• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Kebutuhan Gizi Anak Terinfeksi HIV

3. Vitamin dan Mineral

Vitamin dan mineral sangat penting dalam perkembangan dan daya tahan tubuh, jika tubuh tidak didukung oleh asupan vitamin dan mineral yang

baik maka virus akan mudah menyerang dalam kata lain penyakit sangat mudah untuk memasuki tubuh penderita HIV/AIDS (Jafar, 2004).

Menurut Almatsier (2005) dianjurkan untuk memberikan vitamin dan mineral 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan Gizi (AKG), terutama vitamin A, B12, C, E, folat, kalsium, magnesium, seng dan selenium. Bila perlu, dapat ditambahkan vitamin berupa suplemen, akan tetapi megadosis harus dihindari karena dapat menekan kekebalan tubuh.

Tabel 2.4

Angka Kecukupan Gizi Mikro Anak

a. Vitamin A

Menurut Almatsier (2004), vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada manusia dan hewan. Retinol berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B (leukosit yang berperan dalam proses kekebalan tubuh humoral). Di samping itu kekurangan vitamin A dapat menurunkan respon antibodi yang bergantung pada sel-T (limfosit yang berperan pada kekebalan tubuh selular).

Umur Vit A (RE) Vit B12 (ug) Vit C (mg) Vit E (mg) Fol-at (ug) Kal-sium (mg) Magne sium (mg) Seng (mg) Sele-nium (ug) Besi (mg) Laki-laki (10-12 th) 600 1,8 138 11 300 1000 170 14 20 13 Wanita (10-12 th) 600 1,8 145 11 300 1000 180 12,6 20 20 Laki-laki (13-15 th) 600 2,4 150 15 400 1000 220 17,4 30 19 Sumber: AKG, 2004

WHO merekomendasikan bagi anak yang terinfeksi HIV untuk makan makanan sehat yang memenuhi kebutuhan zat gizi mikro. Sayur-sayuran dan buah-buahan (sayur dan buah berwarna kuning, oranye, hijau tua misalnya bayam, labu, wortel, apricot, papaya dan mangga yang merupakan sumber vitamin A yang baik) (Nursalam & Kurniawati, 2009).

Menurut ECSA-HC, dkk (2008) beberapa anak yang terinfeksi HIV asupan makanannya tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan zat gizi mikro sehingga mereka memerlukan suplemen, terutama jika terjadi kekurangan. Suplementasi zat gizi mikro harus mengikuti rekomendasi WHO dan tidak boleh melebihi tingkat RDA.

WHO merekomendasikan anak-anak 6-59 bulan yang terinfeksi HIV untuk menerima suplemen vitamin A (200.000 IU untuk anak-anak > 12 bulan) setiap 4-6 bulan. Rekomendasi WHO ini bertujuan untuk mencegah kekurangan vitamin A pada anak-anak. Akan tetapi tidak dianjurkan untuk meningkatkan dosis atau frekuensi pemberian vitamin A pada anak yang terinfeksi HIV (ECSA-HC dkk, 2008).

b. Vitamin B12

Menurut Nursalam dan Kurniawati (2009), vitamin B12 bagi penderita HIV penting untuk fungsi dan pengantaran saraf dan mencegah kelainan sumsum tulang. Sementara itu Nadhiroh (2006) menyatakan bahwa kelompok vitamin B diperlukan untuk menjaga sistem kekebalan tubuh dan saraf yang sehat.

Menurut penelitian Tang dkk (1997) terdapat peningkatan risiko perkembangan AIDS secara signifikan bagi mereka yang mempunyai serum vitamin B12 yang rendah (RH = 2.21, 95% CI = 1,13-4,34), hal ini memberikan bukti lebih lanjut bahwa konsentrasi vitamin B-12 yang rendah mempercepat perkembangan penyakit.

Sumber utama vitamin B12 adalah makanan protein hewani yang memperolehnya dari hasil sintesis bakteri di dalam usus, seperti hati, ginjal, disusul oleh susu, telur, ikan, keju, dan daging. Vitamin B12 dalam sayuran ada apabila terjadi pembusukan atau pada sintesis bakteri (Almatsier, 2004).

c. Vitamin C

Menurut Nursalam dan Kurniawati (2009), peran vitamin C pada infeksi diantaranya memperkuat sel-sel imun dalam melawan dan menetralkan radikal bebas. Sel-sel imun mengeluarkan bahan toksik untuk membunuh jamur, kuman, atau virus yang masuk ke dalam tubuh; “perang” antara sel-sel imun dengan zat asing membuat jaringan disekitarnya juga ikut rusak; dan radikal bebas yang dihasilkan dapat memperluas kerusakan itu lebih lanjut. Inilah hal khusus yang dikhawatirkan pada orang dengan HIV, mengingat virus memerlukan lingkungan seperti itu.

Buah-buahan berwarna dan sayur-sayuran berwarna gelap merupakan sumber vitamin C yang dapat membantu meningkatkan daya

tahan tubuh dalam melawan infeksi seperti tomat, kubis, jeruk, anggur, lemon, jambu, nanas, buah beri, dan lain-lain yang dapat dikonsumsi secara bergantian setiap harinya (Nursalam & Kurniawati, 2009).

Sementara itu menurut Almatsier (2004), vitamin C umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam, seperti jeruk, nanas, rambutan, papaya, gandaria, dan tomat. Vitamin C juga banyak terdapat dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol. d. Vitamin E (Tokoferol)

Menurut Almatsier (2004), fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang larut dalam lemak. Sifat antioksidannya berfungsi melindungi dan menstabilkan membran sel (Nursalam & Kurniawati, 2009).

Sumber utama vitamin E adalah minyak tumbuh-tumbuhan, terutama minyak kecambah gandum dan biji-bijian. Minyak kelapa dan zaitun hanya sedikit mengandung vitamin E. Sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber vitamin E yang baik. Daging, unggas, ikan, dan kacang-kacangan mengandung vitamin E dalam jumlah terbatas (Almatsier, 2004).

e. Folat

Menurut Almatsier (2004), folat dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah dan sel darah putih dalam sumsum tulang dan untuk pendewasaannya. Folat terutama terdapat di dalam sayuran hijau, hati,

daging tanpa lemak, serelia utuh, biji-bijian, kacang-kacangan, dan jeruk. Vitamin C yang ada dalam jeruk menghambat kerusakan folat. Bahan makanan yang tidak banyak mengandung folat adalah susu, telur, umbi-umbian, dan buah, kecuali jeruk.

Akan tetapi AZT (zidovudin) yang dikonsumsi ODHA berperan dalam terjadinya defisiensi folat. Hal ini juga terjadi pada pemakaian beberapa jenis obat yang juga biasa dipergunakan seperti: Trimethroprim dan Bactrim (trimethhropin sulfamethroxazole) yang merupakan antagonis folat karena mekanisme kerjanya secara langsung memblok folat, demikian juga Barbiturat yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit dan sebagai obat tidur (Nursalam & Kurniawati, 2009).

Kekurangan folat terutama menyebabkan gangguan metabolisme DNA. Akibatnya terjadi perubahan dalam morfologi inti sel terutama sel-sel yang sangat cepat membelah, seperti sel-sel darah merah, sel-sel darah putih serta sel-sel epitel lambung dan usus, vagina, dan serviks rahim. Kekurangan folat menghambat pertumbuhan, menyebabkan anemia megaloblastik dan gangguan darah lain, peradangan lidah dan gangguan saluran cerna (Almatsier, 2004).

f. Zinc (Seng)

Menurut Almatsier (2004), Zinc (seng) berperan dalam fungsi kekebalan, yaitu dalam fungsi sel T dan dalam pembentukan antibodi oleh sel B. Taraf darah seng yang rendah dihubungkan dengan hipogeusia atau

kehilangan indra rasa. Hipogeusia biasanya disertai penurunan nafsu makan dan hiposmia atau kehilangan indra bau.

Kehilangan Zinc (seng) terjadi jika anak mengalami diare yang merupakan gejala umum penyakit HIV. Namun, suplementasi seng di atas tingkat RDA tidak dianjurkan karena akan menyebabkan efek samping pada sistem kekebalan tubuh. Suplementasi Zinc pada anak yang mengalami diare kronis harus mengikuti pedoman MTBS atau nasional. Saat ini tidak ada peningkatan rekomendasi suplemen Zinc pada anak terinfeksi HIV jika dibandingkan dengan anak yang tidak terinfeksi HIV (ECSA-HC. dkk, 2008).

Sumber seng yang paling baik adalah sumber protein hewani, terutama daging, hati, kerang, dan telur. Serelia tumbuk dan kacang-kacangan juga merupakan sumber yang baik, namun mempunyai ketersediaan biologik yang rendah (Almatsier, 2004).

g. Selenium

Menurut Almatsier (2004), selenium bekerja sama dengan vitamin E dalam perannya sebagai antioksidan. Selenium berperan serta dalam sistem enzim yang mencegah terjadinya radikal bebas dengan menurunkan konsentrasi peroksida dalam sel, sedangkan vitamin E menghalangi bekerjanya radikal bebas setelah terbentuk. Dengan demikian konsumsi selenium dalam jumlah cukup dapat menghemat penggunaan vitamin E.

Sumber utama selenium adalah makanan laut, hati dan ginjal. Daging dan unggas merupakan sumber selenium yang baik. Kandungan selenium dalam serealia, biji-bijian, dan kacang-kacangan tergantung pada kondisi tanah tempat tumbuhnya bahan makanan tersebut. kandungan selenium pada sayur dan buah tergolong rendah (Almatsier, 2004).

Berdasarkan penelitian Campa dkk (1999), kadar plasma selenium yang rendah merupakan prediktor kematian pada anak terinfeksi HIV, dan diperkirakan terkait dengan perkembangan penyakit yang lebih cepat. Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat plasma selenium merupakan indikator yang sensitif dari perkembangan penyakit dan kematian pada pasien HIV anak.

h. Fe (Besi)

Menurut ECSA-HC, dkk (2008), anak yang terinfeksi HIV harus diberikan suplemen zat besi untuk mencegah anemia. Rekomendasi suplementasi zat besi pada anak (usia 6-11 tahun) yaitu sebesar 30-60 mg/hari yang bertujuan untuk mencegah anemia.

Besi memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh. Respon kekebalan sel oleh limfosit-T terganggu karena berkurangnya pembentukkan sel-sel tersebut, yang kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sistesis DNA. Berkurangnya sintesis DNA ini disebabkan oleh gangguan enzim reduktase ribonukleotida yang membutuhkan besi untuk dapat berfungsi. Enzim lain yang berperan dalam sistem kekebalan

adalah mieloperoksidase yang juga terganggu fungsinya pada defisiensi besi. Di samping itu dua protein pengikat besi transferin dan laktoferin mencegah terjadinya infeksi dengan cara memisahkan besi dari mikroorganisme yang membutuhkannya untuk perkembangbiakan (Almatsier, 2004).

Sumber zat besi yang baik adalah sayuran berdaun hijau, biji-bijian, produk gandum, kacang-kacangan, daging merah, ayam, hati, ikan, seafood dan telur (Nadhiroh, 2006).

Menurut Almatsier (2004), di samping jumlah besi, perlu diperhatikan kualitas besi di dalam makanan, yang dinamakan juga dengan ketersediaan biologik (bioavailability). Pada umumnya besi di dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik tinggi, besi di dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik sedang, dan besi di dalam sebagian besar sayur-sayuran, terutama yang mengandung asam oksalat tinggi, seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik yang rendah.

Dokumen terkait