• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Analisis Data

A.4. Permasalahan yang Dihadapi dalam Pengelolaan HLGL

Bentuk permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan HLGL dan perlu segera diatasi demi mewujudkan pengelolaan HLGL adalah tata batas kawasan, koordinasi antar

stakeholder terkait, penebangan liar dan dilema sosial-kultural dan ekonomi masyarakat

sekitar kawasan. Sebab-sebab yang melatarbelakangi permasalahan tersebut adalah belum optimalnya pelimpahan dan tumpang tindih kewenangan yang terjadi di instansi pemerintah terkait dan aksesibilitas jalan darat yang mudah untuk mencapai kawasan HLGL.

Kawasan HLGL telah mengalami penataan batas sebanyak tiga kali (berdasarkan berita acara yang dibuat oleh UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan) tetapi belum menemukan ‘temu gelang’ kawasan. Setelah menemukan ‘temu gelang’ maka status suatu kawasan dapat dikukuhkan walaupun membutuhkan waktu dan melewati prosedur yang panjang. Penemuan ‘temu gelang’ menurut informasi TBI Indonesia pada tahun 2004 tetapi belum ada berita acaranya. Jika muncul ancaman perusakan hutan dari segi hukum terhadap HLGL maka posisi HLGL rentan karena status hukum (legalitas) HLGL lemah. Sejak tahun 1983 saat penunjukan Gunung Lumut menjadi hutan lindung hingga tahun 1998 yang notabene merupakan masa sentralistik, tidak ada yang mengatur maupun mengelola kawasan HLGL secara spesifik karena pengelolaan tersebut masih dipegang oleh pemerintah pusat; dalam hal ini Departemen Kehutanan. Tidak ada pengurusan status kawasan HLGL untuk dikukuhkan karena terlalu banyak kawasan hutan yang diatur oleh Departemen Kehutanan. Memasuki masa desentralisasi yaitu otonomi daerah tahun 1999; seluruh pengurusan dan pengelolaan SDH dilimpahkan ke pemerintah daerah yaitu Dinas Kehutanan kabupaten. Tetapi pelimpahan dirasa kurang optimal oleh pemerintah daerah karena pemerintah derah tidak dibekali oleh fasilitas dan sarana prasarana pendukung dalam mengelola SDH di suatu kawasan hutan lindung. Selain itu kegiatan penataan batas suatu kawasan hutan masih simpang siur dalam hal penugasannya. Penataan batas dan rekonstruksi kawasan hutan

yang harus rutin dalam pelaksanaannya, belum jelas instansi yang harus melaksanakannya antara UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan di bawah wewenang pemerintah propinsi atau Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dibawah wewenang pemerintah kabupaten.

Pengelolaan kawasan hutan lindung membutuhkan koordinasi yang solid dan baik antara stakeholder terkait. Hal ini dapat melancarkan suatu pengelolaan hutan lindung yang terarah dan tepat sasaran. Koordinasi yang tidak tepat sasaran dapat melahirkan kesalahpahaman yang terjadi antara stakeholder terkait, khususnya dalam hal persamaan persepsi dalam pengelolaan kawasan hutan lindung yang akan tertuang kedalam program kerja dan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Koordinasi antara

stakehoder terkait yang solid mutlak dibutuhkan dalam mengantisipasi kegiatan-kegiatan

ilegal yang dapat merusak hutan, seperti penebangan liar dan perambahan hutan. Penebangan liar dan dilema sosial-kultural dan ekonomi kawasan HLGL bagi kehidupan masyarakat sekitar kawasan juga menjadi pokok masalah yang perlu segera diantisipasi. Kondisi ini terjadi akibat tingginya aksesibilitas jalan darat menuju kawasan HLGL, kurangnya sosialisasi mengenai status dan fungsi HLGL kepada masyarakat sekitar kawasan dan kurang koordinasi antar instansi pemerintah terkait. Dilema sosial- kultural merupakan bentuk permasalahan yang awam bagi pengelolaan SDH hampir di seluruh kawasan hutan khususnya kawasan hutan yang dilindungi. Masyarakat sekitar kawasan yang telah turun-menurun bermukim didalam dan sekitar hutan memiliki bentuk ketergantungan yang cukup tinggi dalam hal pemanfaatan kawasan dan hasil hutan. Hal tersebut sangat tidak adil bagi masyarakat apabila masyarakat tiba-tiba dilarang dan dihilangkannya akses terhadap hutan tanpa landasan yang kuat. Oleh karena itu kegiatan sosialisasi kawasan dan penumbuhan sense of belonging dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan SDH di suatu kawasan dari instansi pemerintah dan instansi-instansi terkait lainnya sangat penting untuk dilakukan.

Jalan darat dari Kecamatan Long Ikis menuju kawasan HLGL dibuat oleh perusahaan HPH PT Telaga Mas yang beroperasi di tahun 1970-an untuk mengangkut kayu log dari areal konsesi menuju TPK (Gambar 6). Jalan darat tersebut telah ada sebelum penunjukkan HLGL di tahun 1983 dan membelah bagian utara kawasan HLGL.

Gambar 6. Jalan logging yang membelah HLGL

Saat ini, jalan logging tersebut digunakan oleh perusahaan PT Rizky Kacida Reana dalam pengangkutan kayu log serta sebagai akses keluar kawasan bagi masyarakat Dusun Muluy yang bermukim di tepi jalan logging.

B. Karakteristik Stakeholder dalam Pengelolaan SDH di Kawasan HLGL

Stakeholder yang berkaitan dengan pengelolaan SDH di HLGL dibagi

berdasarkan institusinya atau kepentingan yang dilakukan di dalam dan sekitar kawasan HLGL. Institusi atau kepentingan tersebut adalah instansi pemerintah yang terdiri dari Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Pasir, Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kabupaten Pasir, Dinas Sosial Kabupaten Pasir, UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan dan UPTD Pengelolaan Hutan Kabupaten Pasir. Organisasi non pemerintah yaitu LSM yang terdiri dari PeMA Paser dan PADI Indonesia serta lembaga penelitian yaitu Tropenbos Internasional Indonesia (TBI Indonesia). Perusahaan swasta yang beroperasi di sekitar kawasan HLGL, yaitu PT Kideco Jaya Agung yang bergerak di bidang pertambangan dan PT Rizky Kacida Reana yang bergerak di bidang pengusahaan kayu serta masyarakat sekitar kawasan HLGL; Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy.

Karakteristik masing-masing stakeholder di HLGL dianalisis hak, kewenangan, kewajiban dan permasalahan yang dihadapi yang berkaitan dengan pengelolaan HLGL (Tabel 4). Permasalahan yang dimaksud adalah permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing stakeholder baik yang terkait dengan pengelolaan HLGL, hubungan atau koordinasi dengan stakeholder lainnya maupun masalah intern stakeholder. Keseluruhan analisis stakeholder disajikan dalam bentuk tabulasi untuk memudahkan dalam mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan pengaruh-kepentingan stakeholder dan isu pengelolaan SDH di HLGL.

Tabel 4. Karakteristik Stakeholder dalam Pengelolaan SDH di Kawasan HLGL dan sekitarnya

No. Stakeholder Asal Kewenangan Hak Kewajiban Permasalahan yang Dihadapi Terkait

Dengan Pengelolaan HLGL 1. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir Pemerintah kabupaten yaitu Bupati Kabupaten Pasir ƒ Melaksanakan kewenangan otonomi daerah kabupaten di bidang kehutanan ƒ Mengeluarkan IUPHHK di luar kawasan HLGL ƒ Merumuskan

kebijaksanaan teknis dan menerbitkan rekomendasi teknis izin

ƒ Mengawasi dan memonitor kawasan HLGL

ƒ Melestarikan kawasan

HLGL untuk masa depan

ƒ Optimalisasi pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten ƒ Pengukuhan status kawasan HLGL

ƒ Tata batas

ƒ Keterbatasan sarpras dan fasilitas pendukung

ƒ Tumpang tindih kewenangan antara Dishut dan UPTD Pengelolaan Hutan

ƒ Perusakan dan perambahan hutan seperti illegal logging

ƒ Pemahaman masyarakat sekitar kawasan terhadap arti dan fungsi penting HLGL ƒ Ketidakharmonisan hubungan antara

pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten 2. Bappeda Kabupaten Pasir Pemerintah kabupaten yaitu Bupati Kabupaten Pasir

ƒ Melakukan tata ruang dan wilayah di Kabupaten Pasir ƒ Menentukan kebijaksanaan di bidang perencanaan pembangunan serta penilaian atas pelaksanaannya

ƒ Ego sektoral antar instansi pemerintah terkait

ƒ Kurang terbangunnya hubungan pemerintah daerah dengan masyarakat sekitar kawasan dengan baik

ƒ Belum adanya program pemerintah yang tepat sasaran dalam upaya pelestarian hutan 3. Bapedalda Kabupaten Pasir Pemerintah kabupaten yaitu Bupati Kabupaten Pasir ƒ Melaksanakan penilaian dampak lingkungan ƒ Mengendalikan dampak

lingkungan yang timbul akibat adanya

pembangunan

ƒ Perusahaan tambang yang masih buruk dalam pengelolaan limbahnya

ƒ Kurangnya pemahaman masyarakat sekitar terhadap HLGL sehingga mudah dipengaruhi oleh pihak luar untuk melakukan illegal logging dan merambah hutan

ƒ Kurang koordinasi antar instansi pemerintah terkait 4. Dinas Sosial Kabupaten Pasir Pemerintah kabupaten yaitu Bupati Kabupaten Pasir - ƒ Membantu pemerintah

Kabupaten Pasir dalam pembangunan di bidang kesejahteraan sosial

ƒ Tanpa koordinasi dengan Dishut

membangun pemukiman di dalam kawasan HLGL

ƒ Status ilegal pemukiman Muluy

No. Stakeholder Asal Kewenangan Hak Kewajiban Permasalahan yang Dihadapi Terkait Dengan Pengelolaan HLGL 5. UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan Pemerintah propinsi yang didelegasikan oleh pemerintah pusat ƒ Menyelenggarakan inventarisasi hutan, perencanaan kehutanan, pengukuran dan perpetaan hutan ƒ Melakukan pengecekan

dan rekonstruksi tata batas kawasan hutan

ƒ Tumpang tindih kewenangan dengan Dishut

ƒ Kurang koordinasi antar instansi pemerintah terkait

ƒ Illegal logging

ƒ Pengamanan kawasan hutan

6. UPTD Pengelolaan Hutan Kabupaten Pasir Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur ƒ Melaksanakan kewenangan desentralisasi dan dekonsentrasi kehutanan di Kabupaten Pasir ƒ Pengeluaran SKSHH ƒ Melakukan koordinasi

dalam pengelolaan hutan, pengendalian, pembinaan, peredaran dan iuran kehutanan

ƒ Tumpang tindih kewenangan dengan Dishut

7. PeMA Paser Dewan adat Paser ƒ Mendampingi dan memfasilitasi masyarakat Paser di berbagai aspek baik sosial-ekonomi, budaya, pendidikan dan potensi biologi kawasan

ƒ Memonitor dan

mengevaluasi kegiatan- kegiatannya

ƒ Menjembatani masyarakat

sekitar kawasan dengan pihak luar kawasan

ƒ Kurangnya peran Dishut dalam mengantisipasi ancaman terhadap kawasan HLGL sehingga cenderung merugikan masyarakat

ƒ Lemahnya penegakan hukum dan pengeluaran kebijakan yang cenderung tidak memihak masyarakat

8. PADI Indonesia Dewan PADI Indonesia

ƒ Mendampingi dan

memfasilitasi masyarakat Paser di berbagai aspek baik sosial-ekonomi, budaya, pendidikan dan potensi biologi kawasan

ƒ Memonitor dan

mengevaluasi kegiatan- kegiatannya

ƒ Menjembatani masyarakat

sekitar kawasan dengan pihak luar kawasan

ƒ Lemahnya penegakan hukum ƒ Kurang harmonis hubungan PADI

Indonesia dengan instansi pemerintah dan LSM lainnya dalam hal persepsi dan paradigma pengelolaan HLGL

ƒ Keterbatasan SDM yang kompeten dan konsisten

ƒ Pendekatan terhadap masyarakat sekitar kawasan yang dilakukan TBI Indonesia dan Dishut kurang mengakomodir keinginan dan harapan masyarakat terhadap keberadaan HLGL

No. Stakeholder Asal Kewenangan Hak Kewajiban Permasalahan yang Dihadapi Terkait Dengan Pengelolaan HLGL

9. TBI Indonesia MoU TBI Indonesia dengan Departemen Kehutanan

ƒ Melakukan penelitian, penguatan kelembagaan dan pengumpulan data dan informasi kawasan

ƒ Menginformasikan hasil penelitian kepada masyarakat sekitar kawasan dan instansi- instansi terkait

ƒ Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan HLGL

ƒ Koordinasi antara pemerintah pusat dan kabupaten kurang sinergis

ƒ Kecenderungan instansi pemerintah bergantung pada TBI dari segi dana dan pemikiran untuk menghasilkan program kerja implementatif dan tepat sasaran ƒ Kondisi Indonesia yang labil sehingga

diperlukan program kerja dan kegiatan yang responsif di bidang kehutanan 10. PT Kideco Jaya

Agung

Pemerintah pusat ƒ Menambang batubara di aeal tambang sesuai PKP2B

ƒ Melakukan penilaian

dampak lingkungan ƒ Melakukan rehabilitasi

hutan dan lahan serta bayar retribusi ƒ Melakukan program community development ƒ Pengelolaan limbah 11. PT Rizky Kacida Reana Pemerintah daerah yaitu Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir ƒ Melakukan penebangan

kayu di areal konsesi berdasarkan IUPHHK

ƒ Melakukan rehabilitasi hutan dan lahan serta bayar retribusi

ƒ Melakukan program

community development

ƒ Pengelolaan daur tebang dan pemulihan areal konsesi

12. Masyarakat Desa Rantau Layung

Kepala desa dan kepala adat

ƒ Memanfaatkan hutan dan

hasil hutan ƒ Mendapatkan

kompensasi atas hilangnya akses dengan hutan

ƒ Menjaga dan melindungi kawasan hutan dari ancaman perusakan

ƒ Tata batas dan tidak adanya sosialisasi serta pelibatan masyarakat dari pemerintah daerah

ƒ Illegal logging yang dilakukan pihak luar

13. Masyarakat Dusun Muluy

Kepala desa dan kepala adat

ƒ Memanfaatkan hutan dan

hasil hutan ƒ Mendapatkan

kompensasi atas hilangnya akses dengan hutan

ƒ Menjaga dan melindungi kawasan hutan dari ancaman perusakan

ƒ Tata batas dan tidak adanya sosialisasi serta pelibatan masyarakat dari pemerintah daerah

ƒ Illegal logging yang dilakukan pihak luar maupun desa tetangga

ƒ Banyaknya perusahaan tambang

mengajukan investasi di kawasan HLGL dan sekitarnya

Berdasarkan tabel karakteristik stakeholder , terdapat empat instansi pemerintah yang kewenangannya berasal dari pemerintah kabupaten antara lain Bupati Kabupaten Pasir yaitu Dinas Kehutanan, Bappeda, Bapedalda dan Dinas Sosial. Keempat instansi tersebut merupakan instansi yang berdiri sebagai akibat penerapan sistem desentralisasi (otonomi daerah) yang dialami Indonesia tahun 1999. Kewenangan UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan dan UPTD Pengelolaan Kabupaten Pasir berasal dari pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dengan pendelegasian dari pemerintah pusat. Bagi organisasi non pemerintah seperti PeMA Paser, PADI Indonesia dan TBI Indonesia, kewenangan tertinggi dipegang oleh dewan organisasi. Perusahaan-perusahaan swasta yang beroperasi di Kabupaten Pasir seperti PT Kideco Jaya Agung yang bergerak di bidang pertambangan batubara memiliki wewenang berdasarkan PKP2B yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan masa operasi 30 tahun. Sedangkan wewenang PT Rizky Kacida Reana yang bergerak di bidang pengusahaan kayu berasal dari IUPHHK yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dengan luas areal konsesi 30.000 Ha. Wewenang tertinggi di Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy dipegang oleh kepala desa yang berperan dalam bidang pemerintahan dan kepala adat bagi urusan intern masyarakat (adat dan budaya).

Latar belakang perusahaan swasta PT Kideco Jaya Agung adalah perusahaan PT Kideco Jaya Agung didirikan oleh Korea-Indonesia Resources Development

Coorporation pada bulan Mei 1982. Perjanjian kerja antara Pemerintah Indonesia dengan

Pemerintah Korea disahkan melalui kontrak karya PKP2B (Perjanjian Kerja Pengusahaan Pertambangan Batubara) selama 30 tahun (terhitung sampai tahun 2022). Yang mengesahkannya adalah pemerintah pusat. Pada bulan September 1982 dilakukan penandatanganan perjanjian kerja sama dengan PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) dan mendapat izin usaha dari Departemen Pertambangan dan Energi pada bulan Juni 1987. Kemudian pada bulan Desember 1989 PT Kideco Jaya Agung memulai Persiapan Konstruksi dan Rencana Tambang dan melakukan ekspor percobaan (Trial

Cargo) pada April 1992. PT Kideco Jaya Agung melakukan produksi perdana pada tahun

1992, dimulai dengan kapasitas produksi satu juta ton/tahun. Luas total area kuasa pertambangan PT Kideco Jaya Agung sebesar 50.339 Ha (Tabel 5) yang mencakup empat lokasi, yaitu Roto-Samurangau, Samu, Susubang dan Pinang Jatus.

Tabel 5. Lokasi dan Luas Area Tambang Batubara PT Kideco Jaya Agung

Nama Lokasi ( KP) Luas ( Ha )

Roto- Samurangau 27.434 Samu 7.875 Susubang 9.000 Pinang Jatus 6.090 Total 50.399 Sumber: agus@ptkideco.co.kr

Tidak ada perusahaan tambang yang beroperasi di Kabupaten Pasir yang memiliki areal pengusahaan berbatasan langsung dengan kawasan HLGL. Terdapat perusahaan yang limbah tambangnya berdampak pada DAS Kendilo; yang merupakan daerah tangkapan air dari HLGL. Hal ini akan merugikan masyarakat yang menggunakan air dari anak sungai DAS Kendilo di bagian hilir. Perusahaan tersebut adalah PT. Kideco Jaya Agung. Secara singkat, tujuan jangka panjang PT Kideco Jaya Agung adalah menambang dan menjual batubara untuk mendapatkan keuntungan dan menjaga kelangsungan kegiatan tersebut. Menanggapi dampak limbah batubara yang ditimbulkan oleh PT Kideco Jaya Agung terhadap DAS Kendilo, Bapedalda pernah menegur pihak perusahaan. Oleh karena itu atas fasilitasi Bapedalda, akan diatur pertemuan dari pihak perusahaan, pemerintah daerah (Bapedalda), PeMA Paser sebagai wakil dari masyarakat lokal dan TBI Indonesia sebagai lembaga penelitian untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun pertemuan tersebut belum terealisasi akibat tidak tersedianya waktu yang dibutuhkan dari pihak perusahaan.

PT Rizky Kacida Reana merupakan salah satu perusahaan swasta yang beroperasi di bidang pengusahaan kayu di Kabupaten Pasir yang memegang IUPHHK dari 15 IUPHHK yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir pada tahun 2001 (Lampiran 6). Pihak perusahaan saat ini sedang menunggu keputusan Menteri Kehutanan untuk mengubah izin IUPHHK menjadi HPH (Hak Pengusahaan Hutan). PT Rizky Kacida Reana baru memulai kegiatan pada bulan Januari tahun 2003 dengan luas areal konsesi sebesar 30.000 Ha di Desa Lusan dan Binangon, Kecamatan Muara Komam; areal konsesi berjarak 100 Km dari kawasan HLGL. Produksi hasil tebangan PT Rizky Kacida Reana per bulan adalah sekitar 4000 m3 dengan izin tebangan seluas 1000 Ha/tahun (MoF-Tropenbos Kalimantan Programme, 2004).

Desa Rantau Layung merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan kawasan HLGL. Desa Rantau Layung bagian dari Kecamatan Batu Sopang dengan luas wilayah desa meliputi hutan adat seluas 18.914 Ha dengan jumlah penduduk 214 jiwa (Tabel 6). Mayoritas masyarakat Desa Rantau Layung berasal dari suku Dayak Paser dan menganut agama Islam. Sarana pendidikan yang tersedia di Desa Rantau Layung hanya sekolah dasar (SD) dengan terbatasnya kapasitas guru yang disediakan pemerintah. Hampir seluruh anak-anak usia SD di Desa Rantau Layung bersekolah walaupun kegiatan belajar-mengajar dalam sebulan hanya efektif tiga minggu. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, diharuskan untuk meneruskan ke ibukota kabupaten. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Rantau Layung adalah sebanyak 168 orang mengenyam bangku pendidikan SD, satu orang yang lulus SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), satu orang lulus SMU (Sekolah Menengah Umum) dan sebanyak 42 orang tidak sekolah.

Tabel 6. Data Kependudukan Desa Rantau Layung

Klasifikasi Umur (tahun)

Jenis Kelamin Jumlah KK Pria Wanita < 15 39 39 54 15-25 27 23 25-60 48 32 > 60 4 2 Jumlah 118 96 Jumlah total 214 Perbandingan 1 : 1

Di Desa Rantau Layung berlaku hukum adat yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat desa. Hukum adat mengatur mengenai batas hutan adat, upacara perkawinan dan lain-lain. Dalam hukum adat juga tercantum larangan bagi masyarakat Desa Rantau Layung untuk menebang atau mengambil pohon buah seperti Durian, Lahung, Rambutan serta mengambil madu dari pohon Bangris (Compassia sp.) yang dikenal sebagai habitat Lebah madu. Denda yang dikenakan bagi masyarakat yang melanggar adalah denda adat berupa separuh dari hasil penjualan pohon tersebut diberikan kepada desa (kas desa). Begitu pula dengan perburuan binatang, hanya boleh dilakukan sesuai keperluan.

Dusun Muluy merupakan satu-satunya dusun yang berada dalam kawasan HLGL (Gambar 7). Secara administratif Dusun Muluy bagian dari Kecamatan Muara Komam dan bagian pecahan dari Desa Swan Selutung sebagai desa induk. Masyarakat Dusun Muluy hidup pada awalnya terpencar-pencar dan terpisah serta mengalami perpindahan pemukiman sebanyak empat kali. Pemukiman pertama didirikan pada tahun 1977 dekat Sungai Muluy lalu berpindah ke kaki Gunung Lumut sampai tahun 1994. Kemudian pemukiman berpindah lagi ke Gunung Janas (Km 63).

Gambar 7. Pemukiman Dusun Muluy dalam Kawasan HLGL

Pada tahun 1999 Dinas Sosial Kabupaten Pasir (Dinsos) membangun pemukiman bagi masyarakat Muluy berdasarkan program Dinsos yaitu program Komunitas Adat Terpencil. Terdapat dua pilihan dalam menentukan lokasi pemukiman; yang pertama di kaki Gunung Lumut karena aksesibilitas dengan air mudah dan kedua

adalah lokasi bekas TPK PT Telaga Mas yang berada di tepi jalan logging perusahaan dan aksesibilitas terhadap air sulit (jarak untuk mendapatkan air dari lokasi sekitar tiga km). Akhirnya berdasarkan hasil musyawarah, masyarakat sepakat pada lokasi bekas TPK PT Telaga Mas (perusahaan HPH yang sudah tidak beroperasi lagi) karena dekat dengan jalan besar sehingga akan memudahkan rotasi perjalanan. Pada tahun 2001 masyarakat Muluy menghuni pemukiman baru dengan tersedia 52 unit rumah (secara aktual dari 52 unit rumah, dua diantaranya telah dibongkar dan hanya 48 unit rumah yang dihuni).

Jumlah penduduk masyarakat Muluy sebanyak 113 jiwa, yang terbagi ke dalam 21 KK (Tabel 7). Luas wilayah Dusun Muluy 12.953 Ha meliputi wilayah hutan adat (luas inti hutan adat 7000 Ha). Seluruh masyarakatnya berasal dari suku Dayak Paser dan menganut agama Islam.

Tabel 7. Data Kependudukan Dusun Muluy

Klasifikasi Umur (tahun)

Jenis Kelamin Jumlah KK Pria Wanita < 15 19 17 21 15-25 10 10 25-60 32 17 > 60 3 5 Jumlah 64 49 Jumlah total 113 Perbandingan 1 : 1

Sama halnya dengan Desa Rantau Layung, sarana pendidikan yang tersedia di Dusun Muluy hanya SD. Terdapat dua orang pengajar SD untuk mengajar empat kelas sekaligus (kelas 1-4) dan satu orang guru ngaji. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, diharuskan untuk meneruskannya di Kecamatan Long Ikis atau Tanah Grogot; ibukota Kabupaten Pasir. Bangunan SD tersebut merupakan bantuan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pasir pada tahun 2001 (Gambar 8). Tingkat ketertarikan masyarakat Dusun Muluy terhadap pendidikan sangat kurang, terbukti dengan hampir seluruh masyarakatnya tidak lulus SD. Walaupun demikian terdapat beberapa masyarakat, akhirnya mau mengenyam pendidikan melalui program paket A dan B yang diberikan oleh PADI Indonesia tahun 1995.

Gambar 8. Bangunan SD di Dusun Muluy

Secara adat, masyarakat Muluy dipimpin oleh ketua adat sedangkan secara kepemerintahan masyarakat Muluy memiliki kepala desa yang bertempat di desa induk yaitu di Desa Swan Selutung. Masyarakat Muluy juga memiliki hukum adat untuk mengatur kehidupan adat masyarakatnya dan interaksi masyarakat dengan hutan adat serta pemanfaatan hasil hutan. Sedikit banyak hukum adat Muluy dari segi kandungan dan denda serta sanksi sama dengan hukum adat Rantau Layung. Masyarakat Muluy terkenal sejak dahulu sebagai penjaga Gunung Lumut; yang berarti mereka sangat memperhatikan kelestarian dan keberadaan Gunung Lumut. Hal ini dibuktikan dengan adanya keberadaan masyarakat Muluy, hutan sekitar mereka cenderung aman dari ancaman perusakan hutan, karena mereka seringkali melarang siapapun baik masyarakat Muluy sendiri, masyarakat dari desa lain maupun pihak swasta yang berkeinginan mengeksploitasi hutan. Larangan ini berupa himbauan, sanksi dan denda adat bahkan pengusiran secara paksa.

Permasalahan yang dihadapi instansi pemerintah di Kabupaten Pasir yang paling mendasar adalah perihal koordinasi antar instansi pemerintah terkait; sebagai contoh dengan status HLGL yang masih penunjukan belum pengukuhan maka dibutuhkan koordinasi yang solid antar Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir, Bappeda dan UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan dalam penataan batas kawasan HLGL sehingga pengukuhan kawasan dapat segera dilakukan. Begitu pula perihal pemanfaatan hasil hutan hayati dan non-hayati serta perlindungan kawasan yang melibatkan Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir, Bapedalda, UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan dan UPTD Pengelolaan Hutan Kabupaten Pasir belum dikoordinasikan dengan baik. Dalam upaya perlindungan kawasan, instansi pemerintah juga harus melibatkan masyarakat sekitar kawasan sebagai pihak yang mendiami kawasan sehingga memahami seluk beluk kawasan. Selain itu, kurang memadai sarana dan prasarana fasilitas pendukung menyebabkan belum optimalnya pengelolaan kawasan hutan yang sejak masa desentralisasi dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten. Masalah intern juga dihadapi oleh instansi pemerintah mengenai kualitas dan kuantitas SDM yang kompeten,