yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh kemampuan intelektualnya.

Sementara itu menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Sama halnya dengan penelitian ini, yaitu pengetahuan informan tentang manfaat dari terpenuhinya kebutuhan gizi. Ia mengetahui manfaat tersebut karena pengalamannya dahulu ketika anaknya sangat susah makan, ia mudah sekali untuk terserang penyakit.

Pengetahuan gizi yang baik ini akan menyadarkan ibu tentang pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi pada anak terinfeksi HIV, sehingga ibu akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka. Berdasarkan teori

terbentuknya perilaku dari WHO dalam Notoatmodjo (2007), pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak disadari oleh pengetahuan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mandal (2005), pendidikan gizi pada ibu akan berpengaruh positif terhadap status gizi anak-anak mereka. Sama halnya dengan hasil penelitian Segal-Isaacson, dkk (2006) yang membagi 466 wanita odha secara acak dalam 4 kelompok yang menerima dua kali sesi pelatihan yang terdiri dari pelatihan pengelolaan stres dan pendidikan gizi, hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan gizi dapat meningkatkan asupan gizi dan pola makan pada wanita odha tersebut.

B. Perilaku pemenuhan kebutuhan gizi

Perilaku pemenuhan kebutuhan gizi adalah suatu kegiatan atau aktifitas seseorang yang dilakukan dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan makan untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi tubuh baik yang dapat diamati langsung maupun tidak langsung. Pembentukan pola makan perlu diterapkan sesuai pola makan keluarga. Peranan orang tua khususnya ibu sangat dibutuhkan untuk membentuk perilaku makan yang sehat. Seorang ibu dalam hal ini harus mengetahui, mau dan mampu menerapkan makan yang seimbang atau sehat dalam keluarga karena anak akan meniru perilaku makan dari orang tua dan orang-orang di sekelilingnya dalam keluarga (Soenardi, 2004).

Sementara itu, perilaku pemenuhan kebutuhan gizi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya-upaya yang dilakukan ibu atau pengasuh untuk memenuhi kebutuhan gizi anak terinfeksi HIV yang tinggal di yayasan Tegak Tegar, yang terdiri dari upaya ketersediaan makanan dan upaya pemberian makanan.

1. Ketersediaan Makanan

Ketersediaan makanan bagi anak terinfeksi HIV sangat penting karena jika kebutuhan gizi anak terinfeksi HIV yang meningkat tidak terpenuhi karena kurangnya ketersediaan makanan, asupan makanan rendah, pencernaan dan penyerapan (utilisasi) yang buruk, maka akan mengakibatkan gizi buruk. Akibatnya, perkembangan penyakit HIV menjadi AIDS jadi lebih cepat, sering mengalami infeksi oportunistik dan seperti itu teruslah siklusnya (FANTA & AED, 2008)

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa ketersediaan bahan makanan untuk mencukupi kebutuhan gizi pada anak terinfeksi HIV di Yayasan Tegak Tegar sudah baik. Hal ini terjadi karena yayasan mempunyai akses yang lebih mudah untuk mendapatkan bantuan sosial dibandingkan dengan odha pada umumnya (yang tidak tinggal di Yayasan).

Yayasan mempunyai persediaan susu dan beras yang cukup untuk setiap bulannya yang diberikan oleh beberapa lembaga sosial. Yayasan juga mempunyai dana rutin dari donatur tetap untuk membiayai kebutuhan

sehari-hari seperti pembelian bahan makanan rutin setiap seminggu sekali yang terdiri dari sayur, buah serta lauk pauk nabati maupun hewani.

Menurut teori Snehandu B. Kar dalam Notoatmodjo (2007), dukungan sosial dari masyarakat (social support) juga berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Seperti halnya pada penelitian ini, dukungan sosial dari suatu lembaga untuk memberikan beras dan susu setiap bulannya sangat membantu yayasan dalam menyediakan kebutuhan gizi bagi anak-anak terinfeksi HIV yang tinggal di sana. Informan utama mengatakan bahwa sebelum adanya bantuan, sangat berat sekali ketika ia harus menyediakan sendiri sekarung beras setiap bulannya untuk memenuhi kebutuhan makan anak-anak yang tinggal di Yayasan Tegak Tegar.

Teori WHO dalam Notoatmodjo (2007) juga menyatakan bahwa sumber daya dapat berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat. Sumber daya di sini mencakup fasilitas, uang, waktu tenaga, dan sebagainya. Seperti yang terjadi pada anak terinfeksi HIV yang tidak tinggal di Yayasan, biasanya mereka tinggal bersama neneknya, ada yang neneknya bekerja dengan penghasilan yang seadanya, ada juga yang hanya berharap belas kasian dari saudara lainnya yang juga penghasilannya pas-pasan. Walaupun mereka juga mendapatkan bantuan dari yayasan sebulan sekali, tetapi terkadang akses untuk mendapatkannya sulit, misalkan akses dari rumah ke yayasan yang cukup jauh yang membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup untuk mengambil bantuan sosial membuat nenek terkadang malas untuk mengambilnya.

Kemudian ketersediaan ibu untuk mengolah dan memasak makanan sendiri juga berpengaruh terhadap asupan gizi anak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Swanson (2011), bahwa ibu yang jarang menyediakan sarapan, memasak/mengolah masakan sendiri, dan menyediakan waktu untuk makan bersama cenderung mempunyai anak-anak yang kualitas makananya kurang baik.

Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan beberapa kali, ibu atau pengasuh biasanya mengolah dan memasak sendiri makanan untuk anak-anaknya, dengan dibantu oleh seorang temannya yang tinggal di yayasan tersebut. Saat mengolah dan memasak makanan untuk anaknya tersebut terkadang ia mengajak serta anaknya karena kebetulan anak-anak tersebut sekolah siang. Hal ini sangat baik karena dapat memperkenalkan anak dengan makanan yang sehat dan menjadikan anak bersemangat untuk makan karena ia merasa sudah bersusah payah memasaknya jadi tidak akan melewatkan waktu makan. Selain itu anak juga akan lebih senang makan bersama keluarga ketimbang jajan di luar.

2. Pemberian Makanan

Perilaku pemberian makan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perilaku pemberian makanan yang dilakukan oleh ibu atau pengasuh sebagai upaya pemenuhan kebutuhan gizi anak yang terdiri dari porsi dan komposisi pemberian makanan, frekuensi dan waktu pemberian makanan,

serta pantangan makanan yang diberikan ibu kepada anak-anak terinfeksi HIV di Yayasan Tegak Tegar.

a. Porsi dan Komposisi makanan

Makanan yang direkomendasikan untuk anak-anak dengan HIV/ AIDS sama seperti anak pada umumnya, tetapi mereka memiliki kebutuhan nutrisi tambahan yang harus diperhitungkan (WHO, 2009).

Pada umur 10-12 tahun, kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Anak laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas fisik, sehingga membutuhkan energi lebih banyak, sedangkan anak perempuan biasanya sudah mulai menstruasi, sehingga memerlukan protein dan zat besi yang lebih banyak. Golongan anak ini disebut juga golongan anak sekolah, yang biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktivitas di luar rumah, sehingga sering melupakan waktu makan (RSCM dan Persagi, 1994).

Menurut Damayanti dan Muhilal (2006), untuk sehari mereka (anak laki-laki usia 10-12 tahun) seharusnya mengkonsumsi 5 porsi nasi atau setara dengan 500 gram nasi, 3 porsi sayuran atau setara dengan 300 gram sayuran, 4 porsi buah atau setara dengan 400 gram buah, 3 porsi tempe atau setara dengan 150 gram tempe, 2 ½ porsi daging atau setara dengan 125 gram daging, 1 porsi susu atau setara dengan 200 ml susu, 1 porsi minyak atau setara dengan 25 gram minyak, dan 2 porsi gula atau setara dengan 20 gram gula.

Sementara itu untuk porsi makan anak perempuan seusia tersebut dibutuhkan porsi nasi dan daging yang lebih sedikit yaitu 4 porsi nasi atau setara dengan 400 gram nasi dan 2 porsi daging atau setara dengan 100 gram daging, sedangkan untuk jenis makanan yang lainnya dibutuhkan porsi yang sama dengan anak laki-laki (RSCM & Persagi, 1994).

Menurut WHO (2009), untuk dapat meningkatkan asupan energi pada anak terinfeksi HIV yang berusia 7-14 tahun dapat diberikan, 1) tiga sendok teh margarin/minyak ke dalam bubur/makanan dan dua sendok teh gula ke dalam bubur/makanan, 2) dua cangkir tambahan susu full cream yang difortifikasi, 3) dua cangkir tambahan yoghurt, 4) tiga helai keju/selai kacang /sandwich telur [6 iris].

Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan, anak-anak terinfeksi HIV di Yayasan Tegak Tegar biasanya menentukan porsi makannya sendiri, hanya sesekali saja anak disuapi. Anak dengan insial D (laki-laki, 11 tahun) dan K (perempuan, 9 tahun 10 bulan) rata-rata memilki porsi nasi yang hampir mendekati dengan porsi yang dianjurkan tersebut yaitu 475 gram nasi dikonsumsi oleh D dan 325 gram nasi oleh K.

Akan tetapi tidak begitu halnya pada anak dengan inisial N (laki-laki, 12 tahun 10 bulan), berdasarkan hasil pengamatan yang peneliti lakukan, informan N mempunyai kebiasaan makan dengan porsi yang sangat sedikit untuk anak diusianya yaitu hanya 225 gram nasi dalam sehari, biasanya ia makan dengan anak yang masih balita, 1 porsi untuk

berdua, atau 1 porsi hanya 1 piring kecil (piring cangkir) yang berisi nasi dan lauk pauknya. Padahal porsi nasi dalam sehari yang dianjurkan untuk anak laki-laki usia 10-12 tahun adalah 5 porsi atau setara dengan 500

Dokumen terkait