• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Permasalahan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur

Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa

pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi (Kwik Kian Gie, 2002 dalam www. Bappenas.go.id/Abdul Haris, Infrastruktur Merupakan Roda Penggerak Pertumbuhan Ekonomi). Infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan

kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata dan terwujudnya stabilitas makro ekonomi, yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja.

Mekanisme pembebasan tanah yang ada saat ini dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori jika ditinjau dari aspek pemilik (proyek) pembangunan dan kepentingan pembangunannya, yaitu pembebasan tanah untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah dan pembebasan tanah untuk kepentingan swasta yang dilaksanakan oleh perorangan atau perusahaan. Peraturan yang mengatur mekanisme pembebasan tanah untuk kepentingan umum yang berlaku sampai dengan saat ini adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sedangkan mekanisme pembebasan tanah untuk kepentingan swasta diatur oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi dan beberapa

peraturan teknis yang dikeluarkan oleh Kepala BPN yang mendukung pelaksanaan izin lokasi.

Khusus untuk pembebasan tanah untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah, dalam Perpres RI Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sudah jelas disebutkan bahwa lingkup pembangunan untuk kepentingan umum hanya dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Namun, sebagian persepsi masyarakat masih menunjukkan adanya keinginan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari kegiatan pembebasan tanah tersebut dan akhirnya terkadang menimbulkan permasalahan dalam bentuk sengketa tanah.

Sengketa yang timbul dalam pembebasan tanah milik masyarakat yang terkena proyek pembangunan infrastruktur pada umumnya berawal dari konflik, pertentangan, dan ketidaksepakatan mengenai besarnya ganti rugi yang diberikan pihak pelaku pembebasan tanah. Terlebih lagi, jika pemilik tanah mengetahui sebelumnya, kalau tanah mereka akan dijadikan proyek infrastruktur, maka mereka dengan serta merta menaikkan harga jual tanahnya. Pembebasan tanah terkait dengan penguasaan tanah selain mahal juga tidak mudah dilaksanakan dan memerlukan waktu yang lama. Hasil studi yang dilaksanakan oleh Pangaribuan (2001), Hutagalung (2003), dan Siregar (2004) atas pembebasan tanah jalan lingkar luar kota Medan juga menunjukkan bahwa muncul sengketa tanah terkait dengan nilai ganti rugi dan memakan waktu yang lama.

Persoalan ganti rugi tanah menjadi komponen yang sensitif dalam proses pembebasan tanah. Pembahasan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian seringkali berakibat pada munculnya sengketa tanah. Hal ini cukup banyak terjadi akibat dari adanya pembangunan fisik infrastruktur. Berdasarkan kompilasi masalah pertanahan CPIS, yang diambil dari berbagai media massa dengan waktu penerbitan sejak tahun 1970, ternyata dari 196 berita yang ada, sebanyak 127 kasus atau 65% dari total berita adalah menyangkut sengketa ganti rugi tanah, misalnya yang terjadi dalam kasus pembangunan waduk Kedung Ombo, pembebasan tanah transmigrasi (yang dikenal dengan sebutan Proyek Sitiung), kasus tanah Cimacan, Tapos dan proyek-proyek infrastruktur lainnya (Dj. A. Simarta, 1997 dalam Haris, 2006).

Menurut Ali Sofyan Husein (1997) bahwa persoalan ganti rugi inilah yang sebenarnya menjadi topik muara dari konflik pengadaan tanah dan tidak ada hubungannya dengan tingkat partisipasi dan kesadaran pemilik tanah akan arti pentingnya tanah bagi kesejahteraan orang banyak dan kepentingan pembangunan.

Selanjutnya menurut Oloan Sitorus dan Balans Sebayang (1996) bahwa kelemahan sistem pembebasan tanah pada umumnya terletak pada kendala umum yang dihadapi Pemerintah pada waktu melakukan pembebasan tanah, yaitu ketidakmampuan Pemerintah memberi ganti kerugian sesuai dengan keinginan pemilik tanah. Akibatnya, banyak Rencana Induk Kota dan Rencana Detail Kota yang telah dibuat dengan baik dan memenuhi persyaratan formal tidak bisa direalisasikan karena keterbatasan dana untuk kepentingan prasarana umum. Masalah lain yang sering dikemukakan adalah waktu pembebasan yang cukup lama sehingga berdampak pada keterlambatan penyerapan anggaran Pemerintah atau pemerintah

daerah. Kelemahan lain yang timbul dalam pembebasan tanah adalah dampak psikologis dimana pemilik tanah dipisahkan dengan tanahnya yang selama ini telah memberikan penghidupan kepada dirinya dan keluarganya.

2.4.1. Kinerja Panitia Pembebasan Lahan

Panitia Pembebasan Lahan ini dibentuk untuk membantu pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Dengan demikian panitia pembebasan lahan hanya terlibat untuk membantu dalam hal pengadan tanah saja dan jika dilakukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Dan perlu untuk diketahui pembebasan tanah bagi pelaksanaan pembangunan dan untuk kepentingan umum dilakukan melalui cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Itu berarti panitia pembebasan lahan hanya boleh membantu pengadaan tanah yang dilakukan lewat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah seperti dimaksud oleh Keppres No. 55 Tahun 1993. (Oloan Sitorus, dkk, Pelepasan atau Penyerahan Hak Sebagai Cara Pengadaan Tanah, 1995)

2.4.2. Mekanisme Penanganan Sengketa Yang Dihadapi

Mengenai tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa hukum ini belum diatur secara konkrit; seperti mekanisme permohonan hak atas tanah, dan oleh karena itu penyelesaian kasus perkasus biasanya tidak dilakukan dengan pola penyelesaian yang seragam akan tetapi dari pengalaman yang ada pola penanganan ini telah kelihatan melembaga walaupun masih samar-samar yang mana penanganan sengketa tersebut terdiri dari :

a. Pengaduan; b. Penelitian;

c. Pencegahan Mutasi; d. Musyawarah;

e. Pengadilan (Rusmadi Murad, S.H, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, 1991).

Hubungan Pengadaan Lahan Pembangunan Jalan terhadap masyarakat yang lahannya harus mengalami pembebasan lahan. Adapun hasil mekanismenya adalah sebagai berikut:

a. Mekanisme Penanganan Sengketa Melalui Pengaduan

Dalam pengaduan ini biasanya berisi hal-hal dan peristiwa – peristiwa yang menggambarkan bahwa pemohon/pengadu adalah yang berhak atas tanah sengketa dengan lampirannya bukti-bukti dan mohon penyelesaian disertai harapan agar terhadap tanah tersebut dapat dicegah mutasinya, sehingga tidak merugikan dirinya.

b. Mekanisme Penanganan Sengketa Melalui Penelitian

Terhadap penanganan tersebut kemudian dilakukan penelitian baik berupa pengumpulan data/adminitrasitif maupun hasil penelitian fisik di lapangan (mengenai pengusahannya). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut beralasan atau tidak diperoses lebih lanjut.

c. Mekanisme Penanganan Sengketa Melalui Pencegahan Mutasi

Sebagai tindak lajut dari penyelesaian sengketa tersebut di atas, kemudian baik atas dasar petuntjuk atau perintah atasan maupun berdasarkan prakarsa Kepala Kantor Agraria yang bersangkutan terhadap tanah sengketa, dapat dilakukan

langkah-langkah pengamanan berupa pencegahan/penghentian untuk sementara terhadap segala bentuk perubahan (mutasi).

Maksud dari pada pencegahan adalah menghentikan untuk sementara segala bentuk perubahan. Kegunaannya yang pertama adalah untuk kepentingan penelitian didalam penyelesaian sengketa (status quo) oleh karena kalau tidak demikian, penyelesaian sengketa akan mengalami kesulitan didalam meletakkan keputusannya nanti. Misalnya, tanah yang dalam keadaan sengketa diperjualbelikan sehingga keputusannya akan merugikan pihak pembeli yang beritikat baik.

d. Mekanisme Penanganan Sengketa Melalui Musyawarah

Langkah-langkah pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa sering berhasil di dalam usaha penyelesaian sengketa (dengan jalan musyawarah). Musyawarah ini apabila dilakukan, harus pula memperhatikan tata cara formal seperti surat pemanggilan, berita acara atau notulen rapat, akta atau pernyataan perdamaian yang berguna sebagai bukti bagi para pihak maupun pihak ketiga. Hal- hak semacam ini biasanya kita temukan dalam akta perdamaian, baik yang dilakukan di muka hakim maupun diluar pengadilan atau notaris.

e. Mekanisme Penanganan Sengketa Melalui Pengadilan

Apabila usaha-usaha musyawarah tersebut mengalami jalan buntu, atau ada masalah-masalah prisipiil yang harus diselesaikan oleh istansi lain yang berwenang, misalnya pengadilan, maka kepada yang bersangkutan disarankan untuk mengajukan masalahnya kepengadilan. Jadi pada umumnya sifat dari sengketa ini adalah karena adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan/prioritas atau adanya suatu ketetapan yang merugikan

dirinya. Pada akhirnya penyelesaian tersebut, senantiasa harus memperhatikan/selalu berdasarkan kepada peraturan yang berlaku, memperhatikan keseimbangan kepentingan – kepentingan para pihak, menegakkan keadilan hukumnya serta penyelesaian ini diusahakan harus tuntas. (Rusmadi Murad, S.H, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, 1991)

2.4.3. Nilai atau Besaran Ganti Rugi

Adapun dasar penentuan nilai atau besaran ganti rugi telah ditetapkan dasar penetapannya, menurut Keppres No. 55 Tahun 1993 yaitu sama-sama berdasarkan musyawarah yang artinya antara pihak pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya nilai ganti kerugian. Adapun dasar dan cara perhitungan ganti kerugian dalam pelepasan atau penyerahan hak atas tanah ditetapkan atas dasar:

a. Harga Tanah; b. Nilai Jual Bangunan;

c. Nilai Jual Tanaman yang ada diatasnya;

Perhitungan ganti kerugian tersebut sepenuhnya harus memenuhi rasa keadilan dalam mewujudkan azas, bahwa dengan penyerahan tanah kepunyaannya tidak akan membuat keadaan sosial dan ekonomi pemegang hak atas tanah menjadi mundur. Sesuai dengan kenyataan dan rasa keadilan bahwa ganti kerugian bukan hanya meliputi hal diatas tapi juga meliputi hal-hal yang bersifat non materiil atau immateriil dan dilakukan dengan kriteria yang sudah ditentukan. (Oloan Sitorus, dkk, Pelepasan atau Penyerahan Hak Sebagai Cara Pengadaan Tanah, 1995)

2.4.4. Sistem Pembayaran Ganti Rugi

Ganti kerugian dalam pelepasan dan penyerahan hak merupakan penggantian atas nilai tanah dan atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah atau jika hendak diperjelas dapat dikatakan bahwa ganti kerugian adalah imbalan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah sebagai pengganti dari nilai tanah termasuk yang ada diatasnya. Sebagai imbalan, maka prinsip pemberian ganti kerugian harus seimbang dengan nilai tanah yang jumlah idealnya harus sama dengan nilai tanah. Salah satu prinsip yang menjadi tolak ukur keseimbangan itu adalah bahwa ganti kerugian yang diberikan harus merupakan imbalan yang layak atau tidak menjadikan pemegang hak atas tanah mengalami kemunduran sosial atas tingkat ekonominya sehingga tidak menjadikan rakyat yang melepaskan tanahnya lebih miskin. (Oloan Sitorus, dkk, Pelepasan atau Penyerahan Hak Sebagai Cara Pengadaan Tanah, 1995)

Dokumen terkait