• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Sejarah dan Status Kawasan

HLGL pada tahun 1970-an masih merupakan areal konsesi HPH PT. Telaga Mas. Sejak tahun 1983, kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.24/Kpts/Um/1983. Meskipun demikian, sampai saat ini kegiatan-kegiatan logging masih terjadi dalam dan sekitar kawasan HLGL, baik oleh beberapa konsesi yang memiliki HPH dan IUPHK maupun kegiatan illegal logging yang semakin marak akhir-akhir ini.

Kegiatan tersebut telah memberikan tekanan dan gangguan bagi keberadaan hutan lindung. Sejalan dengan itu, kesadaran sebagian masyarakat dalam dan sekitar HLGL terhadap fungsinya masih kurang. Umumnya mereka memanfaatkan hutan dengan mengambil rotan dan madu yang merupakan produk hutan non-kayu. Namun sebagian masyarakat ada pula yang menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun dijual (TBI Indonesia, 2004).

B. Kondisi Fisik B. 1. Letak dan Luas

HLGL terletak pada koordinat geografis 116o 02’ 57’’- 116o 50’ 41’’ Bujur Timur dan 01o 13’ 08’’- 01o 45’ 33’’ Lintang Selatan. Hutan lindung ini secara administratif berada di wilayah Kecamatan Batu Sopang, Muara Komam, Long Ikis dan Long Kali, di bawah pengawasan Dinas Kehutanan kabupaten Pasir, Kalimantan Timur.

HLGL memiliki luas sekitar +35.550 Ha10 dengan batas wilayah: Sebelah Utara : Desa Kepala Telake

Sebelah timur : Desa Muara Lambakan, Desa Belimbing, Desa Tiwei, Desa Rantau Layung, Desa Rantau Buta, dan Desa Pinang Jatus

Sebelah Selatan : Desa Kasungai, Desa Busui, dan Desa Rantau Layung Sebelah Barat : Desa Batu Butok, Desa Uko, Desa Muara Kuaro, Desa

Prayon, Desa Long Sayo, dan Desa Swanslutung

10

Berdasarkan data dari Laporan Hasil Orientasi Batas Kawasan Hutan di Kelompok Hutan Lindung Gunung Lumut Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir

Gambar 6. Peta Lokasi HLGL

Sumber: Tropenbos Internasional Indonesia

B. 2. Iklim

Kawasan HLGL berdasarkan data iklim tahun 1994-1998, berdasarkan sistem klasifikasi Scmidth dan Ferguson (1951) termasuk dalam tipe iklim A atau sangat basah. Kawasan ini memiliki rata-rata curah hujan pada tahun 1982-1993 sebesar 165,83 mm/bulan dengan 8,92 hari hujan dan pada tahun 1994-1998 rata-rata curah hujan sebesar 216,38 mm/bulan dengan 10,36 hari hujan.

B. 3. Hidrologi

HLGL merupakan merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang akan mengalir ke daerah permukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air dan melindungi sistem tata air di kawasan tersebut. Hutan lindung tersebut merupakan daerah tangkapan air untuk dua DAS besar yaitu DAS Kendilo dengan anak sungai Sungai Busui (20 km) dan DAS Telake.

B. 4 Tanah dan Geologi

Jenis tanah yang ada di wilayah HLGL meliputi jenis tanah Ultisol dan Inceptisol. Jenis Ultisol berasal dari lithologi batuan sedimen yang mengandung

mineral felsic dan mineral campuran. Tekstur tanah bervariasi dari kasar, cukup halus sampai halus dengan drainase menunjukkan kelas baik. Jenis tanah Ultisol terdiri dari 2 kelompok besar tanah yaitu Tropudults dan Kandiudults. Sedangkan formasi geologi yang membangun HLGL adalah tiga formasi batuan yaitu Pemaluan Bed, Palaogene dan Pulau Balang Bed.

C. Kondisi Biologi

C. 1. Keanekaragaman Flora

Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Mulawarman (1999)

dalam Aipassa (2004), menyatakan bahwa vegetasi yang ada pada kawasan HLGL terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder dengan berbagai keanekaragaman jenis flora. Jenis sungkai (Peronema canescens), mali-mali (Leea indica) dan buta ketiap (Milletia sp) merupakan jenis-jenis tumbuhan dominan pada komunitas hutan primer selain dijumpai pula asosiasi beberapa jenis yang tergolong suku Dipterocarpaceae, seperti Shorea laevis (bangkirai) dan jenis-jenis keruing (Dipterocarpus spp). Pada komunitas hutan sekunder jenis mahang (Macaranga sp.) merupakan jenis dominan. Hasil hutan non kayu yang ada antara lain adalah rotan, madu, damar, gaharu, tumbuhan obat, serta sarang burung walet.

C. 2. Keanekaragaman Fauna

Kawasan HLGL memiliki keanekaragaman satwaliar yang cukup tinggi, diantaranya dari kelompok mamalia adalah babi jenggot (Sus barbatus), kijang kuning (Muntiacus atherodes), beruang madu (Helarctos malayanus), pelanduk napu (Tragulus napu), rusa sambar (Cervus unicolor), tenggalung malaya (Viverra tangalunga), landak raya (Hystrix brachyura), sero ambrang (Aonys cinerea), tupai tanah (Tupaia tana), bajing kecil telinga hitam (Nannosciurus melanotis), dan bajing tanah ekor-tegak (Rheithrosciurus macrotis). Untuk jenis mamalia primata antara lain lutung dahi-putih (Presbytis frontata), lutung merah (Presbytis rubicunda), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), kukang (Nycticebus coucang), bekantan (Nasalis larvatus) dan owa kelawat (Hylobates muelleri). Owa kelawat ditemukan pada komunitas

hutan primer dan merupakan jenis yang peka terhadap gangguan berupa perubahan struktur dan komposisi hutan dan sekaligus merupakan indikator masih utuhnya kawasan hutan di daerah tersebut (PPLH Universitas Mulawarman, 1999

dalam Aipassa, 2004). Dari semua jenis mamalia yang telah teridentifikasi, terdapat dua jenis yang termasuk kategori lower risk (beresiko rendah) yaitu babi jenggot (Sus barbatus) dan owa kelawat (Hylobates muelleri).

Untuk kelompok burung (aves), dalam kawasan HLGL keanekaragaman jenisnya tergolong tinggi diantaranya jenis yang endemik di Pulau Kalimantan adalah bondol kalimantan (Lonchura fuscans), tiong batu kalimantan (Pityriasis gymnocephala), sikatan kalimantan (Cyornis superbus) dan pentis kalimantan (Prionochilos xanthopyangius). Jenis-jenis enggang seperti julang emas (Aceros undulatus), rangkong badak (Buceros rhinoceros), enggang jambul (Aceros comatus), enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), julang jambul hitam (Aceros corrugatus) dan rangkong gading (Buceros vigil), kacembang gading (Irena puella), luntur diard (Harpactes diardii), kucica hutan (Copsychus malabaricus), tukik tikus (Sasia abnormis), sempur hujan sungai (Cymbirhynchus macrorhynchos), paok delima (Pitta granatina), kuau raja (Argusianus argus), elang ular (Spilornis cheela palidus), seriwang asia (Tersiphone paradisi) dan lain sebagainya. Sedangkan dari kelompok reptilia dan amphibi jenis yang terdapat di kawasan HLGL diantaranya Ular cincin emas (Boiga dendrophilia) dan katak tanduk (Megophrys nasuta).

D. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Wilayah kawasan Hutan Gunung Lumut sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, wilayah tersebut telah didiami oleh masyarakat adat Dayak Paser secara turun temurun bahkan telah mencapai 13 generasi. Sehingga secara tradisional sesungguhnya wilayah HLGL dan sekitarnya telah terbagi ke dalam hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah adat desa-desa di sekitarnya dan satu dusun berada dalam kawasan yang termasuk dalam empat kecamatan. Dimana batas-batas desa tersebut dikenal dengan batas-batas alam yaitu daerah aliran sungai, ataupun punggung bukit atau gunung. Seperti Sungai Pias, Sungai Tiwei, Sungai Mului, Sungai Kesungai dan lain-lain (Saragih, 2004). Pada

umumnya kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut sangatlah rendah, kecuali desa-desa yang berada pada bagian selatan hutan lindung dan bersinggungan langsung dengan jalan raya Kalimantan Timur-Kalimantan Selatan (Wahyuni et al., 2004).

Bagi masyarakat sekitar kawasan, HLGL berperan secara ekologis sebagai sumber protein hewani masyarakat serta mendukung kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan dan transportasi sungai bagi masyarakat. Kebutuhan protein hewani yang bersumber dari binatang buruan atau ikan sungai, demikian juga sebagai sumber air minum bagi rumah tangga, dan sebagai daerah tangkapan air bagi sungai-sungai kecil dan besar di sekitar kawasan seperti Sungai Kendilo dan Sungai Telake. Masyarakat asli yang bertempat tinggal di sekitar kawasan HLGL memenuhi hampir semua kebutuhannya dari wilayah hutan baik itu dari wilayah hutan lindung maupun dari hutan di sekitar hutan lindung. Seperti kebutuhan akan kayu bakar, perumahan, pangan (air, sayuran, dan daging/ikan), obat-obatan, dan upacara adat. Masyarakat yang berdiam di dan sekitar kawasan HLGL memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai macam jenis pangan yang berasal dari hutan, secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan protein hewani dipenuhi secara berburu di dalam hutan dan bahkan kegiatan tersebut merupakan kegiatan utama sebagai cara mendapatkan uang tambahan bagi beberapa rumah tangga yang berdiam di kawasan tersebut.

Pada umumnya masyarakat desa-desa yang berada dalam dan di sekitar HLGL bekerja di bidang pertanian dengan pengelolaan lahan pertanian yang masih tradisional (Wahyuni etal., 2004). Jenis mata pencaharian lain masyarakat adalah berdagang, pegawai negeri sipil, karyawan perusahaan serta bidang lainnya. Dominasi pekerjaan masyarakat sebagai petani, terlihat dari luasan lahan yang dijadikan areal pertanian dan perkebunan di daerah sekitar kawasan HLGL. Upaya-upaya lain dari masyarakat untuk menambah pendapatannya adalah dengan mendulang emas (bagi desa tertentu, kegiatan ini dilakukan hanya pada saat gagal panen), menjadi tukang ojek motor, dan buruh.

Dokumen terkait