• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERPAJAKAN Indikator Keberhasilan

Dalam dokumen PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK (Halaman 33-53)

 Menguraikan Ketentuan Umum

 Menjelaskan dan Self Assestment

 Merangkum CircumNavigation UU KUP

Uraian dan Contoh

Bagi kita yang mempunyai latar belakang pendidikan hukum mempelajari Undang­ Undang KUP beserta aturan pelaksanaannya tidak begitu sulit karena kita terbiasa membaca pasal­pasal sebuah aturan dan belajar cara menafsirkan sebuah peraturan. Namun harus disadari bahwa pegawai DJP tidak semua, kalau tidak boleh disebut sebagian besar, berlatar belakang pendidikan hukum. Tidak jarang latar belakang mereka adalah akuntansi, ekonomi, manajemen, teknik, pertanian, informatika, perpustakaan, bahkan sarjana statistik. Bagi mereka yang disebut belakangan mempunyai kesulitan tersendiri dalam mempelajari maksud peraturan, mereka biasanya menyebutnya sebagai pelajaran ‘anak IPS’ yang sangat dihindari ketika di SMU. Tetapi setelah masuk sebagai pegawai DJP mau tidak mau merka harus bisa dan paham membaca dan memahami undang­undang perpajakan, salah satunya Undang­Undang KUP.

Berdasarkan pengalaman mengajar Undang­Undang KUP bagi mereka yang

‘anak IPA’ akhirnya penulis menemukan metode mempelajari Undang­Undang

KUP dengan sebuah peta yang akhirnya kami sebut sebagai CircumNavigation

Undang-Undang KUP. Dan, metode itu yang digunakan sebagai pendekatan dalam menyusun modul ini.

Modul KUP ini akan membahas tentang ketentuan umum, pendaftaran, pembayaran, dan pelaporan pajak. Ketentuan umum sebuah undang­undang dapat dilihat dari konsiderans dan penjelasan umumnya. Kita sering mendengar bahwa sistem perpajakan Indonesia menganut sistem self assessment, namun

KEGIATAN BELAJAR 1

tidak banyak yang paham bahwa secara gramatikal self assessment disebut dalam penjelasan umum Undang­Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang­Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Kegiatan Belajar ini akan membahas bahwa sebenarnya self assessment yang dianut Indonesia bukan self assessment murni tetapi ada unsur official assessment dan with holding tax sehingga disebut sebagai Self Assessment++™.

Sedangkan ketentuan pendaftaran, pembayaran, dan pelaporan pajak diatur dalam Bab II NPWP, Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Surat Pemberitahuan, dan Tata Cara Pembayaran Pajak yang meliputi Pasal 2, Pasal 2A, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11. Hanya saja ketentuan Pasal 11 sebenarnya lebih tepat dikategorikan sebagai ketentuan tentang pengembalian kelebihan pajak atau restitusi maka tidak dibahas dalam kegaiatan belajar ini tetapi dalam kegaitan belajar tentang SKPLB dan restitusi.

Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formil

Hukum dapat dibagi menjadi hukum pajak formal dan hukum material, demikian juga hukum pajak dibagi hukum pajak formal dan hukum pajak material. Hukum pajak formal adalah hukum pajak yang mengatur tentang bagaimana caranya

hukum pajak material bisa dijalankan dan menjadi nyata. Hukum pajak formal

memuat antara lain cara pendaftaran diri untuk memperoleh NPWP, cara pembukuan, cara pemeriksaan, sanksi administrasi, cara penagihan, hak dan kewajiban Wajib Pajak, cara penyidikan, dan sanksi pidana. Undang­undang pajak yang termasuk hukum pajak formal adalah sebagai berikut.

 UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang­undang No. 16 Tahun 2000.

 UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana teah diubah dengan Undang­undang

No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

 Undang­undang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Pengadilan Pajak.

Perlu diketahui bahwa dalam praktek pemisahan hukum pajak formal dan hukum pajak material tidak murni benar­benar dipisahkan. Akan tetapi ada juga yang

KUP

merupakan ketentuan formal dan ketentuan material dalam satu undang­undang, yaitu:

 Undang­undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 68 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara nomor 3312, yang telah berkali­kali diubah terakhir dengan UU Nomor 12 Tahun 1994;

 Undang­undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai diundangkan

Lembaran Negara Nomor 69 Tahun 1983, Tambahan Lembaran Negara nomor 3313;

 Undang­undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah diundangkan Lembaran Negara Nomor 41 Tahun 1998;

 Undang­undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM diundangkan Lembaran Negara Nomor 51 Tahun 1983, Tambahan Lembaran Negara nomor 3264, yang telah berkali­kali diubah, terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009.

Hukum pajak material adalah hukum pajak yang memuat antara lain norma­ norma yang menerangkan keadaan­keadaan, perbuatan­perbuatan dan peristiwa­ peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa­siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak, kapan timbulnya pajak, berapa besarnya tarif dan pajak yang harus dibayar, hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Undang­undang pajak yang termasuk dalam hukum pajak material ialah sebagai berikut.

 Undang­undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

diundangkan Lembaran Negara Nomor 50 Tahun 1983, Tambahan Lembaran Negara 3263, yang telah berkali­kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008.

 Undang­undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan

PPnBM diundangkan Lembaran Negara Nomor 51 Tahun 1983, Tambahan Lembaran Negara nomor 3264, yang telah berkali­kali diubah, terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009.

 Undang­undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

Lembaran Negara nomor 3312, yang telah berkali­kali diubah terakhir dengan UU Nomor 12 Tahun 1994.

 Undang­undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai diundangkan

Lembaran Negara Nomor 69 Tahun 1983, Tambahan Lembaran Negara nomor 3313.

 Undang­undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah diundangkan Lembaran Negara Nomor 41 Tahun 1998.

Reformasi Perpajakan tahun 1983

Hindia Belanda, yang setelah merdeka menjadi Indonesia, dijajah Belanda selama tiga setengah abad sehingga membuat aturan hukum yang cukup banyak, juga hukum pajak, antara lain: Aturan Bea Meterai tahun 1921, Ordonansi1 Pajak

Perseroan tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan tahun 1932, dan Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1944. Hanya saja hukum pajak warisan kolonial tersebut dibuat semata­mata hanya untuk menghimpun dana bagi Pemerintah Penjajah dalam rangka mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya di tanah air kita. Pemungutan pajak saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang berat, sebab baik penetapan jumlah pajak, jenis pajak maupun tata cara pemungutannya dilaksanakan di luar rasa keadilan tanpa menghiraukan kemampuan serta menambah beban penderitaan dan jauh dari pertimbangan dan penghargaan kepada hak asasi rakyat. Pajak hanyalah merupakan kewajiban semata­mata yang harus dilaksanakan rakyat secara patuh. Ciri dan corak sistem pemungutan pajak jaman kolonial antara lain:2

a. tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan seperti yang tercermin dalam sistem penetapan pajak yang keseluruhannya menjadi wewenang administrasi perpajakan; dan

b. pelaksanaan kewajiban perpajakan, dalam banyak hal sangat tergantung dari pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan, hal mana mengakibatkan anggota masyarakat Wajib Pajak kurang mendapat pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya dan kurang ikut

KUP

berperan serta dalam memikul beban negara dalam mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional.

Setelah merdeka Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang­Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara, karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan bagi para warganya yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Untuk itu, sejak 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada subyek pajak untuk melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan, sehingga dapat mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta meratakan pendapatan masyarakat. Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah:3

a. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama­sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;

b. tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang­undangan perpajakan; dan

c. anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung,

memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terhutang (self

assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.

Berdasarkan ketiga prinsip pemungutan pajak tersebut, Wajib Pajak diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri. Selain dari pada itu Wajib Pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terhutang dan telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang­undangan perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit­ belit dan birokratis akan dihilangkan. Jelaslah bahwa sistem pemungutan pajak yang ditentukan menurut undang­undang ini, memberi kepercayaan lebih besar kepada anggota masyarakat Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Selain itu jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak lebih diperhatikan, dengan demikian dapat merangsang peningkatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan di masyarakat. Tugas administrasi perpajakan tidak lagi seperti yang terjadi pada waktu yang lampau, dimana administrasi perpajakan meletakkan kegiatannya pada tugas merampungkan/menetapkan semua SPT guna menentukan jumlah pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang seharusnya dibayar, tetapi menurut ketentuan undang­undang ini administrasi perpajakan, berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas­tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi. Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media masa maupun penerangan langsung dalam masyarakat.

Kedudukan Undang­Undang KUP akan menjadi "ketentuan umum" bagi perundang-undangan perpajakan yang lain.4 Sistem, mekanisme, dan tata cara

pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana menjadi ciri dan corak dalam perubahan Undang­Undang KUP tahun 2007 tetap menganut sistem

self assessment. Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat Wajib Pajak sehingga

KUP

masyarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan lebih baik.5

Self Assessment++

Sistem perpajakan yang dianut Indonesia sejak reformasi undang­undang

perpajakan tahun 1983 adalah self assessment. Kebanyakan orang

mendefinisikan self assessment adalah menghitung, memperhitungkan,

membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya. Secara gramatikal self assessment hanya disebut dalam penjelasan umum Undang­Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang­Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Kegiatan belajar ini

akan membahas bahwa sebenarnya self assessment yang dianut Indonesia bukan

self assessment murni tetapi ada unsur official assessment dan with holding tax

sehingga disebut sebagai Self Assessment++.

Pasal 1 angka 1 Undang­Undang KUP mendefinikan pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang­Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar­besarnya kemakmuran rakyat. Makna kontribusi wajib dalam pengertian pajak tersebut berhubungan dengan pemungutan pajak. Banyak sarjana yang berpendapat tentang pemungutan pajak.

1. R. Santoso Brotodihardjo, SH menyitir pendapat Prof. Adriani bahwa teknik pemungutan pajak dibagi dalam tiga golongan.

a. Wajib Pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan undang­undang perpajakan. Cara pembayaran dapat dilakukan dengan meterai atau pembayaran ke kas negara. Fiskus membatasi diri pada pengawasan, kadang­kadang insidental atau secara teratur.

b. Ada kerja sama antara Wajib Pajak dan Fiskus, tetapi fiskus sebagai penentu terakhir dalam bentuk pemberitahuan sederhana dari Wajib Pajak dan pemberitahuan yang lengkap dari Wajib Pajak.

c. Fiskus menentukan sendiri (di luar wajib pajak) jumlah pajak yang terhutang.

Sistem pemungutan pajak sampai dengan tahun 1967 inisiatif dan kegiatan dalam penghitungan dan pemungutan pajak sebagian besar ada pada fiskus (huruf b dan c). Cara tersebut berasal dari jaman Hindia Belanda, dan juga masih berlaku di Belanda. Sejak disadari, bahwa tatacara pemungutan pajak dengan sistem tersebut jalannya seret, timbulah gagasan untuk mengubahnya menjadi self assessment. Sistem self assessment dilakukan antara lain di

Amerika Serikat dan Jepang. Dalam self assessment, kegiatan pemungutan

pajak diletakkan kepada aktivitas dari Wajib Pajak untuk menghitung sendiri besarnya pendapatan/kekayaan/laba, dan menghitung sendiri besarnya pajak Pendapatan/Kekayaan/Perseroan yang terutang dan menyetorkannya ke kas negara. Self assessment dibedakan antara self assessment murni dan semi

self assessment. Self assessment murni berarti menghitung, dan menyetor pajak sendiri, yang menjadi dasar MPS, sedangkan semi self assessment

pada dasarnya adalah pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri tetapi dihitung dan disetorkan ke kas negara oleh orang lain, yang menjadi dasar MPO (Brotodiharjo, 1987, hal. 64­66).

2. Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH berpendapat bahwa sejak tanggal 26 Agustus 1967 yaitu disahkannya Undang­Undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Perubahan dalam Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925, dengan

Tata Cara MPS dan MPO. Semenjak itulah sistem self assessment

diintrodusirkan di Indonesia, tetapi hanya untuk menghitung Pajak Pendapatan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak tiap bulan yang dikenal dengan nama ‘menghitung pajak sendiri’ dan ‘menghitung pajak orang lain’ yang peranannya bukan lagi dipegang fiskus tetapi oleh Wajib Pajak sendiri. Tahun 1984 sistem self assessment diterapkan pada Pajak Penghasilan bukan saja Pajak Penghasilan Pasal 25 Undang­Undang PPh yang harus dibayar sendiri tiap bulan (dulunya MPS), tetapi juga Pajak Penghasilan Pasal 29 Undang­Undang PPh yang harus dibayar sendiri tiap akhir tahun (Sumitro, 1991, hal. 13­14).

KUP

a. Official Assessment, yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak, dengan ciri­ciri: Wewenang menentukan besarnya pajak ada pada fiskus, Wajib Pajak bersifat pasif, Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

b. Self Assessment, yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendir besarnya pajhak yang terutang, dengan ciri­ciri: Wewenang menentukan besarnya pajak ada pada Wajib Pajak, Wajib Pajak bersifat aktif mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, fiskus tidak campur tangan dan hanya mengawasi.

c. With Holding, yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan juga bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak (Mardiasmo, 2003, hal. 7­ 8).

Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tiga sistem pemungutan pajak yaitu self assessment, official assessment, dan with holding. Penjelasan Umum Undang­Undang KUP menjelaskan bahwa sistem perpajakan

yang dipakai Indonesia adalah self assessment dan karena kedudukan Undang­

Undang KUP akan menjadi "ketentuan umum" bagi perundang-undangan perpajakan yang lain maka perlu ditelisik apakah dalam perundang­undangan perpajakan lain tersebut menerapkan self assessment.

Pasal 3A ayat (1) Undang­Undang PPN Tahun 1984 mengatur bahwa Pengusaha

yang melakukan penyerahansebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf

a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h Undang­Undang PPN Tahun 1984, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dan wajib memungut,

menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang. PPN adalah pajak tidak langsung, jadi sebenarnya yang membayar pajak adalah pembeli tetapi yang wajib memungut, menyetor, dan melaporkan adalah PKP. Jadi, untuk PPN lebih tepat jika sistem yang digunakan bukan self assessment tetapi ada unsur with holding. Pembedaan tersebut juga bisa ditilik dari penggunaan frasa bagaimana kontribusi wajib kepada negara dilaksanakan. Self assessment mengunakan kata

membayar, sedangkan menyetor digunakan untuk pembayaran uang pajak dalam kas negara oleh orang atau badan yang diberi wewenang memotong pajak dari wajib pajak yang dituju atau destinataris (Sumitro, 1991, hal. 77).

Pasal 21 ayat (1) Undang­Undang PPh mengatur bahwa pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh pemberi kerja, bendahara pemerintah, dana pensiun,

badan yang membayar honorarium, dan penyelenggara kegiatan. Pasal 22 ayat

(1) huruf a Undang­Undang PPh mengatur bahwa Menteri Keuangan dapat

menetapkan bendehara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan

pembayaran atas penyerahan barang. Pasal 23 ayat (1) Undang­Undang PPh mengatur bahwa atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,

dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan.

Pasal 12 ayat (3) Undang­Undang KUP mengatur bahwa apabila Dirjen Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Dirjen Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. Ketentuan ini menjadi dasar kewenangan Dirjen Pajak untuk menerbitkan ketetapan pajak, dan adanya ketetapan pajak merupakan ciri sistem

official assessment.

Pasal 9 ayat (3) Undang­Undang KUP mengatur bahwa STP, SKPKB, serta SKPKBT, dan SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkan. Jika cara kontribusi wajib ke kas negara untuk self assessment adalah

membayar sedangkan untuk with holding adalah membayar maka untuk official

assessment adalah melunasi.

Untuk memudahkan dalam mengingat bahwa self assessment yang diterapkan di

KUP

official assessment maka penulis namakan Self assesment++(6M+1). Rangkaian kegiatan dalam self assessment dapat disingkat dengan (6M+1) yaitu: Mendaftar untuk mendapatkan NPWP/Melaporkan untuk dikukuhkan sebagai PKP,

Menghitung, Memperhitungkan/mengkreditkan, Memungut/memotong,

Membayar/Menyetor/ Melunasi, Menyampaikan, dan Menghapuskan

NPWP/Mencabut penggukuhan PKP. Sebenarnya memang ada tujug ‘M’ tetapi karena untuk menghapuskan NPWP Wajib Pajak Orang Pribadi salah satunya karena meninggal dunia sehingga tidak benar­benar dilakukan secara self assessment maka tidak disingkat 7M tetapi (6M+1). Guna memudahkan mengingat Self assesment++(6M+1) dapat disajikan sebagaimana dalam Gambar 2.

Gambar 2 Self assesment++(6M+1)

CircumNavigation Undang-Undang KUP

Pernahkah Anda mendapat surat undangan pernikahan seorang kerabat? Hampir semua dari kita pernah mendapatkannya. Biasanya pesta pernikahan dilangsungkan disebuah gedung yang belum kita ketahui. Ada dua cara agar kita dapat menuju lokasi, pertama telepon kepada oarang yang sudah mengetahuinya. Anda akan mendapat penjelasan secara rinci dari ujung telepon. Masalahnya adalah setelah telefon ditutup, berapa informasi yang Anda ingat? Biasanya tidak

banyak. Kedua, Anda mendatangi orang yang tahu lokasi yang dituju kemudian Anda minta dijelaskan lokasi tersebut dalam sebuah peta. Peta tersebut yang akan Anda bawa selama perjalanan menuju lokasi. Cara kedua ini lebih mudah bagi Anda untuk mencapai lokasi.

Harus disadari bahwa Undang­Undang KUP bukan hanya untuk pegawai DJP tetapi semua Wajib Pajak idealnya harus memahaminya karena pajak adalah kewajiban semua warga negara. Namun, mempelajari Undang­Undang KUP bukanlah sekedar membaca teks tulisannya saja karena ada penalaran dan penafsiran hukum untuk memahaminya. Jika Anda mempelajarinya dengan cara membaca pasal demi pasal secara berurutan bagaikan Anda mendapat penjelasan menuju lokasi yang belum Anda ketahui secara lisan di telepon. Ingat, dibalik setiap amplop undangan pernikanan selalu ada gambar denah yang walaupun sangat tidak presisi untuk disebut sebagai peta tapi membantu Anda mencapai lokasi yang dituju. Demikian juga dalam mempelajari Undang­Undang KUP Anda juga perlu sebuah peta agar memahami gambar besarnya terlebih dahulu baru kemudian mempalari detail­detailnya. Berdasarkan pengalaman mengajar di Pusdiklat Pajak penulis menemukan metode mempelajari Undang­ Undang KUP dengan sebuah peta yang akhirnya kami sebut sebagai

CircumNavigation Undang-Undang KUP sebagaimana dalam Gambar 1­3. Metode itu yang digunakan sebagai pendekatan memahami Undang­Undang KUP dalam buku ini.

KUP

Ketentuan Umum dalam Undang-Undang KUP

Pasal 1 Undang-Undang KUP mengatur tentang ketentuan umum6 sebagai

berikut.

1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang­Undang, dengan

Dalam dokumen PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK (Halaman 33-53)