• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. PROFIL EKSTRAK DAUN SUJI DAN SCC SELAMA

3. Persentase Klorofil dan Kolesterol Terdialisis Secara in

Banyaknya klorofil yang terdialisis dapat menggambarkan banyaknya klorofil yang terserap. Hal ini seperti apa yang telah dilakukan terhadap bioavaibilitas Fe. Proses penyerapan klorofil digambarkan dengan simulasi kantung dialisis sebagai model usus. Klorofil dan derivatnya yang terdapat di fraksi digesta akan masuk ke dalam kantung

dialisis. Semakin banyak klorofil yang dapat masuk (lolos) ke dalam kantung dialisis diduga berkolerasi positif dengan tingkat penyerapan klorofil. Dalam eksperimen ini, estimasi kasar tingkat penyerapan klorofil dilakukan dengan mengukur kadar klorofil dalam kantung dialisis terhadap kadar klorofil ekstrak awal yang telah dikoreksi dengan masing-masing pelarut (Lampiran 3). Rata-rata persentase klorofil terdialisis disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata persentase klorofil terdialisis

Perlakuan (%) Sampel

Tanpa Kolesterol (-) Dengan kolesterol (+)

Suji 5.76 4.74

SCC 19.78 8.05

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh keterangan bahwa rata-rata klorofil terdialisis sampel ekstrak daun suji dari kedua perlakuan 5-6%. Klorofil terdialisis lebih tinggi pada perlakuan tanpa kolesterol dibandingkan dengan perlakuan dengan penambahan kolesterol.

Pada perlakuan tanpa kolesterol, diketahui bahwa rata-rata persentase klorofil terdialisis ekstrak daun suji sebesar 5.76 %. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Ferruzi et al bahwa penyerapan derivat-derivat klorofil dari pure bayam berkisar 5-10 %. Namun, pada penelitian Ferruzi tersebut untuk melihat penyerapannya digunakan sel Caco-2 sebagai model sel enterosit manusia.

Adapun persentase SCC terdialisis dengan perlakuan tanpa kolesterol lebih tinggi dibanding suji yaitu rata-rata sekitar 19 %. Nilai signifikansi perbedaan klorofil terdialisis ekstrak daun suji dan SCC lebih kecil dari 0.05 (p<0.05) (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan secara nyata klorofil terdialisis dari kedua sampel. Berdasarkan hasil penelitian Ferruzi et al (2002) tentang studi absorbsi menggunakan SCC, dikemukakan bahwa SCC yang terserap dalam sel sebesar 45-60%. Penelitian tersebut juga masih menggunakan sel Caco-2 untuk melihat tingkat penyerapannya. Tingginya klorofil SCC yang

terdialisis dibandingkan klorofil dari ekstrak daun suji diduga akibat kelarutan SCC yang tinggi dalam digesta karena adanya komponen polar dalam SCC sehingga memudahkan klorofil terdialisis.

Pada perlakuan dengan penambahan kolesterol, nilai klorofil terdialisis kedua sampel yaitu ekstrak daun suji dan SCC tampak menurun bila dibandingkan perlakuan tanpa kolesterol. Namun, setelah diolah secara statistik, klorofil dari ekstrak daun suji dengan penambahan kolesterol tidak berbeda bila dibandingkan dengan ekstrak daun suji tanpa kolesterol (p>0.05). Hal tersebut menunjukkan dugaan bahwa klorofil ekstrak daun suji kurang mampu mengikat kolesterol.

Klorofil terdialisis yang terjadi pada SCC dengan penambahan kolesterol lebih rendah dibandingkan SCC tanpa kolesterol (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan kolesterol terjadi perbedaan secara nyata klorofil terdialisis dari SCC ke dalam kantung dialisis. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa komponen klorofil SCC diduga mampu mengikat kolesterol. Kemungkinan komponen klorofil dan derivatnya dari sampel SCC berinteraksi atau berikatan dengan kolesterol sehingga berat molekulnya menjadi lebih besar. Hal ini menyulitkan klorofil terdialisis ke dalam kantung dialisis, akibatnya klorofil yang terdialisis lebih sedikit. Berbeda halnya dengan perlakuan tanpa kolesterol, karena tidak adanya kolesterol maka tidak ada ikatan antara kolesterol- klorofil sehingga klorofil lebih banyak terdialisis.

Dugaan adanya kemampuan derivat klorofil, terutama yang telah kehilangan gugus fitolnya, berikatan dengan kolesterol adalah berdasarkan artikel yang ditulis oleh Ma dan Dolphin (1999). Mereka menyebutkan ditemukannya beberapa ester klorin-kolesterol di sedimen permukaan danau. Strukturnya memperlihatkan posisi kolesterol menggantikan gugus fitol dalam berikatan dengan klorin. SCC merupakan derivat klorofil yang telah kehilangan gugus fitol, sehingga kemampuan mengikat kolesterol lebih besar. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah klorofil terdialisis dari SCC berbeda nyata. Pada ekstrak suji diduga belum banyak kehilangan

gugus fitol, oleh karena itu kemampuan mengikat kolesterol lebih kecil dari SCC sehingga jumlah klorofil terdialisis tidak berbeda.

Nilai klorofil terdialisis ekstrak daun suji dengan perlakuan penambahan kolesterol lebih rendah bila dibandingkan dengan SCC terdialisis dengan penambahan kolesterol. Namun, perbedaan tersebut menghasilkan nilai signifikansi lebih besar dari 0.05 (p>0.05). Artinya bahwa perbedaan klorofil terdialisis antara ekstrak daun suji dengan perlakuan penambahan kolesterol dan SCC dengan perlakuan penambahan kolesterol tidak berbeda secara nyata. Perbedaan klorofil terdialisis dari kedua sampel karena adanya perbedaan komponen dari kedua sampel.

Untuk melihat tingkat kemampuan pengikatan kolesterol oleh ekstrak daun suji, maka perlu dilihat seberapa besar kolesterol terdialisis dari sampel. Persentase kolesterol terdialisis dari masing-masing sampel dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Persentase kolesterol terdialisis

Sampel (%) Ulangan

ke- Suji SCC Pelarut Suji

1 0 4.97 109.7

2 0 2.86 114.3

Rata-rata 0 3.92 112

Berdasarkan data Tabel 6 di atas tentang kolesterol terdialisis, maka diperkirakan bahwa pada sampel ekstrak daun suji tidak terdapat kolesterol maupun fitosterol terdialisis dalam kantung dialisat. Sedangkan pada SCC, kolesterol dan fitosterol terdialisis ke dalam kantung dialisis rata-rata sebesar 3.92%. Adapun nilai kolesterol terdialisis pada sampel pelarut suji sangat besar dibandingkan suji ataupun SCC yaitu lebih dari 100 % yaitu 112 %. Dari data ini bisa diambil kesimpulan bahwa rendahnya kolesterol terdialisis dari ekstrak daun suji dan SCC diduga karena adanya suatu komponen yang terdapat pada ekstrak daun suji dan SCC yang mampu menahan kolesterol tedialisis. Diduga karena peran

fitosterol dari ekstrak daun suji dan SCC berikatan kompleks dengan kolesterol.

Berdasarkan data klorofil terdialisis ekstrak daun suji yang tidak berbeda nyata, maka diduga kemampuan pengikatan kolesterol oleh ekstrak daun suji adalah karena peran fitosterol bukan klorofil. Sedangkan pada SCC yang berperan adalah fitosterol dan klorofil, karena berdasarkan data klorofil terdialisis SCC berbeda nyata. Berdasarkan hal tersebut, maka SCC lebih berpotensi menahan kolesterol terdialisis. Namun, berdasarkan data kolesterol terdialisis oleh ekstrak daun suji lebih rendah dibandingkan SCC, meski lebih rendah tapi tidak berbeda dibandingkan tanpa kolesterol. Maka diduga ekstrak daun suji lebih berpotensi menahan penyerapan kolesterol dibandingkan SCC. Kemungkinan jenis fitosterol pada ekstrak daun suji berbeda dengan SCC sehingga berbeda terhadap kapasitas pengikatan kolesterol.

D. SEPARASI PIGMEN

Separasi pigmen dilakukan hanya pada sampel ekstrak daun suji. Separasi dilakukan terhadap masing-masing fase. Tidak dilakukannya separasi pigmen pada sampel SCC, karena pada awal penelitian, ditemukan bahwa SCC tidak dapat bermigrasi dalam plate TLC. Hal ini mungkin disebabkan karena SCC merupakan larutan polar. Komponen yang teridentifikasi pada sampel ekstrak daun suji fase awal diduga adalah klorofil a, lutein, feofitin a dan beta karoten (Lampiran 5). Gambar separasi pigmen dapat dilihat pada Lampiran 6.

Pembentukan feofitin pada fase awal sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bacon et al (1967) yang dikutip oleh Oktaviani (1987), bahwa perubahan klorofil yang segera terjadi sebagai akibat dari pemanasan adalah pembentukan feofitin. Pemanasan tersebut mungkin akibat dari perlakuan inkubasi enzim pada waktu proses ekstraksi. Pada fase awal ini feofitin a telah terbentuk sedangkan feofitin b belum teridentifikasi kemunculannya. Hal ini sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh beberapa peneliti bahwa klorofil a lima sampai sepuluh kali lebih cepat berubah menjadi feofitin a dibandingkan

dengan kecepatan perubahan klorofil b menjadi feofitin b. Dalam pelarut aseton, pelepasan magnesium dari klorofil a lebih cepat sembilan kali lipat dibandingkan dengan klorofil b.

Lutein yang teridentifikasi pada fase awal berwarna kuning dan memiliki nilai Rf 0.929. Lutein termasuk dalam golongan karotenoid. Lutein berperan sangat penting dalam melindungi mata. Seperti â-karoten, lutein juga merupakan antioksidan yang dapat melindungi tubuh dari serangan radikal bebas. Namun, lutein tidak ditemukan dalam konsentrasi tinggi di sayuran kuning/orange seperti wortel.

Komponen yang juga teridentifikasi dari sampel ekstrak daun suji pada fase awal adalah â-karoten. Berdasarkan Tabel 3, â-karoten pada plate TLC selulosa memiliki warna orange- kuning dengan nilai Rf 0.98. Pada penelitian ini, â-karoten memiliki nilai Rf berkisar 0.97 – 1.00 dengan warna orange atau kuning.

â-karoten termasuk golongan karotenoid. Karotenoid adalah suatu kelompok pigmen yang berwarna kuning, oranye atau merah-oranye, mempunyai sifat larut lemak atau pelarut organik lain, tetapi tidak larut dalam air (Muchtadi, 2000). Sayur-sayuran dan buah-buahan yang berwarna hijau atau kuning biasanya banyak mengandung karoten.

Menurut Winarno (1997), karotenoid terdapat dalam kloroplas (0.5%) bersama-sama dengan klorofil (9.3 %), terutama pada bagian permukaan atas daun, dekat dengan dinding sel-sel palisade. Karotenoid tidak selalu berdampingan dengan klorofil, tetapi sebaliknya klorofil selalu disertai oleh karotenoid. Pada saat klorofil dan turunan-turunannya telah terdegradasi, karotenoid mulai muncul. Hal ini terlihat dengan jelas pada daun hijau yang mulai layu, maka warnanya berubah menjadi kuning.

Beberapa diantaranya juga teridentifikasi adanya pigmen changed

klorofil b-1 bebas Mg dan changed klorofil a-1 bebas Mg pada fase awal ekstrak daun suji. Bentuk changed klorofil a-1 dan b-1 diduga adalah bentuk isomer optis dari changed klorofil a-2 dan b-2. Sampai sekarang belum diketahui struktur yang tepat dari changed klorofil. Dari berbagai uji yang dilakukan oleh beberapa peneliti akhirnya diduga bahwa changed klorofil

adalah turunan klorofil yang mengalami penggantian pada atom C10 dengan gugus hidroksi (Strain, 1954 & Bacon et al, 1967 yang dikutip oleh Oktaviani (1987)). Dengan adanya gugus hidroksi ini changed klorofil menjadi lebih polar dari klorofil, sehingga memiliki nilai Rf yang lebih rendah pada selulosa yang merupakan adsorben polar.

Hasil separasi pigmen dan identifikasi pigmen pada fase gastric menunjukkan bahwa klorofil a dan klorofil b dari ekstrak daun suji telah terdegradasi. Pada fase gastric, pigmen yang teridentifikasi diantaranya adalah lutein, feofitin a dan feofitin b serta beta karoten. Terdapatnya feofitin a dan feofitin b pada fase ini diduga karena pengaruh dari perlakuan asam pada pH 2 yang ada di lambung. Hal tersebut sesuai yang dilaporkan bahwa feofitin merupakan derivat klorofil bebas magnesium yang mudah didapat dari klorofil dengan perlakuan asam, sehingga melepaskan magnesium. Reaksi terjadi 1 sampai 2 menit dan konsentrasi HCl yang digunakan 13 %. Seperti yang dilaporkan oleh Mac Kinney dan Joslyn (1938) bahwa kecepatan pembentukan feofitin merupakan reaksi ordo pertama terhadap konsentrasi asam.

Pigmen yang teridentifikasi pada fase ketiga yaitu fase digesta adalah

changed klorofil b-1 bebas Mg, changed klorofil a-1 bebas Mg, changed klorofil b-2 bebas Mg, feofitin a dan b, lutein serta beta karoten. Pada fase akhir yaitu fase dialisat, tidak terdapat satu pigmenpun yang teridentifikasi. Hal ini diduga karena pada fase dialisat mungkin pigmen yang ada adalah pigmen yang polar, sehingga tidak terbaca pada plate TLC. Hal seperti ini juga terjadi pada sampel SCC.

Klorofilid yang diharapkan ada, ternyata tidak terbentuk (tidak teridentifikasi pada TLC). Padahal pada saat pengujian klorofil, kadar klorofil yang ditunjukkan oleh absorbansi fase aseton cukup tinggi. Kemungkinan ini disebabkan adanya Tween 80 yang merupakan emulsifier yang dapat membantu kelarutan klorofil sehingga larut dalam pelarut aseton (Prangdimurti et al., 2005) Hal ini juga menimbulkan dugaan enzim klorofilase belum berperan (aktivitasnya rendah) dalam ekstrak daun suji.

Larutan Na-sitrat 12 mM yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitas enzim klorofilase, belum memperlihatkan efeknya meskipun dilakukan inkubasi pada suhu optimum bagi enzim klorofilase (suhu 65-75 oC) selama 45 menit. Dengan kurang aktifnya enzim klorofilase, rantai fitol klorofil tidak dapat terhidrolisis sehingga klorofil a maupun b tidak berubah menjadi klorofilid.

Pada fase awal sampai fase digesta diketahui bahwa beta karoten dan lutein selalu teridentifikasi keberadaanya. Pada ekstrak daun suji, â-karoten dan lutein muncul pada kromatogram, karena sebelumnya tidak dilakukan pemisahan lebih dahulu untuk menghilangkan senyawa karotenoid. Senyawa karotenoid memang larut dalam lemak, namun dengan adanya Tween 80 dapat membantu karotenoid sehingga dapat larut dalam pelarut air (larutan Na- sitrat). Dengan demikian, karotenoid juga ikut dalam ekstrak daun suji.

Dokumen terkait