HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT
KABUPATEN PASIR KALIMANTAN TIMUR
oleh:
SONY SAMUELTA SURBAKTI E34101055
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT
KABUPATEN PASIR KALIMANTAN TIMUR
Oleh:
SONY SAMUELTA SURBAKTI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Ir. Haryanto, MS dan Dr. Rinekso Soekmadi, Msc. F
Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) adalah salah satu dari empat hutan lindung yang ada di Kabupaten Pasir. Pemerintah Kabupaten Pasir mengeluarkan kebijakan untuk mengatur pengelolaan HLGL, yaitu kebijakan yang mengatur langsung kepada kegiatan pengelolaan dan kebijakan yang ditujukan kepada para stakeholder HLGL. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan HLGL dan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan supaya fungsi dari HLGL tetap dalam prinsip-prinsip kelestarian.
HLGL dikelola oleh 10 stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Stakeholder tersebut adalah Masyarakat Desa Rantau Layung, Desa Pinang Jatus, dan Dusun Mului, Dinas Kehutanan Pasir, Bappeda Pasir, UPTD Planologi Balikpapan, BKSDA Seksi Konservasi Wilayah III Pasir Kalimantan Timur, Persatuan Masyarakat Adat Paser dan TBI Indonesia selaku LSM dan PT. Rizky Kacida Reana sebagai pihak swasta yang memiliki IUPHKK yang berada di sekitar kawasan HLGL.
Masyarakat Desa Rantau Layung, Pinang Jatus, dan Dusun Mului melakukan kegiatan pengelolaan yang termasuk ke dalam pemanfaatan kawasan dan khusus untuk Dusun Mului kegiatan pengelolaan mereka selain pemanfaatan juga melakukan penggunaan kawasan yang merubah fungsi dari HLGL, hal ini tidak sesuai dengan UU 41/1999 dan Keppres 32/1990.
Dinas Kehutanan melakukan kegiatan pengelolaan berupa perencanaan yang terutang dalam Renstra Dinas Kehutanan tahun 2001-2005. Program-program tersebut antara lain penyuluhan kepada masyarakat, rehabilitasi, penataan batas, dan lain sebagainya. Tetapi program kerja tersebut belum ada yang dapat terlaksana oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir di kawasan HLGL, hanya penataan batas yang sudah terlaksana, itu pun masih belum maksimal karena implementasi yang dilakukan tidak sesuai dengan petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Bupati Pasir.
BKSDA dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan belum melakukan secara maksimal dalam hal pengawasan peredaran satwaliar dan tumbuhan dari dalam kawasan HLGL. PT. Rizky Kacida Reana melakukan kegiatan pengelolaan berupa penggunaan kawasan yang berbentuk penggunaan jalan eks-logging yang membelah HLGL. Aksesibilitas yang mudah ini harus menjadi perhatian khusus oleh Dinas Kehutanan Pasir, karena seringnya terjadi pembalakan haram menggunakan jalan ini.
Tidak adanya satu unit pengelolaan yang khusus mengelola kawasan HLGL secara menyeluruh menjadi satu dari tiga akar masalah kebijakan yang ada. Menurut PP 44/2004 suatu KPHL (Kesatuan Pengelola Hutan Lindung) menjadi salah satu syarat pengelolaan suatu kawasan hutan lindung. Penataan batas yang ada sekarang juga menjadi akar masalah dalam pengelolaan HLGL. Terjadinya konflik antara masyarakat dan instansi pemerintah menunjukkan lemahnya peran pemerintah dalam mengelola kawasan. Konflik yang dilihat melalui pendekatan kebijakan adalah akar masalah yang terakhir. Masyarakat sebagai stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap HLGL tidak diikutsertakan dalam implementasi kebijakan telah dilakukan.
Penulis dilahirkan di kota hujan dan nyaman Bogor pada tanggal 23 Agustus1982 dari pasangan terkasih Drs. Sehati Surbakti dan Rinteta Tarigan. Penulis merupakan anak bungsu dari empat bersaudara.
Penulis menempuh badai kehidupan pendidikan menengah atas di SMUN 1 Bogor dan akhirnya lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama, merupakan rencana Tuhan, penulis lolos dalam seleksi Undangan Siswa Masuk IPB (USMI) pada jurusan tercinta Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas “ter-asik” Kehutanan.
Selama berjuang di bangku perkuliahan, penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) pada Kelompok Pemerhati Burung “prenjak”, Kelompok Pemerhati Reptil Amfibi “phyton”, dan Fotografi dan Multimedia Konservasi Alam “FOKA”. Pada bulan Juni-Agustus 2005 penulis mengikuti Praktek Pengenalan di BKPH Rawa Timur-KPH Banyumas Barat dan BKPH Gunung Slamet-KPH Banyumas Timur serta Praktek Pengelolaan Hutan di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pada bulan Februari-Mei 2005, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata di Taman Nasional Meru Betiri-Jawa Timur. Selama perkuliahan penulis aktif di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dalam Komisi Kesenian (KOMKES) dari tahun 2001-2006. Pada tahun 2004, untuk mengembangkan kreatifitas dan keahlian dalam bidang konservasi, penulis ikut ambil bagian sebagai “angkatan pioneer” Uni Konservasi Fauna (UKF) IPB dalam Divisi Primata Departemen Pengabdian Masyarakat.
Sedalam-dalamnya penulis menyadari hanya karena berkat Tuhan sajalah karya penelitian ini dapat terwujud. Yang menjadi judul dari penelitian ini adalah “Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir Kalimantan Timur”.
Isi dari karya ini dibuat untuk mengkaji kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia yang telah ada dan mencoba merumuskan rekomendasi kebijakan yang diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemecahan akar masalah yang ada dalam pengelolaan hutan melalui pendekatan kebijakan.
Masukan dan kritik untuk penelitian ini sangat diharapkan bagi penulis untuk kebaikan kita semua yang berada di dalam sektor kehutanan dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Berharap penelitian ini bermanfaat bagi kita semua dan bagi para pengambil keputusan dalam pengelolaan hutan lestari. Mari kita bangun kembali kejayaan kehutanan Indonesia kita.
Bogor, 15 Juni 2006
Segala kemuliaan hanya bagi Tuhanku Yesus Kristus yang telah menjadi Tuhan dan Juruselamatku, yang karena oleh-Nya, dari-Nya, hanya untuk-Nya penelitian dan hasil buah karya ini dapat selesai. Dengan perasaan rendah hati dan hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak dan Mamak tersayang, tercinta, dan terkasih atas segala doa, pengorbanan, air mata, keringat, dan kekuatan yang dicurahkan kepada penulis (terima kasih Tuhan atas mereka).
2. The Surbakti Family: Sari Peulisa Surbakti, S.Hut, Rehulina Surbakti, S. Sos ….., dan Tawarta Sakty Surbakti, C.S. Sos (ini doa Bang!!) atas makian, jeritan kesakitan, doa, dan harapan (aku tahu itu semua untuk kebaikanku, mari kita lebih indahkan keluarga kita!!) Tuhan Yesus baik. 3. Ir. Haryanto, MS (Babeh) dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc. F (pembela
DKSHE), senang bergaul dengan orang-orang pintar.
4. Saudara-saudaraku di “rumah keduaku” KOMKES, khususnya angkatan perusak mental lawan `38 (Darma ”Katro” Bonifacius Hutabarat, Tommy “Tante” Sinambela, Ganda “Otto nai” Sinaga, Maria “Maryanto”, Vivin “Tobing”, Berlian “Brutu”, Emma “diem aza sih”, Wisye “WC” So Wat, Ara “Gokil” Gultom, Michael “Mekel” Hutahuruk), tolong jaga rumah kita sepeninggalan Bapak kalian ini. Yesus berkati.
5. Saudara-saudaraku di KSH 38 (aku bangga bersaudara dengan kalian semua), khusus Santun “Nope”, Edith “Buaya”, Irma “Unyil”, dan juga para calon pengambil keputusan akhir pengelolaan kawasan “anak-anak MKK”.
6. Saudara-saudaraku di PMK-E dan KEMAKI-E, khusus buat Monic “Aci” (thanks konsumsinya, benar enak dan menguras kantongku).
crew SDAF yang rela tempatnya dijajah.
8. Tropenbos Internasional Indonesia atas bantuan informasi dan fasilitas selama kegiatan penelitian, khusus kepada Dr. Dicky Simorangkir “Abang Forester Idol” (Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk penelitian ini. Saya sudah lulus nih, Bang. Saya siap diajak kerjasama), Indra, S. Hut, Tunggul Butar Butar (atas sangsangnya), Pijar (kapan kita……lagi?), Sariman “Crystal”, Alfred (saudaraku seiman di Balikpapan), Sultan Lubis, Pak Djun, Yana, Alfa (kakakku), Esmeralda (adikku), Devi, Elisabeth Wetik, dan Mba Alice (tercantik di kantor). 9. Kepada para stakeholder HLGL yaitu Dinas Kehutanan Pasir, Bappeda
Pasir, BKSDA Seksi Konservasi Wilayah III Pasir Kalimantan Timur, Masyarakat Desa Rantau Layung, Desa Pinang Jatus, Dusun Mului, PeMA (Persatuan Masyarakat Adat Paser), UPTD Planologi Balikpapan, dan PT. RKR. Terima kasih banyak.
11. Pihak-pihak yang karena terlalu banyak dan tidak dapat disebutkan satu-persatu yang mendorong terbentuknya karya ini.
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 2
C. Manfaat Penelitian ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Stakeholder ... 3
B. Analisisis Stakeholder ... 4
C. Pengertian Kebijakan Publik ... 8
D. Pengelolaan Hutan Multi-stakeholder ... 12
E. Desentralisasi dan Peran serta Masyarakat di dalam Pengelolaan Hutan ... 15
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah dan Status Kawasan ... 17
B. Kondisi Fisik Kawasan ... 17
1. Letak dan Luas... 17
2. Iklim... 18
3. Hidrolgi... 18
4. Tanah dan Geologi... 18
C. Kondisi Biologi ... . 19
1. Keanekaragaman Flora ... 19
2. Keanekaragaman Fauna ... 19
D. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 20
IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22
B. Ruang Lingkup dan Peralatan ... 22
A. Konsep Ideal Pengelolaan HLGL... 29
B. Karakteristik Stakeholder Pengelolaan HLGL ... 30
B.1 Masyarakat Desa Rantau Layung ... 31
B.2 Masyarakat Desa Pinang Jatus... 34
B.3 Masyarakat Dusun Mului... 35
B.4 Dinas Kehutanan Pasir ... 38
B.5 Bappeda Pasir ... 40
B.6 UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan ... 42
B.7 Tropenbos Internasional Indonesia ... 43
B.8 Persatuan Masyarakat Adat Paser ... 45
B.9 BKSDA Seksi Konservasi Wilayah III Pasir Kalimantan Timur ... 47
B.10 PT. Rizky Kacida Reana ... 47
C. Penggolongan Stakeholder HLGL... 49
D. Interaksi antar Stakeholder dalam pengelolaan HLGL ... 52
E. Evaluasi Kebijakan ... 56
E.1 Permasalahan Kebijakan Pengelolaan HLGL... 56
E.1.1 Kehadiran Unit Pengelola... 56
E.1.2 Pengukuhan Kawasan ... 57
E.1.3 Konflik Melalui Pendekatan Kebijakan... 59
E.1.3.1 Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu ... 59
E.1.3.2 Penggunaan Kawasan ... 60
E.1.3.3 Konflik antar Stakeholder... 61
E.2 Kesenjangan (gaps) dalam Pengelolaan HLGL... 65
F. Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan HLGL ... 65
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 72
B. Saran... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 73
No Halaman
1. Daftar Responden ... 24
2. Observasi Lapang ... 25
3. Penelusuran Dokumen dan Wawancara ... 25
4. Interaksi masyarakat Desa Rantau Layung dengan HLGL ... 33
5. Interaksi masyarakat Desa Pinang Jatus dengan HLGL ... 35
6. Interaksi masyarakat Dusun Mului dengan HLGL ... 38
7. Program Penelitian yang diwadahi oleh TBI Indonesia... 44 8. Jenis Pengaruh,asal kewenangan, dan bentuk kepentingan stakeholder HLGL……… 52 9. Pemanfaatan satwa yang dilakukan oleh masyarakat ... 60
10. Analisis isi dan implementasi peraturan perundangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh stakeholder HLGL ... 63
10. Bentuk pengelolaan yang dilakukan oleh stekholder HLGL ... 69 11. Rekomendasi kebijakan stakeholder HLGL berdasarkan analisis
Gambar 1. Stakeholder table... 7
Gambar 2. Proses pembuatan kebijakan...9
Gambar 3. Tiga elemen sistem kebijakan ...10
Gambar 4. Gambaran pengelolaan hutan multi-level... 14
Gambar 5. Skema tata praja konservasi sumberdaya hutan... 14
Gambar 6. Peta Lokasi Hutan Lindung Gunung Lumut... 18
Gambar 7. Kerangka penelitian... 27
Gambar 8. Pohon madu (Koompasia malacensis[1] ) dan burung kuau (Argusianus argus[2] )... 32
Gambar 9. Sejarah perpindahan warga Dusun Mului……...….... 36
Gambar 10. Penggolongan stakeholder Hutan Lindung Gunung Lumut... 49
Tabel 12. Undang Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan ... 75 Tabel 13. Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan... 77 Tabel 14. Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung ... ... 81 Tabel 15. UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang... 82 Tabel 16. PP No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang
A. Latar Belakang
Kabupaten Pasir adalah salah satu kabupaten di Propinsi Kalimantan Timur yang sebagian wilayahnya terdiri dari kawasan hutan. Sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Kalimantan Timur, Kabupaten Pasir memiliki kawasan hutan seluas 628.730 Ha dan berdasarkan fungsinya terdiri dari hutan lindung dengan luas 116.952 Ha, cagar alam dengan luas 109.302 Ha, hutan produksi terbatas dengan luas 145.350, hutan produksi dengan luas 257.126 Ha, serta kawasan non budidaya kehutanan lainnya dengan luas 531. 664 Ha. Pemerintah Kabupaten Pasir, menurut PP No. 44 tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan, memiliki wewenang dari pemerintah pusat dalam mengelola kawasan hutannya, termasuk Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL).
Kawasan HLGL menjadi sangat penting karena kawasan ini merupakan hulu dari 2 Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Kendilo dan DAS Telake yang menjadi sumber air bagi masyarakat Kabupaten Pasir dan sekitarnya. Selain itu, kawasan ini juga menjadi sumber keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang mewakili jenis-jenis yang endemik untuk Pulau Kalimantan. Diantaranya seperti owa kalimantan (Hylobates muellerii), lutung merah (Presbytis rubicunda), lutung dahi putih (Presbytis frontata), bekantan (Nasalis larvatus), beruang madu (Helarctos malayanus), burung kuau/merak kalimantan (Argusianus argus), rangkong badak (Buceros rhinoceros). Keanekaragaman flora yang memiliki nilai endemisitas tinggi seperti kayu ulin (Eusideroxylon zwagerii) dan meranti (Shorea spp). Upaya melakukan kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan kawasan HLGL menjadi sangat penting demi menjaga kelestarian dari fungsi hutan lindung tersebut.
tentang penataan batas, uraian tugas Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir, hubungan atara para “stakeholder”1 HLGL, dan lain sebagainya.
Berdasarkan dari berbagai informasi yang ada, kinerja kebijakan yang dikeluarkan oleh para stakeholder HLGL, implementasi kebijakan dirasakan masih belum memenuhi harapan karena masih adanya masalah yang berkaitan dengan konflik antara stakeholder HLGL, illegal logging, dan lain sebagainya. Maka evaluasi kebijakan ini diharapkan mampu mengidentifikasi akar masalah dan kesenjangan kebijakan yang terjadi akibat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh para stakeholder HLGL. Sehingga dapat dirumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang tepat untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengevaluasi setiap kebijakan yang terkait dengan pengelolaan HLGL 2. Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang sejalan
dengan prinsip-prinip kelestarian
C. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukkan bagi perbaikan kebijakan pengelolaan HLGL, khususnya bagi pihak pengelola.
1
II. Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Stakeholder
Freeman (1984)2 mendefinisikan stakeholder sebagai suatu grup atau individu yang dapat mempengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh tujuan dari suatu kegiatan. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, Roling dan Wagemaker (1998)2 mengemukakan definisi yang lebih mendalam yaitu orang yang berkepentingan terhadap sumberdaya alam yang terdiri dari pengguna sumberdaya alam ataupun para pengelola lainnya.
Stakeholder adalah orang-orang atau organisasi-organisasi yang dipengaruhi oleh suatu kegiatan atau dapat mendukung berhasilnya suatu kegiatan bahkan dapat menghambat tujuan dari suatu kegiatan (Social Development Department of USA, 1995)3.
Menurut Project Management Institut (1996)4 stakeholder adalah individu atau suatu organisasi yang secara aktif ikut serta dalam suatu kegiatan, atau mempunyai kepentingan baik yang berdampak negatif maupun positif sebagai bagian dari kegagalan ataupun kesuksesan dari suatu kegiatan.
Stakeholder adalah setiap orang atau kelompok yang terlibat oleh atau dapat terpengaruh oleh suatu keputusan atau oleh suatu kegiatan (Dick, 1997)5.
Mengacu pada UNHABITAT and UNEP (2001)6, stakeholder adalah: 1. Mereka yang kepentingannya terpengaruh oleh suatu program atau mereka
yang kegiatannya secara kuat mempengaruhi suatu program
2. Mereka yang menyampaikan informasi, sumberdaya, dan keahliannya dibutuhkan untuk perencanaan dan pengimplementasian suatu program 3. Mereka yang mengontrol implementasi dan alat
2
Melalui publikasi internet pada Http://www.idrc.ca. Diakses pada tanggal 9 Mei 2006.
3
Melalui publikasi internet pada Http://www.euforic.org. Diakses pada tanggal 5 Mei 2006
4
Melalui publikasi internet pada Http://www.stsc.hill.af. Diakses pada tanggal 5 Mei 2006
5
Melalui publikasi internet pada Http://www.scu.edu.au. Diakses pada tanggal 10 Mei 2006.
6
B. Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder adalah suatu pendekatan untuk memahami suatu sistem dengan cara mengidentifikasi pemeran utama atau stakeholder utama dari suatu sistem dan menilai kepentingan mereka dalam sistem tersebut. Definisi ini sangat berguna dalam mendefinisikan analisis stakeholder dengan pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dan menyatakan batasannya tetapi ini tidak dapat diharapkan untuk memecahkan semua masalah atau gambaran yang ada di dalam sebuah sistem (Grimble et al. 1995).
Menurut Allen dan Kilvington dalam Hermawan et al. (2005), analisis stakeholder adalah suatu identifikasi pihak-pihak utama, analisis kepentingan, dan bagaimana kepentingan tersebut berpengaruh terhadap suatu program. Pendapat lain menyatakan bahwa analisis para pihak adalah suatu ringkasan yang mampu menggambarkan para pihak yang mempengaruhi dan terkena dampak atau dipengaruhi pada suatu sistem pengelolaan (Harding, 2002 dalam Hermawan et al. 2005).
Identifikasi stakeholder dilakukan dengan cara mengelompokkan yang menjadi kebutuhan dan harapan dari individu ataupun kelompok lalu mengolah harapan tersebut untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan.
Menurut Social Developement of USA (2006) tujuan dari kegiatan identifikasi stakeholder adalah untuk membantu mengidentifikasi:
a. Orang atau kelompok yang termasuk dalam anggota penunjang kegiatan (walaupun anggotanya dibentuk pada saat perencanaan kegiatan atau pada saat implementasi kegiatan)
b. Aturan-aturan dalam pelaksanaan suatu kegiatan
c. Siapa yang membangun ataupun yang memelihara hubungan antara stakeholder
d. Siapa yang akan diinformasikan dan dimintai saran tentang kegiatan tersebut
Menurut Rolling dan Wagemaker (1998) kegunaan dari kegiatan identifikasi stakeholder adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui secara tepat pola interaksi antara stakeholder yang ada b. Secara analisis dapat memodifikasi campur tangan terhadap stakeholder c. Sebagai alat mengelola pembuatan kebijakan
d. Sebagai alat untuk memperkirakan terjadinya konflik
Grimble dan Wellard (1996) menekankan pentingya kegunaan dari analisis stakeholder dalam memahami kempleksitas dan perbandingan antara tujuan dari sistem dengan stakeholder. Demikian juga Freeman dan Gilbert (1987) mengemukakan konsep “pengelolaan stakeholder” sebagai batasan untuk membantu pengelola mengetahui gangguan dan bisnis lingkungan yang kompleks.
Stakeholder analisis dimodifikasi dari metode partisipatif perencanaan pengelolaan seperti Rapid Rural Appraisal (RRA) dan Participatory Rural Appraisal (PRA), yang digunakan dengan menyatukan kepentingan dan ketidaksamaan dari kelompok yang memiliki pengaruh yang rendah (Preety et al. 1995).
Menurut (Freeman dan Gilbert, 1987) analisis stakeholder digunakan untuk melihat perbedaan dan mempelajari kriteria para stakeholder. Adapun kriteria tersebut adalah:
a. Kekuasaan (power) dan kepentingan (interest) dari setiap stakeholder (Freeman, 1984)
b. Kepentingan (kepentingan) dan pengaruh (influence) yang mereka punya (Grimble dan Wellard, 1996)
c. Program maupun kebijakan yang dikeluarkan
d. Kerjasama dan koalisi yang dilakukan antara stakeholder
Grimble et al. (1995) menyatakan bahwa tahapan dalam stakeholder analisis meliputi:
a. Mengidentifikasi tujuan utama dari analisis
b. Membangun pengertian tentang sistem dan pembuat keputusan dalam sistem
d. Mengetahui pola interaksi antara stakeholder e. Menjelaskan pilihan-pilihan dalam pengelolaan
Kilvington (2001) dalam Hermawan et al. (2005) analisis stakeholder digunakan untuk:
a. Mengidentifikasi karakter para stakeholder
b. Mengetahui kepentingan para stakeholder dalam hubungannya dengan permasalahan yang harus dicari jalan keluarnya
c. Mengidentifikasi konflik kepentingan antara stakeholder
d. Mengetahui hubungan antara stakeholder yang mungkin dapat dilibatkan dalam kerjasama pengelolaan
e. Memperkirakan kapasistas para stakeholder
f. Membantu memperkirakan jenis partisipasi yang melibatkan para stakeholder
Menurut Social Development Department of USA (1995) tahapan dalam melakukan analisis stakeholder adalah:
a. Menggambarkan tabel stakeholder
b. Melakukan penilaian terhadap setiap kepentingan stakeholder yang kaitannya dengan keberhasilan tujuan dan hubungan antar pengaruh
c. Mengidentifikasi resiko dan asumsi yang dapat mempengaruhi kegiatan perencanaan dan keberhasilan pengelolaan
Pembuatan tabel stakeholder melihat aspek-aspek berikut:
a. Mengidentifikasi dan mencatat semua stakeholder potensial
b. Mengidentifikasi kepentingan mereka kaitannya dalam masalah yang ada ditempatkan dalam tujuan dari kegiatan pengelolaan. Sebagai catatan satu stakeholder dapat memililiki berbagai kepentingan
Gambar 1. Stakeholder table
Stakeholder yang memiliki pengaruh dan kepentingan yang tinggi adalah individu atau organisasi yang berinteraksi baik langsung maupun tak langsung yang sangat kuat terhadap sumberdaya, sehingga stakeholder tersebut melakukan usaha tinggi dalam memuaskan keinginan dan perlu diawasi. Stakeholder yang memiliki pengaruh dan kepentingan yang rendah, hanya perlu dimonitor dengan usaha yang minimum. Untuk stakeholder yang berada diantaranya, perlu dilakukan pemberian informasi dan pemuasan yang seimbang (UN-HABITAT & UNEP, 2001).
Stakeholder dapat dikategorikan dalam berbagai cara. Titik awal adalah dengan membagi daftar stakeholder ke dalam primer maupun sekunder. Stakeholder primer adalah orang ataupun kelompok yang secara langsung terpengaruh oleh suatu kegiatan. Termasuk para pengguna umum ataupun yang terpengaruh negatif . Dalam banyak kasus stakeholder primer akan dikategorikan ke dalam penilaian sosial ekonomi (ODA, 1995).
Stakeholder sekunder adalah orang atau kelompok yang menjadi jembatan atau penghubung dalam suatu kegiatan, termasuk pemerintah atau institusi lainnya. Terkadang kelompok ini tidak merasa sebagai stakeholder dalam suatu kegiatan karena mereka merasa mereka yang mempunyai seluruh kegiatan (McLaren, 2006)7.
7
Stakeholder sekunder tidak mempunyai hubungan langsung dalam suatu kegiatan tetapi mereka mempunyai pengaruh yang penting untuk suatu yang sejalan dengan tujuan dari mereka sendiri. Yang termasuk ke dalam stakeholder sekunder adalah pemerintah, pelanggan, investor, lembaga non-pemerintah, dan lain-lain (Canadian Society of Association Executives, 2006)8.
Stakeholder kunci adalah orang atau kelompok yang mampu mempengaruhi (influence) atau orang atau kelompok yang penting (important) dari stakeholder untuk mencapai keberhasilan dari suatu kegiatan. Pengaruh (influence) tersebut mengacu pada seberapa kuatnya pengaruh dari stakeholder. Kepentingan (importance) mengacu pada para stakeholder yang masalah, kebutuhan, dan kepentingannya menjadi prioritas dalam perencanaan kegiatan – jika stakeholder yang penting tersebut tidak terbantu maka kegaitan tersebut tidak dapat berhasil (Association of Social Anthropologist of UK and Commonwealth, 2006)9.
C. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah (Dunn, 2003).
Kebijakan publik merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan (1) apa yang dilakukan (atau tidak dilakukan) oleh pemerintah mengenai suatu masalah, (2) dan apa yang menyebabkan dan mempengaruhinya, (3) apa pengaruh dan dampak dari kebijakan publik tersebut (Kartasasmita, 1997).
Kebijakan kehutanan adalah pendirian atau sikap masyarakat, golongan, atau pemerintah yang bertujuan sedemikian rupa sehingga manfaat-manfaat yang senantiasa diharapkan dari sumberdaya hutan ini tetap dapat diperoleh masyarakat dengan optimal dan lestari. (Basjarudin, 1976).
Kebijakan pengelolaan hutan berwawasan lingkungan merupakan arahan-arahan pokok yang memuat cara, maupun tindakan-tindakan yang harus dilakukan dalam mengelola hutan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan pertimbangan untuk tetap menjaga keberadaan sumberdaya
8
Melalui publikasi internet pada Http://www.csea.com. Diakses pada tanggal 9 Mei 2006.
9
hutan dan mutu lingkungan hidup, serta kelangsungan dan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan dan kehutanan di masa mendatang baik dalam aspek ekologi, ekonomi, teknologi, politik, maupun sosial budaya (Anonymus, 1986).
Tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan meliputi perumusan masalah peramalan, rekomendasi, pemantauan dan evaluasi (Dunn, 2003).
Gambar 2. Proses pembuatan kebijakan
Perumusan masalah adalah fase di dalam proses pengkajian dimana analis yang dihadapkan pada informasi mengenai konsekuensi beberapa kebijakan, mengalami suatu ”situasi yang menyulitkan, membingungkan, dimana kesulitan memang tersebar ke seluruh situasi, yang kesemuanya membentuk keutuhan kesatuan masalah”. Peramalan adalah fase dimana memungkinkan kita untuk menghasilkan informasi tentang nilai atau kegunaan dari kebijakan yang lalu atau yang akan datang. Rekomendasi adalah fase yang memungkinkan kita untuk menghasilkan tentang kemungkinan bahwa serangkaian tindakan yang akan datang akan mendatangkan akibat-akibat yang bernilai. Pemantauan adalah fase yang memungkinakan kita menghasilkan informasi tentang sebab-sebab masa lalu dan akibat dari kebijakan yang diterapkan. Evaluasi adalah fase yang mencakup
Evaluasi Perumusan
masalah
Pemantauan Rekomendasi Peramalan
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
informasi tentang nilai atau kegunaan dari kebijakan masa lalu atau kebijakan yang akan datang.
Masalah kebijakan adalah nilai, kebutuhan, atau kesempatan yang belum terpenuhi, yang dapat diidenitfikasi, untuk kemudian diperbaiki atau dicapai melalui tindakan publik (Dunn, 2003).
Analis kebijakan, dengan demikian, adalah salah satu diantara sejumlah banyak aktor lain di dalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system), atau seluruh institusional dimana di dalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Kebijakan publik (public policy) merupakan rangkaian pilihan yang saling berhubungan (termasuk keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah, yang diformulasikan di dalam berbagai bidang (issue) dari pertahanan, energi, dan kesehatan hingga ke pendidikan, kesejahteraan, dan lain-lain.
Gambar 3. Tiga elemen sistem kebijakan (Dunn, 2003)
Kriteria dalam penyusunan rekomendasi kebijakan publik dalam Dunn (2003) adalah sebagai berikut:
1. Efektivitas (effectiveness); kaitannya dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan
2. Efisiensi (efficiency); kaitannya dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efisiensi tertentu.
3. Kecukupan (adequacy); berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektifitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
Pelaku kebijakan
4. Perataan/kesamaan (equity); erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usahanya yang secara adil didistribusikan
5. Responsivitas (responsiveness); berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok masyarakat tertentu. Kebijakan dapat memenuhi kriteria efektivitas, efisiensi, dan perataan tetapi jika belum dapat menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya perumusan suatu kebijakan.
6. Ketepatan (appropriateness); biasanya bersifat terbuka, karena definisi per kriteria ini dimaksudkan untuk menjangkau keluar kriteria yang sudah ada. Oleh karenanya tidak ada dan tidak dapat dibuat definisi baku mengenai kriteria kelayakan.
D. Pengelolaan Hutan Lindung
Menurut Undang Undang No. 41 tahun 1999, yang dimaksud dengan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Adapun kriteria dari hutan lindung menurut PP No. 44 tahun 2004 pasal 24, dengan memenuhi salah satu:
1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skore) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih
2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % (empat puluh per seratus) atau lebih
4. Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15 % (lima belas per seratus)
5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air
6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai
Kegiatan yang dapat maupun dilarang dilakukan di dalam kawasan hutan lindung menurut Keppres No. 32 tahun 1990 adalah:
Kegiatan yang dilarang Kegiatan yang dapat dilakukan
Di dalam kawasan hutan lindung dilarang
melakukan kegiatan budidaya, kecuali yang
tidak mengganggu fungsi lindung (Pasal 37
ayat 1)
Di dalam kawasan lindung dapat dilakukan
kegiatan eksplorasi mineral dan air tanah serta
kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan
bencana alam
Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999, pengelolaan hutan meliputi kegiatan: 1. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan.
2. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan 3. Rehabilitasi dan reklamasi hutan
4. Perlindungan dan konservasi hutan
Menurut PP No. 44 tahun 2004 ayat 1 kegiatan yang perencanaan hutan meliputi:
a. Inventarisasi hutan
b. Pengukuhan kawasan hutan c. Penatagunaan kawasan hutan
d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan e. Penyusunan rencana kehutanan.
Setiap peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia tidak ada definisi yang jelas tentang arti atau definisi yang pasti dan lengkap dari pengelolaan hutan.
E. Pengelolaan hutan multi-stakeholder
Yang termasuk dalam stakeholder pengelola hutan adalah komunitas lokal, pemerintah, lemabaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, BUMN/D, koperasi dan usaha swasta atau dapat lebih jelas terlihat pada gambar berikut:
Gambar 4. Gambaran pengelolaan hutan multi-level
Dari gambar di atas dapatlah dikatakan bahwa perlu adanya pembangunan kelembagaan antar stakeholder dalam pengelolaan kawasan hutan tertentu. Sistem pengelolaan hutan tidak saja multi-stkeholder, tetapi juga di berbagai tingkatan (multi-level) dan lintas tingkatan (PT. Graha Manunggal Wirasembada, 2001).
Pada tingkat nasional, kelembagaan yang mengelola bidang kehutanan berada di bawah Departemen Kehutanan, pada tingkat propinsi di bawah Dinas Kehutanan Propinsi dan pada tingkat Kabupaten di bawah Dinas Kehutanan Kabupaten. Dinas Kehutanan Propinsi bertanggung jawab pada Gubernur serta kepada Menteri Kehutanan kaitannya dengan tugas pembantuan. Di tingkat Kabupaten, Dinas Kehutanan bertanggung jawab pada Bupati (Kelompok Kerja Program Kehutanan Daerah Kutai Barat, 2001).
Kebijakan harus didukung dengan mekanisme tata praja yang berorientasi pada pada transparansi, efektifitas dan pertanggung-gugatan (akuntabilitas)
Desa LSM
Perguruan Tinggi Pemda
koperasi Swasta
desa
kecamatan
daerah
nasional
Komunitas global
Lembaga Publik di tingkat pusat: Fungsi koordinasi
Lembaga independen: LSM,
universitas
Lembaga pemerintah di daerah
Lembaga swasta pro-konservasi
Proses publik untuk menjamin akuntabilitas
Program konservasi sumberdaya hutan: pengelolaan kawasan lindung, pemanfaatan berkelanjutan
Masalah lapangan: Tata batas, konflik SDH, pembagian biaya dan manfaat,
dsb Umpan balik
publik. Gambar berikut menyajikan data skema tata praja yang menjamin pengurusan hutan yang bertanggung-gugat (Putro, 2004):
Gambar 5. Skema tata praja konservasi sumberdaya hutan
Kesulitan yang dialami oleh pemerintah dalam pengelolaan hutan adalah: 1. Luasnya cakupan kawasan konservasi di Indonesia
2. Minimnya dana untuk konservasi 3. Terbatasnya sumberdaya manusia
4. Kuatnya ego departemen sektoral (seperti Departemen Pertambangan atau Departemen Pertanian) untuk mengeksploitasi kawasan konservasi, yang memuncukan konflik antar departemen, disamping inter Departemen Kehutanan sendiri.
5. Lemahnya penegakan hukum (Anonymous, 2003).
F. Desentralisasi dan peran serta masyarakat di dalam pengelolaan hutan Desentralisasi adalah penyelengaraan pemerintahan yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada daerah, baik dalam penyerahan tugas, kewajiban, kewenangan maupun maupun tanggung jawab tertentu. Desentralisasi dimaksudkan untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Yusuf, 1996).
Sebenarnya, desentralisasi adalah alat atau cara untuk mencapai pemerintahan yang sebaik-baiknya, dan bukanlah desentralisasi itu sendiri yang menjadi tujuan. Pengelolaan sumberdaya alam maupun kawasan konservasi bisa saja dilakukan oleh pemerintah pusat. Tetapi, hal tersebut sangat tergantung dari kemapuan pemerintah pusat itu sendiri, adanya sistem pemerintahan yang baik (good governance) serta tersedianya sumberdaya, baik sumberdaya manusia, maupun sumberdaya lainnya dari segi kuantitas maupun kualitas. Disamping itu juga terdapat berbagai prasyarat lainnya seperti pengelolaan yang adil, transparan, akuntabilitas dan peran serta masyarakat (Anonymous, 2003).
Peran serta masyarakat menurut Arimbi dalam Anonymous (1993) adalah proses komunikasi dua arah yang terus-menerus untuk meningkatkan pemahaman masyarakat secara penuh atas proses pengelolaan kawasan konservasi. Peran serta didefinisikan sebagai komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan (feed-forward information) dan komunikasi dari masyarakat kepada pemerintah tentang atas kebijakan tersebut (feedbackinformation).
Peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu yang pertama, peran serta masyrakat yang bersifat konsultatif, dimana anggota masyarakat mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberitahu, akan tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan pejabat yang mengambil keputusan. Kedua, adalah peran serta masyarakat yang bersifat kemitraan, dimana masyarakat dan dan pejabat pembuat keputusan berunding untuk mendapatkan pemecahan masalah dan secara bersama pula membuat keputusan (Arimbi dan Santosa, 1993).
1. Sebagai proses pembuatan suatu kebijakan; karena masyarakat sebagai kelompok yang berpotensi menanggung akibat dari suatu kebijakan, memiliki hak untuk dikonsultasi (rights to consult)
2. Sebagai suatu strategi; dimana melalui peran serta masyarakat suatu kebijakan pemerintah akan mendapatkan dukungan dari masyarakat, sehingga keputusan tersebut memiliki kredibilitas (credible)
3. Peran serta masyarakat juga ditujukan sebagai alat komunikasi bagi pemerintah – yang dirancang untuk melayani pemerintah – untuk mendapatkan informasi dan dalam pengambilan keputusan, sehingga mendapatkan keputusan yang responsif
4. Peran serta masyarakat dalam penyelesaian konflik atau masalah; didayagunakan sebagai sutau cara untuk mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha pencapaian konsesus dari pendapat-pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi tersebut adalah, dengan bertukar pikiran maupun pandangan dapat meningkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi ketidakpercayaan (mistrust) dan kerancuan (blases).
Pasal 36 Keppres No. 32 tahun 1990 menyinggung tentang pengelolaan kawasan lindung tentang keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung sebagai berikut:
1. Pemerintah tingkat II mengupayakan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya terhadap kawasan lindung
2. Pemerintah tingkat I dan II mengumumkan kawasan-kawasan lindung sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 34 kepada masyarakat. Menurut Anonymous (2003), peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung dapat dilihat dari faktor-faktor berikut:
1. Kedekatan masyarakat dengan kawasan
2. Adanya faktor kepentingan, baik secara historis, sosial-religi, ekologi maupun ekonomi masyarakat lokal / adat
III. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
A. Sejarah dan Status Kawasan
HLGL pada tahun 1970-an masih merupakan areal konsesi HPH PT. Telaga Mas. Sejak tahun 1983, kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.24/Kpts/Um/1983. Meskipun demikian, sampai saat ini kegiatan-kegiatan logging masih terjadi dalam dan sekitar kawasan HLGL, baik oleh beberapa konsesi yang memiliki HPH dan IUPHK maupun kegiatan illegal logging yang semakin marak akhir-akhir ini.
Kegiatan tersebut telah memberikan tekanan dan gangguan bagi keberadaan hutan lindung. Sejalan dengan itu, kesadaran sebagian masyarakat dalam dan sekitar HLGL terhadap fungsinya masih kurang. Umumnya mereka memanfaatkan hutan dengan mengambil rotan dan madu yang merupakan produk hutan non-kayu. Namun sebagian masyarakat ada pula yang menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun dijual (TBI Indonesia, 2004).
B. Kondisi Fisik B. 1. Letak dan Luas
HLGL terletak pada koordinat geografis 116o 02’ 57’’- 116o 50’ 41’’ Bujur Timur dan 01o 13’ 08’’- 01o 45’ 33’’ Lintang Selatan. Hutan lindung ini secara administratif berada di wilayah Kecamatan Batu Sopang, Muara Komam, Long Ikis dan Long Kali, di bawah pengawasan Dinas Kehutanan kabupaten Pasir, Kalimantan Timur.
HLGL memiliki luas sekitar +35.550 Ha10 dengan batas wilayah: Sebelah Utara : Desa Kepala Telake
Sebelah timur : Desa Muara Lambakan, Desa Belimbing, Desa Tiwei, Desa Rantau Layung, Desa Rantau Buta, dan Desa Pinang Jatus
Sebelah Selatan : Desa Kasungai, Desa Busui, dan Desa Rantau Layung Sebelah Barat : Desa Batu Butok, Desa Uko, Desa Muara Kuaro, Desa
Prayon, Desa Long Sayo, dan Desa Swanslutung
10
Gambar 6. Peta Lokasi HLGL
Sumber: Tropenbos Internasional Indonesia
B. 2. Iklim
Kawasan HLGL berdasarkan data iklim tahun 1994-1998, berdasarkan sistem klasifikasi Scmidth dan Ferguson (1951) termasuk dalam tipe iklim A atau sangat basah. Kawasan ini memiliki rata-rata curah hujan pada tahun 1982-1993 sebesar 165,83 mm/bulan dengan 8,92 hari hujan dan pada tahun 1994-1998 rata-rata curah hujan sebesar 216,38 mm/bulan dengan 10,36 hari hujan.
B. 3. Hidrologi
HLGL merupakan merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang akan mengalir ke daerah permukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air dan melindungi sistem tata air di kawasan tersebut. Hutan lindung tersebut merupakan daerah tangkapan air untuk dua DAS besar yaitu DAS Kendilo dengan anak sungai Sungai Busui (20 km) dan DAS Telake.
B. 4 Tanah dan Geologi
mineral felsic dan mineral campuran. Tekstur tanah bervariasi dari kasar, cukup halus sampai halus dengan drainase menunjukkan kelas baik. Jenis tanah Ultisol terdiri dari 2 kelompok besar tanah yaitu Tropudults dan Kandiudults. Sedangkan formasi geologi yang membangun HLGL adalah tiga formasi batuan yaitu Pemaluan Bed, Palaogene dan Pulau Balang Bed.
C. Kondisi Biologi
C. 1. Keanekaragaman Flora
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Mulawarman (1999)
dalam Aipassa (2004), menyatakan bahwa vegetasi yang ada pada kawasan HLGL terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder dengan berbagai keanekaragaman jenis flora. Jenis sungkai (Peronema canescens), mali-mali (Leea indica) dan buta ketiap (Milletia sp) merupakan jenis-jenis tumbuhan dominan pada komunitas hutan primer selain dijumpai pula asosiasi beberapa jenis yang tergolong suku Dipterocarpaceae, seperti Shorea laevis (bangkirai) dan jenis-jenis keruing (Dipterocarpus spp). Pada komunitas hutan sekunder jenis mahang (Macaranga sp.) merupakan jenis dominan. Hasil hutan non kayu yang ada antara lain adalah rotan, madu, damar, gaharu, tumbuhan obat, serta sarang burung walet.
C. 2. Keanekaragaman Fauna
hutan primer dan merupakan jenis yang peka terhadap gangguan berupa perubahan struktur dan komposisi hutan dan sekaligus merupakan indikator masih utuhnya kawasan hutan di daerah tersebut (PPLH Universitas Mulawarman, 1999
dalam Aipassa, 2004). Dari semua jenis mamalia yang telah teridentifikasi, terdapat dua jenis yang termasuk kategori lower risk (beresiko rendah) yaitu babi jenggot (Sus barbatus) dan owa kelawat (Hylobates muelleri).
Untuk kelompok burung (aves), dalam kawasan HLGL keanekaragaman jenisnya tergolong tinggi diantaranya jenis yang endemik di Pulau Kalimantan adalah bondol kalimantan (Lonchura fuscans), tiong batu kalimantan (Pityriasis gymnocephala), sikatan kalimantan (Cyornis superbus) dan pentis kalimantan (Prionochilos xanthopyangius). Jenis-jenis enggang seperti julang emas (Aceros undulatus), rangkong badak (Buceros rhinoceros), enggang jambul (Aceros comatus), enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), julang jambul hitam (Aceros corrugatus) dan rangkong gading (Buceros vigil), kacembang gading (Irena puella), luntur diard (Harpactes diardii), kucica hutan (Copsychus malabaricus), tukik tikus (Sasia abnormis), sempur hujan sungai (Cymbirhynchus macrorhynchos), paok delima (Pitta granatina), kuau raja (Argusianus argus), elang ular (Spilornis cheela palidus), seriwang asia (Tersiphone paradisi) dan lain sebagainya. Sedangkan dari kelompok reptilia dan amphibi jenis yang terdapat di kawasan HLGL diantaranya Ular cincin emas (Boiga dendrophilia) dan katak tanduk (Megophrys nasuta).
D. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
umumnya kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut sangatlah rendah, kecuali desa-desa yang berada pada bagian selatan hutan lindung dan bersinggungan langsung dengan jalan raya Kalimantan Timur-Kalimantan Selatan (Wahyuni et al., 2004).
Bagi masyarakat sekitar kawasan, HLGL berperan secara ekologis sebagai sumber protein hewani masyarakat serta mendukung kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan dan transportasi sungai bagi masyarakat. Kebutuhan protein hewani yang bersumber dari binatang buruan atau ikan sungai, demikian juga sebagai sumber air minum bagi rumah tangga, dan sebagai daerah tangkapan air bagi sungai-sungai kecil dan besar di sekitar kawasan seperti Sungai Kendilo dan Sungai Telake. Masyarakat asli yang bertempat tinggal di sekitar kawasan HLGL memenuhi hampir semua kebutuhannya dari wilayah hutan baik itu dari wilayah hutan lindung maupun dari hutan di sekitar hutan lindung. Seperti kebutuhan akan kayu bakar, perumahan, pangan (air, sayuran, dan daging/ikan), obat-obatan, dan upacara adat. Masyarakat yang berdiam di dan sekitar kawasan HLGL memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai macam jenis pangan yang berasal dari hutan, secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan protein hewani dipenuhi secara berburu di dalam hutan dan bahkan kegiatan tersebut merupakan kegiatan utama sebagai cara mendapatkan uang tambahan bagi beberapa rumah tangga yang berdiam di kawasan tersebut.
IV. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dalam kawasan HLGL yang berlokasi di desa sekitar kawasan yaitu Desa Rantau Layung dan Desa Pinang Jatus, komunitas dalam kawasan yaitu Dusun Mului, Kabupaten Pasir, dan Kota Balikpapan Propinsi Kalimantan Timur. Penelitian ini dilaksanakan selama 54 hari efektif yaitu pada bulan Oktober 2005 sampai dengan Februari 2006.
B. Ruang Lingkup dan Peralatan
Ruang Lingkup penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait (stakeholder) dalam setiap pengelolaan HLGL, seperti masyarakat sekitar dan dalam kawasan, Pemerintah Daerah, Dinas Kehutanan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Balai Konservasi Sumberdaya Alam Seksi Konservasi Wilayah Paser, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), baik lokal (Persatuan Masyarakat Adat Paser) maupun internasional (Tropenbos Internasional Indonesia), pihak swasta yaitu HPH (PT. Rizky Kacida Reana), dan pihak-pihak terkait lainnya.
Peralatan penelitian yang digunakan adalah peta kawasan HLGL, tape recorder, kamera, handycam, panduan wawancara dan alat tulis.
C. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode:
1. Metode pengamatan (observation) langsung, dengan tujuan mengamati secara langsung pihak-pihak terkait (stakeholder) dalam hal pengelolaan kawasan HLGL, mengetahui masalah-masalah yang ada di lapangan. 2. Metode wawancara mendalam (in-depth interviewing), yaitu wawancara
3. Studi pustaka dan literatur
Studi ini dilakukan untuk menunjang keabsahan dan pendalaman data untuk menganalisis data yang akan dilakukan.
Adapun data-data yang diambil terdiri atas data pokok dan data penunjang, yaitu:
a. Data Pokok, adalah data yang diambil melalui pengamatan langsung di lapangan (observasi lapang) dan wawancara mendalam yang di dalamnya meliputi:
•Masyarakat lokal: biodata, bentuk interaksi dengan kawasan HLGL, kerarifan lokal masyarakat adat yang kaitannya dengan pengelolaan hutan, harapan terhadap para pengelola kawasan HLGL (stakeholder) yang lain, harapan terhadap HLGL, pola interaksi dengan para stakehoder yang lain.
•HPH: biodata, bentuk interaksi yang mereka lakukan terhadap kawasan HLGL, kontribusi yang diberikan terhadap pengelolaan HLGL, kontribusi yang diberikan pada masyarakat sekitar HPH, harapan terhadap para pengelola kawasan HLGL (stakeholder) yang lain, harapan terhadap HLGL, interaksi dengan para stakehoder yang lain.
•Pemda: Sejarah kawasan, visi dan misi (terutama di sektor kehutanan), bentuk interaksi dengan kawasan HLGL, potensi kawasan hutan di Kabupaten Pasir, permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam kawasan HLGL dan penyelesaiannya, program maupun rencana strategi pembangunan kehutanan di Kabupaten Pasir, kebijakan yang dikeluarkan kaitannya dengan pengelolaan kawasan HLGL, harapan terhadap para pengelola kawasan HLGL (stakeholder) yang lain, harapan terhadap HLGL, rencana tata ruang dan wilayah Kabupaten Pasir, pola interaksi dengan para stakehoder yang lain.
•LSM: Sejarah kawasan, visi misi LSM, potensi kawasan HLGL, kontribusi terhadap kawasan HLGL, harapan terhadap para pengelola kawasan HLGL (stakeholder) yang lain, harapan terhadap HLGL, pola interaksi dengan para stakehoder yang lain.
b. Data Penunjang
Adapun data sekunder yang akan diambil meliputi rencana strategis sektor kehutanan Kabupaten Pasir tahun 2001-2005, potensi kehutanan Kabupaten Pasir, potensi HLGL, undang-undang yang berkaitan dengan sektor kehutanan, rencana tata ruang Kabupaten Pasir, kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan HLGL serta semua kebijakan yang berkaitan dengan kawasan HLGL.
Tabel 1. Daftar nama responden
No. Nama Posisi/Jabatan Institusi
1. Ir. Abdul Azis Maulana, MSi Kepala Dinas Dinas Kehutanan Pasir 2. Gatot Bintara, DS, S.Sos Kepala Seksi Inventarisasi
Pengkodean dan Perpetaan
Dinas Kehutanan Pasir
3. Ir. Bambang Purwanto Kepala Seksi Pengelolaan Hutan Lindung
Dinas Kehutanan Pasir
4. A.S Fathur Rahman Kepala Bidang Program
Pembangunan
Bappeda
5. Romif Erwinadi Kepala Sub
Bidang Perhubungan
Bappeda
7. Samsuddin Staf Dinas Dinas Sosial
8 Dedi Armansyah Ketua Dewan Adat PeMA Paser
9. Ardiansyah Sekretaris PeMA Paser
10. Dr. Dicky Simorangkir Ketua Tim Program Tropenbos Internasional Indonesia 11. Tunggul Butar Butar Forest Partnership Team Tropenbos Internasional
Indonesia
12. Jidan Wakil Ketua Adat Dusun Muluy
13. Jahan Anggota masyarakat Dusun Muluy
14. Jiham Anggota masyarakat Dusun Muluy
15. Semok Ketua Adat Desa Rantau Layung
16. Abdul Rifai Kepala Desa Desa Rantau Layung
17. Marli Ketua RT Desa Rantau Layung
18. Ali Wakil Ketua Adat Desa Rantau Layung
19. Abad Tetua masyarakat Desa Rantau Layung
20. Nasrul Anggota masyarakat Desa Rantau Layung
21. Madan Anggota masyarakat Desa Rantau Layung
22. Lawut Ketua adat Desa Pinang Jatus
23. Jeket Anggota masyarakat Desa Pinang Jatus
24. Sumadi Kepala Desa Desa Pinang Jatus
25. Graham Anggota masyarakat Desa Pinang Jatus
Tabel 2. Observasi lapang
Sumber data Jenis data Tujuan penelitian
Kawasan HLGL
• Keadaan implementasi kebijakan di kawasan HLGL
• Potensi kawasan HLGL
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap stakeholder HLGL • Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk mencapai pengelolaan
hutan lindung lestari
Tabel 3. Penelusuran dokumen dan wawancara
Sumber data Jenis data Tujuan
Masyarakat Rantau Layung, Desa Pinang Jatus, dan Dusun Mului
•Bentuk kepentingan dengan kawasan HLGL
•Kearifan lokal kaitannya dengan pengelolaan kawasan
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap
stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
Dinas Kehutanan Kabupaten Paser
•Visi dan misi •Renstra 2001-2005 •Peta kawasan •Tupoksi •Sejarah kawasan
•Bentuk kerjasama dengan stakeholder lain
•Bentuk kepentingan dengan kawasan HLGL
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap
stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Paser
•RTRW Kabupaten Paser •Bentuk kerjasama dengan
stakeholder lain
•Peta kondisi penutupan lahan Kabupaten Paser
•Tupoksi
•Bentuk kepentingan dengan kawasan HLGL
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
BKSDA Seksi Konservasi Wilayah Pasir
•Bentuk kerjasama dengan stakeholder lain
•Bentuk kepentingan dengan kawasan HLGL
stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan
•Kebijakan yang dikeluarkan berkaitan dengan pengelolaan kawasan
•Bentuk kepentingan dengan kawasan HLGL
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap
stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
Persatuan Masyarakat Adat Paser •Visi dan misi
•Kerjasama dengan stakeholder lain •Bentuk kepentingan dengan
kawasan HLGL
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap
stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
Tropenbos Internasional Indonesia
•Visi dan misi
•Program yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan
•Bentuk kepentingan dengan kawasan
•Bentuk kerjasama dengan stakeholder lain
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap
stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
PT. Rizky Kacida Reana •Bentuk kepentingan dengan kawasan
•Bentuk kerjasama dengan stakeholder lain
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap
stakeholder HLGL
• Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk
BEHAVIOR
SITUATION STRUCTURE PERFORMANCE
Karakteristik SDA dan SDM Hubungan antara SDM dan SDA Masalah di lapangan
Kebijakan tiap stakeholder
Hubungan antara
stakeholder Perturan informal
Rekomenedasi Kebijakan Pengelolaan HLGL Lestari
(expected performance)
Kawasan yang khas Tata batas Illegal logging
Pengelolaan kawasan dengan paradigma lama
Stakeholder masih ego sektoral
Stakeholder HLGL
Jenis kebijakan tiap stakeholder Interaksi antar stakeholder dalam konteks kelembagaan pengelolaan HLGL
Program dan aktivitas para stakeholder HLGL
Indikator-indikator kinerja yang dapat diamati di
lapangan antara lain: perburuan, illegal logging, perladangan bergulir dan lain
sebaginya (exisisting performance)
D. Analisis dan Sintesis Data
Analisis data yang digunakan dalam pengolahan data menggunakan analisis deskriptif
dan tabulasi (penyajian data dalam bentuk tabel).
Data-data yang telah diambil dan dikumpulkan, dianalisis dengan menggunakan
metode content analysis (analisis isi) yang mendeskripsikan setiap isi dari kebijakan
yang ada dalam pengelolaan HLGL.
Analisis hirarki digunakan untuk melihat antara keterkaitan perundang-undangan
yang berlaku dari undang-undang skala nasional, peraturan pemerintah daerah, Surat
Keputusan Bupati, kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak swasta, hingga kearifan
lokal masyarakat sekitar dan dalam hutan yang berkaitan dalam pengelolaan HLGL.
Data yang diperoleh diklasifikasi berdasarkan Situation, Structure, Behavior, dan
Performance (SSBP). Kemudian data disintesakan untuk memahami kondisi dari
Situation, Stucture, Behavior, dan Performance dari HLGL. Metode SSBP digunakan
untuk mengidentifikasi rekomendasi kebijakan yang diperlukan untuk mencapai
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Ideal Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut
Pengelolaan hutan lindung menurut PP No. 25 tahun 2000 tentang
Perencanaan Kehutanan menyatakan bahwa wewenang pengelolaan kawasan hutan
lindung ada di tangan di tangan Pemerintah Kabupaten. Untuk itulah Pemerintah
Kabupaten Pasir membentuk Dinas Kehutanan Pasir pada tahun 2001 sebagai instansi
yang berada langsung di bawah Bupati Pasir yang bertanggung jawab terhadap
pengelolaan setiap kawasan hutan kecuali cagar alam.
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, studi pustaka, dan wawancara
mendalam dapat diketahui sampai dengan sekarang kawasan HLGL masih berada
dalam tanggung jawab Dinas Kehutanan Pasir. Hal ini ini tidak sesuai dengan
peraturan perundangan yang ada. Mengacu pada PP No. 44 tahun 2004 tentang
Perencanaan Hutan, yang bertanggung jawab terhadap setiap pengelolaan kawasan
hutan lindung adalah sebuah unit pengelolaan yang khusus mengelola satu kawasan
hutan lindung atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) yang dibentuk oleh
Pemerintah Kabupaten Pasir.
Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999, pengelolaan hutan meliputi kegiatan:
1. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan.
2. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan
3. Rehabilitasi dan reklamasi hutan
4. Perlindungan dan konservasi hutan
Menurut PP No. 44 tahun 2004 ayat 1 kegiatan yang perencanaan hutan
meliputi:
1. Inventarisasi hutan
2. Pengukuhan kawasan hutan
3. Penatagunaan kawasan hutan
4. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan
Kawasan HLGL memerlukan satu unit pengelola karena dari sekian
banyaknya stakeholder HLGL tidak ada satu pun yang melakukan kegiatan
pengelolaan secara menyeluruh. Stakeholder HLGL hanya melakukan hanya di salah
satu kegiatan pengelolaan hutan.
Kaitannya dalam pembentukan satu unit pengelola, Pemerintah Kabupaten
Pasir mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Pasir No. 340 tahun 2005 tentang
pembentukan kelompok kerja pengelolaan hutan lindung gunung lumut dan Surat
Keputusan Bupati pasir No. 357 tahun 2005 tentang pembentukan tim forum sistem
informasi geografis pasir dalam kegiatan penyusunan basis data spasial Kabupaten
Pasir. Kebijakan di atas dapat digunakan sebagai langkah awal dari pelibatan seluruh
stakeholder Kabupaten Pasir dalam mengelola kawasan HLGL secara keseluruhan.
Melalui kebijakan tersebut Pemerintah Kabupaten Pasir diharapkan mampu
membentuk suatu unit pengelola khusus atau KPHL HLGL yang bertanggung jawab
langsung kepada Bupati Pasir.
B. Karakteristik Stakeholder Pengelolaan HLGL
B.1. Masyarakat Desa Rantau Layung
Desa Rantau Layung terletak di sekitar kawasan HLGL yang sebagian
wilayahnya adalah kawasan HLGL. Secara administratif Desa Rantau Layung berada
di Kecamatan Batu Sopang serta di utara berbatasan dengan Desa Pinang Jatus, Desa
Long Sayo, dan Tiwei, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Rantau Buta, sebelah
barat berbatasan dengan Desa Long Gelang, Kecamatan Kuaro, dan sebelah sebelah
barat berbatasan dengan Desa Long Sayo, Desa Prayon dan Desa Uko.
Menurut data statistik kecamatan Desa Rantau Layung memiliki luas 183,18
km2. Jumlah kepala keluarga Desa Rantau Layung adalah 58 kepala keluarga dengan jumlah penduduk total 149 jumlah jiwa. Desa Rantau Layung mayoritas adalah suku
Paser Kendilo.11
Sebelum menempati daerah yang sekarang Desa Rantau Layung terletak di
rantau sungai Kesungai. Pada masa penjajahan Belanda Mereka hidup terpencar
11
antara satu dengan yang lainnya tetapi masih dalam satu daerah. Kemudian Belanda
menawarkan kepada warga Rantau Layung untuk pindah ke Long Ikis atau Batu
Kajang, karena di sana akses untuk keluar lebih mudah. Tetapi pada tahun 1945
warga Rantau Layung memilih untuk kembali ke daerahnya semula, tetapi hingga
sekarang masih ada warga Rantau Layung yang memutuskan untuk menetap di Long
Ikis dan Batu Kajang. Asal kata desa tersebut adalah karena adanya pohon layung,
sejenis duren, yang ada di daerah asal mereka dulu.
Warga Rantau Layung bermata pencaharian utama sebagai petani di ladang
mereka yang ditanami oleh padi ladang. Ladang mereka terletak di sekitar desa
mereka tetapi tidak berada di dalam kawasan HLGL. Lahan tempat mereka berladang
bervariasi luasnya yaitu sekitar ±1 ha setiap kepala keluarga tetapi dapat lebih luas
sesuai dengan kemampuan dari setiap kepala keluarga tersebut.
Desa Rantau Layung menerapkan kebijakan adat bahwa setiap kepala keluarga
berhak memiliki 1 ha kebun. Kebun tersebut oleh setiap kepala keluarga ditanami
rambutan, durian, pisang, singkong, ubi, rotan, dan juga pinang.
Warga Rantau Layung sangat tergantung pada HLGL karena tanpa HLGL
warga Rantau Layung tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup tambahan mereka.
Cara yang mereka lakukan adalah warga Rantau Layung sangat bergantung pada
HLGL. Hal ini dapat dilihat dari cara memenuhi kebutuhan biaya hidup
tambahannya, warga Rantau Layung melakukan kegiatan mengambil hasil hutan ke
dalam kawasan HLGL. Adapun hasil hutan yang mereka ambil berupa burung, rotan,
madu, gaharu, menjerat binatang seperti kancil, rusa, kijang, babi hutan, dan juga
ikan.
Madu yang dimanfaatkan oleh warga Rantau Layung diambil dari pohon madu
(Koompasia malacensis) yang berada tersebar di dalam maupun di sekitar kawasan
HLGL. Karena hal tersebut maka pohon madu dikeramatkan oleh warga Rantau
Layung dan akan dikenai denda yang sangat besar bila ada yang menebang pohon
Sumber (2): http://bird.incoming.jp/08/jpgl/1063.jpg
Gambar 8. Pohon madu (Koompasia malacensis[1] ) dan burung kuau (Argusianus argus[2] )
Setiap kepala keluarga atau orang yang telah dewasa akan memiliki satu atau
lebih pohon madu sesuai dengan kesanggupan masing-masing. Khusus untuk orang
yang baru dewasa dapat mencari pohon madu yang ada di dalam kawasan yang belum
dimiliki oleh warga yang lain dan segera melaporkannya kepada ketua adat pohon
madu akan mulai dibersihkan pada waktu akhir musim hujan dan lebah akan mulai
menghinggapi pohon madu tersebut pada waktu awal musim kering dan madu akan
siap dipanen pada saat akhir musim kering atau awal musim hujan. Tetapi dalam satu
tahun belum tentu pohon madu akan menghasilkan sarang madu karena tergantung
dari banyak sedikitnya hujan yang turun di daerah tersebut. Semakin sedikit atau
tidak turun hujan maka kesempatan untuk mendapatkan madu akan lebih besar.
Dalam satu pohon madu dapat dijumpai 1 atau lebih sarang madu yang
memiliki hasil madu kira-kira 5 liter sampai dengan 20 liter dengan harga 1 liter
madu di dalam desa dijual dengan harga Rp. 50.000.
Rotan yang dimanfaatkan oleh warga Rantau Layung berasal dari luar kawasan
HLGL tetapi tidak jarang dari mereka juga mengambil rotan dari dalam kawasan.
Sebab rotan yang ada di dalam kawasan HLGL relatif masih besar dan
panjang. Mereka mengambil rotan dengan tidak terjadwal, artinya mereka hanya
mengambil rotan pada saat mereka membutuhkan saja.
Warga Rantau Layung menangkap burung di dalam kawasan HLGL. Burung
yang mereka tangkap biasanya dijual kepada pengumpul yang berasal dari kota Pasir
yang datang khusus ke dusun mereka walau tidak pasti kapan. Biasanya warga
Rantau Layung menangkap burung pada musim kering, karena musim kering
memudahkan mereka untuk melihat burung yang akan mereka tangkap.
Burung merak kalimantan atau burung kuau (Argusianus argus) diburu khusus
untuk dijadikan bahan pangan mereka atau bulu dari burung tersebut dijadikan hiasan
di rumah-rumah. Untuk jenis burung yang dijual biasanya adalah murai batu, bubut
alang-alang selain itu burung-burung tersebut dijadikan binatang piaraan mereka
karena bunyi yang bagus menurut mereka.
Berburu hewan buruan seperti kijang kancil (Tragulus napu), rusa (Cervus
timorensis), babi hutan (Sus barbatus), dan juga kijang (Muntiacus muntjak)
dilakukan oleh warga Rantau Layung untuk memenuhi kebutuhan protein mereka dan
juga sebagai sumber penghasilan tambahan. Cara yang paling sering mereka lakukan
adalah dengan jerat. Hasil buruan dibawa mereka langsung ke pasar dan dijual.
Tabel 4. Interaksi masyarakat Desa Rantau Layung dengan kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut
Keluarga Berladang Mengumpulkan
madu
Berburu Mencari
gaharu
Mencari
burung
Mencari
rotan
1 __ 9 9 9 9 9
2 __ 9 9 __ __ 9
3 __ 9 __ __ 9 9
4 __ 9 __ __ 9 9
5 __ 9 9 9 9 __
B.2 Masyarakat Desa Pinang Jatus
Desa Pinang Jatus terletak di dalam wilayah administratif Kecamatan Long
Kali, yang berbatasan di utara dengan Desa Muara Lambakan, dan Perkuin, sebelah
selatan dengan Desa Tiwei dan Desa Rantau Layung, sebelah timur dengan Desa
Belimbing, dan sebelah barat dengan Desa Swanselutung.
Desa Pinang Jatus terdiri dari 60 kepala keluarga dengan jumlah total penduduk
283 jumlah jiwa. Mayoritas penduduk Desa Pinang Jatus adalah suku Paser Telake.
Dinamakan Desa Pinang Jatus karena pada jaman dahulu kala ada seseorang
yang melanggar perturan adat di desa tersebut sebanyak 100 real, tetapi karena tidak
mampu maka orang tersebut mengganti dengan 100 batang pohon pinang. Pada tahun
1960 agama Kristen masuk ke desa tersebut, maka sebagian warga Desa Pinang Jatus
memeluk agama Kristen. Banyak dari warga Desa Muara Lambakan yang tidak mau
memeluk agama Islam pindah ke Desa Pinang Jatus.
Berbeda dengan Dusun Mului yang berada di dalam kawasan dan Desa Rantau
Layung yang sebagian wilayahnya terdiri merupakan kawasan HLGL, maka Desa
Pinang Jatus adalah desa yang berbatasan langsung dengan kawasan HLGL dengan
jarak kurang lebih 20 km dari pusat desa.
Bertani padi ladang di sekitar desa adalah mata pencaharian utama mereka.
Dengan pembagian 1 ha atau lebih sesuai dengan kemampuan dari masing-masing
kepala keluarga.
Warga Desa Pinang Jatus tidak terlalu tergantung dengan kawasan HLGL
karena jarak yang jauh antara desa dengan kawasan. Hampir semua kebutuhan hidup
warga Desa Pinang Jatus dapat dicukupi dari daerah sekitar mereka. Akan tetapi
warga Pinang Jatus tetap mengandalkan hasil hutan yang berasal dari kawasan HLGL
Tabel 5. Interaksi masyarakat Desa Pinang Jatus dengan kawasan HLGL Keluarga Berladang Mengumpulkan
madu
Berburu Mencari
gaharu
Mencari
burung
Mencari
rotan
1 __ __ 9 9 9 9
2 __ __ __ __ __ 9
3 __ __ __ __ 9 9
4 __ __ __ __ 9 9
5 __ 9 9 9 9 __
B.3 Masyarakat Dusun Mului
Dusun Mului merupakan komunitas suku Paser yang berada di dalam kawasan
HLGL, yang secara administratif masuk ke dalam Desa Swanselutung, Kecamatan
Muara Komam, dengan luas wilayah 496,78 km2. Mempunyai batas wilayah utara
berbatasan dengan Desa Kepala Telake, selatan dengan Desa Muara Payang, timur
dengan Desa Long Sayo, dan barat dengan Desa Lusan12.
Dusun Mului terdiri dari 18 kepala keluarga dengan 118 jumlah jiwa yang
menempati 58 rumah yang berada di sepanjang jalan logging PT. Rizky Kacida
Reana kilometer 58. Dusun Mului termasuk RT 8 yang merupakan bagian dari Desa
Swanselutung.
Pada tahun 1970-an warga Mului hidup berpencar antara satu keluarga dengan
yang lainnya yaitu di daerah hulu Sungai Sowan dan Sungai Mului atau yang lebih
dikenal dengan daerah Mului Lama. Mereka beralih tempat pada tahun 2001 atas
bantuan dari Dinas Sosial Kabupaten Pasir warga Mului direlokasi dari tempatnya
yang lama ke tempat yang baru dalam bagian dari proyek masyarakat tertinggal.
Dinas Sosial berrtujuan menempatkan mereka ke daerah yang lebih baik. Hal ini
dikarenakan lingkungan daerah yang lama dirasakan tidak sehat lingkungan, hal ini
dapat dilihat dari jumlah penduduk yang relatif tidak bertambah dari tahun ke tahun
karena banyaknya balita masyarakat Dusun Mului yang menderita sakit penyakit dan
meninggal sebelum tumbuh remaja.
12