• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan dan Solusi dalam Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Permasalahan dan Solusi dalam Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP

5.4.1 Permasalahan

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapang, terdapat beberapa permasalahan yang terjadi pada mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dijalankan. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya:

1. Payung hukum yang diacu

Pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan yang ada di kawasan TNGGP mengacu pada surat edaran Dirjen PJLKKHL. Selain aturan tersebut, belum terdapat payung hukum yang jelas mengatur pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi. Selanjutnya, aturan yang dijadikan acuan dalam mekanisme ini adalah surat edaran dirjen PHKA, perjanjian-perjanian kerjasama, naskah kesepahaman, serta peraturan perundangan lain terkait pemanfaatan air secara umum.

Terdapat beberapa hal yang saling bersinggungan dalam perjanjian kerjasama antara BB TNGGP dengan Forpela TNGGP dan BB TNGGP dengan pemanfaat air. BB TNGGP membuat MoU kerjasama pemanfaatan air dari kawasan kepada pemanfaat dengan proses tertentu. Di sisi lain, BB TNGGP juga membuat MoU

kemitraan dengan Forpela TNGGP. Hal ini kemudian menjadi masalah ketika pemanfaat air tersebut belum menjadi anggota Forpela TNGGP. Pemanfaat air harus membuat perjanjian kerjasama dengan BB TNGGP terlebih dahulu. Apabila pemanfaat kemudian menjadi anggota Forpela TNGGP, maka kesepakatan mana yang harus diacu oleh pemanfaat menjadi suatu hal yang saling bersinggungan. 2. Kinerja Forpela TNGGP

Kinerja Forpela TNGGP dinilai beberapa pihak belum optimal. Forpela TNGGP yang terdiri dari para pemanfaat air dirasakan kurang dapat merangkul komitmen dari para pemanfaat air untuk berkontribusi. Selain itu, sistem keuangan Forpela TNGGP juga menjadi suatu permasalahan dalam penerapannya. Beberapa pihak menilai belum adanya transparansi keuangan dari Forpela TNGGP itu sendiri. Hal ini berdampak pada pemanfaat yang berkomitmen memberikan kontribusi pada akhirnya mempertanyakan kinerja Forpela TNGGP. 3. Peranan masing-masing pihak yang belum dijalankan

Para pihak yang terlibat (langsung atau tidak langsung) belum sepenuhnya menyadari peranannya dalam mekanisme yang ada. Hal ini kemudian berdampak bagi kinerja masing-masing pihak dalam mekanisme yang ada. Contohnya, anggota kelompok tani, mereka belum menyadari perannya sebagai penyedia jasa lingkungan yang kemudian seharusnya menjaga wilayah mereka agar jasa lingkungan air dapat terus tersedia. Mereka hanya mengetahui untuk tidak melakukan penebangan di dalam kawsan konservasi. Mereka belum melakukan teknik pertanian untuk meningkatkan penyediaan jasa lingkungan seperti agroforestri atau kebun multistrata.

Selain itu, peranan dari pihak yang seharusnya melakukan pendampingan terhadap anggota kelompok tani juga belum dijalankan dengan baik. Akibat yang terjadi adalah tidak berjalannya program maupun kelompok tani yang ada. Contohnya terjadi pada KT Saluyu antara tahun 2008-2009. Pendampingan terhadap kelompok dirasakan baru setengah perjalanan. Selanjutnya, kelompok ditinggal begitu saja tanpa pendampingan. Hal ini berdampak pada kehancuran kelompok dan program yang ada.

4. Komitmen para pemanfaat

Berdasarkan hasil wawancara, dua dari lima pemanfaat belum ingin berkomitmen untuk mengikuti mekanisme PJL ini. Selain itu, para pemanfaat juga menganggap kontribusi yang dikeluarkan cukup pada awal mula keanggotaan Forpela TNGGP.

5. Pemilihan lokasi penerapan mekanisme PJL

Pemilihan lokasi penerapan seharusnya berkaitan dengan keadaan masyarakat sebagai penyedia jasa dan jasa lingkungan yang didefinisikan itu sendiri. Lokasi penerapan seharusnya mampu mengakomodasi ketersediaan jasa lingkungan yang ada melalui pengelolaan dari kelompok tani. Pemilihan lokasi penerapan menjadi suatu permasalahan ketika penguatan kapasitas kelompok masyarakat di lokasi tersebut belum dilakukan. Kelompok tani dirasakan belum siap menerima bantuan dan menjalankan mekanisme yang ada. Selain itu, adanya konflik diantara masyarakat itu sendiri menjadi salah satu hambatan. Hal ini kemudian berdampak kepada pengelolaan bantuan yang diberikan dan pemahaman masyarakat mengenai program yang berjalan.

6. Pemilihan bantuan yang diberikan kepada masyarakat

Bantuan yang diberikan tepat sasaran apabila disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Anggota kelompok tani di kedua desa mayoritas merupakan petani sawah dan ladang. Bantuan yang diberikan seharusnya tidak jauh dari sektor pertanian sehingga mereka dapat mengelola bantuan tersebut dengan baik. Namun, bantuan yang diberikan berupa domba dan kelinci. Anggota kelompok tani banyak yang tidak mengetahui bagaimana beternak domba dan kelinci. Pada akhinyra domba-domba yang diberikan belum mencapai panen maksimal dan kelinci banyak yang terserang penyakit hingga mati.

Selain itu, bantuan berupa mesin mikrohidro yang diberikan kepada warga kampung Gunung Batu (KT Garuda Ngupuk) juga menjadi permasalahan. Warga kampung Gunung Batu merasa bantuan mesin mikrohidro yang diberikan tidak dapat berfungsi untuk warga. Warga sebenarnya menginginkan untuk dibuatkan jaringan PLN saja daripada mengahabiskan dana yang besar untuk PLTMH tetapi alat tersebut tidak dapat digunakan warga. PLTMH hanya mampu mengaliri listrik untuk 20 KK sedangkan warga kampung Gunung Batu berjumlah 80 KK.

Pelatihan usaha yang diberikan kepada anggota kelompok tani juga dirasakan kurang sesuai. Anggota kelompok tani Saluyu diberikan pelatihan untuk membuat kerupuk wortel. Jika dilihat dari bahan baku, usaha ini nantinya tidak bisa dijalankan oleh warga. Warga cukup kesulitan untuk memperoleh bahan baku untuk usaha tersebut.

Adanya hal-hal yang bertentangan antara pihak yang menerima bantuan dengan pihak yang menyalurkan bantuan menjadikan bantuan yang diberikan kurang tepat sasaran. Hal yang terjadi kemudian adalah pengelolaan bantuan yang kurang maksimal.

7. Proses penyampaian informasi ke berbagai pihak

Proses penyampaian informasi ke berbagai pihak juga dinilai kurang maksimal. Banyak pihak yang belum memahami mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang ada di kawasan TNGGP. BB TNGGP (2011), menyebutkan salah satu kendala yang dihadapi oleh BB TNGGP dengan Forpela TNGGP dan pemanfaat air sebagai mitra adalah kurangnya komunikasi antara BB TNGGP dengan para mitra.

Penyampaian informasi mengenai mekanisme yang dijalankan juga tidak sampai ke masyarakat. Mayoritas anggota kelompok tani yang diwawancarai mayoritas asing dengan istilah pembayaran jasa lingkungan yang ada. Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota kelompok tani, sebanyak 17 dari 24 orang responden yang secara umum mengetahui penerapan mekanisme ini. Responden tidak mengetahui secara rinci mengenai mekanisme ini. Responden hanya mengetahui adanya bantuan yang diberikan dan kewajiban membayar iuran yang harus dijalankan. Konsep pembayaran jasa lingkungan air mulai dari awal proses hingga penerapan tidak dipahami responden. Dua dari tiga ketua kelompok tani yang diwawancarai pun menyatakan kurang paham tentang konsep pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan. Ketua kelompok tani hanya menjalankan penerapan mekanisme tersebut.

Proses penyampaian informasi yang kurang baik kemudian menjadikan konflik diantara para pihak. Hal ini kemudian membuat para pemanfaat belum ingin berkomitmen melakukan kontribusi, adanya konflik antar kelompok tani

karena adanya pelimpahan bantuan dan program ke kelompok lain, serta banyak pihak yang tidak mengetahui perkembangan mekanisme yang dijalankan.

8. Monitoring dan evaluasi yang kurang berjalan baik

Monitoring dan evaluasi (monev) yang kurang berjalan dengan baik menjadi salah satu hambatan terhadap mekanisme itu sendiri. Adanya monev yang baik memungkinkan keberlanjutan mekanisme ke arah yang lebih baik. Melalui monev, keterlibatan para pihak dalam mekanisme serta perkembangan yang terjadi dapat terus terpantau. Dalam mekanisme ini, hal tersebut terlihat masih kurang dilakukan. Hal ini berdampak pada keterlibatan para pihak yang kurang terkontrol dan perkembangan mekanisme yang dipertanyakan banyak pihak. 5.3.4 Solusi yang ditawarkan

Beberapa pihak menginginkan solusi untuk permasalahan-permasalahan tersebut dengan mengadakan pertemuan atau musyawarah besar (Mubes). Musyawarah ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengevaluasi mekanisme yang ada. Pada kesempatan tersebut, para pihak yang terlibat dan berpotensi terlibat dalam mekanisme ini diundang. Mubes ini sebaiknya difasilitasi oleh pihak yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan para pihak yang sudah terlibat, misalnya Dirjen PHKA. Hal ini dilakukan agar evaluasi dapat berjalan baik dan para pihak tunduk kepada hasil evaluasi. Selain itu, mubes tersebut dapat menjadi salah satu sarana untuk menyampaikan perkembangan mekanisme, penguatan komitmen dari masing-masing pihak, menguatkan proses penyampaian informasi kepada pihak terkait serta merumuskan strategi seperti apa yang dapat dilakukan untuk pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di waktu mendatang. Musyawarah besar tersebut juga dapat menjadi dapat menjadi sarana untuk mengevaluasi kinerja Forpela TNGGP sebagai perantara utama dalam mekanisme ini. Hal ini dilakukan agar dapat dilakukan pembenahan atau tindakan lain apabila para pihak menilai kinerja Forpela TNGGP kurang baik.

Beberapa pihak juga menginginkan adanya peraturan mengenai pemanfaatan jasa lingkungan air dan pengembangannya. Peraturan ini dibuat sebagai acuan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang berjalan.

Peraturan ini nantinya diharapkan mampu menertibkan para pemanfaat air yang belum memberikan kontribusi.

Solusi lain yang dapat dilakukan adalah dengan merekomendasikan skema serta program kerja baru dalam penerapan mekanisme PJL di TNGGP. Skema mekanisme PJL di TNGGP dibuat lebih spesifik (Lampiran 11) dengan menyertakan alternatif penggunaan lahan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui mekanisme PJL dan cara lain untuk meningkatkat partisipasi masyarakat desa penyangga dalam upaya konservasi TNGGP. Selain itu, perjanjian kerjasama antar pihak dibuat dengan lebih rinci dengan menyertakan skema-skema pembayaran dan rincian pembiayaan untuk penerapan mekanisme PJL di desa penyangga.

Program kerja yang dapat dilakukan sebagai alternatif solusi antara lain penguatan kapasitas kelompok tani dan pengajuan alternatif penggunaan lahan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui mekanisme PJL. Penguatan kapasitas kelompok tani diawali dengan pendampingan secara intensif ke kelompok tani. Dalam pendampingan tersebut, anggota kelompok diberikan pengetahuan mengenai konsep PJL, peran dan fungsi kawasan TNGGP serta dampak yang akan terjadi jika upaya konservasi TNGGP tidak dilakukan secara bersama-sama. Selanjutnya, anggota kelompok tani diikutsertakan untuk memikirkan apa yang harus dilakukan anggota kelompok, alternatif bantuan atau usaha apa yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dan sejalan dengan upaya konservasi kawasan TNGGP. Anggota kelompok tani diharapkan dapat menjadi subyek dan dilibatkan secara aktif dalam mekanisme ini. Hal ini akan memberikan dampak positif dalam penerapan mekanisme. Anggota kelompok tani yang diberikan pemahaman terhadap mekanisme ini akan bertanggungjawab terhadap jaminan ketersediaan jasa lingkungan air. Namun, hal ini juga harus diakomodasi dengan perjanjian kerjasama yang jelas antar pihak.

Alternatif penggunaan lahan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui mekanisme PJL dapat dilakukan dengan membuat kebun lindung atau kebun multistrata. Anggota kelompok tani di desa Tangkil dan Cinagara, pada umumnya merupakan petani sawah atau petani ladang. Petani ladang menanam singkong di lahan pribadi atau lahan HGU (Hak Guna Usaha) yang

berada pada kelerengan yang cukup. Hal ini jika dibiarkan terus menerus dapat membayahakan masyarakat yang bermukim di bawahnya.

Kebun lindung didefinisikan sebagai sistem penggunaan lahan berbasis pohon yang dikelola oleh masyarakat yang dapat menambah pendapatan dan memberikan fungsi lindung atau layanan lingkungan yang sama dengan yang diberikan oleh hutan (Suyanto & Khususiyah 2006). Lebih lanjut lagi, Suyanto dan Khususiyah (2006) menjelaskan bahwa fungsi lindung hutan yang dapat diperoleh dari kebun lindung baik sebagian maupun keseluruhan. Fungsi tersebut adalah fungsi konservasi tanah dan air, mempertahankan cadangan karbon, dan keanekaragaman hayati.

Kebun lindung pada umumnya menggabungkan antara tanaman yang memiliki nilai IDA rendah, sedang, dan tinggi. Nilai IDA digunakan untuk melihat seberapa dalam penyebaran akar suatu jenis tanaman (Buana et al. 2005). Contoh kasus penerapan kebun lindung ini berada di Sumberjaya, Lampung. Petani kopi di lokasi tersebut menanam kopi dengan menggabungkannya dengan tanaman lainnya.

Kopi memiliki nilai IDA yang rendah, sedangkan jenis pohon buah-buahan dan pohon penghasil kayu atau pohon bermanfaat lainnya memiliki nilai IDA yang lebih tinggi. Apabila jenis pohon-pohon tersebut ditanam dengan kopi (kebun kopi multistrata), maka akan menghasilkan nilai IDA yang beragam. Dengan demikian, sistem tersebut memiliki nilai konservasi tanah dan air yang lebih besar dan dapat digunakan untuk pencegahan erosi permukaan tanah, jaring penyelamat hara, serta pencegahan longsor.

BAB VI