• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan konflik pengelolaan sumberdaya hutan di hutan lindung Gunung Lumut, Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemetaan konflik pengelolaan sumberdaya hutan di hutan lindung Gunung Lumut, Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN KONFLIK PENGELOLAAN

SUMBERDAYA HUTAN DI HUTAN LINDUNG

GUNUNG LUMUT KABUPATEN PASIR

PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

EDITH JUANITA SABARA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PEMETAAN KONFLIK PENGELOLAAN

SUMBERDAYA HUTAN DI HUTAN LINDUNG

GUNUNG LUMUT KABUPATEN PASIR

PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

Oleh :

EDITH JUANITA SABARA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(3)

Edith Juanita Sabara (E34101070). Pemetaan Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur. Dibimbing oleh Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F.

RINGKASAN

Pulau Kalimantan dengan tingkat kekayaan spesies flora dan fauna yang tinggi dan tingkat endemisitas spesies sedang merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati yang terdapat di hutan-hutan Indonesia. Selain potensi hayati meliputi flora, fauna dan kayu yang terkandung di pulau Kalimantan, terdapat juga potensi tambang yang sangat potensial. Potensi-potensi tersebut diiringi dengan kepentingan-kepentingan yang semakin banyak terhadap potensi tersebut seiring masa desentralisasi di tahun 1999, menyebabkan kemunculan konflik. Konflik yang saat ini sedang mencuat di Indonesia adalah konflik pengelolaan sumberdaya hutan (SDH). Saat ini pemerintah Indonesia belum mengantisipasi konflik pengelolaan SDH, padahal banyak kasus konflik SDH yang terjadi di Indonesia hingga memakan korban baik sosial maupun ekonomi dan ekologi. Konflik dapat dijadikan sebagai salah satu langkah menuju pintu perubahan karena mendorong adanya ragam pilihan untuk mencari penyelesaiannya, sehingga konflik tidak perlu dihindari akan tetapi harus dihadapi dan dikelola menuju perubahan positif serta memiliki potensi manfaat. Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) dengan luas 35.350 Ha berdasar penunjukkan melalui SK Menteri Pertanian No. 24/Kpts/Um/1983 merupakan satu diantara empat hutan lindung di Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur. Kawasan HLGL adalah benteng terakhir bentuk ekosistem alami berupa hutan hujan tropika bagi masyarakat adat Dayak Paser di Propinsi Kalimantan Timur. Berbagai potensi hayati yang terkandung di HLGL disertai dengan banyaknya kepentingan terhadap potensi tersebut, maka perlu segera diidentifikasi kemungkinan-kemungkinan adanya konflik yang terjadi menggunakan alat bantu analisis konflik sehingga dapat diantisipasi dengan tepat mengenai penyelesaian dan pengelolaan konflik pengelolaan SDH di kawasan HLGL.

Penelitian dilaksanakan di Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur, pada bulan Oktober 2005 dan Desember 2005 sampai Januari 2006. Peralatan yang digunakan adalah alat tulis, panduan wawancara, kamera dan alat perekam suara (tape recorder). Data yang dikumpulkan meliputi hak dan kewajiban stakeholder, interaksi dan kontribusi stakeholder terhadap kawasan, program kerja dan kegiatan yang dilakukan terkait dengan kawasan, jalinan kerjasama masing-masing stakeholder serta permasalahan dan kendala yang dihadapi internal maupun eksternal. Pengumpulan data dilakukan dengan metode pengamatan lapang, wawancara mendalam dan studi pustaka serta literatur. Langkah-langkah dalam analisis data adalah risalah data dengan mengelompokkan dan menggolongkan data sesuai dengan tujuan penelitian, analisis stakeholder, yang dilakukan dengan mengidentifikasi hak dan kewajiban masing-masing stakeholder serta memilahnya ke dalam matriks pengaruh-kepentingan serta pohon konflik, yang dilakukan berdasar permasalahan inti, penyebab dan dampak yang ditimbulkan dari isu-isu konflik pengelolaan SDH di HLGL.

Stakeholder terkait dalam pengelolaan SDH di kawasan HLGL terbagi kedalam

(4)

bidang pengusahaan kayu memegang IUPHHK yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dengan luas areal konsesi 30.000 Ha. Wewenang tertinggi di Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy dipegang oleh kepala desa yang berperan dalam bidang pemerintahan dan kepala adat bagi urusan intern masyarakat (adat dan budaya).

Dalam pengelolaan SDH di HLGL, stakeholder yang memiliki pengaruh dan kepentingan yang sama-sama tinggi adalah instansi pemerintah yaitu Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir, Bappeda, Bapedalda dan UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan serta masyarakat Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy. PT Rizky Kacida Reana dan TBI Indonesia merupakan stakeholder yang memiliki pengaruh rendah dan kepentingan yang tinggi terhadap SDH di HLGL. Kepentingan didasarkan pada keberadaan HLGL sebagai sumber penelitian ilmiah bagi TBI Indonesia untuk mendapatkan data dan informasi menyeluruh (ekologi, ekonomi dan sosial-budaya) dari kawasan HLGL dan jalan logging yang membelah kawasan HLGL sebagai jalur lintasan pengangkutan pemanfaatan hasil hutan kayu bagi PT Rizky Kacida Reana. Dinas Sosial, UPTD Pengelolaan Hutan Kabupaten Pasir, PeMA Paser, PADI Indonesia dan PT Kideco Jaya Agung merupakan

stakeholder yang memiliki pengaruh dan kepentingan yang rendah terhadap SDH di

HLGL.

Dalam mengidentifikasi konflik antar stakeholder pengelolaan SDH di HLGL, dilakukan melalui analisis stakeholder dan pohon konflik. Analisis yang telah dilakukan menghasilkan matriks identifikasi konflik dengan pengelompokkan aktor konflik; konflik antar instansi pemerintah, konflik antara instansi pemerintah dengan organisasi non-pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat sekitar kawasan HLGL dan konflik antar organisasi non-pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat sekitar kawasan HLGL, matriks intensitas pengaruh dan kepentingan stakeholder di HLGL dan sekitarnya serta pohon konflik. Keseluruhan isu konflik dalam pengelolaan SDH di HLGL meliputi pemanfaatan hasil hutan, pemanfaatan kawasan hutan, perlindungan kawasan, penataan batas kawasan, pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan, kuantitas dan kualitas SDM serta koordinasi antar stakeholder. Berdasarkan pohon konflik permasalahan inti dalam pengelolaan SDH di HLGL dan sekitarnya adalah koordinasi antar stakeholder yang tidak solid.

Pemetaan konflik kepentingan dan pengaruh para stakeholder dalam pengelolaan SDH di HLGL menjelaskan berbagai kepentingan dan pengaruh stakeholder

meliputi aliansi atau mitra kerja yang terjalin dengan baik maupun yang retak, asal kewenangan, arah pengaruh atau kegiatan dan timbulnya konflik suatu isu antar

stakeholder. Sedangkan pemetaan konflik yang dilakukan berdasarkan isu konflik

dijabarkan secara grafis mencakup jenis konflik, wujud konflik dan ruang konflik. Relevansi konflik dengan keberhasilan pengelolaan HLGL menghasilkan aktor dan isu utama sehingga perlu selalu dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan pengelolaan HLGL. Aktor utama tersebut adalah Dinas Kehutanan, Bapedalda, UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan, masyarakat Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung; yang secara keseluruhan terlibat dalam isu utama yaitu penataan batas kawasan, pemanfaatan hasil hutan, pemanfaatan kawasan, perlindungan kawasan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Jakarta pada tanggal 4 Juni 1983 dan merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1995 di SD Negeri 06 Pejaten Barat Jakarta Selatan, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 115 Tebet Jakarta Selatan hingga tahun 1998. Pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) diselesaikan pada tahun 2001 di SMU Negeri 28 Pasar Minggu Jakarta Selatan. Penulis melanjutkan pendidikan strata di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2001 melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada Fakultas Kehutanan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

Selama masa perkuliahan penulis aktif di RIMPALA (Rimbawan Pecinta Alam) dan International Forestry Students Association-Local Committe IPB (IFSA-LC IPB) tahun 2002-2003. penulis menjabat sebagai Kepala Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA) periode 2002-2003, anggota Kelompok Pemerhati Goa (KPG ’Hira’) dan Kelompok Pemerhati Burung (KPB ’Prenjak’) HIMAKOVA tahun 2002-2004. Penulis juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna-IPB (UKM UKF IPB) Divisi Konservasi Burung tahun 2004-sekarang. Selain itu, penulis menjadi asisten dosen mata kuliah Ekologi Hutan pada tahun 2004.

Penulis melaksanakan kegiatan praktek lapang, yaitu Praktek Umum Kehutanan di KPH Banyumas Barat dan KPH Banyumas Timur, Praktek Umum Pengelolaan Hutan di KPH Ngawi. Untuk Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) dilakukan di Taman Nasional Bali Barat, Propinsi Bali.

Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, maka penulis menyusun skripsi yang berjudul ”Pemetaan Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penuliskan panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat merampungkan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini merupakan karya ilmiah hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2005 dan Desember 2005-Januari 2006, dengan judul ”Pemetaan Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur”. Penelitian ini merupakan bagian dari program Lembaga Penelitian Tropenbos Internasional Indonesia (TBI Indonesia) ”Trade-off between biodiversity values and forest exploitation in selected forest areas of the Gunung Lumut Untir-Beratus

extention area”. Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) sebagai salah satu benteng

terakhir pusat keanekaragaman hayati di Propinsi Kalimantan Timur memiliki potensi sumberdaya hutan (SDH) yang tinggi. Terbatasnya sumberdaya diiringi dengan banyaknya berbagai kepentingan terhadap potensi SDH seringkali menimbulkan konflik.

Penelitian ini mengidentifikasi dan menganalisis stakeholder terkait dalam pengelolaan SDH di HLGL serta memetakan konflik antar stakeholder berdasarkan isu pengelolaan HLGL. Pada akhirnya dapat memberikan gambaran tentang permasalahan mendasar yang menyebabkan konflik dan perumusan rekomendasi pengelolaan dan penyelesaian konflik pengelolaan HLGL dalam merumuskan rencana pengelolaan pada masa mendatang terutama bagi stakeholder terkait.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam merampungkan skripsi. Terimakasih kepada pembimbing skripsi Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F; seluruh staf Lembaga penelitian Tropenbos Internasional Indonesia yang telah membiayai penelitian dan memberikan seluruh data dan informasi yang dibutuhkan, pihak instansi pemerintah Kabupaten Pasir dan Propinsi Kalimantan Timur, lembaga swadaya masyarakat PeMA Paser dan PADI Indonesia serta masyarakat Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung atas kerjasama dan kesediaannya diwawancarai selama penulis mengumpulkan data dan informasi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Juni 2006

(7)

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Drs. Simon Taka Nuhamara, MS sebagai wakil penguji dari Departemen Silvikultur dan Ir. Gunawan Santosa, MS sebagai wakil penguji dari Departemen Hasil Hutan yang telah memberikan masukan dan saran dalam penyempurnaan skripsi.

2. Lembaga penelitian Tropenbos Internasional Indonesia yang telah membiayai penelitian ini, Bapak Dr. Dicky Simorangkir, Alfan Subekti, Tunggul, Kak Alfa, Indrawan Suryadi, Yana Suryana, Ibu Widya, Elisabeth Wetik, Santi, Alice, Deny beserta seluruh staf TBI Indonesia atas keramahan, kebersamaan dan kesediaan dalam memberikan data dan informasi yang dibutuhkan peneliti.

3. Pihak perusahaan swasta PT Kideco Jaya Agung dan PT Rizky Kacida Reana atas kesediaannnya memberikan informasi.

4. Seluruh dosen pendidik Fakultas Kehutanan IPB pada umumnya dan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) pada khususnya atas semua ilmu yang telah diberikan.

5. Staf KPAP DKSHE; Ibu Evan, Ibu Titin, Ibu Eti, Bapak Acu, Ibu Fifi, Teteh Sri, Bapak Hasan, Bibi dan seluruh staf Fakultas Kehutanan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

6. Keluarga besar Fakultas Kehutanan angkatan 38, penulis bangga menjadi bagian dari angkatan yang sangat unik, menyenangkan dan pastinya berjiwa ASIK. Serta rekan-rekan Fakultas Kehutanan angkatan 35, 36, 37, 39, 40 dan 41.

7. Keluarga besar KSH Ceria angkatan 38 atas kebersamaan dalam suka maupun duka, petualangan dan pembukaan wawasan.

8. Rekan-rekan penelitian Hutan Lindung Gunung Lumut; Santun, Irma, Devis dan Sony.

9. Para peneliti dan rekan-rekan asisten peneliti beserta pihak-pihak lain khususnya tim Zoology Bio-assessment di Hutan Lindung Gunung Lumut atas kebersamaan sesaat tetapi sangat bermakna.

(8)

DAFTAR ISI

A.2. Perspektif dan Teori Penyebab Konflik ... 3

A.3. Sifat dan Karakteristik Konflik... 4

A.4. Jenis dan Wujud Konflik ... 5

A.5. Pengelolaan dan Penyelesaian Konflik ... 6

A.6. Pemetaan Konflik ... 7

B. Pengelolaan Sumberdaya Hutan ... 9

C. Kawasan Hutan Lindung ... 12

D. Analisis Stakeholders ... 13

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah dan Status Kawasan ... 17

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut ... 28

A.1. Sejarah Penunjukan Gunung Lumut Menjadi Hutan Lindung ... 28

A.2. Pembentukan Kelompok Kerja Pengelolaan HLGL ... 30

A.3. Bentuk-bentuk Kegiatan yang Dilakukan di Kawasan HLGL dan Penyelewengan yang Terjadi ... 31

A.4. Permasalahan yang Dihadapi dalam Pengelolaan HLGL ... 34

B. Karakteristik Stakeholder dalam Pengelolaan SDH di Kawasan HLGL ... 36

(9)

B.2. Penggolongan dan Matriks Intensitas Pengaruh-Kepentingan

Masing-masing Stakeholder Terhadap SDH di HLGL ... 57

C. Identifikasi Konflik Antar Stakeholder dalam Pengelolaan SDH di HLGL ... 60

C.1. Berdasarkan Aktor Konflik dan Isu Konflik ... 60

C.1.1. Konflik Antar Instansi Pemerintah ... 60

C.1.2. Konflik Antara Instansi Pemerintah dengan Organisasi Non Pemerintah, Perusahaan Swasta dan Masyarakat Sekitar Kawasan HLGL ... 63

C.1.3. Konflik Antar Organisasi Non Pemerintah, Perusahaan Swasta dan Masyarakat Sekitar Kawasan HLGL ... 66

C.2. Pohon Konflik ... 69

D. Pemetaan Konflik ... 71

D.1. Berdasarkan Tingkat Pengaruh dan Kepentingan ... 71

D.2. Berdasarkan Isu Konflik ... 78

E. Relevansi Konflik dengan Pengelolaan HLGL ... 86

F. Rekomendasi Pengelolaan dan Penyelesaian Konflik ... 90

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ruang-ruang Konflik ... 9

2. Bagan pemanfaatan SDH dalam rangka pengembangan lingkungan hidup ... 11

3. Matriks pengaruh-kepentingan stakeholder ... 16

4. Kerangka pemikiran penelitian Pemetaan Konflik Pengelolaan SDH di HLGL ... 23

5. Gunung Lumut ... 28

6. Jalan logging yang membelah kawasan HLGL ... 36

7. Pemukiman Dusun Muluy dalam Kawasan HLGL... 42

8. Bangunan SD di Dusun Muluy ... 44

9. Kegiatan manduk ... 55

10. Kegiatan nugal ... 55

11. Bentuk lahan perladangan masyarakat Muluy ... 56

12. Kucica hutan (Copsychus malabaricus) ... 57

13. Pohon Konflik Pengelolaan SDH di HLGL ... 70

14. Pemetaan Konflik Pengaruh dan Kepentingan Antar Stakeholder Primer dalam Pengelolaan SDH di HLGL ... 72

15. Pemetaan Konflik Pengaruh dan Kepentingan Antar Stakeholder Sekunder dalam Pengelolaan SDH di HLGL ... 73

16. Pemetaan Konflik Pengaruh dan Kepentingan Antar Keseluruhan Stakeholder dalam Pengelolaan SDH di HLGL ... 76

17. Pemetaan Konflik Berdasarkan Isu Konflik Pemanfaatan Hasil Hutan ... 79

18. Pemetaan Konflik Berdasarkan Isu Konflik Pemanfaatan Kawasan Hutan ... 80

19. Pemetaan Konflik Berdasarkan Isu Konflik Perlindungan Kawasan ... 81

20. Pemetaan Konflik Berdasarkan Isu Konflik Penataan Batas Kawasan ... 82

21. Pemetaan Konflik Berdasarkan Isu Konflik Pemberdayaan Masyarakat ... 83

22. Pemetaan Konflik Berdasarkan Isu Konflik Kualitas dan Kuantitas SDM ... 84

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Rekapitulasi Konflik Sumberdaya Alam (SDA) Tahun 1990-1996 ... 12

2. Jenis Data yang Dikumpulkan dari Stakeholder Terkait di Kawasan HLGL ... 25

3. Daftar Informan yang Diwawancarai dari Berbagai Stakeholder ... 26

4. Karakteristik Stakeholder dalam Pengelolaan SDH di Kawasan HLGL ... 37

5. Lokasi dan Luas Area Tambang Batubara PT Kideco Jaya Agung ... 40

6. Data Kependudukan Desa Rantau Layung ... 42

7. Data Kependudukan Dusun Muluy ... 43

8. Program Kerja dan Jalinan Kerjasama Terkait dengan Pengelolaan HLGL ... 46

9. Penggolongan dan Intensitas Pengaruh-Kepentingan Stakeholder di HLGL ... 59

10. Matriks Identifikasi Konflik Antar Instansi Pemerintah Berdasarkan Isu Konflik ... 61

11. Matriks Identifikasi Konflik Antara Instansi Pemerintah Dengan Organisasi Non Pemerintah, Perusahaan Swasta dan Masyarakat Sekitar Kawasan HLGL Berdasarkan Isu Konflik ... 63

12. Matriks Identifikasi Konflik Antar Organisasi Non Pemerintah, Perusahaan Swasta dan Masyarakat Sekitar Kawasan HLGL Berdasarkan Isu Konflik ... 67

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Lokasi Hutan Lindung Gunung Lumut ... 95

2. Daftar Pertanyaan yang Diajukan kepada Masing-masing Stakeholder ... 96

3. Luas Kawasan Hutan di Kabupaten Pasir ... 98

4. Lokakarya Pengelolaan HLGL ... 99

5. Surat Keputusan Bupati Pasir Tentang Pembentukkan Kelompok Kerja Pengelolaan HLGL ... 103

6. Daftar Pemegang IUPHHK yang Dikeluarkan Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir di Kabupaten Pasir ... 108

(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pulau Kalimantan dengan tingkat kekayaan spesies flora dan fauna yang tinggi dan tingkat endemisitas spesies sedang merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati yang terdapat di hutan-hutan Indonesia. Walaupun demikian kondisi hutan hujan dataran rendah di Pulau Kalimantan menurun sangat tajam. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh perizinan pelangsungan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sejak tahun 1970-an serta maraknya penebangan liar (Wulan et al., 2004). Selain potensi hayati meliputi flora, fauna dan kayu yang terkandung di Pulau Kalimantan, terdapat juga potensi tambang yang sangat potensial. Potensi-potensi tersebut diiringi dengan kepentingan-kepentingan yang semakin banyak terhadap potensi tersebut seiring masa desentralisasi di tahun 1999, yang menyebabkan kemunculan konflik.

Konflik yang saat ini sedang mencuat di Indonesia adalah konflik pengelolaan sumberdaya hutan (SDH). Hubungan manusia dengan alam khususnya hutan bersifat sirkular dan kompleks. Hal ini berarti segala aktivitas atau bentuk interaksi manusia dengan SDH-nya, langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi serta merubah SDH tersebut. Perubahan yang terjadi akan berpengaruh kepada unsur lain dan cepat atau lambat akan berbalik kembali memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada manusia (Soemarwoto, 1994). Namun bentuk pengelolaan SDH yang kini terjadi di Indonesia cenderung mengarah pada kepentingan ekonomi semata tanpa memperhatikan kepentingan lain yang juga berperan penting, yaitu sosial dan ekologi. Lambat-laun akan memicu terjadinya konflik dalam pengelolaan SDH yang mengancam kelestarian dan keberadaan SDH tersebut bahkan kelangsungan hidup manusia.

Saat ini pemerintah Indonesia belum mengantisipasi konflik pengelolaan SDH, padahal banyak kasus konflik SDH yang terjadi di Indonesia hingga memakan korban baik sosial maupun ekonomi dan ekologi. Konflik dapat dijadikan sebagai salah satu langkah menuju pintu perubahan karena mendorong adanya ragam pilihan untuk mencari penyelesaiannya, sehingga konflik tidak perlu dihindari akan tetapi harus dihadapi dan dikelola menuju perubahan positif serta memiliki potensi manfaat. Konflik yang tidak terkelola dengan baik akan mengancam integritas ekosistem dan keanekaragaman hayati, yang selanjutnya mengancam lingkungan secara umum sebagai penopang kehidupan manusia generasi masa kini dan mendatang. Hal ini lah yang membuat konflik mampu menciptakan perubahan serta dapat mengubah pemahaman terhadap pemanfaatan SDH yang lestari bagi bangsa Indonesia.

(14)

Paser di Propinsi Kalimantan Timur. Pengelolaan SDH yang tepat dan lestari serta tindakan konservasi demi keberlangsungan dan eksistensi HLGL merupakan suatu hal yang perlu dilakukan karena beberapa fungsi HLGL, yaitu melindungi fungsi hidrologi sungai-sungai, mengatur tata air, kaya akan keanekaragaman hayati, salah satu ‘paru-paru hijau’ (green lungs) dunia, mencegah dan mengendalikan banjir dan erosi.

Berbagai potensi hayati yang terkandung di HLGL telah menyebabkan banyaknya kepentingan yang berlangsung di HLGL diantaranya Pemerintah daerah sebagai pengemban tugas pokok dalam pengelolaan hutan lindung, perusahaan swasta seperti perusahaan kayu dan perusahaan tambang, organisasi non pemerintah, masyarakat sekitar kawasan serta instansi-instansi dan pihak-pihak lainnya. Oleh karena itu perlu segera diidentifikasi kemungkinan-kemungkinan adanya konflik yang terjadi dengan menggunakan alat bantu analisis konflik sehingga dapat diantisipasi dengan tepat mengenai pengelolaan dan penyelesaian konflik pengelolaan SDH di HLGL.

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah

1. Mengidentifikasi dan memetakan stakeholder terkait dalam pengelolaan SDH di kawasan HLGL berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingan.

2. Melakukan pemetaan konflik antar stakeholder berdasarkan isu pengelolaan HLGL dan merumuskan rekomendasi untuk penyelesaian konflik yang relevan.

C. Manfaat

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi ’pengelola’ dalam merumuskan rencana pengelolaan SDH di kawasan HLGL pada masa datang terutama bagi stakeholder terkait. Secara khusus manfaat penelitian ini dapat berguna sebagai

lesson learned dan sebagai salah satu masukan bagi upaya-upaya penelitian lebih lanjut

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konflik

A.1. Pengertian Konflik

Dalam memahami konflik dengan segala dimensinya, terdapat dua kata kunci yang sebenarnya menjadi ciri adanya konflik, yaitu kata “disagreement” (ketidaksetujuan) dan “incompatible” (bertentangan/tidak cocok dengan). Kata konflik berasal dari bahasa Latin, yaitu “conflictus” yang berarti “menyerang bersama”, dulu pengertian ini digunakan untuk mengindikasikan sebagai suatu proses maupun keberadaan suatu keadaan (Yarn, D.H, 1999 dalam Fuad & Maskanah, 2000). Pengertian konflik (Fuad & Maskanah, 2000) adalah benturan yang terjadi antara dua pihak/lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan sumberdaya. Menurut Fisher et al. (2001), konflik adalah hubungan antara dua pihak/lebih (individu/kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Berdasar kedua pengertian ini, dapat dikatakan bahwa kehidupan manusia dan konflik sangatlah sulit untuk dipisahkan.

Kata konflik itu sendiri seringkali mengandung konotasi negatif, yang cenderung diartikan sebagai lawan kata dari pengertian kerjasama, harmoni dan perdamaian. Konflik acapkali diasosiasikan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (Fuad & Maskanah, 2000). Pandangan masyarakat yang dangkal mengenai pengertian ini sulit diubah, walau konflik sebenarnya perlu dimaknai sebagai suatu ekspresi perubahan masyarakat. Konflik bukanlah sesuatu yang dapat dihindari atau disembunyikan tetapi harus diakui keberadaannya, dikelola dan diubah menjadi suatu kekuatan bagi perubahan positif. Konflik dibedakan diantara dua sumbu yaitu sasaran dan perilaku. Fisher et al. (2001) menyatakan bahwa konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan dan timbul akibat ketidakseimbangan antara semua bentuk hubungan manusia. Hal ini membuktikan, jika konflik selalu ada maka berarti konflik itu memang sebenarnya dibutuhkan yang mungkin saja menjadi bagian dari solusi suatu masalah.

A.2. Perspektif dan Teori Penyebab Konflik

(16)

dalam Fuad & Maskanah, 2000). Perspektif ekonomi-politik konflik adalah bagian yang terelakkan dari proses pembangunan yang mengutamakan industrialisasi tanpa mempertimbangkan kepentingan penduduk yang kurang memiliki posisi tawar yang kuat dalam mengakses sumberdaya pembangunan (Fuad & Maskanah, 2000).

Perspektif sosio-kultural berkaitan dengan proses industrialisasi yang mensyaratkan adanya penyesuaian sikap mental, wawasan budaya (terutama yang menyangkut aspek disiplin, penghargaan terhadap waktu, etos kerja yang kuat, kebutuhan untuk berprestasi, kesediaan untuk masuk dalam persaingan dan sebagainya). Penyesuaian ini membutuhkan waktu yang panjang, dan jika penyesuaian gagal dilakukan akan menyebabkan konflik. Nilai-nilai sosio-kultural menuntut pentingnya menjaga harmoni, keselarasan dan kerukunan sosial (Fuad & Maskanah, 2000).

Teori-teori mengenai berbagai penyebab konflik menurut Fisher et al. (2001) terbagi kedalam enam teori:

1. Teori Hubungan Masyarakat

Teori yang menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.

2. Teori Negosiasi Prinsip

Teori yang menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. 3.Teori Kebutuhan Manusia

Teori yang berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. 4. Teori Identitas

Berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. 5. Teori Kesalahpahaman Antar Budaya

Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.

6. Teori Transformasi Konflik

Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

A.3. Sifat dan Karakteristik Konflik

(17)

efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi bahkan kadang-kadang menjadi tidak ada artinya; dan konflik dapat melampaui dari tahapan yang lazim. Karakteristik konflik terakhir adalah orang tampak menjadi individu yang berbeda selama berada dalam konflik, tapi konflik yang terjadi pada seluruh tingkat organisasi dapat diidentifikasikan.

Dalam penyelesaian konflik pada umumnya digunakan beberapa titik tolak karena sifat konflik yang selalu identik dengan kehidupan manusia (Fuad & Maskanah, 2000), bahwa

ƒ Konflik selalu ada, manusia hidup selalu berkonflik, sebab konflik terdapat di alam

dan hadir dalam kehidupan manusia, konflik selalu berubah dan sulit diramal kapan datangnya seperti cuaca.

ƒ Konflik menciptakan perubahan, konflik dapat mengubah pemahaman terhadap

sesama. Konflik mendorong adanya klarifikasi pilihan-pilihan dan kekuatan untuk mencari penyelesaiannya.

ƒ Konflik selalu mempunyai dua sisi, konflik membawa potensi resiko dan potensi

manfaat secara inheren.

ƒ Konflik menciptakan energi, baik yang bersifat destruktif atau kreatif atau keduanya

dan mempunyai sifat mengikat.

ƒ Konflik dapat produktif atau non produktif, konflik yang produktif lebih mengacu

pada permasalahannya, kepentingan/minat, prosedur dan nilai-nilai pemahaman yang mampu menghasilkan jalan keluar. Konflik yang non produktif cenderung mengacu pada stereotip, komunikasi yang payah, sarat emosi, kurang informasi dan salah informasi yang menciptakan konflik.

ƒ Konflik dipengaruhi pola-pola biologi, kepribadian dan budaya, reaksi-reaksi

psikologis memegang peranan emosional yang sangat kuat dalam mempengaruhi proses konflik, dengan mengikuti gaya kepribadian dan psikologi seseorang. Budaya juga ikut membentuk aturan-aturan dan ritual yang membawa kita pada konflik.

ƒ Konflik mengandung berbagai makna “kaleidoskop”, konflik laksana drama yang

dapat dianalisa dengan memahami siapa, dimana, kapan dan mengapa. Konflik tidak menunjukkan adanya kebenaran utuh yang berdiri sendiri, melainkan berbagai konstruksi dari realita.

ƒ Konflik memiliki “daur hidup” dan “sifat-sifat bawaan”, konflik dapat bertransformasi,

bertambah cepat, perlahan menghilang atau berubah bentuk.

ƒ Konflik menggugah manusia, konflik menjadi inspirasi bagi penulis, pemikir,

seniman, politisi, psikolog dan ahli filsafat. A.4. Jenis dan Wujud Konflik

(18)

makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horizontal, terjadi diantara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Menurut Hendricks (1996), jenis konflik juga dapat dibedakan antara konflik intrapersonal dan interpersonal. Konflik intrapersonal melibatkan ketidaksesuaian emosi individu ketika keahlian, kepentingan, tujuan dan nilai-nilai yang dihadapinya jauh dari menyenangkan. Konflik interpersonal melibatkan ketidaksesuaian emosi, kepentingan, tujuan dan nilai-nilai antara satu individu/kelompok dengan individu/kelompok lain. Konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest) (Moore, 1996 dalam Fuad & Maskanah, 2000). Konflik tertutup (latent) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan antara pihak-pihak yang telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, mayoritas permasalahannya jelas tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi atau bahkan menemui jalan buntu.

A.5. Pengelolaan dan Penyelesaian Konflik

Konflik dapat dikelola melalui tiga dasar penyelesaian (Condliffe, 1991 dalam

Sardjono, 2004), yaitu: (1) Langsung antar pihak yang bersengketa (one-to-one), dimana masing-masing pihak yang bersengketa bertindak untuk menyelesaikannya sendiri; (2) Mewakilkan kepada pihak lain (representational), dimana pihak-pihak yang bersengketa diwakili pihak lain seperti pengacara, teman, kolega dan asosiasi resmi; dan (3) Menggunakan pihak ketiga (third party), dimana peran pihak ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas permintaan kedua belah pihak yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya. Condliffe (1991) dalam Sardjono (2004), juga mengajukan delapan prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik:

1. Lumping it

Terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan diabaikan (simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan.

2. Avoidance or exit

Mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi atau psikologis.

3. Coercion

Satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau kepentingannya pada pihak yang lain.

4. Negotiation

(19)

5. Concilliation

Mengajak (dalam arti menyatukan) kedua belah pihak yang bersengketa untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan.

6. Mediation

Pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan.

7. Arbitration

Bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga.

8. Adjudication

Apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan keputusan yang diambil, baik yang diharapkan ataupun tidak oleh kedua belah pihak bersengketa.

Dari kedelapan prosedur umum penyelesaian konflik diatas hanya butir negosiasi, konsiliasi dan mediasi yang merupakan penyelesaian konflik di luar pengadilan yang dipandang kondusif. Hal ini dikarenakan ketiganya mengandung unsur tawar-menawar serta dapat diciptakan ‘win-win solution’ yang sifatnya lebih langgeng. Sebagaimana yang disinggung oleh Sardjono (2004), bahwa penyelesaian konflik melalui jalur legal formal yang akan diperoleh adalah ‘menang-kalah’ atau ‘gembira-kecewa’. Oleh karenanya, cara ini hanya akan ditempuh bila (1) upaya penyelesaian melalui perundingan menemui jalan buntu; (2) tingkat pelanggaran atau tuntutan telah melampaui batas toleransi; dan (3) merupakan kebiasaan dan kepentingan publik.

A.6. Pemetaan Konflik

Pemetaan konflik adalah suatu teknik visual yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan diantara berbagai pihak yang mengalami konflik (Fisher et al., 2001). Pemetaan konflik merupakan salah satu alat bantu untuk menganalisis konflik. Tujuan dari pemetaan konflik diantaranya adalah untuk lebih memahami situasi dengan baik, melihat hubungan diantara berbagai pihak secara lebih jelas, memeriksa keseimbangan masing-masing reaksi, mengidentifikasi mulainya intervensi atau tindakan dan untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam penanganan dan pengelolaan konflik.

(20)

konflik. Kriteria-kriteria ruang konflik tersebut menurut Fuad & Maskanah (2000) terbagi kedalam lima ruang konflik, yaitu:

ƒ Konflik data, terjadi ketika seseorang mengalami kekurangan informasi yang

dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai data yang relevan, menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda.

ƒ Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau

yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi karena masalah yang mendasar atau substantif (misalnya uang dan sumberdaya), masalah tata cara (sikap dalam menangani masalah) atau masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat).

ƒ Konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang

kuat, salah persepsi, salah komunikasi atau tingkah laku negatif yang berulang (repetitif). Masalah-masalah ini sering menimbulkan konflik yang tidak realistis (Cosner, 1956 dalam Fuad & Maskanah, 2000) atau yang sebenarnya tidak perlu terjadi (Moore, 1986 dalam Fuad & Maskanah, 2000).

ƒ Konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian baik yang

hanya dirasakan maupun memang nyata. Nilai adalah kepercayaan yang digunakan manusia untuk memberi arti pada hidupnya. Sehingga konflik nilai terjadi ketika seseorang berusaha untuk memaksakan suatu sistem nilai kepada orang lain atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif dan didalamnya tidak dimungkinkan adanya percabangan kepercayaan.

ƒ Konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan akses dan

kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain.

(21)

Masalah hubungan antar manusia

Gambar 1. Ruang-ruang konflik (Fuad & Maskanah, 2000)

B. Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Definisi hutan menurut UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 1 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dicantumkan pula pada pasal 6 ayat (1) bahwa hutan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Menurut Nilsson (1996) dalam Gardner dan Engelman (1999) dalam Suhendang (2002), macam-macam fungsi hutan dapat dikelompokkan kedalam fungsi untuk (1) menghasilkan kayu industri

(industrial wood), untuk papan, kertas, kemasan dan lain-lain, (2) menghasilkan kayu

bakar dan arang (fuel wood and charcoal), (3) menghasilkan hasil hutan bukan kayu

(Non-Wood Forest Products), (4) menyediakan lahan untuk pemukiman manusia (human

settlement), (5) menyediakan lahan untuk pertanian (agriculture land), (6) memberikan

perlindungan terhadap siklus air dalam DAS (Daerah Aliran Sungai) dan pengendalian erosi (watershed protection and erosion control), (7) tempat penyimpanan carbon (carbon

storage), (8) pemeliharaan keanekaragaman hayati dan habitat (biodiversity and habitat

preservation), dan (9) obyek ekoturisme dan rekreasi alam (ecotourism and recreation). Hutan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat telah menurun kondisinya. Areal hutan produksi seluas ± 41 juta Ha

yang dikelola oleh 320 unit HPH, seluas ± 11.6 juta Ha (28%) telah rusak, menjadi semak belukar, tanah kosong dan ladang. Sedangkan dari areal eks 112 unit HPH dengan luas 5.7 juta Ha yang dikelola PT. INHUTANI I-V, seluas 2.6 juta Ha (45%) telah rusak, menjadi tanah kosong, semak belukar dan ladang. Rekalkulasi terhadap hutan lindung dan kawasan konservasi seluas ± 29.8 juta Ha menunjukkan hanya ± 6.7 juta Ha (54%)

(22)

margasatwa, taman hutan raya dan taman nasional) yang masih tersisa sebagai hutan primer (Dephut, 2000 dalam Muhshi, 2004). Hal ini dapat mengancam keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia khususnya pihak yang hidupnya tergantung pada keberadaan hutan. Peranan penting hutan sebagai bagian dari sumberdaya alam dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup, akan dirasakan manfaatnya apabila hutan terjamin eksistensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumberdaya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan (Zain, 1998).

Pengelolaan sumberdaya alam, antara lain hutan, adalah pemanfaatan dan perlakuan terhadap ekosistem sumberdaya alam dengan menjaga kelestarian (Soerianegara, 1996). Untuk menjaga kelestarian SDH dan keserasian serta keseimbangan lingkungan hidup, pengelolaan SDH harus didasarkan pada asas-asas ekologi dan pendekatan ekosistem. Hal ini seiring dengan tujuan pemanfaatan dan pengelolaan SDH ialah untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Soerianegara, 1996). Tujuan ini diperkuat oleh pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, pasal 3 UU RI No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan pasal 4 UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Seminar Nasional Pengembangan Lingkungan Hidup di Jakarta tahun 1978 merumuskan kerangka pemikiran mengenai permasalahan, kebijakan dan program pengelolaan SDH dalam rangka pengembangan lingkungan hidup (Gambar 2).

(23)

Implikasi kebijakan pembangunan sumberdaya alam

Gambar 2. Bagan pemanfaatan SDH dalam rangka pengembangan lingkungan hidup (ubahan Direktorat Bina Program, 1978 dalam Soerianegara, 1996)

Secara garis besar permasalahan yang mendalangi mismanagement hutan Indonesia disebabkan oleh kurangnya informasi yang memadai mengenai SDH itu sendiri, baik sebagai sumber kayu dan hasil hutan non kayu lainnya; maupun sebagai satu unit ekosistem dengan unsur manusia yakni masyarakat lokal beserta ragam interaksinya serta rendahnya kemampuan kebijakan dan aparat pemerintah dalam mengantisipasi perkembangan kebutuhan lokal, nasional dan internasional terhadap keberadaan SDH (Fuad & Maskanah, 2000). Sumberdaya hutan dan sumberdaya alam lainnya secara luas adalah bagian dari ekosistem, dan ketika pembangunan sebagai intervensi untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dilakukan, akan terdapat dua persoalan penting berupa krisis akibat pembangunan. Yang pertama adalah krisis alam, yaitu hancur atau rusaknya lingkungan segala makhluk akibat intervensi proyek-proyek pembangunan, terutama yang dilakukan tanpa visi ekosistemis. Dan yang kedua adalah krisis keadilan, yakni terciptanya ketimpangan akses dan kontrol berbagai kelompok

Fungsi SDH:

1. Wadah plasma nutfah (flora dan fauna)

(24)

sosial (kelas, gender, ras dan lain sebagainya), terhadap tanah dan kekayaan alam yang berada diatasnya dan apa yang terkandung didalamnya.

Tabel 1. Rekapitulasi Konflik Sumberdaya Alam (SDA) Tahun 1990-1996

No. Sumber

5. Taman Nasional 1492 Penebangan liar, tumpang tindih status lahan, perladangan liar dan penjarahan

Masyarakat lokal, taman nasional dan PKA

6. Perkebunan 405 Penjarahan hasil kebun dan penyerobotan lahan

Sumber: Pusat Dokumentasi dan Informasi Departemen Kehutanan dalam LATIN (1998) dalam Muhshi (2004)

C. Kawasan Hutan Lindung

Menurut UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Keppres RI No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya dan memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Penentuan suatu kawasan hutan menjadi hutan lindung berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837 tahun 1980, di daerah perbukitan atau pegunungan yaitu dengan cara skoring; menurut keadaan lereng (bobot 20%), kepekaan terhadap erosi (jenis tanah) (bobot 15%), dan intensitas curah hujan (bobot 10%). Jika skor >175, maka kawasan hutan tersebut perlu dijadikan, dibina dan dipertahankan sebagai hutan lindung (Soerianegara, 1996). Sedangkan menurut Keppres RI No. 32 tahun 1990, kriteria hutan lindung adalah memiliki lereng lapangan >40%, dan atau mempunyai jenis tanah yang sangat peka terhadap erosi pada lereng lapangan 15% dan

atau kawasan tersebut memiliki ketinggian >2000 mdpl (Soerianegara, 1996).

(25)

lingkungan hidup. Sasaran pengelolaan kawasan lindung adalah meningkatkan fungsi lindung terhadap air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa serta mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan keunikan alam. Menurut Keppres RI No. 32 tahun 1990, perlindungan terhadap kawasan hutan lindung dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, air permukaan.

Menurut UU RI No. 41 tahun 1999 pasal 26 ayat (1) dan (2) dan PP RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan pasal 18-21, pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHNK). Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan izin pemungutan HHNK. Terdapat larangan melakukan kegiatan budidaya kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung berdasar Keppres RI No. 32 tahun 1990. Dengan tetap memperhatikan fungsi lindung kawasan yang bersangkutan di dalam kawasan lindung dapat dilakukan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan (tercantum dalam pasal 38 ayat (3) UU RI No. 41 tahun 1999). Dalam UU No. 41 pasal 38 ayat (4) tahun 1999 juga menegaskan bahwa pada kawasan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

D. Analisis Stakeholders

Stakeholder adalah (1) pihak-pihak yang kepentingannya dipengaruhi oleh suatu

isu atau pihak yang melakukan suatu kegiatan dan mempengaruhi isu; (2) pihak-pihak yang mempunyai informasi, sumberdaya dan keahlian yang dibutuhkan untuk strategi formulasi dan implementasi, dan (3) pihak-pihak yang mengatur alat relevan implementasi (UN-HABITAT & UNEP, 2001). Menurut Kulzick (1999), stakeholder adalah kelompok formal dan informal yang berbagi kepentingan teridentifikasi yang sama, menghasilkan sesuatu yang penting bagi organisasi dan mengharapkan timbal balik (pamrih).

Analisis stakeholder adalah alat vital untuk mengidentifikasi individu, kelompok dan organisasi yang memiliki kepentingan signifikan dan legitimasi dalam isu sosial (UN-HABITAT & UNEP, 2001). Gawler (2005) pun menyatakan bahwa analisis stakeholder

(26)

pandangan manusia dan institusional secara strategik serta hubungan antar stakeholder

dan pertimbangan secara objektif. Pemahaman dalam saran dan kontribusi potensial dari berbagai stakeholder adalah syarat mutlak fundamental bagi suksesnya proses partisipasi pemerintah di bidang sosial dan analisis stakeholder adalah alat mendasar untuk mencapai pemahaman tersebut. Kulzick (1999) juga menyatakan bahwa analisis

stakeholder merupakan alat yang dapat digunakan untuk menjembatani dalam situasi

pengambilan suatu keputusan, dalam kondisi diikuti oleh berbagai stakeholder yang bersaing kepentingan, sumberdaya terbatas dan kebutuhan stakeholder harus seimbang. Untuk menjamin perwakilan seimbang, analisis harus menyelidiki dan mengidentifikasi para stakeholder dari berbagai aspek (UN-HABITAT & UNEP, 2001). Sebagai contoh, analisis harus memisahkan kelompok dan kepentingan teridentifikasi yang relevan kedalam sektor publik, sektor swasta dan sektor sosial dan kemasyarakatan. Sebagai tambahan, analisis dapat mengidentifikasi para stakeholder

potensial untuk menjamin perwakilan yang tepat berkaitan dengan gender, budaya, kemiskinan atau kriteria lokal relevan lainnya. Melalui kategori tersebut, analisis juga dapat melihat batas-batas dari informasi, keahlian dan sumberdaya yang dimiliki para

stakeholder terkait dengan isu. Walaupun demikian, analisis stakeholder hanya dapat

mengidentifikasi stakeholder potensial yang relevan. Hal ini tidak menjamin bahwa para

stakeholder tersebut akan menjadi pihak yang terlibat secara aktif dan berperan penting; penilaian lain juga dibutuhkan untuk menghasilkan kepentingan dan komitmen berkelanjutan.

Menurut Gawler (2005), stakeholder dapat dikelompokkan kedalam stakeholder

primer dan sekunder. Stakeholder primer atau stakeholder langsung adalah pihak-pihak yang; disebabkan kepemilikan kekuasaan, wewenang, tanggung jawab atau klaim atas sumberdaya, merupakan pihak sentral dalam inisiasi. Setiap keluaran dalam aksi yang dilakukan akan mempengaruhi pihak-pihak tersebut secara langsung, partisipasi mereka sangat penting. Stakeholder primer dapat meliputi komunitas lokal, swasta, pemerintah lokal dan nasional dan lain sebagainya. Kategori ini juga mencakup individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan, mengontrol kebijakan, hukum atau sumberdaya dan yang memiliki kapasitas mempengaruhi keluaran. Sedangkan stakeholder sekunder atau

stakeholder tidak langsung adalah pihak-pihak dengan kepentingan tidak langsung dalam

keluaran. Pihak-pihak tersebut dapat meliputi konsumen, pendonor, pemerintah dan swasta. Stakeholder sekunder dibutuhkan keterlibatannya secara periodik, tetapi tidak untuk terlibat dalam keseluruhan aspek perencanaan dan/atau implementasi inisiasi.

Prinsip dalam analisis stakeholder menjamin pengikutsertaan kelompok-kelompok yang relevan selama penyatuan sensitifitas gender. Prinsip-prinsip tersebut (UN-HABITAT & UNEP, 2001) adalah

ƒ Keterlibatan;menjamin penyatuan (keterlibatan) dari keseluruhan berbagai

(27)

ƒ Hubungan; meliputi hanya para stakehoder relevan, yang memiliki peranan signifikan dalam proses (tidak meliputi semua pihak).

ƒ Sensitifitas gender; baik laki-laki maupun wanita mempunyai akses yang sama di

dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam analisis kita melihat stakeholder dan hubungannya. Berbagai tipe hubungan memerlukan pula berbagai bentuk proses; beberapa bahkan memerlukan masukan lebih banyak dalam pemeliharaannya (Allen & Kilvington, 2001). Persamaan para stakehoder

dapat menjadi spesifik, seperti individu atau kelompok. Pihak-pihak lainnya lebih ’tak berbentuk’ dan diharuskan berpikir lebih luas supaya dapat membentuk dan memelihara hubungan dengan pihak tersebut.

Tahapan dalam kegiatan analisis stakeholder (UN-HABITAT & UNEP, 2001) adalah

1. Menentukan isu spesifik

Pembagian dan identifikasi stakeholder ke dalam isu terkait, individu dan kelompok hanya dapat berperan konkrit dalam isu atau topik terkait. Oleh karena itu, proses identifikasi stakeholder berlaku khusus bagi isu spesifik.

2. Merinci stakeholder

Terkait dengan isu spesifik, rincian stakeholder yang kemungkinan terkait secara luas, perlu dipersiapkan, di tuntun oleh kategori umum dari kelompok stakeholder (publik, swasta dan kemasyarakatan, dengan sub-kategori untuk masing-masing, gender dan lain sebagainya). Mengidentifikasi pihak-pihak yang terpengaruh oleh atau mempengaruhi isu; mempunyai informasi, pengetahuan dan keahlian mengenai isu tersebut dan mengatur alat implementasi relevan terkait dengan isu.

3. Memetakan stakeholder

Menganalisa rincian stakeholder dengan berbagai kriteria atau aspek. Hal ini akan membantu dalam menentukan kelompok stakeholder yang dapat menunjukkan perbedaan tingkatan kepentingan, kapasitas dan hubungan terhadap isu. Penguatan kelembagaan diperlukan dalam identifikasi ruang untuk keefektifan partisipasi

stakeholder dan kemungkinan kesenjangan atau ’gap’ yang terjadi.

Dalam laporan studi yang dilakukan CIFOR (2001), langkah-langkah dalam melakukan analisis stakeholder di kawasan hutan atau pedesaan adalah mengidentifikasi berbagai kelompok, sub-kelompok dan/atau kategori individu dan kepentingannya terhadap hutan atau desa, mengidentikasi hak, kewajiban dan keuntungan masing-masing stakeholder terhadap hutan, mengidentifikasi hubungan dan interaksi antara para

stakeholder dalam kaitannya dengan hubungan kepentingannya terhadap hutan.

Terakhir, menganalisa singkat berdasarkan interaksi-interaksi tersebut dan menghasilkan rekomendasi.

Salah satu langkah penting yang harus dilakukan dalam analisis stakeholder

(28)

sesuai partisipasinya masing-masing; kekuasaan (wewenang atau kepentingan) atau personalitas (masalah atau keinginan, suportif, antagonistik, konstruktif atau destruktif). Pengaturan para stakeholder sangat penting dilakukan dalam pelaksanaan penelitian atau pembuatan kebijakan, hal ini dilakukan supaya tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud. Cara yang dapat dilakukan dalam melakukan pengorganisasian stakeholder

adalah dengan memilah stakeholder kedalam matriks pengaruh-kepentingan (Gambar 3).

Pengaruh Keterangan:

A :Memonitor (Monitor; minimum

D C effort) B :Pertahankan penginformasian

(Keep informed) A B C : Pelibatan secara aktif (Engage closely)

D :Pertahankan kepuasaan (Keep Kepentingan satisfied)

Gambar 3. Matriks pengaruh-kepentingan stakeholder

Stakeholder yang memiliki pengaruh dan kepentingan yang tinggi adalah individu

(29)

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah dan Status Kawasan

Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) pada tahun 1970-an masih merupakan areal konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT (Perseroan Terbatas) Telaga Mas. Pada tanggal 15 Januari 1983, kawasan ini ditunjuk sebagai hutan lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 24/Kpts/Um/1983 tentang Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Propinsi Kalimantan Timur. Walaupun demikian status HLGL masih penunjukkan belum dikukuhkan. Sehingga secara legalitas, status HLGL masih lemah karena belum sah secara hukum. Kawasan HLGL merupakan satu dari empat hutan lindung yang berada di Kabupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur. Kawasan ini terletak di arah timur laut Tanah Grogot, ibukota Kabupaten Pasir dan berjarak ± 84 km dari Penajam.

Luas keseluruhan kawasan HLGL adalah 35.350 Ha (UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan). Penataan batas pada kawasan HLGL telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh tim orientasi tata batas dari Badan Planologi pada tahun 1986 dan 1990 serta UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) Planologi Kehutanan Balikpapan dan Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir pada tahun 2003. Dengan panjang batas yang ditata batas berturut-turut adalah 100.975 Km, 20.600 Km dan 121.575 Km. Di sekitar kawasan hutan lindung terdapat 13 desa termasuk satu dusun berada dalam kawasan di empat kecamatan.

Sampai saat ini kegiatan-kegiatan logging masih terjadi di dalam dan sekitar kawasan HLGL, baik yang secara legal oleh beberapa HPH di areal konsesi dan yang memiliki IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) maupun kegiatan illegal

logging yang semakin meningkat. Kegiatan tersebut telah memberikan tekanan dan

gangguan bagi keberadaan hutan lindung. Sejalan dengan itu, kesadaran dan pengetahuan sebagian masyarakat di dalam dan sekitar HLGL terhadap fungsinya masih kurang. Umumnya mereka memanfaatkan hutan dengan mengambil rotan dan madu yang merupakan produk hutan non-kayu. Namun sebagian masyarakat ada pula yang menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun dijual (TBI Indonesia, 2004).

B. Kondisi Fisik

B.1. Letak dan Luas

(30)

Kawasan HLGL memiliki luas sekitar 35.350 hektar (berdasar UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan, 2003), dengan batas wilayah:

ƒ Sebelah Utara : Desa Kepala Telake

ƒ Sebelah Timur : Desa Muara Lambakan, Desa Belimbing, Desa Tiwei, Desa Rantau Layung, Desa Rantau Buta

ƒ Sebelah Selatan : Desa Kasungai, Desa Busui, Desa Rantau Layung

ƒ Sebelah Barat : Desa Batu Butok, Desa Uko, Desa Muara Kuaro, Desa Prayon, Desa Long Sayo, Desa Swan Selutung

B.2. Iklim

Berdasarkan data iklim tahun 1994-1998 dan sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951), kawasan HLGL termasuk dalam tipe iklim A atau sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropika. Kawasan ini memiliki rata-rata curah hujan pada tahun 1982-1993 sebesar 165,83 mm/bulan dengan 8,92 hari hujan dan pada tahun 1994-1998 rata-rata curah hujan sebesar 216,38 mm/bulan dengan 10,36 hari hujan (UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan, 2003).

B.3. Hidrologi

Kawasan HLGL merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang mengalir ke daerah permukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air dan melindungi sistem tata air di kawasan tersebut. Kawasan HLGL merupakan daerah tangkapan air bagi dua DAS (Daerah Aliran Sungai) besar di Kabupaten Pasir yaitu DAS Kendilo dengan anak sungai Sungai Busui (20 km) di Tanah Grogot dan DAS Telake di kecamatan Long Kali. Kedua DAS tersebut memegang peranan penting sebagai sumber persediaan air bagi 68 daerah di sekitarnya termasuk Tanah Grogot ibukota Kabupaten Pasir, Batu Sopang, Muara Komam dan Long Ikis.

Beberapa sungai yang terkait dengan kawasan HLGL antara lain: Sungai Kendilo dengan anak Sungai Busui (panjang 20 km), Sungai Telewong (panjang 3.5 km) Sungai Kesungai (panjang 54.5 km). Selain itu, terdapat anak-anak sungai dari sub DAS Kesungai dengan panjang bervariatif mulai dari 0.5 – 2 km, diantaranya Sungai Semau, Sungai Sembinai, Sungai Prayan, Sungai Prayamlin, Sungai Kelato, Sungai Buntut, Sungai Lempesu, Sungai Maridun, Sungai Belimbing, Sungai Merurong, Sungai Apo, Sungai Sunna, Sungai Beleko, Sungai Punan dan sebagainya.

B.4. Tanah dan Geologi

(31)

B.5. Bentuk Lahan dan Topografi

Secara fisiografik, kawasan HLGL terdiri dari bentuk lahan dataran berbukit dan perbukitan, yang terbagi kedalam enam subsistem lahan, yakni :

1. Dataran sedimen yang berbukit dengan punggung bukit curam, pada bagian barat, mempunyai pola drainase trellis.

2. Dataran sedimen yang berbukit, terdapat pada bagian barat daya, mempunyai pola drainase dendritik.

3. Perbukitan dengan punggung linear yang mempunyai lereng terjal di suatu sisi, terdapat di bagian barat, mempunyai pola drainase trellis.

4. Perbukitan batuan beku bukan endapan yang tidak simetris atau teratur, terdapat di bagian timur, mempunyai pola drainase dendritik.

5. Punggung bukit dan gunung karst yang curam, terdapat melintang dari arah timur laut ke

barat daya, mempunyai pola drainase karstik.

6. Kelompok punggung gunung batuan bukan endapan, terdapat di bagian utara, mempunyai pola drainase rectangular.

Secara umum kawasan HLGL (Bakosurtanal, 1991 dalam Wahyuni et al., 2004) memiliki kondisi topografi lereng datar berombak (0-8 %) dan bergelombang (8-15 %). Dengan luas masing-masing 2.662 Ha (45.18 %) dan 1.160 Ha (19.69 %).

C. Kondisi Biologi

C.1. Keanekaragaman Flora

Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Mulawarman (1999)

dalam Aipassa (2004), menyatakan bahwa vegetasi yang terdapat pada kawasan HLGL

terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder dengan berbagai keanekaragaman jenis flora. Jenis Sungkai (Peronema canescens), Mali-mali (Leea indica) dan Buta ketiap

(Milletia sp.) merupakan jenis-jenis tumbuhan dominan pada komunitas hutan primer

selain dijumpai pula asosiasi beberapa jenis yang tergolong suku Dipterocarpaceae, seperti Shorea laevis (Bangkirai) dan jenis-jenis Keruing (Dipterocarpus spp.). Pada komunitas hutan sekunder, jenis Mahang (Macaranga sp.) merupakan jenis dominan. C.2. Keanekaragaman Fauna

Kawasan HLGL memiliki keanekaragaman satwaliar yang cukup tinggi, diantaranya dari kelompok mamaliaadalah Babi jenggot (Sus barbatus), Kijang kuning

(Muntiacus atherodes), Beruang madu (Helarctos malayanus), Pelanduk napu (Tragulus

napu), Rusa sambar (Cervus unicolor), Tenggalung malaya (Viverra tangalunga), Landak raya (Hystrix brachyura), Sero ambrang (Aonys cinerea), Tupai tanah (Tupaia tana), Bajing kecil telinga-hitam (Nannosciurus melanotis) dan Bajing tanah ekor-tegak (Rheithrosciurus macrotis). Untuk jenis primata antara lain Lutung dahi-putih (Presbytis

(32)

fascicularis), Beruk (Macaca nemestrina), Kukang (Nycticebus coucang), Bekantan

(Nasalis larvatus) dan Owa kelawat (Hylobates muelleri). Menurut PPLH Universitas

Mulawarman (1999) dalam Aipassa (2004), Owa kelawat ditemukan pada komunitas hutan primer dan merupakan jenis yang peka terhadap gangguan berupa perubahan struktur dan komposisi hutan dan sekaligus merupakan indikator masih utuhnya kawasan hutan di daerah tersebut.

Untuk kelompok burung (aves), banyak sekali jenis-jenis yang terdapat dalam kawasan HLGL diantaranya jenis yang endemik Kalimantan; Bondol kalimantan (Lonchura fuscans), Tiong batu kalimantan (Pityriasis gymnocephala), Sikatan kalimantan

(Cyornis superbus) dan Pentis kalimantan (Prionochilos xanthopyangius). Jenis-jenis

Enggang; Julang emas (Aceros undulatus), Rangkong badak (Buceros rhinoceros), Enggang jambul (Aceros comatus), Enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), Julang jambul hitam (Aceros corrugatus) dan Rangkong gading (Buceros vigil), Kacembang gading (Irena puella), Luntur diard (Harpactes diardii), Kucica hutan (Copsychus

malabaricus), Tukik tikus (Sasia abnormis), Sempur hujan sungai (Cymbirhynchus

macrorhynchos), Paok delima (Pitta granatina), Kuau raja (Argusianus argus), Elang ular

(Spilornis cheela palidus), Seriwang asia (Tersiphone paradisi) dan lain sebagainya.

Sedangkan dari kelompok reptilia dan amphibi jenis yang terdapat di kawasan HLGL diantaranya Ular cincin emas (Boiga dendrophilia) dan Katak tanduk (Megophrys nasuta).

D. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat

Sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, kawasan hutan Gunung Lumut telah didiami oleh masyarakat adat Dayak Paser secara turun temurun bahkan telah mencapai 13 generasi. Secara tradisional wilayah hutan Gunung Lumut dan sekitarnya telah terbagi kedalam hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah adat desa-desa disekitarnya dan satu dusun berada dalam kawasan di empat kecamatan. Keseluruhan masyarakat tersebut sangat bergantung pada keberadaan wilayah hutan Gunung Lumut untuk keberlangsungan hidupnya. Dengan batas-batas desa tersebut dikenal dengan batas-batas alam yaitu daerah aliran sungai, ataupun punggung bukit atau gunung seperti Sungai Pias, Sungai Tiwei, Sungai Mului, Kesungai dan lain-lain (Saragih, 2004). Pada umumnya kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut sangatlah rendah, kecuali desa-desa yang berada pada bagian selatan hutan lindung dan bersinggungan langsung dengan jalan raya Kalimantan Timur-Kalimantan Selatan (Wahyuni et al., 2004).

(33)

dan besar disekitar kawasan seperti Kendilo dan Telake. Masyarakat asli yang bertempat tinggal di sekitar kawasan HLGL memenuhi hampir semua kebutuhannya dari wilayah hutan baik dari wilayah hutan lindung maupun dari hutan disekitar hutan lindung (hutan adat), seperti kebutuhan akan kayu bakar, perumahan, pangan (sayuran dan daging/ikan), obat-obatan dan upacara adat. Masyarakat yang berdiam didalam dan sekitar kawasan HLGL memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai macam jenis pangan yang berasal dari hutan, secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan protein hewani dipenuhi secara berburu di dalam hutan dan bahkan kegiatan tersebut merupakan kegiatan utama sebagai cara mendapatkan uang bagi beberapa rumah tangga yang berdiam di kawasan tersebut.

(34)

IV. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di sekitar kawasan HLGL, Kabupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur dengan pengambilan data dilakukan di Desa Rantau Layung Kecamatan Batu Sopang, Dusun Muluy Kecamatan Muara Komam, Tanah Grogot ibukota Kabupaten Pasir dan kota Balikpapan. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2005 dan Desember 2005 hingga Januari 2006.

B. Peralatan dan Objek Kajian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, panduan wawancara, kamera dan alat perekam suara (tape recorder). Pihak-pihak (individu) atau selanjutnya disebut sebagai informan yang memahami perihal kawasan serta pengelolaan SDH didalamnya sehingga mengetahui individu/kelompok yang memungkinkan mengalami atau tidaknya konflik atau bersangkutan meliputi masyarakat sekitar kawasan HLGL, perusahaan swasta seperti perusahaan tambang dan perusahaan pengusahaan kayu, pihak Pemerintah Daerah, lembaga penelitian, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan instansi atau pihak-pihak lain yang berkaitan merupakan individu yang dimintai informasi untuk mendapatkan data pokok. Masing-masing informan diberi pertanyaan yang terbuka, fleksibel dan mengarah pada sasaran penelitian (Lampiran 2).

C. Kerangka Pemikiran

Dalam melakukan pemetaan konflik yang dilakukan di kawasan HLGL, Kabupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur dibutuhkan data dan informasi mengenai pengelolaan HLGL dan bentuk-bentuk konflik dari aktor konflik serta isu konflik teridentifikasi untuk memudahkan dalam melakukan pemetaan konflik. Kawasan HLGL memiliki potensi sumberdaya hutan (SDH) yang tinggi. Kelangkaan SDH tersebut menciptakan para stakeholder yang saling bersaing kepentingan dengan perbedaan pengaruh yang diberikan. Seringkali kedua elemen tersebut yaitu keterbatasan SDH dengan kondisi banyaknya stakeholder dengan berbagai kepentingan dan pengaruh dalam pengelolaan suatu kawasan menimbulkan konflik. Perihal konflik dapat membuka wawasan berkaitan dalam rangka menuju pengelolaan kawasan HLGL.

(35)

Gambar 4. Kerangka pemikiran penelitian Pemetaan Konflik Pengelolaan SDH di HLGL

Kawasan HLGL memiliki potensi SDH yang tinggi meliputi hayati dan non hayati. Potensi tersebut telah menarik minat para stakeholder yang memiliki perbedaan pengaruh dan kepentingan. Para stakeholder tersebut meliputi instansi pemerintah, organisasi non pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat sekitar kawasan. Persaingan pengaruh dan kepentingan antar stakeholder atas SDH yang terbatas seringkali menimbulkan konflik. Timbulnya konflik ini akan mempengaruhi suatu pengelolaan SDH di kawasan HLGL, baik yang positif maupun negatif karena konflik dapat menjadi suatu media pembelajaran dan pembuka wawasan demi mewujudkan tujuan pengelolaan yang dapat mengakomodir seluruh kepentingan yang berlangsung didalamnya.

SDH Di HLGL

KONFLIK

Isu Konflik

Jenis dan Wujud Konflik

Ruang Konflik

PEMETAAN KONFLIK

Stakeholder - Instansi pemerintah - Organisasi non pemerintah - Perusahaan swasta - Masyarakat sekitar kawasan

(36)

Identifikasi konflik antar stakeholder dilakukan berdasarkan isu konflik, jenis dan wujud konflik serta ruang konflik. Kemudian proses identifikasi tersebut dianalisis dengan menggunakan alat bantu analisis stakeholder dan pohon konflik. Keseluruhan proses identifikasi konflik akan digambar secara grafis untuk memudahkan dalam menggambarkan hubungan para stakehoder yang teridentifikasi mengalami konflik sehingga dapat memahami situasi konflik dalam pengelolaan SDH di HLGL dengan baik.

D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode

1. Pengamatan (observation), yaitu dengan mengamati secara langsung pihak-pihak yang kemungkinan mengalami atau tidaknya konflik dalam pengelolaan SDH di HLGL, mengecek pal batas kawasan dan kegiatan yang pernah dilakukan masing-masing stakeholder terkait dengan kawasan.

2. Wawancara mendalam (in-depth interviewing), yaitu wawancara informan dari pihak pemerintah, masyarakat sekitar, perusahaan swasta, lembaga penelitian dan LSM secara mendalam dan berulang untuk memahami jawaban dari pertanyaan yang diajukan secara luwes, terbuka, tidak baku dan informal.

3. Studi pustaka dan literatur. Studi ini dilakukan untuk menunjang keabsahan dan pendalaman data untuk menganalisis data yang dilakukan. Selain itu, juga untuk mendapatkan data pokok maupun penunjang yang tidak diperoleh di lapangan. Studi dilakukan dengan mempelajari pustaka dan literatur baik melalui laporan studi, buku maupun internet.

E. Jenis Data

Adapun jenis data-data yang dikumpulkan terdiri dari data pokok dan data penunjang (Tabel 2), yaitu:

1. Data Pokok

(37)

Tabel 2. Jenis Data yang Dikumpulkan dari Stakeholder Terkait di Kawasan HLGL

Jenis Data Stakeholder Informasi yang Dikumpulkan1 Metode

Pengumpulan Data

Pokok

Instansi pemerintah • Sejarah kawasan HLGL

• Pengelolaan instansi

• Pengelolaan HLGL per jangka waktu

• Interaksi dan kontribusi terhadap kawasan

• Program kerja dan kegiatan yang dilakukan terkait kawasan HLGL (rencana strategik)

• Permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan dalam instansi, dengan pihak luar maupun kawasan HLGL

• Upaya penyelesaian yang akan dan telah ditempuh dalam mengantisipasi

• Sejarah dan pengelolaan organisasi

• Pengetahuan mengenai kawasan HLGL

• Interaksi dan kontribusi terhadap kawasan HLGL

• Program kerja dan kegiatan yang dilakukan terkait dengan kawasan HLGL

• Permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam organisasi, dengan pihak luar maupun kawasan HLGL

• Upaya penyelesaian masalah yang telah dan akan ditempuh

Perusahaan swasta • Sejarah dan pengelolaan perusahaan

• Interaksi dan kontribusi terhadap kawasan HLGL

• Program kerja dan kegiatan yang dilakukan terkait dengan kawasan HLGL, khususnya AMDAL dan pemberdayaan masyarakat

• Permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam perusahaan, dengan pihak luar maupun kawasan HLGL

• Upaya penyelesaian masalah yang telah dan akan ditempuh

• Informasi dan sejarah mengenai kawasan HLGL

• Sejarah keberadaan desa/dusun

• Interaksi terhadap kawasan HLGL

• Hubungan dan kegiatan yang dilakukan pihak luar bagi desa/dusun

• Permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam masyarakat, dengan pihak luar maupun kawasan HLGL

• Upaya penyelesaian yang telah dan akan ditempuh

Pengamatan langsung (observasi) dan wawancara dengan informan

Penunjang Stakehoders Demografi masyarakat desa/dusun kawasan HLGL, kondisi fisik dan biologi kawasan HLGL (potensi hayati dan tambang), peta kawasan, informasi yang berkembang terkait dengan permasalahan dan kendala dalam pengelolaan HLGL dan informasi kelompok kerja pengelolaan SDH di HLGL

Studi pustaka dan literatur

1

Gambar

Gambar 1. Ruang-ruang konflik (Fuad & Maskanah, 2000)
Gambar 2. Bagan pemanfaatan SDH dalam rangka pengembangan lingkungan hidup (ubahan Direktorat Bina Program, 1978 dalam Soerianegara, 1996)
Tabel 1. Rekapitulasi Konflik Sumberdaya Alam (SDA) Tahun 1990-1996
Gambar 3. Matriks pengaruh-kepentingan stakeholder
+7

Referensi

Dokumen terkait